Nina berjalan menyusuri trotoar menuju jalan utama sehabis salat asar. Akhirnya, dia memutuskan untuk kabur juga dari rumah seperti yang dilakukan Ayu. Baru kali ini dia mengambil sikap nekat menentang orang tuanya. Dia sudah menetapkan hatinya tadi malam. Seharusnya Ayu yang bertanggung jawab, bukan dirinya. Ayu yang harus menyelesaikan semua kekacauan.
Panas terik kota Bantul tak menyurutkan langkahnya menuju halte angkutan umum. Nina melihat jam tangannya. Seharusnya tamu yang tak diharapkan itu sudah datang di rumah dan pembicaraan tentang pernikahannya sedang dibicarakan. Nina sudah mempersiapkan semuanya untuk kembali ke Solo. Dia melompat jendela saat orang tuanya sibuk mempersiapkan makanan di dapur. Nina memasang kewaspadaan kalau saja ada yang memergokinya kabur dari rumah. Perlahan dia membuka pagar besi, lalu cepat-cepat berjalan menuju jalan raya.
Nina duduk di kursi panjang halte. Sambil menunggu angkutan datang, dia mengeluarkan sebuah buku novel yang belum selesai dibacanya. Jalan raya ramai lalu lalang kendaraan. Di pinggir jalan berderet kedai-kedai makanan dan toko yang menjual buah-buahan. Di pojok jalan, di bawah pohon ceri yang rindang, sekelompok bapak-bapak ojol sedang mengobrol sambil main kartu menunggu orderan. Debu jalan terhambur saat beberapa truk lewat dengan kecepatan tinggi membuat orang-orang yang ada di jalanan menutup mata dan wajah mereka.
Segerombolan siswi SMA yang baru pulang sekolah menyeberang jalan lalu bergabung dengan Nina duduk di halte menunggu angkutan umum. Seorang pria tampan memakai hem putih lengan seperempat, bercelana jeans juga datang, lalu duduk di samping Nina. Hanya tempat itu yang kosong karena hampir semua kursi halte diduduki para siswi SMA. Nina memandang sekilas si pria tampan, lalu asyik kembali menelusuri lembar demi lembar bukunya.
Nina mendengar para siswi SMA berbisik-bisik dan mulai cekikikan. Nina merasa terganggu dengan semua itu. Nina mencuri pandang anak-anak SMA itu yang sedang memandang takjub pada sosok lelaki yang duduk di sampingnya. Nina akhirnya menoleh lalu menatap si pria tampan yang keren di sampingnya. Pria itu juga memandang ke arah Nina sambil tersenyum manis. Nina hanya menatap dengan ekspresi datar lalu kembali membaca.
Pantas siswi-siswi SMA itu pada kagum, cowok itu memang di atas rata-rata untuk nilai ketampanannya, batin Nina.
"Mas ... Mas ... boleh gak minta foto sama Mas?" tanya seorang siswi SMA dengan malu-malu.
Nina memperhatikan tingkah anak-anak yang baru gede itu.
Berani sekali mereka. Apa gak malu? pikir Nina.
Ekpresi mereka bak menganggumi seorang idol. Si pria tampan merespon dengan senyuman, membuat Nina juga ikut tersenyum.
Ada hal konyol seperti ini, batin Nina
"Boleh," jawab si pria tampan.
Begitu mendapat izin mereka langsung bersorak kegirangan. Para gadis tanggung itu langsung menyerbu dan cekrek sana cekrek sini membuat Nina terpaksa berdiri karena di desak oleh para fans dadakan itu.
Eh apaan sih! gerutu Nina lalu berdiri sambil memeluk tas ranselnya.
Tak lama kemudian sebuah angkutan umum datang membuat kerumunan acara foto-foto itu langsung bubar.
"Terima kasih ya Mas Hyun Bin," ucap seorang siswi yang berkerudung sambil tersenyum lebar. Mereka melambaikan tangan pada sosok laki-laki berlesung pipit itu. Para siswi langsung pergi menyerbu dan memenuhi angkutan umum.
"Daadaaah Hyuuun Biiin!" teriak para siswi SMA itu serempak saat angkutan mulai jalan.
Nina tersenyum melihat tingkah anak-anak penggemar Oppa Korea itu. Lalu memandang si Hyun Bin KW yang juga membalas lambaian tangan anak-anak baru gede itu sambil tersenyum lebar. Ada-ada saja, batin Nina lalu kembali duduk di kursi halte yang kosong.
Nina menghela napas karena kesal. Dia harus menunggu angkutan berikutnya datang. Si Hyun Bin KW duduk lagi di samping Nina.
"Mbaknya mau kemana?" tanya si Hyun Bin KW.
Nina menoleh lalu tersenyum.
