Chereads / Bunga Lentera / Chapter 19 - Jejak Kegelapan (4)

Chapter 19 - Jejak Kegelapan (4)

Angin bagaikan belati, saking cepatnya Daemon Taiga melesat sambil memikulku di pundaknya. Aku tidak tahu apa yang membuat manusia macan ini berlari dengan cepat, tetapi segera aku mengetahuinya.

Aku melihat salju mulai turun, aneh pikirku, sebab saat itu masih musim panas. Dari kejauhan aku melihat, sebuah hawa berwarna putih berhembus cepat menuju kami. Setiap pohon ataupun hewan yang tak beruntung di dekat hawa itu... segera mati dan membeku tanpa mengerti apa yang telah terjadi.

Tiba-tiba sebuah pilar es pun melesat menghantam kami, tetapi dengan refleks kilat, Taiga menghindarinya dan langsung menaruhku di tanah. Dengan gesit ia menangkal hujan pilar es yang ingin menghantam kami dan malah menangkap salah satu pilar tersebut dan menghujamnya ke langit, membersihkan hawa putih dan menunjukan sosok naga raksasa bermata satu dengan sisik terbuat dari es yang lancip dan hawa dingin yang keluar dari sela-sela taring-taringnya yang mencuat mengerikan. Naga itu menatap kami dengan mata merah ularnya yang besar.

Pilar Es tersebut melesat mengenai mata naga raksasa sehingga ia terjatung dan mengerang kesakitan. Melihat kesempatan itu, Taiga segera menggambar lingkar sihir di tanah dengan darahnya, lalu menghantam lingkar sihir itu dan berteriak, "Identite!"

Dari tanah muncul 5 pasang boneka tanah yang perlahan mengambil wujud serupa dengan aku dan Taiga. Tanpa instruksi, kelima pasangan itu segera berlari di berbagai penjuru arah dan begitu pula Taiga, segera menggendongku dan melesat menjauhi naga itu.

Suara hentaman demi hentaman segera menyusul kemudian, begitu pula raungan sang naga es. Dari atas bukit, tempat Taiga membawaku, aku dapat melihat betapa mengerikannya sosok naga itu, sebab Naga itu sesungguhnya hanyalah sebuah kepala dari ratusan... tidak, ribuan kepala naga yang berpusat pada sebuah mata raksasa yang bergerak kesana kemari mencari kami. Kepala-kepala naga itu kemudian mengamuk dan menghantam seisi hutan, menyebabkan hutan yang awalnya lebat, kini hancur lebur dan beku.

"Anjrit, penyihir tua itu, tidak sedang bercanda," kata Taiga berhenti sejenak melihat monster tersebut, kemudian ia menatapku dan menyengir, "Hah! Sepertinya justru gadis bodoh sepertimulah, yang bisa menyelamatkan hidupku sekarang!"

Taiga membawaku ke sebuah kuil tua yang telah lama ditinggalkan. Aku mengenal kuil tersebut, sebab dari kamarku, aku dapat melihatnya. Kuil Dewi Nyght, sang Dewi Kematian. Dengan susah payah, Taiga membuka pintu raksasa kuil tersebut dan masuk kedalamnya, tak lupa menutupnya kembali.

Debu langsung menyambut kami berdua, membuatku sulit bernapas. Tetapi, Taiga tak mempedulikan kondisiku dan menyalakan lentera sihirnya, Bunga Lentera dan melihat patung-patung raksasa berjejer di sebuah singgasana raksasa yang megah. Meskipun tertutup oleh debu dan jaring laba-laba, tetapi aku masih dapat melihat sisa-sisa kemegahan kuil tersebut.

"P-Paman, ke-kenapa Paman melakukan semua ini? Apa salahku dan ibu?" tanyaku memberanikan diri.

Perlahan wujud Taiga berubah kembali menjadi Paman Taiga yang kukenal. Ia terlihat sangat lelah dan menyandarkan diri ke pintu gerbang raksasa itu sembari berkata, "Gadis bodoh sepertimu tidak bersalah, Nyonya Noctis pun tak bersalah. Target utamaku hanyalah para keparat Matrovska itu. Tetapi mereka menjebakku. Memancing Penyihir tua itu keluar dari lingkar sihirnya... adalah kesalahan."

"A-Apa maksud Paman?"

