Semerbak bau tajam menyerang hidungku, bersama dengan teriakan penderitaan dibalik pintu rumah sakit membuatku melangkah mundur. Dibanding tiga hari yang lalu, sepertinya situasi di dalam sana jauh lebih parah. Ini mengingatkanku pada posko bencana di Hilfhiem.
"Bunda kenapa?" tanya Luciel.
Terkejut aku menoleh ke Luciel yang menatapku bingung. Aku tersadar bahwa tanganku telah lama basah oleh keringat dingin. Kupaksakan senyum di bibirku ketika berkata, "Tidak apa-apa.. S-Sebaiknya, kita pulang saja, Luciel. Disini... ah, lupakan."
Aku pun menuntun Luciel menjauh dari klinik itu, karena kutahu bahwa apa yang menanti kami di dalam bangunan itu akan memberikan luka pada Luciel. Tetapi, Luciel membuatku terkejut ketika ia memegang tanganku erat dan menatapku lagi,
"A-Apakah Bunda tidak bisa... menolong yang lainnya seperti Bunda menolong Luciel?" tanya Luciel polos.
Ah, tatapan mata melas itu membuat hatiku terenyuh. Andai, aku dapat berkata dapat dan merekahkan senyum harapan di wajahnya, pasti telah kulakukan. Namun, tanganku yang gemetar tak mampu menyembunyikan ketakutanku.
Tak ada apapun yang dapat melawan wabah Nyght. Penyakit tersebut adalah perpanjangan tangan dari sang dewi kematian. Siapapun yang berada di jangkauan cakar belatinya, takkan berharap bisa hidup. Aku harus menerima fakta itu, ketika aku bertemu dengan wabah Nyght di Hilfheim.
"... Aku tak memiliki cukup kekuatan untuk menolong mereka, seperti aku menolongmu. Aku... sesungguhnya sangat lemah," kataku seperti anak kecil yang memberi alasan atas kegagalannya, tak mau mengakui kepengecutan diriku.
"Bunda tak bisa berhenti," kata Luciel tiba-tiba mengetatkan pegangan tangannya, "Sebab Bunda telah memberi Luciel anak sebatang kara ini,. harapan. Luciel ingin Bunda juga memberi harapan pada orang-orang dibalik pintu itu," lanjutnya.
"T-Tidak Luciel, k-kamu tidak mengerti-"
"Bunda harus tetap semangat!" kata Luciel menghentak hatiku dengan kemauannya yang keras. Tertegun aku melihat kesungguhan anak ini sampai tak menyadari bahwa ia menarikku masuk ke dalam rumah sakit itu.
Perkataan Luciel mengingatkanku kepada Lumina. Saat aku pun sedang murung dan gundah karena penyakit ini, adikku menepuk kedua pipiku dengan keras dan mengatakan hal yang sama.
Sungguh betapa menyedihkannya aku, sampai-sampai anak kecil menyemangatiku demikian. Ketika aku sebagai yang dewasa harusnya memberikan contoh, namun kini aku mendapati diriku justru dituntun oleh Luciel. Sungguh...
Saat masuk ke dalam rumah sakit, kami berdua melihat betapa berantakannya tempat itu. Darah tertumpah dimanapun mata memandang dan banyak korban wabah terbaring di tikar dengan peralatan seadanya. Eluhan nyeri terdengar hingga ujung ruang, menari dalam tarian penderitaan.
Salah seorang korban tiba-tiba memegang tangan Luciel, menatapnya dengan muka melas sambil berkata, "Tolong... hentikan ... semua penderitaan ini..."
Tubuh laki-laki itu telah penuh dengan retakan-retakan yang mengeluarkan darah. Tubuhnya mengurus dan matanya cembung. Mulutnya merah diwarnai oleh darah yang mengganti warna giginya menjadi sewarna. Ketika melihat laki-laki itu... aku pun tahu, bahwa ia tak memiliki waktu lama lagi.
Ketika aku ingin memisahkan laki-laki itu dari Luciel, gadis kecil itu membuatku terkejut ketika ia membelai kepala laki-laki itu. Bukanlah rasa jijik yang ditunjukan wajahnya, melainkan belas kasih dan kehangatan, sembari ia membantu membaringkan laki-laki itu... dan menutup matanya sambil mengucapkan mantra tidur.
"Darimana kamu tahu mantra itu?" tanyaku.
"Bunda yang mengajarkannya kepadaku, bukan?" jawab Luciel dengan pertanyaan.
"Apakah kamu tidak... jijik melihat kondisi orang itu?" tanyaku lagi.
"Mengapa Bunda...? Sebab tiga hari yang lalu, aku pun demikian," tanya Luciel kembali.
