Sesuai permintaanku, Arthur dan Arielle pulang ke rumah untuk beristirahat, meninggalkanku sendiri kembali ke kediaman Danius. Ketika aku sampai, Danius langsung memanggilku ke ruangan kerjanya. Ruangan yang penuh dengan trofi yang memberikanku nuansa perang Kinje dan Uni erites.
"Aku hampir lupa, Tuan adalah pensiunan tentara Uni Erites," gumamku sambil melihat sebuah senapan mesiu dengan pisau bayonet, kahs milik tentara negeri para Daemon.
"Desertir lebih tepatnya," kata Danius yang mempersilahkanku duduk di sofa bersampingan dengannya. Kami dipisahkan oleh sebuah meja kecil dengan pot bunga disana.
"Delapan belas tahun silam, Ibu Seraphina nyelamatin gue dari kematian. Dia seorang perawat dari kubu Kinje, seorang manusia dengan pandangan yang luas tentang dunia," kata Danius yang menyalakan cerutunya, sempat menawarkanku juga tetapi aku menolak, "Sungguh wanita yang luar biasa, istri gua tu," katanya memandangi foto keluarga yang terpajang di hadapan kami.
Disana, aku melihat Danius dan Seraphina berdiri dibelakang seorang wanita Ellwind yang cantik jelita duduk dengan anggun. Sejenak kuperhatikan bahwa Seraphina sudah besar, mungkin sudah tujuh belas tahun.
"Tuan berbicara seperti istri tuan sudah meninggal," kataku lagi.
"Memang, dia sudah mati. Tepatnya 2 bulan lalu, saat wabah penyakit aneh ini muncul," kata Danius menghembuskan asap mengepul dari mulutnya, "Helen adalah perawat pasien Wabah Nyght yang pertama."
Aku terhenyak dan segera berkata, "S-Saya turut berduka cita."
Danius terdiam sejenak, menghisap dalam cerutunya sebelum berkata, "Dia mati atas pilihannya sendiri. 'Pasien pertama Nyght adalah seorang manusia dan tak ada seekor pun Daemon mau menolong manusia di kota ini. Ketika mengetahui itu, Istriku berkata 'Tujuan hidupku adalah menolong mereka yang membutuhkan!' meskipun aku sudah melarangnya."
"Dan dia tak lama kemudian mati oleh penyakit itu... Meninggalkan seorang ayah yang payah sepertiku dan Seraphina," katanya dengan tawa yang pahit rasanya.
Rasa bingung menguasaiku. Kata-kata mengkhianatiku dan membiarkanku membisu. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan di situasi ini, sebab, Danius adalah seseorang yang kukira berhati bengis... namun melihat sisi lembutnya seperti ini, aku jadi sangat bingung.
Apakah menjadi orang tua dapat mengubah sifat seseorang hingga seratusdelapanpuluh derajat?
"Perihal hutang lu sama gua, anggap saja lunas jika lu tutup mulut tentang hari ini," kata Danius menatapku tajam.
Menunduk hormat aku segera berkata, "Atas kemurahatian Tuan, saya berterima kasih sangat." Namun kemudian aku melirik pada kucing tua itu dan bertanya, "T-Tetapi jika Tuan berkenan, apakah boleh saya bertanya. L-Lantas apa yang sebenarnya terjadi pada Seraphina?"
Butuh beberapa saat hening dan keringat dingin mengucur di dahiku sebelum akhirnya Danius menjawab, "Semua karena lelaki bajingan yang memulai wabah penyakit ini! Bajingan tengik itu berani-beraninya menipu keluarga gua dan menikahi putriku untuk meninggalkannya?"
Alis segera menekuk, seorang lelaki yang memulai wabah Nyght? Bukankah wabah ini disebabkan oleh Ibu sama seperti kota lain dan juga Hilfheim? Apa yang kucing tua ini bicarakan?
Danius menghela nafas panjang sebelum berkata lagi dengan muka geram, "Karena bajingan itu... Sera... Sera membunuh darah dagingnya sendiri! Putriku tidak dapat menanggung kebenciannya mengandung dari seseorang yang telah membunuh ibunya... karenanya,"
Wajah Danius kembali menunjukan wajah anak hilang yang kulihat tadi siang. Panik dan bingung, cemas dan khawatir, semua ekspresi itu bercampur aduk di wajah Danius yang bengis itu. Pertanyaan semakin menggusarkanku, seharusnya... seharusnya orang tua seperti ini kan?
Khawatir tentang anaknya, cemas tentang tingkah laku anaknya, dan pada akhirnya membimbing anaknya tiap langkah diam-diam. Ini... adalah bukti bahwa cinta orang tua adalah nyata, bukan?
Aku tak mengerti, sebab seumur hidupku aku tak pernah merasakananya. Sejak kecil aku telah dirawat oleh para pelayan dan hanya bertemu dengan ibu saat sesi studi di laboratoriumnya, itupun aku hanya diperlakukan seperti pesuruh. Ketika aku nakal, Ibu tidak menghukumku. Ketika aku terjatuh dan luka, Ibu tak tampak khawatir. Ketika aku takut, Ibu tidak sekalipun menenangkanku. Ketika aku sedih, ibu tak pernah memberikanku kehangatan.
