Jauh dari semua mata, aku harus membawa Luciel pergi. Kekuatan penyembuhan darah anak ini tak boleh adapun seorang yang tahu. A-Aku... khawatir apa yang akan mereka lakukan padanya, bila mereka tahu darahnya dapat meringankan gejala penyakit Nyght. S-Sebab, ketika manusia melihat cahaya harpan dalam kegelapan maka ia ingin merengkuh cahaya itu.
Tiba-tiba Luciel memaksa melepaskan erat genggaman tanganku, ketika kami berada disebuah gang yang sepi.
"Bunda kenapa sih?" katanya.
Aku segera memegang pundak anak itu, "S-Sejak kapan kamu tahu" tanyaku kepadanya.
Luciel tampak ketakutan ketika menjawabku, "S-S-Sejak Luciel membaca Buku merah di kamar Bunda seminggu yang lalu. B-Buku itu... seperti memanggilku."
"Chronostoria Tao," gumamku membekap wajahku.
Sungguh lalai sekali diriku.Seharusnya aku memasang sihir pelindung pada buku itu agar tak siapapun bisa membacanya. Chronostoria Tao hanya dapat dibuka oleh seorang Ancient, dari buku itulah aku banyak belajar tentang kemampuanku. Meskipun dahulu aku mencoba memusnahkan buku itu, tetapi ia selalu kembali menjadi satu dan menempel padaku.
Tetapi sepertinya Luciel lupa bahwa didalam buku itu tertulis kisah seorang Ancient yang ditangkap oleh umat manusia dan diperalat untuk menemukan obat keabadian.
"Jangan lakukan itu lagi, Luciel. Aku mohon, " kataku.
"Kenapa? Apa salahnya menggunakan kekuatan ini bila aku bisa menolong orang lain?" tanya Luciel balik.
"Bila kamu terus menerus melakukan itu maka setiap orang akan mencari darahmu. Manusia itu kejam, Luciel apalagi disaat krisis seperti ini. Kamu takkan tahu apa yang mereka akan lakukan padamu," jelasku.
"B-bunda tidak mengerti! Lantas bunda berharap aku diam saja ketika ada yang menderita sepertiku dulu? Aku tidak bisa!" teriak Luciel yang kemudian berjongkok menutupi wajahnya sambil terisak-isak.
Arielle yang baru datang segera mengelus rambut luciel dan berusaha menenangkannya. Bingung apa yang harus kulakukan, aku pun meminta Arielle, "Tolong, Putri... Temani Luciel di kereta. Bawa dia jauh dari tempat ini agar tak ada siapapun melihatnya. Biar Arthur dan aku yang mencari jejak Tao," pintaku.
Tanpa bertanya, Arielle mengangguk dan memapah Luciel kembali ke kereta. Aku melihat punggung kecil Luciel dari belakang sambil memaki diriku sendiri. Kenapa justru aku memarahinya? Bukankah... ada cara yang lebih baik untuk menyampaikan pesanku?
"Baru kali ini aku melihat Luciel sesedih itu," tiba-tiba Arthur berkata dari mulut gang, "Pasti... hatinya kecewa sekali, setelah apa yang dia percayai ditolak oleh ibunya sendiri," lanjutnya.
"Kita harus cepat, Arthur," balasku yang langsung mengeratkan tudung jubahku lalu pergi berbaur dengan kegelapan.
Ditolak oleh ibunya sendiri... Mengapa aku justru melukai orang yang ingin kulindungi, sama seperti Ibu melukaiku. Apakah benar kata mereka, buah tak jatuh jauh dari pohonnya?
Tidak, aku bukanlah Tao!
Kami pun sampai di kompleks Pabrik Iroha, tetapi menurutku, sebuah benteng lebih tepat mendeskripsikannya. Kompleks itu dikelilingi oleh dinding nan tinggi, dengan penjagaan yang ketat. Seluruh penjaganya memiliki perlengkapan yang mutakhir dan pula senapan sihir. Aku dan Arthur bersembunyi di salah satu perumahan yang kosong, memperhatikan penjagaan pabrik tersebut
"Sepertinya tebakan Dame Claris benar. Tempat ini mencurigakan," kata Arthur yang mengintip dibalik jendela, "Kenapa penjagaan sebuah pabrik seketat penjagaan istana Ishtarin? Dan terlebih... Senapan sihir itu, Rizoullette, dalah model terbaru yang hanya diproduksi di Kinje," lanjutnya.
"Maksudmu, Kerajaan Kinje terlibat dalam semua ini?" tanyaku bingung.
"Tidak mengherankan... Sebab bila Pei Jin jatuh di tangan Kinje, maka perperangan telah dimenangkan oleh Kinje. Sebab kota ini adalah jantung perdangan dunia, tanpa kota ini Uni Erites takkan bisa melakukan perdagangan laut dan mendapatkan suplai senjatanya," jelas Arthur yang tersenyum.
Tak pernah aku melihat Arthur tersenyum lebar seperti ini. Bila tak ada Arielle disekitarnya, laki-laki ini tampak seperti orang yang berbeda. Layakanya serigala yang haus akan tantangan.
Tiba-tiba Arthur mengambil sebuah kertas dari tasnya. Denah Pabrik Iroha beserta jalan masuknya. Terkejut aku melihat benda itu dan bertanya, "Darimana kamu mendapatkan denah ini?"
"Dame kira setelah sembuh aku hanya berdiam diri saja? Jangan remehkan seorang Matrovska," kata Arthur.
Matrovska, korps elit yang telah dididik oleh Keluarga Kerajaan sejak kecil. Hanya mereka yang memiliki kapasitas fisik dan sihir yang tinggi sajalah yang dapat diterima disana. Orang-orang yang sama yang menyerang kediamanku saat kecil. Sungguh lucu sekali, takdir membawaku sekarang bekerja sama dengan musuhku di masa lalu.