"Gadis bodoh, tak tahukah selama ini kamu tinggal di dalam penjara sihir yang menekan sirkuit sihirmu? Itu sebabnya, ketika kamu keluar dari penjara itu, kamu kembali ke wujud aslimu, seekor Daemon!" bentak Taiga yang menatapku dengan tajam.

Aku memekik ketakutan dan mengejapkan mata, tak berani menatap kenyataan. Namun, tanpa ampun, Paman Taiga langsung berkata kembali,

"Raja George dari Kinje telah lama menipu semua orang. Mereka mengatakan manusia dan Daemon berbeda, tetapi sesungguhnya kita semua sama. Daemon pada dasarnya hanyalah seorang manusia dengan sirkuit sihir yang berbeda. Tekan sirkuit sihir itu dan hasilnya, kamu akan menjadi sepertiku sekarang."

Daemon adalah manusia? P-Paman bercanda bukan? Bukankah Daemon adalah mahluk buas yang berhasil ditaklukan oleh manusia? Mereka adalah perwujudan kejahatan dunia yang menodai bumi ini.

Tetapi, perkataan Ibu kemudian bergema di kepalaku. Aku... adalah seorang manusia, tetapi kenyataan kini menunjukan bahwa aku... adalah seorang Daemon. Ibu selalu mengatakan kepadaku untuk memiliki kebaikan hati manusia dan tak pernah mengecam Daemon seperti buku-buku yang kubaca.

"L-Lalu... sebenarnya... siapa Ibu? Kenapa Paman Taiga begitu ketakutan dengannya?" tanyaku masih memejamkan mata.

Taiga menghela nafas panjang, "Aku pun baru tersadar setelah mencium bau itu... Mint dan Melati, bau kematian hanya satu orang yang memiliki bau seperti itu... Magistrat Tao. Pernah di dunia ini, hidup seorang penyihir yang sangat berbakat. Penyihir tersebut menemukan banyak sekali inovasi yang membawa berkah bagi dunia dan bahkan mengambil tangan dalam berdirinya kerajaan Kinje," cerita Taiga yang kemudian mengambil botol minum di sakunya dan segera meneguk sekali,

"Tetapi, tak selang beberapa lama, penyihir tersebut menjadi terobsesi dengan sesuatu, yang mendorongnya menjadi gila dan haus darah. Kabarnya jutaan orang kehilangan nyawanya demi ambisi penyihir gila itu. Hingga akhirnya, Raja George dan keduabelas Pangeran dan Putri Kinje, berhasil menghentikan penyihir itu dan mengurungnya dalam penjara sihir," lanjut Taiga yang kemudian menatapku dengan mata kucingnya,

"Ibumu... adalah sang Magistrat Tao. Tiga ratus tahun hampir genap... Ironi, aku ternyata telah dijebak menjadi pion Putri sialan itu untuk membebaskan monster itu ke dunia, sama seperti ramalan Putri August. Sialan!" katanya tertawa kosong.

Diriku yang masih kecil tak mengerti seucap pun perkataan Paman Taiga. Tetapi, sebelum aku dapat bertanya, tiba-tiba hawa dingin segera merambat menusuk kulit kami. Paman Taiga langsung menarik tanganku dan melompat menjauhi pintu gerbang. Cakarnya segera menyentuh leherku sembari ia menatap garang ke arah pintu gerbang.

DAR!!

Pintu gerbang itu dibuka paksa oleh kekuatan yang sangat besar, bersamaan dengan hembusan angin yang membekukan segala hal yang ia sentuh. Perlahan dari balik hawa putih itu melangkah dengan cepat, sosok wanita berambut panjang berwarna ungu.

Dia adalah ibuku, sang Magistrat Tao. Dingin dan tak berperasaan, menatapku tanpa rasa lega. Sebuah tongkat sihir dari es pun ia ciptakan dengan kilat dan dihunuskannya ke arah Paman Taiga.

"Kembalikan dia," kata Ibu singkat dan dingin, berbicara langsung ke pikiran kami.

"Jaga bicaramu, Tao. Jika tidak, kamu tahu apa yang akan terjadi pada Putrimu yang manis ini," balas Taiga mendekatkan cakarnya ke leherku. Sedikit dari kukunya menusuk kulitku hingga berdarah, membuatku meringis kesakitan.

"Apa yang kamu mau?" tanya Ibu.

