Chereads / Bunga Lentera / Chapter 23 - March of Time (4)

Chapter 23 - March of Time (4)

Kubuka pintu rumahku dengan lega yang sangat. Seakan telah pergi selama sepuluh tahun, aku merindukan rumahku sendiri padahal baru saja pergi selama enam jam. Sungguh, hari yang melelahkan.

Pukul sudah mencapai jarum enam, ketika aku pulang. Pikiranku penuh dengan kereta yang berlalu lalang meminta perhatian. Kondisi Luciel yang belum sadarkan diri. Paman Taiga yang berada di kota ini. Arielle yang memiliki kaitan dengan Putri Annabella dan pula... seseorang selain Ibu memulai wabah penyakit Nyght ini. Haaah, aku tertidur selama tiga hari dan lihat betapa banyak masalah langsung menyerbuku.

Grrrwlwllw! erutku mulai bergerumul meronta-ronta meminta makanan. Dasar, ketika kepalamu pusing, kamu cuma minta makanan mulu kerjaannya, hey perut!

Tiba-tiba, Arielle menongolkan kepalanya dibalik pintu menuju ruang makan dan tersenyum kepadaku, "Welcome home!"

"A-Ah, iya... Aku pulang," kataku canggung. Lidahku menjadi kaku dan telingaku bingung ketika mendengar dua kata itu. begitu asing karena selama hidupku, aku tak pernah mendengar dan mengucapkannya.

Tetapi, melihat senyuman Arielle, kata-kata itu membuat dadaku terasa hangat. Aneh, padahal aku baru saja bertemu Arthur dan Arielle hari ini, tetapi aku merasa lega melihat mereka berada di rumah. Apakah aku segitu kesepian?

"Kak Arielle dimanaa?? Luciel lapar!" terdengar suara anak menggema dibalik Arielle. Gadis itu segera memalingkan wajah dan rasa senang langsung tersirat di wajahnya ketika ia berjongkok menyambut Luciel, "Sabar ya Sayang, Bunda baru saja datang. Ayo, sini, kasih sapa ke Bunda dulu," kata Arielle.

Bunda? Aku menekuk alisku ketika menaruh tas kulitku di meja kasir dan melihat tumpukan surat disana. Ugh, banyak sekali pesanannya, tentu saja, aku kan tertidur 3 hari.

Arielle pun berdiri dan mendorong seorang anak kecil yang memegang erat gaunnya. Luciel menatapku dengan matanya yang bulat besar malu-malu. E-Eh? L-Lucu sekali anak ini, siapa yang memberikan pita pink di rambut hitamnya itu?

"Bunda...?" tanya Luciel.

E-Eh? Aku? Aku seorang Bunda? Aku menunjuk diriku sendiri sambil menatap Arielle bingung. Tetapi gadis itu tampak kewalahan dan berbisik, "Udah, ikutin aja!"

"A-Ah... Y-Ya, ini Bunda, Luciel," kataku canggung sambil mendekati anak itu hati-hati.

Tetapi, gadis kecil itu langsung melompat menjauhiku lalu menutup hidungnya, "Bunda bau!!!" teriaknya yang kemudian berlari meninggalkan aku dan Arielle.

Keringat dingin mengucur di dahiku ketika aku tak sadar membaui tubuhku sendiri. Astaga, gadis itu benar. A-A-Aku bau berbagai hal bercampur jadi satu! Arielle menahan tawanya, membuat wajahku memerah dan malu. Astaga... sudah berapa lama aku tak merasakan hal ini?

"Dame Claris mau mandi? Air panasnya sudah saya siapkan," kata Arielle kemudian, masih menahan tawa.

"Kamu ya, dasar. Siapa yang bilang ke Luciel aku adalah ibunya?" tanyaku bingung.

"Arthur!" kata Arielle tersenyum meringis.

"Aaah, kalian inii," kataku menggaruk-garuk rambutku lalu menghela nafas, "Aku, seseorang yang bau amis oleh darah ini, menjadi orang tua? Tidak mungkin," lanjutku.

Arielle kemudian menekuk kepalanya bingung, "Lalu, setelah menyelamatkan Luciel, Dame memiliki rencana apa untuknya?" katanya yang kemudian melotot dan membekap mulutnya, "Jangan-jangan Dame berencana menaruh anak imut itu ke panti asuhan? Iiihh, dingin sekali," lanjutnya.

A-Astaga, gadis itu menebakku dengan mudahnya. Daripada hidup bersama penyihir tua sepertiku, Luciel lebih baik tinggal bersama mereka yang sudah terlatih untuk merawat anak. Itu solusi yang terbaik, ya, ya. Tetapi, gadis ini... mengacaukan semuanya dan membuat Luciel terikat denganku.

"Aku tak tahu apapun tentang menjadi orang tua," eluhku memegang kepala yang pusing.

Arielle menepuk pundakku berkali-kali, "Dame tenanglah. Ketika Dame menerima kami di rumah ini, aku percaya, Dame Claris memiliki sisi lembut untuk anak-anak. Sederhananya, Dame tinggal kasih makan, tempat tinggal, pakaian dan pendidikan, dan wala, Dame sudah menjadi seorang ibu!" katanya terlalu optimis.

"Mana ada. Jadi orang tua itu nggak sekedar kasih makan, tapi kan juga merawat anaknya dari kecil sampai besar. Memberikan perhatian, membina dan mendidik, memberikan kehangatan saat sedih, dan banyak lagi," jawabku segera, "D-dan, siapa yang bilang aku menerima kalian disini?" tanyaku bingung.

