Perpaduan aroma bawang bombay dan bawang putih menari-nari di hidungku ketika mengaduk campuran bumbu di atas teflon dapurku. Derum lemak daging yang perlahan keluar oleh api sedang membuatku menganggukkan kepala mengikuti iramanya, menari kecil aku dalam senandung pelan sambil menusuk-nusuk kentang dan wortel di campuran tersebut. Ah, kentang dan dagingnya sudah lembut, serta kuah coklat yang kental itu mengeluarkan potensi penuh umami seluruh bumbu. Mantab, masakan pun jadi.
Aku menghidangkan masakan itu dihadapan Arthur dan Arielle, tak lupa dengan sebakul nasi yang telah kumasak sebelumnya. Kedua anak itu melongo canggung "Sungguh, kami tidak apa-apa memakannya? Ini daging loh, Claris. Daging bukannya mahal?" tanya Arthur kemudian.
"Emm, kalian lebih suka tempe? Kalau begitu tunggu sebentar ya," kataku.
"T-t-tunggu sebentar, sepertinya ada kesalahpahaman disini. Aneh, Claris. Apa yang kami perbuat sehingga kamu menjamu kami seperti ini?" tanya Arthur lagi.
"Pengalamanku bilang, sambil makan, obrolan biasanya jadi lebih santai dan nikmat. Apalagi aku liat kalian berdua ini kurus banget, kasihan aku," jawabku melihat keduanya dair ujung kaki ke ujung rambut, "Gapapalah, sekali-kali," lanjutku tersenyum mengambil lauk pauk dan nasi untuk piringku.
Arthur dan Arielle saling berpandangan, namun ketika melihatku makan dengan nikmat, dengan ragu-ragu mereka pun mengikutinya. Sekejap setelah mereka memasukan sendok penuh ke mulut mereka, cahaya pun kembali pada mata mereka yang lelah. Dengan cepat keduanya menghabiskan porsi mereka dan mengangkat piring mereka bersamaan berkata, "Boleh tambah?!"
Tertawa kecil, aku mengangguk dan membiarkan kedua anak itu amakn dengan lahapnya sampai perut mereka buncit. Sungguh, sudah berapa lama mereka tak pernah makan? Padahal masakanku rasanya biasa-biasa saja, tetapi mereka membuatnya seakan sangat nikmat. Aneh, dasar manusia, banyak hal yang tak kumengerti tentang kalian.
Anggap sajalah, ini investasi dan senyuman mereka adalah kepuasan bagiku sendiri.
"Jadi, cerita kalian sebenarnya apa? Seorang tentara dari Kinje dan murid dari Kinje di kota Pei Jin, kombinasi yang aneh," tanyaku sambil menuangkan teh ke kedua cangkir mereka, meskipun keduanya segan.
"Eh, seorang bangsawan segan? Ini hal baru," komentarku melihat tingkah Arielle. Biasanya bangsawan Kinje sangat congkak dan angkuh, sehingga membuatku ingin menempeleng mereka.
Arielle tersedak dan bertanya, "B-B-Bagaimana Dame bisa tahu?"
Kutunjuk iris mataku yang juga merah terang sepertinya, "Hanya Ellwind berdarah murni yang punya iris mata seterang milikmu. Katakan, dari keluarga apa kamu, Nong?"
Arielle menunduk sambil memegangi hangat cangkirnya, ragu. Tetapi Arthur memegang tangannya dan mengangguk menguatkannya. Setelah menggigit bibirnya sejenak, Arielle pun menjawabku, "Namaku, Arielle Melodia Gremory. Putri kedua Kerajaan Kinje."
"Oh, menarik," kataku sambil mencari kue dingin yang kusimpan di tong kulkasku. Perlahan kupotong kue pelangi itu menjadi tiga, sama besar dan sambil mengantarnya ke kedua anak itu aku bertanya, "Seingatku, Putri Kerajaan Kinje selalu dikurung dalam istana Ishtarin. Mereka tak boleh terlihat oleh siapapun, tak boleh melakukan apapun selain belajar menjadi calon istri yang baik. Dengan kata lain… tujuan hidupmu hanyalan menjadi pion pernikahan politik. Namun, kamu, seorang murid Universitas Edinburg dan asosiasi penyihir? Belum lagi, kamu telah menikah dengan rakyat jelata dan bertemu denganku disini. Beruntung sekali hidupmu."
Ah, sepertinya aku terlalu menekan gadis kecil ini sampai-sampai ia tak berani menatapku, "Ah, maaf-maaf, aku sudah tiga tahun tinggal di Pei Jin, norma blak-blakan disini menyerap sampai dagingku," kataku menenangkannya.
Arielle menggelengkan kepalanya, "Nggak apa-apa. Dame benar, aku sungguh beruntung telah memiliki Arthur di hidupku. Suamiku ini, sejak kecil sudah menjadi rekanku melarikan diri dari istana Ishtarin. Aku bisa belajar di asosiasi penyihir dan univ, aku bisa merasakan kebahagiaan layaknya anak perempuan biasa, semua karena Arthur."
"Waduh, Istriku membuatku melayang deh! Jarang-jarang kamu memujiku seperti ini," goda Arthur yang menghadiahinya cubitan dari Arielle yang tersipu-sipu malu, "Ini kali pertama dan terakhir kamu mendengarnya!" omel Arielle.
Pipiku memerah sendiri melihat tingkah pasangan muda di depanku. Astaga, anak-anak ini, tak sadarkah mereka telah memerkan cinta emreka dihadapan wanita jomblo tigapuluh tahun? Sambil tertawa aku kemudian langsung menembak, "Jadi, kamu dijodohkan dengan siapa?"
