Pintu itu membawaku ke depan sebuah istana. Istana yang begitu megah dengan menara jam tinggi di tengahnya. Aku mengenal sekali istana tersebut, sebab 7 tahun yang lalu aku pernah menjebol pertahanan istana tersebut dan menemui Raja George. Tempat itu adalah Istana Ishtarin, tempat tinggal para penguasa Kerajaan Kinje.
Sebuah kereta kencana berwarna hitam berhenti di depanku, terlihat megah dan mewah dengan lapisan emas menghiasi tepiannya. Ketika pintu itu dibuka oleh sang kusir, turunlah Esmeralda yang telah tampak lebih dewasa... mungkin 17 tahun usianya sekarang. Dia tampak cantik sekali dengan gaun berwarna biru laut dan anting-anting permata yang mencerminkan iris matanya yang indah.
Matanya tampak cerah sekali ketika menatap kearahku dan segera dia mengangkat roknya, berlari kecil menemui Tao yang telah menunggunya di belakangku. Terkejut aku pun segera menyingkir dan melihat momen itu.
"Heh, siapa yang kira, bocah tengik sepertimu bisa dandan cantik begini?" ledek Tao sembari memasang pita bunga emas di rambut Esmeralda.
Ah, bunga emas itu. Jadi... mereka datang di istana ini untuk acara debudante Esmeralda. Aku teringat saat Tao memasang pita bunga emas itu pada rambutku. Lambang mekarnya seorang gadis yang telah dirawat sejak kecil dan kini terjun dengan gemilang di dunia para bangsawan. Tetapi berbeda dengan Esmeralda, Tao tak pernah memujiku dan langsung pergi masuk tanpa menungguku.
"Wah, untung banget aku bisa dipuji oleh wanita tercantik di dunia," kata Esmeralda tersenyum meringis, "Sepertinya ada gunanya juga aku tersiksa 12 jam didandani seperti boneka," lanjutnya dilanjutkan oleh tawa kecil.
"Hmmm, tapi! Sepertinya, Duchess lupa sesuatu," kata Esmeralda berkacak pinggang.
Dengan enggan Tao berkata, "Astaga, kamu sungguh menginginkan itu? Aubade, Aubade, menyesal aku membuat janji itu kepadamu."
Tao kemudian menyihir gaun hitamnya menjadi pakaian mahal yang seorang pangeran, lengkap dengan lencana dan jaket yang membuat baik laki-laki dan perempuan yang melihatnya menelan ludah. Tao kini telah mengubah dirinya bak seorang pangeran tampan dari negeri jauh, hingga membuatku tercengang-cengang dan terbelalak sampai mataku kering.
"Sungguh, apa yang George akan katakan ketika melihatku berdandan begini," gumam Tao gusar. Tanpa ia sadari, Esmeralda segera merangkul tangannya dan tersenyum jenaka, "Tentu saja, Raja George akan terpukau. Duchess-ku kan memang orang paling keren dan menawan! Beruntung sekali diriku mendapatkan Putri tampan sebagai partner dansa debudanteku!" katanya.
"Ya, asal kamu senang saja," jawab Tao dengan senyuman tipis.
Esmeralda tampak bahagia sekali, seakan malam yang gelap itu tak sebanding dengan sinar yang ia pancarkan. Namun, sekilas keraguan muncul diwajahnya ketika ia bertanya, "Duchess, sebelum malam ini dimulai, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Ng?"
"Kenapa... Duchess memperlakukanku sebaik ini?" tanya Esmeralda dengan tawa yang canggung, "Bukankah... sebelum aku, Duchess hanya memperlakukan Malice sepertiku sebagai Kepala Pelayan? Tetapi kini yang kurasakan, layaknya Duchess memperlakukanku sebagai Putri kandungmu sendiri," lanjutnya.
Tao termenung sejenak memandangi wajah Esmeralda yang tampak gusar. Dia... dapat merasakan ketidakpercayaan diri dari gadis yang tadinya begitu ceria. Dia kemudian membalas Esmeralda dengan mempererat gandengan tangannya, "Karena itu kamu harus menunjukkan kepadaku kalau kamu pantas menerimanya," jawabnya.
"T-Tentu saja. Serahkan semua pada Esmeralda ini!" balas Esmeralda yang tak mau kalah.
Tanpa sadar, aku telah memegang tanganku dalam kegelapan... Menjauh dari terang yang dipancarkan saat Tao dan Esmeralda bersama. Meskipun malu mengakuinya, tetapi aku merasa iri dengan gadis itu hingga terulang pikiran di kepalaku. Jika saja... aku semanis dan seceria Esmeralda apakah Tao akan memperlakukanku seperti dia memperlakukan Esmeralda?
Tetapi pertanyaan itu sangatlah bodoh, sebab Esmeralda adalah kontrasku. Di malam debudanteku, disaat aku membuat diriku tampak bodoh dengan kegagalan demi kegagalan, Esmeralda justru menjadi permata pesta tersebut.
Dibawah terang kristal bunga lentera besar di aula dansa, tarian Tao dan Esmeralda menyihir semua mata yang memandang untuk tak berkedip. Lemah gemulai gerak tangan Esmeralda yang anggun dipadukan dengan sentuhan Tao yang cepat dan tegas membuat hati kami berdebar-debar, selalu menantikan setiap gerik mereka dengan seksama. Mereka menguasai hati kami dengan kecantikan dan keanggunan dalam setiap detik mereka berdansa... tanpa harus mengeluarkan kata-kata.