"Mau ke stasiun Mas. Mau ke Solo," jawab Nina seperlunya.
"Oh ... kebetulan arah kita sama," jawab si Hyun Bin KW.
Nina membuka lagi bukunya lalu membaca kembali.
"Suka baca ya, Mbak?" tanya si Hyun Bin KW.
Nina menoleh lagi, lalu mengangguk.
"Kuliah?" tanya si Hyun Bin KW lagi.
"Ya, keguruan di Solo," jawab Nina sambil tetap berlaku sopan walau sebenarnya dia merasa tidak nyaman mengobrol berdua dengan lelaki walau di tempat umum yang ramai di tepi jalan.
"Sepertinya akan lama menunggu angkutan berikutnya," gumam si Hyun Bin KW.
"Gak kok, paling juga lima belas menitan," ujar Nina spontan lalu menatap si Hyun Bin KW yang sedari tadi memperhatikannya.
"Asli sini ya Mbak?" tanya si Hyun Bin KW
Nina mengangguk lalu kembali ke bukunya yang sebenarnya sudah tak menarik lagi baginya karena sering terinterupsi.
"Saya lama di luar negeri, baru pulang kemarin sore. Banyak yang berubah ya di sini," cerita si Hyun Bin KW tanpa ditanya.
Nina hanya mengangguk. Nina pikir, mungkin si Hyun Bin ingin mencari teman mengobrol.
"Berapa tahun di luar negeri?" tanya Nina.
"Sejak kuliah S1. Saya kuliah di Berlin dan sekarang bekerja di rumah sakit di Dresden," jawab Si Hyun Bin KW.
"Oh, gak pingin pulang kampung Mas?" tanya Nina
Si Hyun Bin tersenyum.
"Insyaallah ke depannya, karena saya akan menikah dengan seorang gadis pilihan orang tua di sini," jawabnya.
Nina berpikir, mengapa cerita si Hyun Bin KW mengingatkan akan dirinya yang hendak dinikahkan paksa oleh orang tuanya.
"Dijodohkan ya?" tanya Nina.
Si Hyun Bin KW tersenyum.
"Tapi tak masalah selama perempuannya sholihah dan mau hidup bersama saya, ya kan Mbak?" tanya si Hyun Bin seakan ingin memancing diskusi lebih dalam.
"Ya kalau tak terpaksa kenapa tidak. Tapi jika ada keterpaksaan itu yang akan jadi masalah. Kupikir harus ada waktu untuk saling mengenal terlebih dahulu sebelum menikah. Orang tua harus menanyakan pendapat sang anak dan tak boleh memaksa jika sang anak tak mau," terang Nina.
Si Hyun Bin KW manggut-manggut seakan setuju.
"Saya setuju sama pendapat Mbak," ucap Hyun Bin KW.
Angkutan umum datang menginterupsi obrolan mereka. Nina menutup buku lalu memasukkannya ke dalam tas.
"Tuh Mas, angkutannya sudah datang. Saya duluan ya," pamit Nina pada Hyun Bin.
Si Hyun Bin KW pun tersenyum, lalu ikut berdiri membuntuti Nina masuk ke dalam angkutan. Nina merasa tak nyaman duduk di belakang berdua saja dengan lelaki asing, lalu memilih turun dan berpindah ke depan duduk disamping pak Sopir.
Sepanjang jalan Nina hanya merenungi nasibnya. Sesekali dilihatnya gawainya. Aneh, mengapa Bapak Ibu tidak meneleponku? Seharusnya mereka sudah tahu kalau aku tak ada di kamar. Seharusnya kekacauan sedang terjadi, tanya Nina dalam hati, lalu memasukkan gawainya kembali ke dalam tas.
Sesampainya di Stasiun, Nina turun dari angkutan lalu berjalan menuju ke bagian tiket. Nina merasa si Hyun Bin KW juga ikut turun dan membuntutinya. Nina jadi khawatir dan berprasangka buruk. Jangan-jangan ni orang gak beres. Kok ngikutin terus sih, batin Nina sambil sesekali menoleh ke belakang melihat si Hyun Bin KW yang santai berjalan di belakangnya.
Nina menunggu di peron stasiun sambil berdiri, karena kursi tunggu sudah penuh dengan orang. Dia melihat si Hyun Bin juga berjalan menuju ke arahnya, lalu berdiri di sampingnya. Nina sudah tak tahan dengan perilaku si Hyun Bin KW. Dia bisa saja teriak minta tolong jika terjadi apa-apa pada dirinya, toh banyak orang di stasiun.
"Apa ada masalah? Mengapa Mas mengikuti saya sejak tadi?" tanya Nina agak defensif.
Hyun Bin KW pun menaikkan alisnya, lalu tersenyum. Gadis di hadapannya pasti salah paham.
