Hmwaaahh, kuregangkan tanganku dengan puas. Setelah begadang semalaman, aku akhirnya dapat mengejar order yang menumpuk setelah 3 hari aku tertidur... dan juga beberapa obat-obatan untuk mensuplai Klinik Oe selama 3 hari kedepan. Kulihat Luciel yang tertidur di dipan panjang, nyenyak diantara buku-buku dan selimut hangat meskipun dalam laboratoriumku.
Lihat siapa yang menawarkan bantuannya, tapi kini tertidur? Tersenyum aku melihat tingkah anak itu. Meskipun ia telah menjadi seorang Anima, tapi kebiasaan lama sulit dilupakan. Aku pun juga seringkali mengantuk setelah 3 hari lewat, meskipun secara teori tubuhku tak memerlukan tidur lagi.
Duk, duk!
Terdengar langkah kaki turun dari tangga. Dari balik pintu lab, sosok cantik berambut putih mengintip. Aku pun menaruh kacamataku dan bertanya,
"Maaf, aku membuatmu terbangun, Putri Arielle?"
Arielle menggelengkan kepalanya, "Nggak, Madam. Aku memang terbiasa bangun jam lima," jawabnya yang kemudian melihat Luciel tertidur. Seolah-olah lega wajah yang ia tunjukan kepadaku.
"D-Dame melihatnya bukan?"
"Melihat apa?" kataku yang pun memastikan Luciel tertidur
Arielle terlihat gemetar ketika menjawab, "Bayangan itu... Putri Annabella."
Ah, tentang itu rupanya. Sosok gelap yang muncul dari bayangan Arielle kemarin sore, yang berusaha melahap tubuh gadis muda itu. Penasaran, aku pun menarik kursi lab dan meminta gadis itu duduk disampingku.
"M-Maaf, aku nggak memberitahukannya kepadamu. Tapi aku mohon, jangan karena aku... kamu mengusirku dan Arthur dari rumah ini," pintanya, "Sama seperti tuan rumah kami sebelumnya, yang mengusir kami karena tahu... aku dapat menggunakan sihir nekromantia," lanjutnya.
Tersenyum kecil aku membelai lembut kepala gadis itu, "Loh, justru aku yang terkejut kalian mau tinggal bersamaku, monster abadi ini. Aku jauh-jauh lebih mengerikan dari nekromanser. Hidup pun tidak, mati pun tidak," jelasku.
"Nggak! Madame bukan monster. Nggak ada seorang monster yang berbaik hati mau menolong Arthur saat orang lain tak mau menolongnya."
Aku mendengus tersenyum, sungguh gadis yang baik. Namun, sayang sekali, sebuah parasit gelap dan busuk melekat erat di dalam jiwanya. Begitu dalam hingga aku pun tak dapat merasakannya, sebelum ia menunjukan dirinya.
"Sejujurnya... Putri Annabella adalah mentorku saat kecil. Tetapi, semua itu hanyalah kedok baginya unutk mengambil tubuhku. Dia memasang kutukan di tubuhku. Pada hari ulang tahunku yang kedelapanbelas, ia akan dilahirkan kembali dalam tubuhku," kata Arielle.
Putri Annabella, nama yang sampai sekarang membuatku merinding. Ia adalah putri ketiga kerajaan Kinje yang meneliti tentang Quartz, namun pada akhirnya jatuh dalam kegilaan. Dan dalam kegilaan itu, ia menarik banyak jiwa tak berdosa bersamanya.
Ketika kamu menatap Gehenna, maka ia pun menatapmu balik. Mungkin itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan Putri Annabella.
Putri Annabella berusaha menciptakan Quartz dengan meniru metode para leluhur, dengan mengorbankan tak terhitung jumlahnya babu Daemon ataupun tahanan perang. Tetapi, tak satupun penelitannya yang membuahkan hasil. Batu yang ia ciptakan memiliki defek yang membuat mutasi tak terkendali dalam tubuh seseorang. Alhasil... banyak yang kemudian mati dan tak bersisa, setelah sel-sel tubuhnya membelah tanpa terkontrol.
"Selama tujuh tahun aku berusaha menahan tangan gelap Putri Annabella, tetapi akhir-akhir ini... aku dia semakin kuat. T-Tinggal delapan belas hari lagi, sebelum aku berumur delapan belas," kata Arielle gemetar, digenggamnya tanganku dan bertanya, "Dame Claris, a-apakah ada cara untuk melepaskan kutukanku ini?"
"Aku... tidak bisa membantumu," jawabku jujur, "Bila itu penyakit fisik atau penyakit sirkuit sihir, maka dengan sihir ataupun obat-obatan, aku bisa membantumu. Tetapi kutukan yang mengikat jiwa hanya dapat disembuhkan dengan meminta sang pengutuk mencabutnya," lanjutku.
"Tapi Putri Annabella sudah lama mati," sambung Arielle tersenyum pahit.
Tatapan matanya yang penuh dengan rasa kesedihan itu membuat hatiku terenyuh. H-Harusnya tak kulambungkan harapannya, tetapi hatiku tak tega melihatnya menderita seperti ini.