Arielle membekap mulutnya lagi, "J-Jadi Dame mau menendang kami dari rumah ini? S-S-Setelah kami mengurus toko dan Luciel seharian? Uuuuhh, kejam sekali," eluhnya.

"A-Arieelllleee!!!" geramku gemas.

Tiba-tiba Arielle mendorongku masuk ke kamar mandi sambil berkata, "Sudah-sudah, nggak usah banyak pikir, Dame. Ikuti saja arusnya. Hahahaa."

Aku pun melongo menemukan diriku terkunci di kamar mandi. Pikiranku pecah dengan berbagai masalah yang datang bertubi-tubi tanpa henti. Haah, apa yang mesti kulakukan sekarang? Pikirku.

Hidungku kemudian mengendus tubuhku sendiri dan... yap, sepertinya yang paling penting, aku mesti mandi dulu.

Melepaskan pakaianku, mengikat rambutku agar tidak masuk ke air, aku pun berendam di bathtub. Panas air itu menyerap hingga ke tulang-tulangku, bersamaan dengan itu, lega kurasa pada setiap lekuk ototku. Telingaku pun rileks sembari aku menghela nafas yang panjang.

Aneh ya, pikirku. Kamar mandi biru itu... kini terasa berbeda. Dari tempat yang dingin dan menyakitkan, kini... menjadi hangat dan menenangkan. Perbincanganku dengan Luciel dan Arielle kini merekahkan senyuman di wajahku ketika aku mengingatnya. Aah, Perasaan seperti ini... sekali-kali terasa menyenangkan.

Aku pun teringat, dahulu, aku pernah merasakan hal ini.

Hari itu, hujan menghampiri kediaman Noctis. Aku yang masih anak-anak, mungkin baru berusia empat tahun, berlari keluar dan bermain di lumpur meskipun para pelayan berusaha menangkapku dengan sia-sia. Bersama tiap rintik hujan, aku menari sambil tertawa, layaknya anak-anak biasa.

Tetapi ketika aku kembali ke rumah, Ibu menatapku dengan mata dinginnya yang membuatku takut. Dia kemudian mengulurkan tangannya kepadaku. Aku mengira ia akan menghukumku karena nakal, tetapi tidak. Ia justru mencubit pipiku kemudian mengambil telapak tanganku dengan tangannya yang dingin.

Setelah itu, Ibu memandikanku di bathtub dengan air hangat yang sama dengan yang kurasakan sekarang. Saat itu pun... aku merasakan sesuatu yang asing, tetapi membuatku nyaman.

Aku merasa disayangi oleh Ibu, meskipun seperti biasa, wajahnya selalu dingin datar seperti boneka porselain. Tetapi... itu adalah salah satu kenangan yang indah, tentang aku dan Ibu.

Seusai mandi, aku pun melangkah mengitu aroma yang begitu sedap dari dapur. Disana, aku menemukan Luciel dengan riang menantikan makanannya yang sedang dimasak dengan kikuk oleh Arthur dan Arielle. Aku tertawa kecil, sembari bersandari di dinding dan saat itu.

"Oh iya ya," gumamku melihat tubuhku sendiri. Tersadar aku belum mengenakan baju. Untung saja anak-anak itu belum menyadari kedatanganku.

Ouch, kebiasaan hidup sendiriku kena lagi. Segera aku membuat baju sederhana dari sihir dan mengambil susu dari tong kulkas. Menantikan makananku sambil melihat keriangan yang terjadi dihadapanku.

Ah... kenapa dapurku yang sempit dan membosankan, kini terlihat sangat menyenangkan?

"Yes, jadi! Phew!" kata Arthur riang. Bocah laki-laki itu kemudian mengajak istrinya tos, begitu pula Luciel kecil. Mereka kemudian melihatku dan tersenyum, "Madam, ini, resep terhebat kami! Coba rasakan."

Aku tersenyum geli, melihat kekacauan dapur yang mereka berusaha sembunyikan. Dasar, kurang berpengalaman tapi memaksakan diri memasak, pikirku.

"Oya, oya, sini, coba aku tes," kataku yang kemudian mengambil sebuah piring dan mencoba satu porsi spaghetti bolognaise yang dibuat oleh Arthur dan Arielle.

Aaahh, mereka lupa memberikan gula, sehingga rasanya masih kurang ngejreng. Ketika aku ingin memberikan saran, tiba-tiba aku pun teringat... Ibu pernah diposisi yang sama denganku saat ini.

Ketika itu, aku membuat sebuah ramuan sihir yang ibu lihat. Saat itu, ia mengacak-acak rambutku dan berkata...

"Hebat sekali, kamu sepertinya memiliki bakat. Hmmm, tapi mungkin apabila ditambah sedikit gula, bakal lebih jreng lagi," kataku memimik perkataan ibu saat itu.

"Luciel mau nambahin!" pinta Luciel kepadaku yang sudah siap untuk dipeluk. Aku pun tersenyum dan mengangkat anak gadis itu lalu menunjukan dimana pot penyimpanan gula berada. Dengan perlahan, aku mengajari Luciel untuk memasukan takaran gula yang pas. Setelah sukses dan menciptakan spaghetti yang enak, kami semua pun tos dan makan satu meja sambil bercanda tawa.

Melihat Arthur, Arielle dan Luciel bercanda tawa di hadapanku, menyadarkanku sesuatu. Bahwa makanan... akan selalu terasa nikmat ketika dinikmati bersama.

Mungkin... inilah mengapa, Ibu selalu menemaniku makan, meskipun di tengah kesibukannya. Saat makan malam itu, sebuah percikan pemikiran pun datang.

Mungkin... sesungguhnya, Ibu juga menyayangiku... dengan caranya sendiri.