Kakiku menolak untuk bergerak, meskipun hatiku memaksanya. Meskipun aku tahu dibalik pintu itu berada orang yang selama ini kucari, namun sesuatu menahanku. Keraguan dan gugup? Tidak... perasaan mencekam ini lebih pada ketakutan.
"Loh, kenapa tidak bergerak? Kamu sendiri to yang mencari ibumu? Paman takkan macam-macam lagi kok," kata Taiga mengacak pinggangnya.
"T-Tunggu dulu, kenapa sekarang Paman bekerja untuk Ibu?" tanyaku curiga. Sebab, sulit bagiku untuk percaya setelah malam itu keduanya akan bekerja sama.
Tertawa, Taiga berkata, "Pertanyaan bodoh. Ya jelas karena duitlah. Kau kan tahu, Paman seorang yang pragmatis. Asal ada duit, dan duitnya gede, disitu paman berada."
"T-Termasuk menipu Madame Seraphina?"
Senyuman itu pun lenyap digantikan tatapan tajam kepadaku, "Kenapa kau tahu tentang Sera?"
"Taiga. Biarkan Eclair masuk."
Suara dingin itu membuat sekujur tubuhku merinding. Meskipun sudah tak mendengarnya selama bertahnn-tahun, namun aku takkan melupakan suara dari Ibuku sendiri.
S-Sungguh... dia sungguh-sungguh berada di dalam jangkauanku. Setelah bertahun-tahun menghilang, setelah aku berhenti mencarinya saat kecil, kini layaknya sihir... dia hanya sejauh langkah dariku.
Mendengus, Taiga mendekatiku dan mendorong tubuhku. Perlahan dia membuka pintu berat itu. Ditendangnya pantatku hingga aku pun masuk ke ruangan itu sebelum dia mengacungkan jempol menutup pintu itu.
Belum siap hatiku, mataku langsung melihat ruang singgasana megah terbuat dari es yang kemilauan oleh sinar batu Quartz raksasa diatasnya. Di ujung barisan puluhan patung ksatria es, duduk di singgasana sesosok wanita anggun berambut ungu panjang hingga mencapai lantai. Begitu cantik parasnya hingga mengalahkan keindahan langit malam maupun sinar mentari pagi. Semerbak tipis bau mint dan melati kucium, membawaku seakan kembali ke kediaman Noctis.
Tetapi wajahnya yang beku layaknya es itulah yang jelas mengingatkanku akan sosoknya... yang tak pernah berubah meskipun tahun demi tahun berubah. Amelia Sonata'o Noctis, sang Dewi Kematian dan pula... Ibu yang membesarkanku.
"Lama tak berjumpa," katanya setelah melihatku. Tak setitik pun haru ia tunjukan ketika menemuiku, putrinya yang tak ia jumpai bertahun lamanya.
"Bagaimana kabarmu? Kamu tampak kurus. Apakah kamu makan dengan benar?" tanya Ibu.
Ada puluhan pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada Ibu. Tetapi setelah bertemu dengannya secara langsung... lidahku kehilangan kata-katanya.
"Kucing mencuri lidahmu?" kata Ibu yang kemudian berdiri dan mengibaskan tangannya.
Dalam sekejap tumbuhlah rerumputan di tempat itu, diwarnai oleh pepohonan dan semak-semak berbunga. Dengan mudahnya Ibu mengganti singgasana es itu menjadi taman bunga yang mengingatkanku akan taman di rumah kami dahulu.
Sebuah meja dan dua kursi menanti kami di tengah taman itu, lengkap dengan teh dan kue yang terlihat lezat. Ibu pun duduk disana dan menutup matanya, menungguku ikut duduk dihadapannya. Seperti saat kami menghabiskan sore bersama, ketika tidak sedang mengerjakan lab.
Dengan ragu aku mengambil tempat duduk itu, melihat Ibu dengan tenangnya meminum teh. A-Ayo, Claris.... K-kamu akhirnya bertemu dengan dia! Jangan cemen, ayo katakan sesuatu!
"K-Kemana Ibu selama ini?" tanyaku. Aih, kenapa malah itu yang kutanyakan. Kota Pei jin porak poranda tapi kok kamu malah nanyanya begitu sih. Claris, Claris!
Wajah ibu terlihat terkejut ketika mendengar pertanyaanku. Entah apa yang ia pikirkan. Tetapi dengan cepat ia menyeruput tehnya kemudian menjawab dengan terus terang, "Aku mengumpulkan batu Quartz di penjuru dunia."
"D-Dengan mengubah nyawa orang tak bersalah? K-Kenapa Ibu melakukan itu?"
Dia menatapku dengan matanya yang hitam pekat tanpa berkedip sekalipun,
"Untuk mengembalikan waktu. " jawabnya dengan ringan yang kemudian melihat air wajahku dengan seksama, "Sepertinya kamu tahu. Wajahmu tak sedikit pun terkejut," lanjutnya.
"Aku merasakannya... Ibu mengubah sejarah saat aku mengamuk di Junon, bukan? Untuk apa Ibu melakukan itu?"
Ibu menghela nafasnya dalam dan memetik sebuah bunga dari semak-semak disamping kami. Bunga mawar berwarna putih. Sembari melihat kecantikan bunga itu, ibu berkata, "Adalah tugas orang tua untuk membersihkan kesalahan anaknya."