Hanya saja... Arthur terlalu muda untuk menjadi Matrovska. Apa yang dia lalui sehingga memiliki kemampuannya sekarang?
Sihir cahaya redup menerangi peta itu, Arthur menunjuk sbeuah ruang lingkaran di tengah pabrik Iroha,
"Disini, terdapat sebuah bunker bawah tanah yang mencurigakan. Aku hampir saja emncapainya dulu, tetapi Taiga menjaga Bunker itu. Sepertinya mereka menyembunyikan sesuatu disana," kata Arthur yang kemudian menunjuk sebuah pintu masuk melingkari dinding Pabrik Iroha. Celah yang menghadap sungai Patricia, tempat mereka mensuplai bahan baku Bunga Lentera.
"Bila kita masuk lewat saluran air di Distrik Agneyastra, kita bisa menyelinap ke pelabuhan Iroha. Disana, penjagaan lebih sepi," kata Arthur.
"Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo cepat kita selesaikan semua ini, Arthur," kataku tak sabar.
"J-Jangan gegabah Dame, plis. Mungkin Dame masih dapat hidup bila tertembak senapan itu, tapi kalau aku sudah pasti mati. Lagipula kita tidak tahu apakah penjagaannya bertambah ketat setelah aku gagal menginfiltrasinya dulu," jelas Arthur.
Haah, sulit sekali. Aku pun melihat dinding tebal Pabrik itu, berpikir bila aku mengamuk aku bisa saja menembus pertahanan ini. Tetapi... perkataan Ibu mengganjal hatiku.
"...Apa bedanya kamu denganku sekarang?"
Kuketatkan rahangku. Aku berbeda, aku bukan pembunuh berdarah dingin sepertimu Tao. Aku akan menghentikan semua kegilaan ini.
Tiba-tiba di langit aku melihat seekor burung gagak terbang melewati pabrik tersebut. Para prajurit tidak dapat melihat burung tersebut sehingga dengan mudahnya dia melewati penjagaan itu. Sebuah idepun muncul di kepalaku.
"Bila lewat tanah ataupun air berbahaya, bagaimana bila lewat langit?" tanyaku.
Arthur menekuk alisnya bingung, "Dame... tidak membuat rencana yang gila kan?"
Tersenyum aku yang kemudian membuka punggungku dengan lebar dan menumbuhkan sayap lebar dari tulang dan darah. Memang.... tampilannya sangat menakutkan selayaknya sayap naga yang bangkit dari kematian, tetapi setidaknya praktis.
Mendengus, Arthur tertawa kecil, "Dame tak pernah berhenti membuatku terkejut."
"Kamu takut ketinggian?"
"Demi cinta, tak ada yang kutakutkan, Dame. Setelah ini... Dame berjanji akan melepaskan kutukan Arielle, kan?"
Aku mengangguk, meskipun dalam hatiku aku ragu. Sebab mereka tak tahu bahwa sihir tersebut berakar dari pengorbanan begitu banyak jiwa mereka yang tak bersalah. A-Aku... tak ingin mereka merasa bersalah karena itu.
Mungkin kelemahan hatiku inilah yang membuatku pantas dikutuk. Aku telah membawa kedua bocah polos ini dalam harapan yang palsu. Sebab Tao yang kutemi seminggu yang lalu... tidak mungkin mau mengabulkan permintaan mereka.
Kubah tanah menghalangi terang matahari menembus kota Pei Jin. Kegelapan pun melingkupi langit dengan pekat. Ketika semua mata memandang apa yang ada di tanah, kini langitpun bebas. Sebebas sayapku yang mengepak pelan sambil melesat dilangit dengan Arthur dalam gendonganku menuju Pabrik Iroha.
"A-Anjrit!! Ngeri banget! Ga mau lagi deh, nonono!" kata Arthur ketakutan.
"Ssst, jangan berisik, nanti kedengaran," peringatku saat hampir dekat dengan gedung utama Pabrik Iroha, yang terlihat bagaikan tempurung kura-kura raksasa yang dari seng dan tembaha.
Kebetulan ada sebuah ruangan di gedung itu yang memiliki jendela yang terbuka. Kami berdua pun menembus jendela tersebut, sukses melewati segala penjagaan tanpa terdeteksi. Arthur pun langsung memuntahkan isi perutnya selagi aku memperhatikan ruangan yang kamu susupi itu.
Telingaku segera berdiri mencari arah-arah suara yang mendekat ke kami. Aku tak dapat tenang, sebab ruangan yang kami masuki penuh dengan bau Mint dan Melati. Bau tubuh Tao.
Namun, hingga Arthur selesai mengeluarkan isi perutnya, tak ada suara apapun di gedung ini. Bahkan suara tikus ataupun nyamuk sekalipun. Hening tanpa kehidupan... yang membuatku semakin curiga.
Ruangan itu gelap dan hanya diterangi oleh terang sayu bunga lentera di tembok pabrik, aku berusaha menerawang isi ruangan itu. Hingga tiba-tiba tanganku menyenggol sesuatu hingga jatuh.
Aku refleks menangkap benda itu karena takut mengundang perhatian penjaga kesini. Benda itu adalah.. sebuah papan nama, yang tertulis 'Amelia Sonata, Direktur Utama'.
"Ini... Ruangan Ibu?" gumamku sembali mengembalikan papan nama tersebut di meja kerja. Mataku kemudian tertarik pada sebuah pigura dengan photomagia tua disana.
Foto Tao yang tersenyum bersama seekor wanita suku muso, yang menggendong bayi kecil.