"Saya juga mau ke Solo, Mbak. Kereta kita sama," jawab si Hyun Bin KW tenang.
Memerah wajah Nina karena malu. Nina berdeham sambil memperbaiki kaca matanya.
"Maafkan saya," ucap Nina mengakui kesalahannya kalau sudah buruk sangka.
"Saya maafkan. Toh lebih aman di jalan ada teman ya kan?" tanya si Hyun Bin KW.
Nina mengangguk setuju.
Kereta menuju Solo sudah datang. Nina langsung beranjak menuju pintu, tapi orang-orang berdesak-desakkan berebut masuk. Si Hyun Bin KW mendahului langkah Nina seakan memberi jalan buat sang gadis. Nina dengan santai masuk lalu mencari tempat duduknya. Dia membuka bagasi atas untuk menaruh tasnya, tapi luput tasnya hampir jatuh saat seseorang menyenggolnya. Sesosok lelaki menahan tasnya agar tak jatuh. Nina melihat si Hyun Bin KW tersenyum padanya.
"Biar saya saja," ucap si Hyun Bin KW menawarkan dirinya.
"Terima kasih," ucap Nina lalu duduk di kursinya.
Si Hyun Bin KW duduk di hadapannya. Nina berusaha tak membuka obrolan kembali tapi langsung membuka gawainya. Si Hyun Bin menatapnya. Merasa intens ditatap sosok yang ada di hadapannya, Nina menatap balik.
"Apa ada sesuatu di wajah saya?" tanya Nina yang memergoki si Hyun Bin Kw menatapnya.
"Mbak mirip adik angkat saya," jawab si Hyun Bin KW yang membuat Nina tertawa kecil bukan karena senang, tapi ironis.
"Wah, luar biasa. Mungkin karena wajah saya pasaran ya," ucap Nina jujur, "mengapa dua hari ini ada orang yang bilang bahwa wajahku mirip seseorang?," batin Nina.
Si Hyun Bin tertawa kecil, lalu diam menunjukkan raut wajah sedih,
"Tapi dia sudah meninggal setahun yang lalu," terang Hyun Bin KW.
Nina diam menatap simpati.
"Mengapa sama dengan dua hari yang lalu saat pulang ke Yogya. Seorang ibu mengatakan aku mirip anaknya dan juga sudah meninggal. Nama keretanya sama, ah jangan-jangan nomor tempat duduknya juga sama," batin Nina seakan semua terjadi secara kebetulan.
Nina langsung memeriksa nomor kursi.
"Ah syukurlah berbeda," batin Nina, "maaf, aku ikut berbela sungkawa," ucap Nina.
"Terima kasih. Sungguh suatu keajaiban ada orang yang memiliki garis wajah yang sama walau tak benar-benar sama," ucap si Hyun Bin KW, "senang bisa bertemu dengan Mbak," lanjutnya.
Nina membalasnya hanya dengan senyuman. Setelah itu hening menyela lama, Nina memilih untuk menyandarkan kepala dan menutup mata sebentar. Dia hanyut dalam tidur sampai si Hyun Bin membangunkannya saat sampai di Stasiun Solo.
"Sudah sampai," ucap Hyun Bin, lalu berdiri membantu Nina mengambilkan tas.
"Terima kasih. Senang bisa bertemu dengan Tuan Hyun Bin," ucap Nina lalu beranjak pergi.
Si Hyun Bin KW pun tersenyum malu, lalu membuntuti Nina keluar dari kereta.
Nina keluar dari stasiun lalu naik angkutan menuju kos-kosannya yang ada dekat kampus. Si Hyun Bin menatap sosok gadis yang sudah menjadi teman perjalanannya itu dengan tatapan misterius. Gawainya berbunyi.
"Ya, aku akan keluar. Tunggu sebentar," ucap si Hyun Bin KW saat menerima panggilan.
Pria itu berjalan keluar lalu melihat sosok Nina sudah masuk ke dalam angkot. Sebuah mobil putih berhenti di depan si Hyun Bin, lalu jendelanya terbuka.
"Lintang! Makin ganteng sekarang!" sapa seorang laki-laki dari dalam mobil.
Pria tampan yang mirip Hyun Bin itu pun tertawa kecil. Namanya Lintang, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang bertugas di Dresden, Jerman.
"Mirip Hyun Bin tho?" tanya Lintang beretorika sambil terkekeh, lalu masuk ke dalam mobil.
Temannya yang ada dalam mobil langsung ngakak mendengar ucapan Lintang yang narsis. Mobil itu pun berjalan menembus keramaian Kota Solo yang memberikan kesan mendalam bagi Lintang. Dia menatap angkutan yang berjalan di depannya. Senyum menghiasi bibirnya, karena Nina, calon istrinya, yang melarikan diri ada di dalam angkutan itu.