Menyesakkan, memuakkan. Aku menggigit mulutku begitu keras hingga berdarah. Rasa sakit di dadaku muncul menghunjamku tanpa ampun Dengki, iri dan terlebih... kemarahan pada diriku sendiri. Tertawa aku pada diri sendiri, sudah jelas sekarang... mengapa aku tak pernah dapat membuat Tao tersenyum dan tertawa seperti Esmeralda.
Sebab, aku... tak dapat menggantikan gadis itu. Dia... adalah batu emerald yang begitu murni dan suci sedangkan aku hanyalah seonggok Quartz yang penuh dengan darah dan dendam.
Aku segera berbalik dan pergi. Berlari dan melarikan diri dari semua keindahan itu yang bagaikan beling kristal bagiku. Aku terus berlari melewati koridor demi koridor, menerima diri... sebagai pengecut besar dunia ini, yang tak mampu melihat kebenaran di depan mataku.
Tanpa kusadari, kaki ini telah membawaku ke menara jam di tengah istana Ishtarin. Perlahan... aku menaiki tangganya, melihat keluar mozaik kaca raksasa dengan jarum jam besar itu. Pemandangan bulan yang bersinar terang sendirian di langit yang sepi.
"Apakah kamu juga kemari untuk mengagumi keindahan sang bulan?" terdengar seorang laki-laki mengajakku bicara.
Terkejut aku pun menoleh ke sampingku dan menemukan, seorang manusia berambut putih menatap duduk di tepian mosaik kaca, melihat sang rembulan dengan mata merahnya yang terang. Aku tak mempercayai diriku sendiri, sebab laki-laki yang kulihat adalah sang Raja George, di usia keduapuluhnya.
"Aku datang untuk mencarimu, Yang Mulia. Kamu tak bisa melarikan diri dari pesta ini, seperti pesta lainnya," kata Putri Annabella yang muncul dari tangga dan mendekati George, "Lagi pula, aku malu sekali memiliki calon Raja yang takut bertemu dengan wanita yang menolak cintanya," lanjutnya dengan wajah yang datar.
George begitu terkejut hingga dia terjatuh dari dipannya, wajahnya begitu merah seperti tomat yang baru direbus, "B-Bicara apa sih kamu, Anna! Aku ditolak? Hah, mana mungkin ada wanita yang menolak seorang Pangeran Mahkota sepertiku. A-Aku hanya tidak suka pada keramaian saja," katanya memalingkan wajah.
"Halah, kalau kamu nggak ditolak, kenapa tangan Duchess Noctis sekarang dipegang orang lain sedang kamu, mengambek disini seperti bocah abg yang baru patah hati pertama kali?" kata Annabella mengulurkan tangan membantu George berdiri. Tetapi dengan gugup, George menolak tangan itu dan berdiri sendiri.
"B-Bagaimana tarian mereka?" tanya George.
"Indah sekali. Aku merasa beruntung dapat melihat Duchess Noctis tersenyum begitu bahagia. Guru kita yang dingin seperti es itu, kini dapat tertawa dengan ceria seperti wanita pada umunya," jawab Putri Annabella.
George menutup matanya dan terdiam sejenak sembari memegang erat pedang disabuknya.
"Aku ingin sekali melihat Tao tersenyum dan tertawa seperti yang kamu ceritakan. Tetapi, bila aku bertemu dengan gadis udik itu... ," katanya yang kemudian menatap tajam Putri Annabella, "Aku tak tahu bisa menahan keinginanku untuk menebasnya," lanjutnya dengan dingin.
Putri Annabella tak bergeming dengan tatapan menakutkan itu, "Tetapi Esmeralda berhasil memberikan Duchess Noctis, apa yang kita tak dapat berikan. Harapan," katanya.
"Untuk apa memberikan harapan jika itu hanya akan melukai dirinya sendiri? Tao sudah paham, bagaimanapun pula, gadis udik itu adalah tumbal untuk mengurung Nyght. Aku... hanya tak ingin Tao terluka setelah kehilangan harapan lagi,"
Putri Annabella menunjukan sebuah surat dengan aroma mint dan melati disana, dengan hati-hati dia memberikannya kepada George, "Karena itu, Duchess Noctis memberikanku ini," katanya.
George segera mengambil surat itu dan membukanya. Cepat matanya membaca surat itu sebelum menggertakkan rahangnya dan merunyam surat tersebut, "Omong kosong apa ini. Tao meminta kita mencari seorang Malice lain untuk menggantikan Esmeralda? Mana mungkin aku bisa mencarinya!" ujar George kesal.
"Sebab Esmeralda adalah Malice terakhir di dunia?" kata Putri Annabella mengambil surat itu dan merapikannya kembali. Dipegangnya dengan erat surat itu di dadanya, "Tapi... inilah kali pertama Duchess Noctis meminta tolong kepada kita setulus ini. A-Aku akan berusaha mengabulkan permintannya, meskipun harus mengorbankan hidupku," katanya.
Putri Annabella pun menarik kerah George dan berkata, "Karena aku... ingin melihat orang yang kusayangi, bahagia. Meskipun bukan aku yang membuatnya demikian. Bukankah, kamu juga berpikir seperti itu, George?"
George memalingkan matanya, "Menyusahkan sekali."