Chereads / Bunga Lentera / Chapter 39 - Ideal White (3)

Chapter 39 - Ideal White (3)

Arthur menghela nafasnya, "Dasar kucing nakal. Tak bisakah kau diam dulu sebentar?" omelnya melihat Taiga bersiap untuk bertarung sekali lagi. Aku pun tertawa penuh putusasa, jika sihir darah hitam tak cukup untuk menghentikan monster ini, lantas apakah yang bisa?

Tiba-tiba, tangan tengkorak bermunculan dari tanah menahan tubuh Taiga. Muncul dari bawah tanah, puluhan mayat hidup mengepung tubuh manusia macan itu.

"Arthur!! Claris!!" teriak Arielle di atas kami.

Mataku terbelalak melihat sebuah pintu raksasa terbuka di atap raungan itu. Ratusan tengkorak pun menjalin satu sama lain, menjadi tangga bagi kami untuk keluar dari tempat itu. Tanpa ragu, Arthur dan aku segera menaiki mereka dan melarikan diri dari Taiga yang mengamuk dengan hebat.

Saat hampir menuju puncak, tiba-tiba Taiga melompat tinggi dan menangkap tangga tengkorak itu, mengejar kami dengan sangat cepat.

"Astaga, pantang menyerah sekali dia," omel Arthur sekali lagi.

Tetapi, sebuah bayangan gelap pun melesat dari atas. Bayangan itu membawa sebuah pedang raksasa yang berlipat-lipat kali lebih besar dari tubuhnya. Dia adalah Luciel, yang terbang dengan sayap darahnya, kewalahan membawa pedang itu. Dengan kikuk, diayunkannya pedang raksasa itu dengan kuat menghempas Taiga kembali ke bawah tanah.

"Jangan sentuh Claris!!" teriaknya saat menghempaskan Taiga.

Tubuh kecil gadis itu sesaat melayang di udara, tetapi... tiba-tiba sayap darahnya pun bergejolak masuk kembali ke tubuhnya. "Luciel!!" teriakku yang langsung memanjangkan tanganku menjadi tombak trisula yang menusuk tepat di bajunya. Untung saja.. masih sempat.

Kutarik kembali tombak itu menyatu dengan tubuhku, menghantarkan Luciel dalam dekapanku. Dia tak sadarkan diri, wajahnya begitu pucat dan nafasnya lemah. Dasar gadis bodoh nan gila! Padahal dia belum menguasai tubuh barunya itu, tetapi ia memaksakan diri membentuk sayap dan pedang sebesar itu. Apakah dia mau cari mati?

Setelah kami bertiga kembali ke daratan, Arielle segera mengunci pintu tanah itu dengan buku merahnya. Kami mengira sudah lolos dari bahaya, tetapi dengan segera kami menemukan diri dikepung oleh seluruh penjaga Pabrik Iroha. Dengan senapan sihir mereka yang menakutkan, mereka berteriak,

"Jangan bergerak!"

Sial. Bila saja sihirku tidak habis setelah menggunakan darah hitam itu dan tangan kanan Arthur bisa digunakan, kami mungkin bisa melarikan diri. Arielle kemudian membuka buku merahnya lagi tetapi Arthur langsung mengambil buku itu dan berkata, "J-Jangan, sudah cukup Arielle."

Aku tersadar melihat tubuh Arielle yang penuh dengan retakan. Sepertinya, dia juga telah melampaui batas sihirnya saat menyelamatkan kami.

Lantas, apa yang harus kami lakukan di situasi seperti ini?

"Lepaskan mereka."

Mataku langsung mendelik ke balkon kantor pusat Iroha. Disana aku melihat, Tao dengan gaun hitamnya memandangi kami dari tepian pagar. Seluruh penjaga saling memandangi satu sama lain, bingung dengan perintah itu.

"Aku bilang, lepaskan mereka!"

Perintah kedua Tao menyadarkan para Penjaga. Mereka pun segera berbaris rapi untuk memandu kami keluar dari pintu utama Pabrik Iroha. Sungguh pemandangan yang mistis sekaligus aneh, melihat penjaga yang ingin menangkap kami, sekarang malah menjadi penunjuk jalan kami. Saat kami berada di luar pintu utama, gerbang raksasa itu pun ditutup perlahan. Darisana aku dapat melihat Tao memandangiku tanpa berkedip dengan ekspresi dingin yang amat kukenal.

Siang telah tiba, sejak kami kembali ke toko sihirku meskipun langit tetap gelap oleh dinding tanah. Aku berdiri di balkon rumah, memandangi Pabrik Iroha yang bersinar dari kejauhan, tidak mempedulikan teriakan cengeng Arthur menahan rasa sakit yang muncul setelah adrenalin tubuhnya hilang.

Sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. Jika Tao sungguh membenciku dan ingin membunuhku, mengapa dari sejak awal tidak Tao lakukan?

Hatiku gelisah, sebab aku tak dapat menepis pikiranku bahwa ada sebuah picis puzzle yang tersisa dari semua masalah ini. Tetapi apa? Aku pun melirik Arthur yang sedang bermanja ria dengan Arielle, padahal lukanya tidak seberat itu.