"O-Orang tua? Setelah meninggalkanku saat kecil? Setelah menyebarkan wabah mematikan di kota tempatku bekerja? Itukah orang tua bagimu, Ibu?"
"Kenapa kamu bertanya demikian? Aku tidak mengerti. Mengapa kamu berkata seolah-olah kamu tidak ikut ambil andil dalam semua ini? Bukannya kamu juga mengubah Hilfheim menjadi Quartz? Apa bedanya apa yang kamu denganku sekarang?"
Aku membekap wajahku dan berkata, "Ya, Ibu tak mengerti," entah mengapa air mataku mengalir. mungkin, perasaan yang selama ini kupendam akhrinya dapat kucurahkan... kepada dia yang membuat gerumul dalam dadaku ini. Ah... biarlah, untuk kali ini, emosi menguasai diriku...
"Semua ini takkan terjadi bila ibu ada disampingku!" teriakku.
Rasa sakit di dadaku semakin menjadi-jadi. Maupun perkataanku terdengar egois, maupun apa yang kukatakan terkesan kekanak-kanakan, tapi aku tak peduli. Aku ingin ibu mendengarnya... perasaanku sesungguhnya.
"B-Bila hari itu ibu tak pergi, m-maka aku tidak perlu menangis sendirian ketika aku dihina dan diinjak-injak di akademi. Bila ibu ada disisiku, maka aku takkan pergi ke Hilfheim dan kehilangan hal penting dalam hidupku. Bila ibu ada disampingku.. aku-aku takkan-"
Dingin kurasakan, menyentuh pipiku dengan lembut. Ibu mengusap air mataku dan menatapku dengan dalam. Tetapi, mataku tak percaya ketika melihat senyum melengkung di wajah ibu bersama dengan air mata yang mengalir beku di pipinya.
"Karena air matamulah... ng, tidak. Karena keinginanku melihatmu tak pernah menangis lagi... adalah alasanku melakukan semua ini. Aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai," kata Ibu yang kemudian mengelus rambutku dengan lembut, layaknya aku ini masih seperti anak kecil saja.
"Sebentar lagi... ibu memiliki cukup sihir untuk mencegah semua ini terjadi," katanya.
"Dengan mengubah Pei Jin menjadi Quartz? T-Tidak, aku takkan membiarkan ibu. Aku akan menghentikan ibu, meskipun itu adalah hal terakhir yang kulakukan di dunia!"
Matanya menatap tanganku yang memiliki tato bersinar. Tanda perjanjian suci, Aubade, yang kuikrarkan dengan Raja George.
"Ya, bila semua telah selesai. Maka... aku ingin kamu menepati janjimu. Sampai saat itu telah tiba, kita akan bertemu lagi," kata Ibu.
Tiba-tiba hawa dingin masuk ke taman itu, mengeringkan segala tanaman disana. Hawa dingin itu semakin tebal, membuatku segera berdiri dan ingin meraih Ibu. Tetapi tepat ketika aku meraih tangannya, ia menghilang bagaikan kabut.
Apa maksud perkataan Ibu? Menepati janjiku? Janji yang mana? Aku tak mengingat sekalipun. Dan apa maksud ibu 'mencegah semua ini terjadi'? Apa yang sesungguhnya Ibu ingin lakukan?
Sungguh kesal aku pada diriku sendiri. Mengapa ketika Ibu telah pergi, baru otakku bekerja! Mengapa baru aku dapat memikirkan apa pertanyaan yang ingin kusampaikan kepadanya, setelah ia tak lagi ada disisiku?
Aku pun terjatuh dan memukul-mukul kepalaku sbeelum hawa dingin itu menutupi segala pandanganku. Dan gelap... kembali muncul menguasai hariku.
Saat aku terbangun, aku menemukan diriku tertidur di depan tokoku yang ajaib masih bertahan. Ketika aku masuk kedalamnya, seorang anak kecil melompat dan memelukku. Isak tangis pun pecah ditemani pelukan yang begitu erat.
"Bunda kemana saja? J-Jangan pergi, Bunda! Luciel tak ingin sendiri lagi!" rengek Luciel.
Melihat Luciel aku pun teringat saatku menangis dihadapan Ibu. Sungguh... meskipun usia telah melewati anak-anak, di dalam diriku aku masih sama seperti Luciel. Aku hanyalah Eclair kecil yang bodoh, yang selalu merindukan kehadiran Ibunya setiap hari... setiap musim berganti... dan setiap tahun berlalu.
Mengerti perasaan Luciel aku segera berlutut dan memeluknya dengan erat. Sebuah pelukan erat yang ingin kuberikan apda diriku yang masih kecil. Aku tak ingin melepasnya, aku tak ingin melihatnya bersedih lagi, segala perasaan memporak-porandakan kepalaku.
Tetapi semua itu menyimpul dengan kuat di kepalaku sebagai suatu kaliat, "Aku ingin melindungi gadis kecil ini... anakku." pikirku. Kalimat itu semakin membulatkan tekadku untuk menghentikan rencana Ibu dan menyelamatkan kota ini.
Meskipun... mengorbankan hidupku sendiri.