Ketika aku membuka mata, sebuah korden berwarna ungu menyambutku. Terang kilat menyusup lewat jendela, menyinari ruangan tempatku tersungkur. JDER!! Telat sekali suara guntur itu, sebab jantungku sendiri sudah kaget melihat dimana aku berada sekarang.
"I-Ini... kamarku?" gumamku.
Bukan kamarku di toko kimia sihir Claris... tetapi ini adalah kamarku di Kediaman Noctis. Sudah bertahun-tahun aku tak kembali ke ruangan ini. Tata letaknya almarinya yang ada disamping tempat tidur raksasa, selalu terlihat aneh. Lukisan petani menyemai lahan itu tetap membuatku bertanya-tanya, sebab untuk apa lukisan itu disini, ketika kediaman Noctis terletak di tengah hutan tanpa ladang apapun disana. Kamar aneh, yang Tao bersikeras padaku tidak mengubahnya.
Namun, korden ungu mahal dan jendela ini selalu kuingat. Sebab tiap malam aku selalu melihat keluar jendela, seperti ini... mengharapkan langit luas diluar sangkar Kediaman Noctis.
Tetapi Arthur tak dapat kutemukan dimana-mana. Hatiku lega rasanya, tidak harus berurusan dengan siluman aneh itu.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, namun ketika aku menoleh tak ada seorang pun yang membuka pintu itu. Hanya saja, jiwaku seolah terpanggil oleh rasa penasaran.
Aku pun berjalan keluar dari kamarku, disambut oleh lorong panjang dengan puluhan jendela menantiku dan korden ungu melambai-lambai seperti memanggilku. Aku menghela nafas. Tak ada pilihan lain... aku harus melewati lorong mengerikan ini. Semoga saja tak ada hantu yang tiba tiba melompat membuatku kaget.
Aku berjalan melewati berbagai lukisan. Aku mengenal lukisan itu, mereka adalah para kepala pelayan yang dilukis oleh Tao, tepat sebelum mereka pensiun. Semuanya penuh ubanan, tetapi tersenyum dengan tulus pada sang pelukis. Seolah-olah mereka sangat puas hidup di dunia ini, mengabdi pada Tao.
Hingga akhirnya, lorong itu berakhir pada sebuah pemandangan ganjil. Sebuah kanvas kosong di depan sebuah pintu berwarna merah. Daribalik pintu itu aku mendengar suara orang bercakap-cakap.
Kucing penasaran akan mati, itu perkataan Tao setiap kali aku bertanya hal yang aneh-aneh... terutama tentang masa lalu Tao. Tetapi kali ini, aku ingin melanggar pepatah itu dan membuka pintu merah ini.
"Astaga, aku kira kamu membawa seorang Anima kepadaku. Tetapi kamu malah membawa seorang bocah kepadaku, Putri Annabella," kata Tao dengan gaun hitamnya yang anggun duduk di sofa yang selalu ia gunakan kala membaca buku di ruang belajarnya. Saat itu Tao berbicara kepada seorang perempuan manusia berambut putih dikepang dua dan seorang bocah rubah dengan ekor yang terlihat lembut sekali... menggemaskan.
Sepertinya mereka tak menyadari aku disini... tidak, lebih tepatnya, akulah yang tidak ada disini. Rasanya, Aku seakan-akan berada dalam sebuah photomagia.
Wajah Tao... seperti biasa selalu terlihat dingin dan beku, tetapi aura yang ia pancarkan berbeda dari yang kuingat. Dari matanya masih bersinar terang harapan. Manusia perempuan berkacamata itu... Tao panggil sebagai Annabella? Sungguh, apakah perempuan yang tampak lugu ini... Putri Annabella si gila?
Dan... bocah rubah itu... terlihat tidak asing. Dia mirip sekali dengan foto perempuan rubah yang aku lihat di kantor Tao.
"M-Maafkan saya, Duchess. Tetapi, meskipun masih kecil, anak ini adalah mutasi antara Daemon dan Anima. Seekor Malice, makhluk yang katanya menandingi para dewa-dewi. Biar saya tunjukan," kata Annabella, mengibas rok gaunnya dan mengambil sebuah belati.
Tetapi Tao segera menunjuk pisau itu dan membekukannya hingga membuat Annabella terkejut dan melemparnya ke depan kakiku.
"Jangan sakiti anak ini lagi. Dia sudah bernasib buruk datang kemari, jangan buat dia lebih menderita dari ini," tegur Tao.
"B-Baik, Duchess!" kata Annabella yang menunduk hormat.
Sebuah senyuman melengkung di mulut Tao, sebuah pemandangan yang menyihirku tak percaya, "Apakah kamu lapar?" tanya Tao pada anak itu.
Aku tercengang... Sungguh, Tao tersenyum?! Pasti ini semua ilusi.
Anak itu menggeleng kepalanya, begitu pula Annabela saat Tao memperhatikan anak itu dengan seksama. Keberanian anak itu menatap Tao membuatnya terkejut.
"Kamu tidak takut padaku, bocah?"
"Kenapa harus takut? Nona Anna sangat baik padaku. Dengan setetes darahku saja, dia telah memberiku banyak makanan enak!" kata bocah itu dengan ceria.
Tao menatap Annabella dengan tajam, "Darah...? Tunggu dulu, dimana kamu menemukan bocah ini?"
