Chereads / Bunga Lentera / Chapter 42 - Penebusan (3)

Chapter 42 - Penebusan (3)

"Malam Kak Claire.. mati?" tanya Lumina. Ah, aku lupa menceritakan tentang malam itu kepada anak kecil ini.

Taiga menghirup nafasnya dalam, menggeret Lumina dan aku dalam penantian penasaran. Seolah-olah akan memberikan wahyu yang luar biasa penting, Taiga membuka matanya tiba-tiba dan berkata,

"Kalau mau tahu ya tanya langsung ke Nyonya Tao!"

Kutepuk langsung wajahku. Astaga, apa yang kuharapkan dari laki-laki ini. Kalau dia tidak menghalangi, tentu dari tadi kami sudah masuk kedalam. Baiklah, dia bilang aku harus melewatinya sebelum bisa bertemu Tao bukan? Karena itu...

"Aku bertemu dengan Madame Seraphina kemarin," kataku melipat kedua tanganku, "Oh, betapa kasian dirinya. Tak tahukah suaminya yang bodoh itu, betapa menderita hidupnya ditinggal sendiri saat sedang mengandung," lanjutku.

Wajah Taiga sesuai dugaanku, terkejut dan pucat. Kemudian manusia macan itu bertanya kepadaku, "Se-Sera... mengandung?"

"Tidak lagi. Sebab dia memutuskan untuk mengugurkan kandungannya, karena mengetahui suami yang sangat ia cintai... adalah dalang dari wabah Nyght," kataku menatap langsung ke Taiga. Mata tak pernah berbohong, cerminan jiwa itu akan memberikanku jawaban sebenarnya.

Taiga sungguh mencintai istri manusianya itu, tetapi dia tak pernah bertemu dengannya lagi. Lebih tepatnya, dia membatasi dirinya untuk tidak melakukan itu sehingga dia tak mengetahui penderitaan yang harus dilewati oleh Seraphina.

Karenanya, ini adalah kesempatan emas, "Terakhir kali aku bertemu dengannya, matanya memiliki sinar yang sama... dari orang yang ingin mengakhiri hidupnya. Lantas, siapa yang tega mematahkan hati dan harapan wanita yang begitu baik hati itu? Tak dapat dimaafkan," gumamku.

Segera kutaruk kerah Taiga dengan kuat. Ah, sepertinya sepercik kemarahanku sungguh-sungguh muncul, padahal aku hanya berpura-pura saja. Aku tidak bisa memaafkan tindakan Taiga yang telah melukai orang yang mencintainya. Apalagi setelah wanita itu hampir mati karenanya.

Sungguh menyebalkan.

"Apakah kamu sekarang hanya akan berdiam diri disini? Ataukah setidaknya kamu memberikan ucapan perpisahan pada dia yang telah menantimu? Bertanggung jawablah, hey kau laki-lakI," tegurku.

"Datangilah kubur mereka berdua. Istrimu dan anakmu tercinta, sebelum dunia ini berakhir. Setidaknya, itulah kebaikan kecil yang bisa kamu berikan kepada mereka,"

Aku berharap Taiga tak melihat dusta yang kuucap. Tetapi dari wajahnya yang terlihat gusar, sepertinya serangan ini adalah senjata paling efektif untuk menyerangnya. Sebab aku menkan tepat pada luka besar di hatinya. Rasa bersalah yang mendasari keinginannya untuk menjadi manusia.

"Dimana... mereka?" tanya Taiga.

"Pemakaman terdekat dari Kediaman Danius," jawabku.

Taiga segera melepaskan tanganku dan berlari dengan cepat, naik ke permukaan. Wajah yang ia tunjukan adalah wajah yang sama seperti Danius miliki ketika meminta bantuanku. Keputusasaan, penyesalan dan juga kemarahan.

Tak kusangka. Sama seperti Arthur, Taiga meninggalkan tugasnya semudah ini.

Lumina menatap semua itu dengan terpukau, "Oh, Kak Claire yang polos itu sekarang memiliki lidah yang dapat menaklukan monster menakutkan," katanya.

"Ah, aku hanya beruntung saja," kataku menggaruk-garuk kepala, "Tapi mungkin ini berkat dari Tuhan, sehingga kita tak perlu melawan monster itu. Sebab, monster sejatinya telah menunggu kita dibalik pintu ini," lanjutku.

Kami berdua menatap pintu gerbang menuju singgasana Tao. Berapa kali aku melihat pintu gerbang ini, rasa ketakutan tetap terasa di dada. Meskipun aku tahu bahwa jantung yang berdenyut di dadaku ini adalah milik Tao, tetapi ingatan pandang matanya yang dingin ketika aku berada diujung maut tetap menghantuiku.

Aku rasa... sekarang saatnya berhadapan dengan kebenaran. Aku pun membuka pintu gerbang itu perlahan.

Mataku mendapati singgasana yang kosong dengan batu Quartz raksasa di atasnya. Tak ada aroma mint dan melati kucium, tak ada kehadiran Tao yang dapat kurasakan. Tetapi, tingkah Taiga yang melindungi tempat ini menandakan bahwa wanita itu ada di tempat ini.

"Jadi ini yang Arthur bilang Ideal White. Te-tetapi kenapa besar sekali? Apakah benar batu ini yang menjadi inti jantung Claris?" tanya Lumina bingung.

