Taiga menghela nafasnya yang panjang layaknya bunyi mesin uap yang besar. Panas muncul dari tubuhnya, membuat seluruh ototnya menjadi semakin besar dan mengerikan. Tanpa melakukan apapun, Taiga telah mampu membuat kami berdua melangkah mundur karena ketakutan kami.
Tetapi, sialnya... tidak ada kata kabur dari manusia macan ini!
"Ah... Bagaimana kalau Ayahanda saja yang maju? Claris takut banget sama Paman satu itu," kataku terseyum canggung, "Kalau kamu bisa mengalahkannya, putri lucumu ini akan memberimu sebuah ciuman!"
Arthur segera mendelik, "K-Kamu bodoh ya? Sempat-sempatnya saat seperti ini bercanda! Lagipula aku bukan George, tapi Arthur!" teriaknya.
Tiba-tiba Taiga melompat, meninggalkan ledakan angin di tempatnya berpijak. Lebih cepat dari suara dia menghantam tanah tempat kami berpijak. Nyaris, kakiku sempat menyelamatkan tubuhku dari pukulan maut itu. Tetapi, ini adalah kesempatan!
"Iudex terraria vitralis!" teriakku memanggil tombak-tombak tanah yang menghujam tubuh Taiga. Tetapi tentu saja, semua serangan itu percuma bagi tubuh baja miliknya.
"Agnis Myriada Sylva!" teriakku sekali lagi memanggil pedang-pedang api yang melesat dengan kecepatan tinggi menghujani Taiga. Tetapi macan itu justru menangkap salah satu pedang itu dan menangkis ratusan pedang yang kemudian menghujaninya... Sembari tertawa begitu renyah.
"Hanya ini yang kau miliki?! Bukankah Sang dewi Kematian sendirilah yang mengajarkanmu sihir?! Perlihatkan kekuatanmu sesungguhnya, Eclair!" teriak Taiga.
Tanpa Taiga ketahui, Arthur muncul dari dalam tanah dan segera menusuk dada Taiga dengan pedang tulangnya, didorong oleh ledakan api dari punggungnya. Taiga pun tercampak dan menubruk dinding tanah.
"Kita mengalahkannya?" kataku mendekati Arthur.
"Tidak, bahkan dengan tusukan sekuat itu, tidak cukup untuk menembus kulitnya," jawab Arthur yang memegang tangannya yang gemetar. Aku pun melotot ketika melihat tak sedikitpun darah membasahi pedang tulang itu.
Gawat...! Kalau kulitnya sekeras itu, bagaimana kami dapat mengalahkannya? Setelah debu tanah menghilang, Taiga pun bangkit dari puing-puing dinding tanah itu. Tetapi mataku kemudian menangkap, bekas tusukan kecil di dada monster itu. Sangat kecil hingga tak kasat mata, tetapi dengan sihir Reveal yang Arthur gunakan, aku dapat melihat aliran sihir disana terputus. Serangan Arthur berhasil melukainya!
"Arthur, aku punya rencana. Apakah tanganmu masih dapat digunakan?" tanyaku.
Arthur mengangguk menahan nyeri di tangan kanannya. Aku mengerti, pasti sangat sakit ketika menghujamkan pedang kepada benda yang lebih keras dari batu.
"Aku menginginkan kamu menyerang terus menerus titik yang kamu tusuk tadi. Hingga setetes darah Taiga membasahi pedang tulang itu, setelah itu selesai, maka aku bisa menggunakan sihir terlarang," kataku yang mulai menumbuhkan zirah tulang yang menutupi tanganku, "Sihir darah hitam."
Arthur tersenyum, adrenalinnya telah memutuskan akal sehatnya, "Kau mau membunuhku ya? Satu kali saja sudah membuat tulangku retak semua," katanya yang membungkuk menatap Taiga layaknya mangsa menggoda, "Tetapi apalah arti tangan, ketika aku tak bisa melihat senyum Arielle lagi!" katanya yang segera melesat mendekati Taiga.
"Mycila Magnus!" teriakku melapisi pukulan-pukulanku dengan sihir listrik merah yang dapat merobek-robek kulit yang menyentuhnya.
Aku pun mengikuti Arthur dan dengan perisai tulangku aku menangkis segala pukulan-pukulan maut yang Taiga lancarkan kepadaku. Sebisa mungkin aku memberikan kesempatan Arthur menghujan dada Taiga, satu, dua, tiga, tidak sampai puluhan kalipun... hingga sepercik darah muncul!
Tetapi Taiga menangkap tangan kananku sambil tersenyum beringas, "Kau akan segera sembuh dengan luka ini bukan?!" teriaknya yang langsung mematahkan tangan kananku tanpa ampun.
Aku ingin berteriak, tetapi tenggorokanku tercekat karena nyeri yang tak tertahankan di tanganku. Tak memberikan ku waktu beristirahat, Taiga membanting tubuhku dan melemparku.
Arthur dengan gesit menghindari tubuhku dan memisahkan dirinya menjadi dua belas bayangan gelap dan melompat menebas Taiga tanpa ampun. Setiap kali Taiga menghantam tubuh Arthur, dengan mudahnya bocah itu berpindah tubuh ke bayangan lainnya dan terus menghujam dada Taiga.
"Dasar nyamuk tak berotak!! Menyebalkan!" teriak Taiga yang memukul tanah tempat ia berpijak hingga tanah itu hancur berlebur dan gempa kuat pun terjadi. Seluruh bayangan Arthur pun lenyap, tetapi tubuh asli Arthur tak tampak.
