Hentaman keras kakiku menggetarkan seluruh kota Junon bagai gempa. Semua manusia menatapku terkejut hingga ke dalam tulang belulang mereka. Banyak diantara mereka yang kemudian menjatuhkan batu di genggaman tangan dan berlari ketakutan, tetapi banyak diantara mereka yang justru semakin marah dan mencoba melukaiku dengan batu-batu bodoh itu.
Aku menghempaskan semua batu tersebut dengan kibasan ekorku, sambil melirik pada Quina yang tersungkur penuh darah. Tidak bisa kumaafkan... Manusia-manusia ini, berani-beraninya mereka melukai temanku!
Tak lama, kelompok tentara pun datang dan mulai menembakiku dengan senapan-senapan mereka. peluru-peluru itu berusaha menembus tulang-tulangku, tetapi dengan darah yang keluar aku berusaha menahan semua itu untuk melindungi Quina. Tetapi, daging ada batasnya sebuah peluru pun menembus kulitku dan mengenai kaki Quina, diikuti jerit teriakan darinya.
"Hentikan!! Hentikan! Kalian tidak tahu apa yang kalian perbuat. Gadis ini, dia tidak bersalah. Rajamu lah yang telah mengkhianati Quina dan menjadikannya kambing hitam atas tragedi Hilfheim!" teriakku pada mereka.
"Diam, kamu iblis! Sekali mosnter tetaplah monster. Sungguh, Kinje akan lebih baik tanpa kalian, para Daemon!" teriak salah satu manusia, yang mengobarkan api-api kedengkian di antara manusia lain.
"Bunuh mereka!! Dewi Estelliese mengkhendakinya! Deus vult!" teriak yang lain.
"Deus vult! Deus vult! Deus vult!"
Sungguh gila, pemandangan yang kulihat lebih mengerikan dari apa yang kusaksikan di Hilfheim. Kegilaan para manusia, mereka yang menatap kami, ras yang setara mereka layaknya binatang yang tak pantas hidup. Aku tak bisa mengerti, kenapa? Bukankah sebelum hari ini, kami berdua tak pernah menyakiti mereka semua, malah kami berusaha untuk menyembuhkan penyakit mereka. Namun, mengapa kini kami diperlakukan seperti monster yang harus dibunuh?
Aku tidak mengerti!
"Terlalu lama!!" teriak seorang manusia mencabut pedangnya dan berlari ingin menebasku. Insting langsung membuatku secepat kilat mengarahkan jemari belatiku pada lehernya dan mencakar habis tubuh lemah itu. Kututp mataku, tak berani melihat apa yang akan terjadi. Sensasi asing segera merayap pada ujung jariku, ketika ia melewati daging demi daging, tulang demi tulang. Sensasi yang secara langsung merobek-robek hatiku. Selama hidupku... aku tak pernah melukai manusia pun, daemon pun. Namun... kini, situasi memaksaku harus melukai mereka!
Tetapi, ketika aku membuka mataku, kenyataan berbanding terbalik. Orang yang telah kucabik habis itu bukanlah seorang manusia tetapi justru orang yang seharusnya kulindungi. Quina.
Darah mengucur dari mulutnya yang terbuka, matanya melotot terkejut dan akhirnya tubuhnya pun terjatuh dalam palunganku. Oh, tidak-tidak, TUhan, beritahu aku, ini tidak terjadi bukan? Tidak-tidak-tidak! Aku tidak mungkin... Quina!
"Ti-Tidak... Quina? Quina! Kenapa..! Kenapaa kamu~?"
Dengan terbata-bata, Quina menjawabku, "Mata... dibalas mata.. Darah ditumpah darah, Claire. Tidak.. kamu tidak boleh... Jika kamu melakukannya... maka Daemon lain akan membayarnya."
"Jangan bicara! Aku akan menyelamatkanmu," kataku yang menaruh Quina di tanah dan melihat lukanya. Namun kekecewaan langsung menyambutku. Luka-luka yang telah kuberikan kepadaQuina... bukanlah luka yang dapat kusembuhkan. Perutnya terbuka lebar, paru-parunya jantungnya, semua terbelah... Darah telah mengucur bagaikan air terjun dan cepat tubuh itu menjadi dingin dan pucat. Quina pun... menghembuskan nafas terakhirnya.