"Tapi, bila kita bisa menggunakan sihir waktu, maka kita dapat bertemu kembali dengan Annabella dan memintanya melepas kutukanmu," jawabku.
"Sihir waktu? Bukankah Prof. Asherune mengatakan sihir waktu hanyalah magnum opus dan tak seorang pun dapat melakukannya, Dame?"
"Bila kamu memiliki cukup sihir untuk mendistorsi aliran ruang dan waktu, membuat sebuah lubang disana dan masuk ke Serat Akasha, kamu bisa melompat ke alter realta atau realita lain," jelasku, hanya menyebutkan apa yang tertulis dalam chronostoria Ibu.
Arielle memegang kepalanya bingung, "T-T-Tunggu dulu, Serat Akasha? A-Apa ini, aku baru pertama kali mendengarnya, Dame," tanya Arielle.
"Tempat ditenunnya takdir seluruh makhluk hidup di bumi, dimana hukum duniawi tak berlaku disana. Tempat yang dalam kitab suci disebut tempat peristirahatan terakhir sang Dewi penghancur, Estelle. Tempat yang memiliki kemungkinan yang tak terhingga. Nama tempat itu adalah Serat Akasha," jelasku.
Aku pun melanjutkan sambil memalingkan pandang mataku, "Ada seseorang yang akhirnya berhasil mencapai Serat Akasha dan dia... sedang berada di kota ini ".
Sinar mata Arielle kembali terang, bersamaan dengan eratnya genggaman tangan gadis itu, "Sungguh? Siapa orang itu?"
Aku menganggukkan kepalaku, tersenyum penuh rasa bersalah, "Dia adalah... Ibuku. Sang Dewi kematian dan pencipta wabah Nyght," jawabku.
"Sang dewi kematian... dan ibu Dame Claris...? T-Tunggu dulu, Dame tidak sedang bercanda?" tanya Arielle tidak percaya.
"Kamu pasti mendengar namanya. Amelia Sonata'o Noctis, Sang Magistrat Tao. Sebab, Putri Annabella pasti memberitahumu tentang peneliti gila yang mengubah anak perempuannya sendiri menjadi monster," kataku yang kemudian berdiri.
Kupanjangkan taring-taringku dan pula cakar-cakar belatiku. Tubuhku meninggi hingga tiga meter. Tulang-tulangku pun mengeras dan menembus kulitku, menjadi baju zirah yang penuh dengan tanduk mengerikan. Mata ketiga dan keempatku pun terbuka, mengubah warna sklera putihku menjadi hitam. Dihadapan gadis itu aku menunjukan sosokku sesungguhnya. Musang putih tak berekor, yang mengamuk di Junon tujuh tahun yang lalu.
"Setelah melihat wujudku ini, apakah kamu sekarang percaya, Arielle?" kataku menahan getar suaraku agar Luciel tak terbangun.
Arielle gemetar ketika menatapku, tetapi ia pun berdiri dan menyentuh jemari belatiku. Segera aku mnarik tanganku dan berkata, "J-Jangan sentuh tanganku, sebab dengan tangan ini telah berlumuran darah mereka yang tak berdosa."
"Hanya kamu tak mengingatnya, sebab sang Dewi Kematian telah mendistorsi waktu dan mengubah realita. Tetapi aku masih mengingatnya. Detik demi detiknya," lanjutku yang kemudian menyusutkan tubuhku kembali ke wujudku semula. Dengan sigap segera aku menenun kain sihir dan menutupi tubuhku.
Tersenyum canggung aku pun berkata, "Kamu boleh memilih untuk percaya atau tidak, sebab hanyalah ini bukti yang dapat kutunjukan."
Arielle menggelengkan kepalanya lagi, "Dame Claris tak memiliki alasan untuk membohongiku. Dan lagipula, meskipun hanya setitik kecil cahaya harapan yang ada, aku ingin mempercayainya," katanya.
Ditatapnya aku dengan mantab, "Aku ingin bertemu dengannya."
Kaget dengan niat Arielle, dengan terbata-bata aku menjawab, "A-Aku hanya menduga saja bahwa ibu ada di kota ini. Hanya sedikit petunjuk yang kumiliki untuk mencarinya, yakni menemui sang Daemon Taiga."
"Kalau begitu, ijinkan aku membantu Dame Claris mencarinya!"
"E-eh, sungguh kamu mau membantuku? T-Tapi, meskipun ketemu, belum tentu Ibu mau membantumu," jelasku.
"Meskipun begitu, lebih baik melakukan sesuatu daripada diam saja."
"B-Baiklah, kalau kamu ngotot begitu. tapi... aku tidak bisa menjanjikan apapun kepadamu ya," kataku yang kemudian menghela nafas panjang,
"Tapi aku mau kamu berjanji satu hal kepadaku. Bilamana nyawamu terancam, aku ingin... kamu memprioritaskan hidupmu, mengerti?"
Arielle menganggukkan kepalanya. Entah dia mengerti dengan benar resiko yang akan dia hadapi. Melihat kekejaman yang Ibu lakukan...
Aku tak yakin masih tersisa hati manusia di dalam dirinya.