Annabella menjawab dengan gugup, "S-Sebelumnya, saya mendengar bahwa pasar babu menemukan makhluk aneh yang tak dapat terluka. Mereka memparade anak ini dengan menyiksanya di depan umum. S-saya merasa tak tega, dan algipula, sepertinya dia akan menarik perhatian Duchess. Jadi, saya pun membelinya seharga dua perak."
"... Kerja bagus," kata Tao yang membuat Anna tersenyum malu.
Seusai memuji Putri Annabella, Tao pun bertanya kepada anak itu, "Katakan, bagaimana bisa seorang Malice sepertimu bertahan hidup? Bukankah... bangsa kalian diburu baik manusia maupun Daemon karena darahmu yang dapat menyembuhkan sejuta penyakit? Dua ratus limapuluh tahun genapnya aku mencari... baru kamu yang kutemukan."
Bocah rubah itu tersenyum meringis dengan matanya yang berwarna hijau, "Tentu saja. Hanya ada satu hal yang aku banggakan dihidupku... Aku ini orang paling beruntung di dunia!" katanya dengan semangat.
Tao tertawa... begitu pulas hingga air matanya jatuh, "Apa kamu bilang? Paling beruntung? Apakah kamu tidak tahu mengapa kamu dibawa kemari?"
Tak hanya aku, bahkan Annabella pun terkejut melihat Tao tertawa. Layaknya itu sebuah keajaiban.
"Tahu kok, aku bocah, tapi tidak bodoh," kata Bocah rubah itu mengacak pinggangnya, "Nyonya akan menggunakan hidupku untuk menyegel Dewi Kematian. Sama seperti eyang-eyang yang dilukis disana. Mereka semua adalah Malice yang Nyonya gunakan juga kan?" lanjut bocah itu menunjuk koridor tempat lukisan para kepala pelayan.
"Ah, tajam sekali matamu. Benar, mereka semua Malice yang mengorbankan hidup mereka. Tiap tiga ratus tahun, segel sang Dewi Kematian yang hidup di tubuhku akan hilang. Bila mereka tidak mengorbankan hidup mereka untuk membaharui segel itu... makanya sudah lama dunia ini hancur," kata Tao yang mendelikan matanya.
Air wajahnya pun menjadi sedih dan menyesal sembari menyembunyikan kepalan tangan dibalik buku tebal yang dia pegang.
Tao mengerutkan keningnya, "Loh, kalau kamu tahu, kenapa kamu masih bilang kamu ini beruntung? Kamu bakal jadi tumbal," tanya Tao yang kemudian melipat tangannya, "Kamu melawan juga boleh, kabur juga boleh. Tapi diluarsana, kamu hanya menunggu waktu hingga seseorang menangkapmu dan memeras seluruh darahmu. Menyedihkan sekali hidup seperti itu. Dan kamu masih berkata bahwa kamu orang paling beruntung di dunia?" uji Tao bingung mengistirahatkan kepalanya di kepal tangannya.
"Tentu saja. Sebab, aku bertemu denganmu. Orang yang telah membuat para leluhurku tersenyum demikian," kata bocah itu menatap Tao dengan amta berkaca-kaca dan senyuman yang tulus, "Dan bila hidupku ini bisa digunakan menyelamatkan dunia. Tak ada salahnya mati demikian bukan?"
Tao tercengang tak berkata apapun hingga akhirnya bocah rubah itu canggung sendiri, "U-Ucapanku... bikin geli ya?"
Tao terdiam sejenak sebelum menghela nafasnya, "Baiklah. Mari ktia membuat perjanjian. Kamu akan memberikan hidupmu padaku... tetapi sebagai gantinya, aku akan membuatmu bahagia selama lima puluh tahun kedepan."
Tao pun berdiri dan mendekati bocah rubah itu. Dia mengulurkan tangannya kepada bocah tersebut dan bertanya, "Siapakah namamu. nak?"
"Namaku adalah Esmeralda Vivacia," kata anak rubah itu yang kemudian berlutut dan mengambil tangan Tao. Dengan tulus ia mencium tangan Tao dan memurnikan kontrak suci diantara mereka.
Sebuah Aubade... janji suci yang mengikat kedua jiwa.
Ketiga orang itu pun tiba-tiba hilang layaknya debu ditiup angin, menyisakanku sendiri disana dengan penuh pertanyaan. A-Aku.. tak pernah tahu tentang cerita ini, sebab... Tao tak pernah menceritakannya kepadaku. Dalam Chronostorianya pun ia tak pernah menyebutkan bahwa tubuhnya merupakan tempat persemayaman sang Dewi Kematian.
Ugh! Semuanya membingungkan. Tindakan ibu, lukisan-lukisan itu, dan foto di kantor Ibu. K-Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya, padahal aku tinggal bersamanya? Tidak... aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri sehingga tidak memperhatikan Ibu. Padahal... semuanya terlihat begitu jelas!
"Sebentar lagi... ibu memiliki cukup sihir untuk mencegah semua ini terjadi."
Apakah maksud ibu memutar ulang waktu... adalah demi menyelamatkan bocah bernama Esmeralda ini? Tetapi tiba-tiba sebuah pintu pun terbuka. Pintu itu memanggilku lagi sebelum aku dapat menyusun pikiranku.