Sudah telat.... tak ada yang dapat kulakukan.. aku-aku.aku telah membunuh Quina, temanku sendiri....! Dengan tangan ini... dengan tangan jahanam ini aku telahmencabik-cabiknya, aku telah-aku telah~!!
"Deus Vult!!"
Satu per satu manusia pun mengikutinya, berteriak Deus Vult dan mengepungku. Para Tentara segera mengelilingiku dan menembakiku tanpa ampun. Meskipun tubuhku mereka lukai, tetapi aku tak melakukan apa-apa. Tanganku gemetar melihat kekacauan yang telah kulukiskan.
Apa yang telah kuperbuat? Bukankah aku telah bersumpah dihadapan Tuhan, menyampaikan sumpahku sebagai seorang dokter yang akan menolong orang lain? Tetapi... aku telah membatalkan janji itu dengan membunuh temanku sendiri. Sungguh munafik, sungguh mengerikan aku. Benar kata-kata kerumunan ini, aku hanyalah monster. monster keji yang hanya tahu cara melukai orang lain. Tangan indah? Tidak... Tangan ini adalah tangan pembunuh, bukti darah telah mewarnainya. Aku bukanlah dokter, aku bukanlah penolong, aku bukanlah penyihir.. aku hanyalah seorang pembunuh!
Tiba-tiba ingatan masa lalu berbisik di kepalaku, suara dari sosok yang paling kutakuti di dunia. Ibuku sendiri, dengan manis berkata,
"Kamu... adalah citra ibu. Kamu dan ibu adalah bilah koin yang sama. Kamu adalah putriku."
Tidak-tidak-tidak-tidak-tidak! Eclair, tidak! Aku tidak sama dengannya. Aku...aku! Aku adalah Eclair, seorang dokter yang menolong orang lain. Aku melakukan ini semua demi menolong temanku. Ya, benar, semua demi menolong temanku.
"Apakah kamu yakin kamu benar-benar menolong orang lain? Bukankah kamu menikmatinya... membelah daging-daging dengan jemari belatimu?"
Tidak, kamu salah! Tidak seperti itu. Ini tidak kumaksudkan. Qui-Quina mengalangiku, aku hanya melindungi temanku dan nyawaku saja. Aku tidak menikmatinya, tidak-tidak-tidak.Aku-Aku...!
"Para manusia bodoh itu. Mereka yang telah membunuh keluargamu di depan matamu sendiri. Mereka yang telah meninggalkanmu sendiri di kota Hilfheim. Mereka yang selalu membebankan hal yang membuatmu tersiksa.
Sesungguhnya... kamu membenci mereka bukan?"
Berteriak aku begitu lantang, menepis suara iblis di kepalaku. Darah-darah yang tumpah di tanah pun mulai bangkit darinya, tak hanya milikku namun juga milik semua orang disana. Satu persatu yang masih berdiri pun tumbang, tak sadarkan diri. Beruntung tak melihat awan merah darah yang terbentuk menutupi langit. Sebuah lingkar sihir pun terbentuk disana, begitu besar berbentuk mata yang menatap rendah ke bumi.
Dan seketika...Aku terjatuh di tanah dan semua pun menjadi gelap.
Ketika aku tersadar, telah kutemukan diriku di tengah banjir darah dan mayat tak bernyawa, tercabik-cabik tanpa karuan. Tujuh pedang telah menembus tubuhku, ketika aku melihat sang Raja bertekuk lutut dihadapanku. Perlahan tujuh pedang itu pun jatuh, dan terang bulan merah membuat genangan darah di kakiku mencerminkan sosok apa aku menjadi. Tak hanya tanganku, tetapi juga wajahku, rambutku dan seluk beluk tubuhku, semua telah bermandikan dengan darah.
Aku telah berubah menjadi monster.
"Sempurna... sungguh sempurna. Perang besar akan pecah antara Daemon dan manusia. Dengan ini... Tao takkan mampu bergerak bebas. Kamu... sungguh adikku yang hebat, namun disaat yang sama bodoh," kata sang Raja.
"Se-semua ini... karena aku?" kataku tak percaya, melihat bulan merah di angkasa gelap.