Gadis ini... sungguh membuatku tidak mengerti. Ada saat ia menunjukan sisinya yang kekanak-kanakan, tetapi kini ia justru muncul sebagai sosok yang jauh lebih dewasa dari anak seumurannya... bahkan mungkin dibandingkan diriku sendiri.
"Siapa kalian?" kata suara familiar diikuti oleh desis lidah.
Melihatku, wajah Dokter Oe pun menjadi merah padam penuh kekesalan. Dia kemudian segera meluncur secepat kilat dari meja jaga menuju tempat kami dan menangkapku dengan ekornya, "SIISSSSHH! K-Kamuuu!! Berani sekali kamu datang kesini lagi, Claris? Setelah menipu dan menculik pasienku disaat aku lengah!" katanya kesal.
Tertawa canggung aku membenamkan diri di dalam dekapan ekor ular itu. Percuma, kalau sudah tertangkap oleh bangsa lamia, genggaman ekornya begitu kuat dan mampu meremukan dinding baja sekalipun.
"D-D-Dok, kamu salah paham. A-Aku tidak menculik siapapun," kataku.
"Kamu kira aku bodoh, ha? Aku tahu semua pasienku dari A sampai Z. Apalagi anak itu," katanya yang kemudian melihat Luciel dan melotot kaget, "H-H-Ha?! K-K-Kok bisa? K-Kamu hantu?! HSHIISSSHH," katanya yang melepaskan tubuhku dan langsung melingkari Luciel dan memperhatikannya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Dokter Oe, Luciel bukan hantu kok," kata Luciel tersenyum manis.
"T-tapi kulitmu jadi dingin begini... Jangan bilang, penyihir gila ini mengubahmu jadii Zombie? Dasaaaarrrrrrr kamu Clariis, berani-beraninya kamu menculik malaikat klinikku dan menodainya dengan sihir necromancy!" kata Oe yang mendesis marah kepadaku.
"Sudah kubilang, aku tidak menculik Luciel ataupun mengubahnya jadi Zombie. Aku hanya melakukan ritual untuk menyelamatkannya dari-" aku menahan kata-kataku, menyadari kesalahan fatal yang telah kulakukan.
Mendengar teriakanku, seluruh korban terbangun. Desas desus mulai muncul diantara mereka, menggila seperti kobaran api.
"Penyihir itu bisa menyembuhkan penyakit ini?"
"Benarkah?"
"Iya, lihat, itu kan si Luciel, dia bisa sehat bugar gitu!"
"B-Berarti masih ada harapan? Puji Tuhan!!"
Dan desas desus lainnya segera mewarnai rumah sakit itu, menatapku dengan mata penuh harapan dan ekspetasi.
"T-Ti-Tidak, anak ini bukan Luciel," kataku berusaha mematahkan eksptasi dari orang-orang disekitarku, "D-Dia ke-keponakanku. Um! Keponakan, ya, ya. Namanya... Lumina."
"Loh, lalu aku siapa dong kalau bukan Luciel, Bunda?" tanya Luciel dengan polosnya bingung disaat seperti ini.
Luciel, tolonglah baca kondisi!
Tiba-tiba terdengar suara wanita dibalik tubuh Oe yang besar, "Ada keributan apa ini?"
Mendengar suara itu, Oe langsung minggir dan memberikan hormat kepada sosok di belakangnya. Tingkah Oe yang begitu hormat itu... aku hanya dapat berpikir bahwa suara itu ialah milik seorang dokter spesialis atau lebih tinggi lagi, konsultan. Tetapi, siapa? Seingatku hanya ada dua dokter di Pei Jin, yaitu Oe sendiri dan juga dokter Yusa. Meskipun sudah senior, dokter Yusa sendiri bukan seorang spesialis.
Wanita itu pun melewati Oe. Matanya tajam berwarna merahnya terbuka lebar ketika menatapku, begitu pula telinganya berdiri tegak di kepalanya... sama seperti reaksiku ketika melihatnya.
Wanita tinggi itu mendekatiku, menyebabkan aku dapat melihat wajah tirus dan hidung mancungnya itu. Rambut oranyenya yang terikat, terlihat kusut dan kacau begitu pula kantung matanya yang tebal, mengingatkanku pada seseorang. Namun tidak mungkin, ini pasti sebuah ilusi!
Nada bicaranya galak meskipun memiliki suara yang imut, ekornya yang selalu bergoyang setiap kali bertemu denganku. Apakah mataku menipuku?
Seseorang yang pernah menjadi sahabat karibku saat di universitas Edinburg... bahkan hingga saat kali kita bekerja bersama di Hilfheim. Dan pula... seseorang pertama yang kucabik-cabik dengan cakar belatiku.
Wanita Daemon itu segera menunjukku dengan tak percaya, "Dokter Clair?"
Aku pun... menjawabnya pun tak kalah terkejut,
"Q-Quina?