"Haduh, kamu dari dulu suka aja pulang dengan penuh luka begini, selalu bikin aku khawatir aja," kata Arielle yang mengusap luka Arthur dengan kapas penuh dengan alkohol. Dengan terampil ia kemudian memasukan benang jahit ke kulit suaminya dan mulai menjahit lukanya satu persatu, tak peduli laki-laki itu berteriak memohon ampun.

Tak mampu menahan tawa, aku pun berkata, "Kamu sengaja tidak menggunakan sihir anestesi ya, Arielle?"

"Ssstt! Ini balasanku, Dame, biar dia jera. Dia tuh selalu saja nekat dan ceroboh. Belum sembuh betul dari lukanya seminggu yang lalu, dia malah menantang Daemon Taiga lagi. Padahal aku sudah berpesan padanya supaya langsung lari," omel Arielle yang sengaja menekan jarum jahit itu agar Arthur lebih sakit.

"I-Iya, maaf, maaf! Tapi, kamu kan juga paham, mana bisa kami lari dari kucing gila itu," eluh Arthur yang justru menghadiahinya jahitan yang lebih nyeri.

Kasihan, aku memanjangkan telunjuk belatiku dan menusuk ujung jariku. Kuoleskan darahku pada luka Arthur yang belum dirawat oleh Arielle. Perlahan luka itu pun sembuh dan tak meninggalkan bekas. Tulangnya yang remuk juga menyatu kembali sediakala.

"Sudah kuduga, Daemon Bulan... benar-benar memiliki obat seribujuta penyakit," gumam Arielle yang menyelesaikan jahitan akhirnya.

Aku tersenyum pahit, "Dahulu ada banyak yang dapat melakukannya, sebelum mereka semua diburu para bangsawan yang menginginkan kesembuhan dan keabadian," kataku.

"Apakah maksud Dame Claris... Anda adalah Malice seperti di dongeng-dongeng?" tanya Arielle.

Arthur menggelengkan kepalanya, "Nggak, sayang. Dia lebih dari itu," katanya yang kemudian bangkit berdiri. Aku melihat luka di dadanya yang menandakan bahwa sama sepertiku, dia juga memiliki Cordia golmi. Tetapi sepertinya Arielle tidak menyadari hal itu... mungkin gadis itu menganggapnya luka biasa, mengingat hidup Arthur yang keras sebagai seorang Matrovska.

"Malice terakhir telah mati tigapuluh tahun lalu. Dia adalah Ratu Esmeralda yang mengorbankan dirinya untuk menyegel sang Dewi Kematian," ceritanya yang meregangkan tubuhnya, "Dan darah AMalice yang dapat menyembuhkan segala penyakit itu pun hanyalah dongeng belaka. Darah mereka sesungguhnya hanya dapat menyembuhkan orang yang sangat mereka cintai saja."

He? Aku baru mendengar itu. Tapi, pengalaman Raja George yang telah hidup lebih lama dariku sepertinya lebih dapat dipercaya dibanding diriku yang tak pernah bertemu dengan Malice lainnya. Hanya saja... mendengar hal itu, Arielle melotot dan memandangiku dengan tak percaya. Segera dia memeluk Arthur dengan erat dan menatapku dengan cemas,

"M-Maaf, aku tahu Dame Claris adalah sosok yang luar biasa dan aku tak bisa mengalahkan anda. T-T-Tetapi tetap saja, aku tak mau menyerahkan Arthur kepadamu," katanya.

Ha? Itu omong kosong yang terbesar kudengar hari ini. Segera aku menyilangkan tanganku dan berkata, "Mana mau aku. Meskipun aku tak mau mengakuinya, tetapi laki-laki ini adalah Ayahandaku."

"Sembarangan! Sudah kubilang, aku ini Arthur, Eclair!" teriak Arthur kaget.

Arielle menoleh ke kami bergantian, tampak begitu bingung. Aku pun menjelaskan segalanya ke gadis itu. Tentang Raja George dan Arthur, tentangku dan Ratu Esmeralda, dan juga tentang Tao. Kepala gadis itu langsung panas tak mampu memproses segala informasi ini dan segera memegangi kepalanya,

"J-Jadi, Arthur adalah Raja George, dan dia adalah ayah Dame Claris yang berusia duakali lipat darinya, lalu-lalu-lalu-" gumamnya bingung. Tetapi kemudian matanya memandangi bekas luka di dada Arthur dan memeganginya dengan hati-hati, "Dan ternyata... kamu.... juga sama sepertiku. Seorang pewaris."

"Kenapa kamu melakukan itu? Bukankah orang yang paling kamu benci di dunia adalah Paman George?"

Arthur memalingkan wajahnya, "K-Kamu mau menerima jantung Annabella, demi bisa bersamaku, meskipun kamu tahu bahwa tubuhmu memiliki kecocokan yang buruk dengan jantungnya. Dan tiap harinya, kamu selalu bermimpi buruk tentang bayangan Annabella... yang selalu mengincar tubuhmu," jawab Arthur dengan telinga memerah,

"Karena itu aku mencuri Cordia golmi Raja, untuk mencari cara untuk membebaskanmu dari penderitaan itu," lanjutnya.

Ah, ternyata Arthur seorang yang malu-malu kucing ya?

Aku mengira dia tidak mencintai Arielle, namun sebaliknya, perasaannya mungkin lebih besar dari gunung Montanna. Tersenyum geli aku melihat drama sabun ini, sebuah perhentian yang manis... sebelum akhir menjelang tiba.