Chereads / Bunga Lentera / Chapter 32 - Regresi (3)

Chapter 32 - Regresi (3)

Siapa wanita rubah ini? Selama aku kecil, tak pernah aku melihat dia diantara pelayan Tao, bahkan lukisannya pun tak ada. Tao terlihat begitu dekat wanita ini.... Seperti seorang ibu dengan anak. Tao memang memiliki kebiasaan melukis para pelayan yang dekat dengannya di kediaman Noctis. Lantas... bila sedekat ini, kenapa Tao tidak melukisnya?

"Ada apa Dame? Kamu serius sekali melihat foto itu," tanya Arthur.

Aku segera menggelengkan kepalaku dan menaruh kembali foto itu di meja, "Tidak, aku hanya penasaran saja. Sepertinya kantor ini milik Magistrat Tao. Dia bahkan tidak repot-repot menyembunyikan namanya," kataku sambil menunjuk papan nama tadi.

"Duchess Noctis sudah menutupi namanya kok. Bila ia menggunakan nama keluarga Noctis, maka seluruh dunia mengenalnya,"

Aku terdiam. Memang benar yang Arthur katakan. Nama keluarga noctis memiliki kekuasaan yang besar di dunia ini. Karena itulah dahulu, aku dapat bertahan hidup setelah Tao pergi. Meskipun hyena-hyena haus darah selalu disekitarku... mengincar harta.

Tunggu dulu... Ini aneh.

"Berarti kamu tahu aku pun seorang Noctis?" tanyaku.

Arthur mengangguk antusias, "Tentu saja! Jangan remehkan seorang Matrovska. Tetapi, aku mengira Putri memiliki alasan khusus menyembunyikannya, jadi tidak pernah kuungkit, " katanya sombong.

"W-Wow, ini aku yang kurang peka atau kalian berdua memang manusia yang penuh kejutan?" gumamku.

Arthur tertawa kecil sembari membuka pintu keluar dengan hati-hati, "Dari dulu, Putri Noctis memang terkenal kurang peka. Tetapi memang siapa yang akan menyangka gadis polos sepertimu adalah penerus keluarga Noctis?" katanyanya sambil celingak-celinguk memastikan tak ada penjaga, "Aman. Ayo!"

Kata-kata yang keluar dari mulut Arthur, persis dengan kata-kata para bangsawan lainnya ketika bertemu denganku di acara debudante Kerajaan, saatku berumur empatbelas tahun. Saat itu Tao membawaku masuk ke istana kerajaan dan tanpa memberitahuku dia mengatakan bahwa aku harus berdansa dengan anggun disana... sebagai ajang debutku, sang penerus keluarga Noctis.

Tao tak pernah sekalipun menceritakan bahwa aku adalah Putri dari keluarga kaya raya sehingga tentu saja aku mengacau luar biasa hari itu. Seakan selama ini Tao mengurungku dalam dunia dongeng.

BUK!

"A-Ah, aku tersangkut," kataku yang gagal melewati liang pintu itu.... karena sayapku yang besar tersangkut di tepinya.

Arthur tak mampu menahan tawanya. Ia pun jatuh terguling-guling di lantai menertawakanku, "A-A-Astagaaa, Tuan Putri Noctis ini... sama sekali tak berubah. Selalu polos dan ceroboh seperti 15 tahun lalu," katanya lagi yang lalu menunjukku, "Apakah kamu lupa, berapa banyak kaki laki-laki yang kamu tinjak saat berdansa di acara debudante itu? Aku menghitungnya! Totalnya limabelas pemuda yang malang!" lanjutnya meledekku.

"Y-Ya, maaf. Darisananya aku memang begini!" balasku kesal sembari menarik sayapku kembali masuk ke dalam daging punggungku. Tetapi aku tersadar akan hal yang aneh.

"Tunggu dulu. Limabelas tahun yang lalu... Bagaimana kamu bisa tahu? Bukankah waktu itu kamu hanya berumur tiga tahun?"

Arthur tersenyum jenaka, "R-a-h-a-s-i-a."

Tiba-tiba terdengar suara teriakan, "OI, SIAPA DISANA!" bersama terang bunga lentera yang mendekati kami. Sial, sepertinya para penjaga mengetahui kehadiran kami disini!

Arthur segera menarik tanganku dan membawaku pergi. Kami berdua berlari begitu kencang menghindari para penjaga yang semakin banyak mengejar kami. Hingga akhirnya diujung lorong kami dikepung dari segala arah, lengkap dengan senapan yang mengarah pada kami.

"W-Waduh, kalau udah kayak gini, kita mesti gimana ya, Putri?" tanya Arthur yang pura-pura polos. Dari wajah itu aku sudah tahu bahwa dia sengaja membuat keributan dan menarik perhatian pasukan ini.

"Ya mau gimana lagi, tembus," kataku bodo amat sembari berlutut. Segera kuubah tubuhku menjadi seekor rubah besar berkulit tulang dan darah, wujud asliku dan mengaung begitu keras membuat pasukan itu gentar.

"M-Monster!! Tunggu apalagi, tembak dia!" kata pemimpin pasukan itu yang segera diikuti oleh hujan peluru sihir kearahku.