"Sederhana. Biarkan aku pergi dengan damai dan kamu mendapatkankan anakmu kembali,"

"Kamu telah mencuri sesuatu yang tak seharusnya kamu curi. Hanya kematian tanpa rasa sakit yang bisa kuberikan kepadamu, Taiga,"

"Hah! Aku tetap mati apapun yang terjadi," gumam Taiga yang segera tertawa dan bersiap-siap merobek leherku dengan cakarnya, "Kalau begitu, tak ada pilihan lain. Maaf ya, Eclair. Jika kamu ingin mengutuk seseorang, maka kutuklah ibumu sendiri yang telah mengorbankanmu demi ambisinya!"

"I-Ibu!" teriakku berlinang air mata, berharap... sungguh berharap Ibu akan menyelamatkanku.

Aku ingin memejamkan amtaku dan kemudian terbangun dan mendapati bahwa semuanya hanyalah mimpi. Aku ingin melihat Paman Taiga bercerita kembali tentang petualangannya di penjuru samudra, aku ingin melihat Ibuku dengan uletnya membuat obat-obatan dari tanaman... aku ingin kembali ke hari-hariku sebelumnya.

Tetapi, sepertinya... ini adalah kala terakhir aku memejamkan mataku. Sebab Ibu pasti.. takkan-

"Baiklah, kamu boleh pergi, Taiga," kata Ibu.

Aku segera membuka mata dan melihat Ibu menurunkan tongkat sihirnya dan segala hawa putih nan dingin itu pun mereda perlahan hilang.

Taiga pun segera mendorongku dan berkata, "Tuh, kamu dengar? Kembali ke pelukan ibumu, Putri yang bodoh."

I-Ini benar-benar terjadi? Aku masih termangu tak percaya. Ibu... menyelamatkanku dan melepaskan ambisinya? Aku pun melangkah perlahan, tak percaya, menuju Ibu yang menatapku dengan matanya yang dingin. Seolah-olah mengatakan bahwa aku... hanyalah beban baginya.

Tetapi tiba-tiba, sebuah cahaya muncul dari tangan ibu ketika ia kemudian menarik tongkat sihirnya lagi dan mengarahlan energi sihir menuju Paman Taiga. Hanya saja... Paman Taiga jauh lebih cepat dari Ibu...

Sebab cakar-cakar itu telah menembus tubuhku.

"Kamu kira aku bodoh, Nyonya Noctis? Sejak awal... putrimu yang bodoh ini adalah kunciku untuk melarikan diri," olok Paman Taiga yang kemudian menendangku lepas darinya.

Tubuhku kemudian tersungkur di lantai. Nyeri telah merajai tubuhku hingga aku tak dapat merasakan apapun lagi. Bernapaspun tak dapat. Dingin yang muncul dari lantai kian meresap, mengambil panas tubuhku... dan perlahan pandanganku pudar.

Sempat aku melihat Ibu tetap menghunus tongkat sihirnya ke Paman Taiga... dan tak sedikit pun melihatku, putrinya, tersungkur bersimbah darah di lantai. Sungguh... kini aku pun tersadar... bahwa sejak awal, Ibu tak pernah menganggapku sebagai anaknya.

Lantas, bukankah seorang ibu seharusnya... melindungi anaknya sendiri?

Gelap menghampiri tubuhku, membawanya ke sebuah arus yang sangat kuat. Disana seluruh ingatanku saling bertabrakan satu sama lain, menciptakan kenangan yang tak pernah terjadi. T-Tidak, mungkin... dia membuat kenangan yang ingin kualami. Seorang ibu yang hangat dan penuh cinta dan sosok ayah yang selalu melindungiku.

Angan-angan itu memberikanku... rasa ketenangan dan bersamaan pula, penyesalan dan dengki. Kenapa... angan-angan itu tak dapat terwujud di dunia nyata?

Apa salahku sebenarnya... sehingga ibu memperlakukanku sedingin itu? Aku tak tahu...

Sebab mimpi itu kemudian hilang dan aku pun terbangun di dalam laboratorium Ibu, sendirian. Aku bangkit dari bak penuh cairan berwarna merah pekat dan langsung mataku menangkap bekas luka di dadaku yang telah mengering. Aku pun meraba dadaku dan merasakan denyut jantung yang asing.

Sebuah buku tergeletak di atas meja kerja Ibu. Chronostoria Sang Magistrat Tao dengan sebagian besar lembarnya... telah disobek.