Chereads / Bunga Lentera / Chapter 37 - Ideal White (1)

Chapter 37 - Ideal White (1)

Serbuk bunga menggelitik hidungku, tanganku memegang topi bundar, menghalangi sinar mentari yang terik di lembah bunga tempatku berdiri. Sepertinya pintu itu membawaku kembali kemari... ke Padang Olivia tempat janjiku bersamamu.

Sama seperti yang kuingat dalam mimpiku, kamu berlari mendekatiku sembari membawa rangkaian mahkota bunga yang kemudian kamu berikan kepadaku. Kamu pun menggenggam tanganku dengan erat dan berkata,

"Tangan Kakak begitu indah. Halus dan lembut. Seperti sentuhan ibu. Aku yakin, dengan tangan ini, tak hanya aku... Kakak bisa menolong banyak orang. Sekarang, maupun berikutnya."

"Tetapi, tangan itu telah penuh dengan darah sekarang Lumina. Darahmu.. dan juga seluruh orang yang mati karena Tao," kataku yang mengeratkan kepalan tanganku yang merah oleh darah.

Lumina kini telah menghilang dari pandangku digantikan oleh ribuan mata dalam bayangan gelap yang menangiskan darah menatapku. Tersenyum aku, menyadari betapa bodohnya aku selama ini. Aku menghindari menatap diriku sendiri, berharap bahwa ada sedikit cahaya kebaikan di dalam diriku. Menghiraukan kalian yang selama ini berteriak menuntut adil di dalam bayanganku.

Tapi, kini aku takkan lari lagi. Aku takkan menghiraukan kalian lagi. Sebab sekarang, aku akan menerima peranku dalam dunia ini. Aku akan menerima segala penuntut balas kalian, segala kutukan kalian dalam takdirku, orang-orang yang telah kurebut nyawanya karena keberadaanku di dunia ini.

"Serahkan semua pada Sang Daemon Bulan. Aku akan... membawa kalian kembali," kataku memeluk kegelapan itu.

Kegelapan pun sirna digantikan oleh wajah Arthur yang menepuk-nepuk pipiku berkali-kali, "O-Oi, kau masih hidup, Putri?" tanya Arthur.

Segera aku menendang laki-laki itu menjauh dari tubuhku, tetapi sayang, dia terlalu gesit dan langsung menghindar. Dengan kesal Arthur berteriak, "Oi! Itukah cara kau membalas orang yang beneran khawatir denganmu?!"

"Alah, omong kosong," jawabku bangkit berdiri dan melihat singgasana es Tao yang kosong. Aku pun menoleh pada Arthur dan bertanya, "Sudah berapa lama aku pingsan?"

"Entahlah, 7 hari mungkin? Aliran waktu disini aneh," kata Arthur melihat batu Quartz raksasa di atas singgasana es, "Seakan detik pun membeku disini," lanjutnya.

"Lebih dari itu, kamu mimpiin apa sampai menangis kayak gitu?" tanya Arthur tiba-tiba.

Oh, aku menangis? Segera kulap air mata di mataku dengan baju. Bodoh sekali air mata ini, untuk apa repot-repot jatuh untuku.

"Aku memimpikanmu, Ayahku, Raja George," kataku kemudian.

"HA?! Omong kosong menggelikan apa itu?! Iiihhhh, bikin merinding," teriak Arthur tak percaya mendekap tubuhnya takut, "Eh tunggu dulu..." lanjutnya.

"ingatkah kamu akan nama ibuku?... Esmeralda Vivacia Noctis?" tanyaku.

Arthur melipat tangannya dan mengerutkan keningnya, "Ah, jadi kamu sudah bertemu Selir Esmeralda. Sudah kubilang, meskipun ingatan George ada di kepalaku, tetapi aku ini masih Arthur. Apa yang diperbuat George bukan berarti aku membuatnya dan apa yang dirasakan George, bukan berarti aku merasakannya," katanya.

"Kalau begitu kamu tahu alasan mengapa aku dilahirkan bukan?"

"Tentu saja untuk menolongku beberapa minggu yang lalu! Apalagi tujuan kamu dilahirkan selain itu?" tanya Arthur bingung.

Kini giliranku yang tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah narsis Raja bodoh ini.. ah tidak, Matrovska bodoh satu ini. Meskipun aku tahu jawaban sesungguhnya, namun mendengar hal itu terucap langsung dalam kenyataan mungkin... terlalu berat untuk hatiku. Kini aku sebetulnya percaya bahwa Arthur benar-benar mengendalikan tubuhnya. Bila aku berbicara dengan Raja George, sudah pasti dia akan mengatakan kebenarannya.

"Tetapi, aku tak menyangka dalam brankas itu adalah Quartz semurni dan sebesar ini, hingga dapat menguasai waktu. Kalau begini aku mengerti kenapa wabah Nyght bisa menyebar luas dengan mudahnya," kata Arthur memeriksa batu Quartz itu lagi.

"Maksudmu?" tanyaku bingung.

"Oh ya, kamu kan hanya memiliki setengah darah Raja George, makanya kamu tak dapat melihatnya," kata Arthur yang kemudian menggigit jarinya dan menyebarkan darahnya di Quartz raksasa itu sambil berkata, "Reveal!"

Tiba-tiba mataku terbelalak melihat sungai energi sihir mengalir dari dinding-dinding tanah menuju batu Quartz raksasa itu. Begitu banyak jumlah aliran sungai itu sehingga aku tak dapat menghitungnya.