Dari kegelapan yang merayap di belakang Taiga, tiba-tiba Arthur pun melompat keluar dan menghujam punggung Taiga. Namun, ia kalah cepat dengan refleks Taiga yang segera menghadiahinya tendangan telak.
"Tch! Bayangan lagi!" teriak Taiga kesal setelah menendang bayangan Arthur yang pecah seperti tinta gelap. Tanpa menyadari dua belas bayangan Arthur bersembunyi dibalik tinta gelap itu dan bersamaaan melompat dengan dorongan roket sihir menghujam dada Taiga.
BUM!!
Arthur segera melompat mendekatiku dan menyerahkan pedang tulang itu kepadaku. Ujung pedang tulang itu telah ternodai oleh darah milik Taiga, namun... dengan harga yang mahal. Arthur tak dapat lagi menggunakan tangan kanannya yang hancur lebur.
"Aku serahkan padamu, Eclair," kata Arthur.
Aku pun mengangguk dan dengan kilat menggambar lingkar sihir di tanah dari darahku, sebelum Taiga memulihkan diri dan melompat kemari. Aku pun mencampur darahku dan Taiga dan sambil menari memuaskan dewa-dewi yang haus darah aku memulai ritual terlarang itu,
"Chasita desrui, Temperani hollowni, Charitas desicrata, Dilligenta rebillis, Patientum gremoria, Humiliata xillia, Humanitas sacrifatum!" nanyianku sembari menari dengan pedang tulang berdarah itu, "Qui Eclair Cadenza Noctis, villia Esmeralda Vivacia Noctis. Sanguis umbra vetalla ionox centi," lanjutku yang kemudian berlutut dan mengacungkan pedang itu ke perutku.
Taiga yang telah sadar kembali menatap kami berdua dengan bringas. Kemarahannya menjadi-jadi membuatkulitnya memerah. Perlahan wujud singanya melahap sosok manusianya tanpa ampun, membuat dirinya berlipat-lipat ganda lebih kuat.
"Eclair, kamu kelamaan!!" teriak Arthur yang ketakutan.
Aku menghirup nafasku dan mengumpulkan segala energi sihirku pada pedang itu... dan ketika semuanya telah siap, kubuka mataku dan berteriak, "Prayasita!"
Segera kutusuk perutku sendiri dengan pedang tulang yang telah berubah warna menjadi hitam kelam itu. Seketika gerakan Taiga terhenti ketika ia meraba darah yang keluar dari perutnya. Kemarahannya pun semakin menjadi-jadi sehingga ia segera berlari ingin membunuh kami.
Senyuman pun mekar di bibirku yang mengeluarkan darah, "Sudah terlambat, Paman. Kali ini... aku yang menang," teriakku.
Rasa sakit yang luar biasa muncul dari penjuru tubuhku dan menghentikan gerakan Taiga. Dari bawah kulitku aku emrasakan desiran deras dan panas dari darahku yang bergejolak dengan hebatnya. Hingga, DRAS!! Darah pun bermekaran dari tubuhku, menembus segala kulit-kulitnya. Mereka juga bermekaran di atas tubuh Taiga membuatnya jatuh tak berdaya di tanah. Darah-darahnya membentuk bunga iblis yang memantulkan sinar Quartz raksasa di ruangan itu. Sinar berwarna merah yang membuat merinding.
Arthur pun mendekati manusia macan raksasa itu dan segera menendang-nendang kepalanya dengan tawa yang riang, "Mati sudah! Kucing sialan ini akhirnya mati! Hahahaa, rasain kau!" katanya menendang kepala Taiga sekali lagi.
Dengan lega dia pun mendekatiku yang sekarat ini, "Tak kusangka, Putri sekuat ini. Sihir darah hitam? Aku kira Putri sudah gila mau melakukannya, tetapi aku lupa bahwa Putri juga abadi. Kegilaanmu membuatku teringat pada ibumu."
"Maksud Ayahanda adalah Ratu Esmeralda?" kataku sambil mencabut pedang tulang itu dari perutku.
Wajah Arthur langsung menjadi masam, "O-Oi! Berhenti memanggilku seperti itu. Aku adalah Arthur, Arthur, suami Putri Arielle!" teriaknya
Tertawa kecil aku, sembari membersihkan tubuhku dari bunga darah yang mengeras itu. Aku pun bangkit dan menekan dada Arthur dengan telunjukku, "Tak kusangka juga, bocah yang datang ke rumahku hampir mati, ternyata jago berpedang," kataku memujinya.
Kami berdua tersenyum menyeringai sembari memukulkan kedua tangan kami. Tertawa aku dalam hati, tidak kusangka ada hari aku akan bertarung bersama Raja George. Yaah, meskipun aku tahu bahwa Arthur hanya memiliki ingatan dia saja di tubuhnya.
Tetapi, kesenangan kami segera berakhir ketika geraman terdengar dari belakang Arthur. Kami berdua tercengang melihat Daemon Taiga berusaha keras bangkit berdiri dengan mulut memuntahkan darah. Aku pun segera melihat ke tanah dan sial, lingkar sihir darah hitam telah menghilang! Aku sudah tak dapat menggunakan sihir itu pada Taiga.
"A-Aku terlalu meremehkan kalian.. Baiklah! Untuk ronde pertama, aku mengakui kalian berdua menang," kata Taiga yang memasang kuda-kudanya kembali. Meskipun tubuhnya telah terkoyak-koyak oleh sihirku tadi, tetapi ia masih mampu mengeluarkan aura kekuatan yang dahsyat.
"Tapi, ronde kedua aku takkan kalah," gumamnya memandangi kami dengan serius.