Melihat Danius, hatiku semakin alam terasa hampa. Aku semakin menyadari kekosongan yang menggerogoti hatiku. Suatu ruang yang takkan dapat terisi kembali, sebab Ibu telah meninggalkanku sendirian saat aku berumur 10 tahun.
Karenanya... aku ingin setidaknya, melindungi cinta orang tua ini dengan kebohongan pahit yang akan kubawa hingga ke liang kubur.
"Itu.. bukan makhluk hidup. Yang ada di dalam rahim putri Tuan adalah mola hydatidosa.. uh, hamil anggur, jika Tuan pernah mendengarnya," kataku memijat tanganku.
"Hamil.. anggur?" tanya Danius bingung.
"Ya, itu tak pernah menjadi... sesuatu yang hidup. Hanyalah sesuatu yang muncul dari hasil konsepsi yang gagal dan menjadi parasit bagi inangnya. Jika tidak dikeluarkan pula, maka nyawa Madame Sera akan berada dalam bahaya," jelasku sambil menatap mata Danius dalam-dalam, "Putrimu tidak membunuh darah dagingnya sendiri, Tuan."
"T-Tapi, lu kenapa tiba-tiba berlari membawa dia keluar?" tanya Danius.
"Ah.... aku terlalu terburu-buru, Tuan. Sepertinya lama tak berpraktek, ilmu saya sudah mulai kabur-kabur. Tetapi, saat melihatnya diluar sejenak dan tak ada reaksi ledakan yang muncul, aku yakin, kristal tersebut hanya berisi jaringan Molla."
Danius terdiam sejenak, nafasnya tak beraturan. Hingga tiba-tiba ia membekap wajahnya dan berkata, "Syukurlah... syukurlah, jika itu benar. Putriku.. tidak tumbuh menjadi ayahnya yang payah ini.. Syukurlah... Helen, syukurlah."
Aku menelan ludahku, berpikir, ini yang terbaik bukan? Biarlah... rahasia ini kutanggung di punggungku, hingga aku mati nanti. Biarlah cinta orang tua dan anak ini tetap utuh oleh kebohongan putih, tanpa ternodai oleh kebenaran yang menyakitkan.
Tetapi aku tak ingin menyampaikan kebohongan ini langsung kepada Seraphina. Hatiku... tak sanggup untuk itu. Sehingga aku, sekali lagi, melanggar janji seorang dokter -tidak-, aku bukanlah seorang dokter lagi. Lencana Avalon telah lama kuletakkan di ruang kepala asosiasi. ini... adalah pekerjaanku sebagai seorang penyihir, terlepas dari kode etik yang membelengguku.
Meskipun... kata-kata itu hanyalah alasanku saja, untuk menenangkan hatiku yang tersayat oleh kebohonganku sendiri.
Sore telah menyambut, ketika aku selesai membersihkan peralatanku dan pamit pulang kepada Tuan Danius di halaman rumahnya. Danius yang seringkali menunjukan wajah garangnya kepadaku, kini tersenyum lembut. Dibalik jendela lantai dua, aku dapat melihat Sera menatapku dibalik jendela.
"Kalau begitu, saya pamit dulu, Tuan Danius," kataku menunduk hormat.
"Tunggu, Claris," kata Danius yang kemudian meronggoh saku dan memberikanku sebuah surat, "Bila hati lu tergerak, tunjukan surat ini ke garda depan wabah Nyght... Mereka pasti akan menerimamu, soalnya dokter mahir kayak lu pasti sangat dibutuhkan."
Aku tersenyum, "Tuan, Saya... bukan seorang dokter lagi. Lencana Avalon telah saya tinggalkan di Kinje. Kini, saya hanya seorang Chemo-ika sederhana di kota Pei Jin," jawabku
"Apabila Helen bertemu lu, dia pasti bilang begini. Meskipun pekerjaanmu bukan lagi seorang dokter, tetapi hatimu masih menjadi seorang dokter. Di dalam hatimu, masih ada dorongan untuk menolong orang lain," kata Danius menaruh surat itu kepadaku.
Kata-kata Danius membuat mataku terbuka. Belenggu yang selama ini mengikatku perlahan hancur menjadi debu. Sesungguhnya... penebusan yang ingin kudapatkan selama ini telah berada di dekatku. Sebab, aku selama ini selalu menipu hatiku sendiri dan mendiamkannya dengan alasan bahwa aku bukan seorang dokter lagi. Tetapi ketika seseorang membutuhkan bantuanku, aku... secara natural, seperti bernapas... ingin membantu mereka.
Tanganku gemetar ketika menerima surat itu, tak hanya karena kata-kata Danius, melainkan kebaikan hati yang keluarga ini berikan kepadaku. Meskipun aku telah membohongi mereka.
Setelah pergi dari Kediaman Danius, aku mampir di kuburan kristal itu. Disana aku melihat kembali surat yang diberikan Danius, sebelum menyayat nadiku dan menumpahkan darahku ke tanah.
"Bila engkau ingin hidup, maka capailah darah ini. Hanya sekian yang dapat kuberikan kepadamu... untuk penebusan kebohonganku," kataku yang mengelus tanah itu dengan rasa kasihan, "Jun Andaru. Itulah... namamu, Nak."
Ini adalah yang terbaik, pikirku membohongi diri. Sebab hatiku tak mampu menanggung kebohongan yang akan kutekuni hingga akhir khayatku.