"Wuaah, ini mah... bisa dibilang, energi sihir dari setiap orang di muka dunia," kata Arthur berkacak pinggang, "Jadi pola lingkar sihir yang terbentuk dari tempat kota yang Duchess Noctis jadikan Quartz dan pula ruang seratus Quartz di depan ini... adalah penghubung seluruh umat manusia dengan Quartz raksasa ini. Ini... gila ya," lanjutnya.

"T-T-Tunggu dulu, kamu ngomong apa sih selama ini, Arthur?"

"Kebenaran tentang penyakit Nyght tentu saja. Dia hanya penyakit sederhana yang muncul jika kamu menghisap paksa energi sihir seseorang. Untuk menyembuhkannya, mudah saja. Kabur, sejauh mungkin dari Quartz raksasa dan lingkar sihir Duchess Noctis," jelas Arthur tetapi dia menggelengkan kepalanya dan tertawa pahit, "Yah, tapi pilihan itu sudah terlambat sih. Dilihat dari sihir yang disedot oleh Quartz ini, lingkar sihir Duchess Noctis sudah melingkupi seluruh benua Prometrea."

Aku memegang kepalaku yang nyeri. Ingatanku akan Quina dan rekan-rekannya yang sedang berjuang melawan wabah mematikan ini membuat hatiku nyeri. Sebab... segala yyang mereka lakukan adalah sia-sia. Semua yang kutulis di buku Chronostoria-ku itu hanyalah harapan yang sia-sia.

Segera aku menggelengkan kepalaku dan kupanjangkan jemari belatiku, "Tidak terlambat, aku masih bisa menghancurkan Quartz sial ini!"

"Putri emang gila ya?Kalau kau hancurin Quartz ini, terus kemana seluruh energi sihir sebesar ini akan pergi? KA-BOOM!! Akhir dunia," jelas Arthur.

Arthur tiba tiba meregangkan tangannya seolah-olah ingin memeluk batu ini,"Sebaliknya! Coba Putri bayangkan betapa besar potensi yang Quartz ini miliki? Sihir tanpa batas. Inilah yang selama ini semua penyihir inginkan. Batu inilah jawaban atas keputusasaan manusia selama beribu-ribu tahun. Inilah dia... Ideal White!"

"Ideal White...? Sihir yang dapat mengabulkan segala keinginanmu? " gumamku.

Tentu saja, dengan batu ini dengan mudah... Tao dapat menukarku dengan Esmeralda. Tetapi betapa banyak orang tak bersalah yang harus dia korbankan demi tujuan egois itu? A-Aku... tidak dapat membiarkannya!

Tiba-tiba telingaku mendengar langkah kaki seseorang, masuk ke dalam singgasana itu. Mataku segera melirik ke arah pintu, melihat Taiga melotot menemukan kami di singgasana.

Taiga pun bertepuk tangan meledek kami, "W-O-W, kalian bisa sampai diruang ini ternyata. Kalau misalnya aku meminta kalian untuk pergi dan melupakan batu ini, apakah kalian akan menurutiku?" tanya Taiga.

Melihat Arthur mengeluarkan pedangnya, sedang aku memanjangkan jemari belatiku, Taiga tertawa, "Tentu saja, tentu saja. Kalian juga tergoda dengan kekuatan besar yang dimiliki Ideal White, bukan?"

"Taiga! Hentikan kegilaan ini, apakah kamu tak tahu bahwa Tao akan mengorbankan seluruh orang di benua ini demi ambisi egoisnya sendiri?!" teriakku mencoba membujuk Taiga.

Sebab aku tahu, meskipun Arthur dan aku bekerja sama... kami takkan dapat mengalahkan manusia singa ini.

"Ambisi egois? Apakah kamu lupa denganku, Eclair? Sepertinya aku harus menghajarmu hingga kamu mengingatnya," kata Taiga yang memasang kuda-kuda bertarung, "Aku berada di pihak mereka yang membayarku lebih mahal!" teriak Taiga.

Dengan cepat, Taiga melesat dan memukulku tepat di ulu hati. Kukh!! Sungguh kuat sekali paman tua ini! Tubuhku langsung melayang dan menubruk dinding tanah atas. Segera kutusuk cakarku ke tanah sebagai peganganku menghindar dari serangan bertubi-tubi Taiga.

Tetapi sepertinya Taiga meremehkan kami.. sebab, dia menggunakan wujud manusianya untuk melawan kami!

"Hoho, kau masih bisa berulah Eclair, mantab, mantab. Sudah lama aku tak berolahraga seperti-"

Tak kalah cepat, Arthur menebas kepala Taiga. Namun, pedang itu segera hancur tepat saat menyentuh leher manusia macan itu. Tersenyum lebar, Taiga menatap Arthur dengan penuh niatan membunuh, "Ahhh, kau. bocah yang berani-beraninya menyentuh buluku yang berharga di malam itu. Berani juga kau menatangku lagi!" katanya.

Merasa dalam bahaya, Arthur segera melompat ke belakang. Segera aku melompat mendekatinya dan memberikan Arthur bagian tulangku yang kubentuk tajam untuk menggantikan pedangnya yang patah. Kami berdua menelan ludah kami ketika menatap aura pembunuh yang keluar dari tubuh Taiga.

Pikiran kami semakin lama menjadi ragu... Apakah kami bisa menang melawan monster bengis ini?