"D-D-Dame ini paranormal atau apa ya? AKu bahkan belum sampai ke inti cerita, tapi Dame sudah menebaknya," kata Arielle takjub.
Aku tersenyum. Sepertinya taktik makananku berhasil. Es diantara kami bertiga pun telah mencair dan kami dapat berbicara lebih terus terang satu sama lainnya. setelah meneguk teh hangatku aku menjawab, "Selama tiga ratus tahun, Raja George telah memerintah Kerajaan Kinje. Kehilangannya pasti membuat negara itu tidak stabil, apalagi dibawah tangan Pangeran sombong itu. Para opportunis siap untuk menumbangkan kalian, terutama negara tetangga. Pastinya, di jalan pikir para senat, menikahkanmu dan putri lainnya dengan negara tetangga adalah cara untuk mencegah hal itu terjadi, bukan?"
Arthur dan Arielle menganga tak percaya. Sepertinya tebakkanku tepat. Ah, Ecclarista, kenapa kamu tidak bisa menggunakan kemampuan analisismu ini di tokomu? Pastinya kamu takkan terjerat hutang seperti saat ini.
"Arielle… kamu tidak membenciku? Aku telah membunuh Raja dan membuat nasibmu seperti ini," tanyaku serius.
Arielle menggelengkan kepalanya mantab, "Nggak. sejak awal aku membenci Raja. Misalpun aku adalah anaknya dengan selir, tapi sekalipun ia tak pernah menatapku sebagai anak. Ia hanya melihatku sebagai alat, begitu juga Kakakku," jawabnya yang kemudian meneguk teh itu melanjutkan, "Dan benar, sesaat setelah kematian Raja. Kakak pertama segera ingin menikahkanku dengan Kaisar Axel, penguasa Heimskarr yang terkenal keji itu, tanpa peduli keinginanku."
Arielle kemudian menatap Arthur dan berkata, "Sepertinya, aku terlalu mencintai Arthur. dan demi bersamanya, aku tak peduli harus melepas semua statusku. Tetapi… Kakak pertama tidak menerimanya dan mengejar kami, hingga di kota Pei Jin ini. Karena aku, Arthur menjadi terluka."
Gadis itu kemudian menggambar lingkar sihir di atas meja makan dan memanggil sosok burung hantu yang begitu kukenal. Bulunya yang terlihat lembut dan gendut itu dengan mata besarnya, serta paruhnya yang dia gunakan untuk mematuk kepalaku, tak salah lagi. Dia adalah Burung hantu yang memanggilku untuk menemukan Arthur.
Arthur pun mengelus bulu burung hantu itu dan melanjutkan, "Kami menetap selama dua bulan di kota ini, setelah pelarian yang panjang satu tahun. Kota ini membuat kami takjub. Manusia dan Daemon hidup berdampingan? Keajaiban. Misalpun berkarakter keras dan suka menyemprot, aku tahu sebenarnya warga Pei Jin sangat peduli dengan orang lain dan saling melindungi. Itulah mengapa, kami berdua jatuh cinta dengan kota ini."
"Kota ini baik, asal kamu berduit," candaku, misalpun aku tahu bahwa yang dikatakan Arthur benar. Misalpun kamu bangkrut dan tak berduit, pasti ada seseorang yang akan menolongmu di kota ini. Memang aspek budaya ini yang unik dari Pei Jin, membuatku juga betah disini. Yaaa… terkecuali si gembrot Danius itu.
"Tiga hari yang lalu, prajurit Kinje menemukan kami. Kami berdua membuat mereka tidak sadar dan menyamar menggunakan pakaian tentara untuk menyusup ke markas mereka, berharap mendapatkan informasi tentang siapa yang memburu kami," kata Arthur layaknya prajurit bayaran berpengalaman, "Dan disaat itu, aku melihatnya. Mereka adalah tentara-tentara Kinje yang menyamar menjadi peneliti dan tenaga relawan. Disana pula aku mendengar rencana busuk mereka untuk mengambil alih kota ini dan mengusir seluruh Daemon," lanjutnya.
"Terus kamu menyerang markas itu dan akhirnya terluka hebat. boleh juga nyalimu, bocah," pujiku yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Arthur,
"Mereka sudah diserang oleh seekor Daemon. Tak ada yang selamat, satu pun," kata Arthur dengan tangan gemetar, "Daemon itu dengan mudah melacak kami berdua. Kami mengira bisa lari darinya, tetapi keanehan terjadi. Sihir tak dapat kami gunakan disekitar Daemon itu," lanjutnya.
Dengan wajah bersalah, Arielle kemudian melanjutkan, "Arthur… memberikanku waktu untuk melarikan diri. Dia melawan Daemon itu sendirian demi diriku. Aku, Arthur.. maafkan aku."
Arthur tersenyum dan mengacak-ngacak rambut Arielle dan burung hantu gendut itu, "Tanpa Hyousaburo, aku pasti sudah mati. Dia yang mempertemukan aku dengan penyelamatku, Claris. Dengan kata lain, kamu telah menyelamatkanku, Arielle."
Pemandangan di depanku terlalu manis untuk seorang jomblo tua sepertiku. Dengan canggung aku pun berdehem dan bertanya, "Bisa kamu jelaskan tentang Daemon ini? Dari ras apa dia? Tingginya? Rupanya? Mungkin aku mengenalnya."
Arthur mengangguk, "Aku masih ingat jelas, sebab saat masih aktif sebagai tentara, aku pernah melihatnya sekali di medan perang. Dia adalah prajurit legendaris Uni Erites yang menghilang dua tahun lalu. Tubuhnya besar dan saat itu dia membawa peti mati di punggungnya. Meskipun ubanan, kemampuan bertarungnya luar biasa. Namanya kalau tidak salah…"
"Daemon Taiga," lanjutnya dengan tangan gemetar.