Sebenarnya aku pun tak tahu jawabannya. Sebab, Tao telah hidup lama sekali. Aku pernah menghitung jumlah lukisan kepala pelayan... yang merupakan para Ancient yang memberikan energi siir mereka untuk mengurung sang Dewi Kematian. Jumlahnya... duapuluh termasuk Esmeralda. Bila siklus kematian seorang Malice adalah 300 tahun sekali. Maka, Tao telah hidup lebih dari 6000 tahun. Tepatnya pada jaman primordial, saat dewa-dewi masih meninjakkan kakinya di dunia ini.

"Kemungkinan teknologi yang digunakan untuk menciptakan Ideal White di jantungku, berbeda jauh dengan cara Tao sekarang," jawabku memegangi dadaku.

Kami berdua sampai di singgasana es itu. Disana aku menyadari terdapat sebuah ruangan dibalik singgasana, tertutup oleh tirai berwarna ungu. Tirai yang sama seperti di kediaman Noctis. Dengan hati-hati, kami menyibak tirai tersebut untuk menemukan sebuah kotak peti dari kayu jati yang diwarnai gelap. Peti itu polos dan sederhana, tanpa hiasan.

Aku teringat, satu minggu yang lalu, saat Arthur menceritakan tentang pertarungannya dengan Taiga, dia menyebutkan bahwa saat itu Taiga membawa sebuah kotak peti besar di punggungnya.

Tidak salah lagi, di dalam peti ini... adalah Tao.

"Apakah kita akan membukanya, Kak?" tanya Lumina.

Aku mengangguk, "Ya."

Berdua, kami membuka peti berat itu. Semerbak bau mint dan melati pun menyambut kami, ketika akhirnya kami melihat orang yang kami cari beristirahat tenang di dalam peti itu. Tak ada lagi sisa kecantikan dan keaunggan yang tersisa darinya. Tao kini hanyalah tulang-belulang yang tersusun rapi, menekuk dalam peti itu. Gaun hitam dan rambutnya yang berwarna ungu, serta semerbak aroma tubuhnya yang tersisa... hanya itu sajalah yang membuatku dapat mengenalinya.

Tao... sungguh telah mati.

Tato tanda Aubadeku dengan Raja George pun segera terbakar di tanganku. Kini telah menghilang tanpa jejak, yang artinya... janjiku telah terpenuhi.

"Aku tak berharap kalian berdua menatap sisa tubuhku demikian," kata suara familiar dibelakang kami.

Segera aku pun menoleh dan menemukan sosok yang secermin dengan Tao muncul dari balik tirai. Dia mendekati peti tersebut dan mengelus lembut tulang belulang Tao.

"Istirahat dengan tenang... sahabatku," katanya.

"Hah? Jika di dalam peti ini adalah Ibuku. Maka siapakah kamu?" tanyaku.

"Kalau sudah ketahuan seperti ini... aku tak perlu berbohong lagi," ujar wanita tersebut.

"Aku adalah Tao dan Tao adalah diriku. Aku adalah ibumu dan juga Esmeralda beserta kehidupan lainnya yang muncul karena sentuhanku. Aku memiliki banyak sekali nama, yang diberikan oleh umat manusia dari berbagai masa," katanya yang kemudian menutup peti itu dengan pelan, "Tetapi kamu lebih mengenalku dengan nama Nyghtingale," lanjutnya menatapku dengan sinar matanya yang terang.

Aneh... Seharusnya, aku begitu ketakutan sekarang karena berhadapan dengan Sang Dewi Kematian. Tetapi, apa yang aku dan mungkin Luciel rasakan adalah sama. Melihat wanita ini, kami justru merasakan ketenangan yang sangat. Sosoknya yang seharusnya asing bagiku, malah aku merasakan kedekatan padanya. Seolah wanita ini dan Tao adalah orang yang sama.

"Jika kalian berdua masuk kesini... berarti Taiga juga, sudah mati ya," kata Nyghtingale dengan tatapan mata yang menyiratkan kesedihan begitu dalam.

"T-T-Tidak, kami hanya menjebaknya saja. Sekarang dia sedang menemui Madame Seraphina," kataku.

"Ah, sungguh? Syukurlah," kata Nyghtingale yang kemudian mengubah tempat kami berpijak menjadi sebuah taman yang indah. Wanita elegan itu kemudian mengundang kami duduk di pesta kebunnya. Lengkap dengan deretan kue yang lezat dan juga teh yang sangat harum baunya.

"Lantas mengapa kalian repot-repot mendatangiku kemari?" kata Nyghtingale yang kemudian meneguk teh hangatnya, "Apakah kalian tergiur akan kekuatan Ideal White?"

Aku melambai-lambaikan tanganku membantah, "T-Tidak. Aku... ingin memperkenalkan anak ini kepada ibuku... Berarti, kepadamu juga, Dewi Nyghtingale," kataku yang kemudian menunjukan Lumina dihadapan sang Dewi, "Dia adalah adikku dan juga anakku, Luciel Luminaris Noctis."

Ketakutan, Lumina menatapku berkali-kali sebelum menunduk hormat dihadapan sang Dewi, "Sa-salam kenal, oh Dewi Agung," katanya canggung.

Nyghtingale tertawa kecil, "Kamu tak perlu memanggilku seperti itu. Panggil aku dengan kata 'Nenek'. Sebab sudah kubilang kan bahwa Tao adalah aku dan aku juga adalah Tao?" kata wanita itu.

Sang Dewi Kematian menahan dagu di kedua tangannya, memandangi kami berdua satu persatu,

"Lantas apakah kamu hanya ingin memperkenalkan cucuku yang lucu ini? Ataukah... kamu mau menghentikanku, Eclair?"