Sang raja tersenyum, "Benar... semua ini karena salahmu. Ratusan orang yang mati disini, dan juga jutaan yang akan melayang beirkutnya, semua adalah dosamu seorang. Daemon Bulan!" teriaknya sebelum akhirnya terjatuh di dalam genangan darah itu. Tak bernyawa.
Bukan, kamu salah! I-Ini bukan aku. Bukan-bukan-bukan. Aku pun mulai berlari dan terus berlari, tetapi kemanapun aku pergi pemandangan merah itu selalu mengikuti. Aku terus menerus menolaknya, tetapi takdir telah menjerat leherku. Pada akhirnya aku pun tersandung jatuh dan berteriak, "Se-Se-Se-Seseorang... bunuh aku...!"
Tapi tak ada seorang pun lagi disana, mereka semua telah menjadi potongan daging tak bernyawa di atas genangan darah ataupun melarikan diri. Teriakanku hanya memantul di dinding hampa rumah-rumah yang tak bernyawa. Kuiris nadiku dengan jemari belatiku tetapi percuma, berkali-kali pun aku melakukan itu, dagingku akan dengan cepat sembuh.
Moo... semua sudah berakhir. Bila apa yang kulakukan di kota ini terdengar di penjuru dunia... perang antar manusia dan Daemon takkan terelakkan lagi. Jutaan nyawa akan menghilang. Anak-anak akan kehilangan ayah dan ibu mereka, pasangan akan terpisahkan, dan kota-kota akan dibumihanguskan. Semua...Smeua karena kesalhanku. Semua... karena aku tak mampu mengendalikan jantung asing yang berdetak dalam diriku. Semua... karena aku.... seorang monster.
Aku pun terus berjalan dan berjalan. Mengarungi padang pasir yang tiada akhir, melewati hutan yang terdalam. dari berjalan aku terus berlari, meninggalkan semuanya. Namaku, rumahku, kenanganku, semua sudah tak bernama lagi. Aku lari dan terus lari, tak mempedulikan janjiku kepada Raja. Tak peduli akan kegilaan yang ibuku lakukan dari kota ke kota. Aku hanya terus berlari dan bersembunyi dari masa laluku, dari takdir yang telah ditenun padaku.
Hingga akhirnya, langkah kaki membawaku ke kota Pei Jin. Aku telah pergi jauh dari utara, hingga mencapai selatan benua ini. Kelelahan jiwa maupun raga telah menguasaiku. Pada akhirnya... aku sudah tidak peduli lagi dengan Wabah Nyght, Tao, ataupun akhir dunia. Aku sudah tak peduli lagi tentang dosaku. Aku sudah tak peduli lagi tentang hidup dan mati.
Aku hanya ingin semua ini berakhir....
Siang malam aku selalu berdoa kepada Tuhan, agar ibu... berhasil melakukan penelitiannya. Sebab, disaat itu terjadi, maka takdir akan merebut jiwaku dan akhirnya... aku pun dapat berangkat dari dunia ini. Aku dapat lepas terbang dari mimpi buruk yang menghinggapi hidupku.
Tetapi, sepertinya hal itu hanyalah mimpi. Sebab takdir telah mengikatku dengan masa lalu terlalu kuat. Ia memberikanku cerminan keadaan di masa lalu, menawarkanku pilihan bagiku. Bocah perempuan itu mengingatkanku akan masa lalu, dia mengingatkanku akan alasan mengapa hingga hari ini jantungku masih berdetak. Dan karenanya... tanpa gadis itu sadari, dia telah memberikanku harapan.
Mungkin benar kata Tao, aku hanyalah seorang pembunuh sadis. Daemon bulan yang keji dan tidak dapat dimaafkan. Dalam kebodohanku aku telah menumpahkan darah banyak orang tak berdosa, membawa penderitaan dimanapun aku pergi. Tetapi... apakah salah seorang pembunuh ingin menyelamatkan seseorang, walaupun hanya sekali dalam hidupnya?
Aku... berharap Tuhan masih memberikanku kesempatan, meski hanya sekali lagi. Mungkin... itulah arti doa sepanjang malamku sebenarnya.
Kesempatan kedua. Kesempatan untuk menebus dosaku.