Namun percuma saja, peluru itu tidak mampu menembus pelindung tulangku yang telah diimbuhi sihir. Tujuh tahun telah berlalu dan kini aku telah menguasai tubuhku dengan sempurna... semua karena aku tidak mengulang lagi tragedi Quina. Hanya Taigalah orang di dunia ini yang berhasil menembus pertahananku.

"Waaaah, enaknya punya perisai yang bisa diandalkan," kata Arthur yang bersembunyi dibalik tubuhku, "Sepertinya tidak sia-sia aku mengajakmu kemari, Tuan Putri," lanjutnya.

Sialan, bocah ini... Sifatnya berubah drastis. Aku kira dia pemuda yang sopan tapi semua itu hanyalah bualannya di depan Arielle.

"Naik ke punggungku," teriakku.

Terkejut, Arthur tersenyum lebar kemudian, "E-Eh, sungguh? Aku boleh menunggangimu? Uasyiiikkk!" katanya yang segera melompat ke punggungku, "Uwaaah, apa yang kulakukan sehingga bisa mendapatkan kehormatan seperti ini?"

"Diam kamu! Pegangan yang erat, biar ga jatuh," omelku.

Tanpa menunggu jawaban Arthur, aku pun segera melesat dengan cepat, menghantam semua penjaga yang menghalangi kami. Telingaku dapat menangkap teriakan Arthur yang kewalahan memegangi tanduk tulangku. Heh, biar tahu rasa!

Namun, setelah berlari lama, kami pun berhenti setelah menemui jalan buntu. Bingung, aku pun bertanya, "Loh, bukannya menurut peta, disini seharusnya ada pintu ke ruang bawah tanah?"

"Wadudu, masa intelku salah? Tapi gimana lagi... sejujurnya, aku tak pernah dapat menyusup sejauh ini. Kemarin aku di KO Taiga di lapangan siiih," ujar Arthur.

"Ha?! Kamu serius?"

"Ya, tentu saja," kata Arthur yang kemudian turun dari punggungku dan segera memegangi lututnya yang gemetar.

Dengan waktu kami yang pendek, Arthur memeriksa jalan buntu itu dengan santai. Kesal aku pun menegurnya, "Kalau buntu, lebih baik kita pergi dari sini."

Tetapi Arthur menggelengkan kepalanya, "Kenapa? Sudah sulit-sulit kemari, masa kesempatan emas ini mau dilewatkan?" katanya yang kemudian meraba dinding jalan buntu itu, "Apalagi dengan jebakan murahan seperti ini," katanya.

"Repeal," katanya yang sekejap memunculkan lingkar sihir merah di telapan tangannya. Lingkar sihir itu membentuk sebuah garis yang menghujam sudut-sudut dinding itu dan memecahkannya seperti debu yang dihembuskan angin. Setelah debu itu bersih, terlihatlah sebuah tangga yang panjang dan gelap menuju bawah tanah.

"Jadi selama ini, kamu hanya bersandiwara saja?" tanyaku sembari mengecilkan lagi tubuhku dan segera membuat pakaian sihir untuk menutupi tubuhku. Berbeda dengan Arthur yang kukenal, anak ini tak lagi memberikanku respon layaknya perjaka ketika sekejap melihat tubuhku.

"Bahasa sihir itu hanya dapat digunakan oleh mereka dengan darah Keluarga Kerajaan mengalir di tubuhnya. Kamu... sebenarnya siapa?" tanyaku lantang.

Repeal, sihir kuno yang diciptakan oleh Raja George untuk menghapus segala tipu muslihat sihir yang menutupi kebenaran. Aku sendiri hanya membacanya dari Chronostoria Tao, katanya tak sembarang keluarga dapat menggunakan sihir tersebut. Hanyalah dia yang memiliki darah Keluarga Kerajaan termurni sajalah yang dapat menggunakannya.

Arthur membalas tanyaku dengan wajah bingung, "Loh bukannya kamu sudah tahu?" katanya lagi yang kemudian memegangi dadanya. Di tangannya aku dapat melihat sebuah lambang matahari yang bersinar merah redup, "Aku adalah Arthur, seorang Matrovska dan juga suami dari istriku tercinta, Arielle."

"Arthurius Georgian Gremory," katanya dengan senyum yang menakutkan.

Suara tapak kaki yang banyak kian terdengar mendekati kami, lagi, tanpa menunggu persetujuanku dia menarik tanganku masuk ke bawah tanah. Dengan mudahnya dia menutup kembali dinding ilusi sihir itu dan menipu semua penjaga sembari mengolok mereka dibalik dinding itu.

Tetapi, aku tidak dapat tenang. Sebab dibanding penjaga yang banyak itu, laki-laki ini jauh lebih berbahaya. Sebab dia adalah,

"Kamu... Raja George?"

Laki-laki itu menoleh kepadaku dan menatapku dengan mata merahnya yang tajam. Senyum melengkung di wajahnya. Meskipun telah memiliki raga yang lain, tetapi senyuman licik dan busuk itu, aku mengenalnya sekali. Sebab hanya satu orang saja yang memiliki senyuman seperti itu.

"Terserah kamu memahamiku bagaimana, Eclair Cadenza Noctis," katanya mendekatiku dengan senyumannya yang membuat bulu kudukku berdiri.