"Q-Quina?" kataku tak percaya.
Wanita itu mengangguk kemudian langsung berlari dan melompat memeluk dengan erat tubuhku. Ah, hangat tubuhnya melingkupi tubuhku yang dingin. Jantungnya berdegup kencang seirama dengan jantung kristalku. Aroma tubuhnya seakan membawaku pergi ke padang bunga matahari di musim semi.
Apakah ini mimpi? Tetapi, ketika tanganku mengelus-elus telinganya yang kenyal, aku pun tersadar... bahwa semua ini bukan mimpi.
"Jadi, hal pertama yang kamu lakukan setelah tak bertemu sahabatmu selama duabelas tahun... adalah memijat telinganya? Dasar, kamu tak berubah, Claire," goda Quina.
Tetapi aku masih tak percaya dan memegangi wajahnya, menganga takjub. Mataku berkaca-kaca ketika mengendus tubuhnya dan merasakan lagi kehadirannya.
"B-Ba-Bagaimana bisa...?" tanyaku.
Quina menyatukan dahi kami berdua dan menutup matanya, sebuah adat suku Muso untuk menyatakan kasih sayangnya satu sama lain.
"Ini benar aku, bodoh," katanya lagi.
Air mata menitik dari mataku, logika berusaha menolak arti ketika hati telah berderu-deru ingin menerima. Wanita di hadapanku ini... sungguh adalah sahabat karibku, Quina.
Quina pun melepas dekapannya, lalu melepas kalung yang ia kenakan dan memberikannya kepadaku. Alis mataku menekuk heran ketika liontin kalung yang Quina berikan kepadaku... adalah lencana Avalon dengan namaku terukir disana. Teman lama yang kini telah kembali padaku.
"L-Loh, di-dia seorang dokter? K-Kok bisa?" kata Oe tak percaya. Namun sebuah jeweran keras segera menghadiahi laki-laki itu,
"Hayolo, Oe... kamu gak respect sama senior, apalagi si dokter Claire ini supspesialis penyakit sihir lho. Penyelewengan kode etik tertinggi! Hmmm, konsekuensi apa yang menanti... mungkin, kamu bakal di demot," goda Quina.
"O-M-G!!" teriak Oe yang langsung mengambil tanganku dan menciuminya, sebuah adat suku lamia ketika memberikan penghormatan tinggi pada seseorang, "Ampuni hamba yang bodoh layaknya kutu kudanil ini,"
Aku tertawa canggung dan menarik tanganku, "Ng-Nggak apa-apa... lagi pula, aku... tidak pantas memiliki lencana ini."
Tatapan semua mata menuju pada kami. Menyadari hal itu, Quina melepas jas dokternya dan memberikannya kepada Oe, "Dek, aku mau istirahat dulu ye. Mungkin agak lama. Titip pasien," katanya.
"S-Siap dok, silahkan,"
Quina membawa aku dan Luciel ke jembatan Oktavianus. Disana, sembari Luciel membelikan kami secangkir kopi hangat, aku dan Quina bersambung cerita sembari melihat tarian cahaya bulan diatas arus sungai yang tenang.
"Melihat sungai mengalir di bawah kaki kita, membuatku berpikir tujuh tahun lalu tak pernah terjadi," kata Quina sambil menggosok-gosok tangannya dan memeluk ekornya yang lebat. Sejak dahulu Quina memang tidak tahan dingin.
"Butuh tujuh tahun bagiku, untuk mengerti apa yang kamu rasakan Claire. Sendirian di Hilfheim dengan mereka yang disentuh oleh Dewi Kematian," katanya kemudian menatap tak berani menatapku, "Aku... tak seharusnya meninggalkanmu sendirian di hari itu. Maaf," lanjutnya.
"Nggak, Ina. Seharusnya aku yang meminta maaf, karena kebodohanku, kamu..." kataku sembari melihat tanganku. Sekejap silhuet darah mengalir di tangan itu, mengalir merah membasahi seluruh permukaannya. Ketika tangan ini... mencabik tubuh sahabatku sendiri.
Aku mendekap tanganku di dada dan bertanya, "Pada hari itu... Hari pengadilanmu, apa yang terjadi?"
Quina meronggoh sakunya, menyalakan sebatang rokok dan menawarkannya kepadaku. Aku menolaknya dan membuat Quina tersenyum, "Selalu kaku dan tertib, kamu seperti Claire yang kuingat. Tak berubah," katanya.
Diisapnya dalam rokok itu, sebelum menghembuskannya panjang, "Sebelum Hakim mengeluarkan mandatnya, mahasiswa kedokteran menyerbu kantor pengadilan. Mereka berdemo dan menuntut emansipasi kaum Daemon dan mengancam Raja," cerita Quina sebelum tertawa kecil,
"Mereka takkan mendapatkan keberanian itu, katanya, jika tidak sang Daemon Bulan berhasil menerobos perlindungan istana dan bertemu dengan sang Raja. Dan juga... Kamu ingat ini?"
Quina menunjukanku sebuah buku merah yang lusuh. Kovernya coklat oleh tumpahan kopi. Disela-sela bilah kertasnya terselib berbagai catatan yang membuat buku itu seakan mau meledak. Aku mengenali buku itu seperti telapak tanganku sendiri. Sebab... buku itu adalah Chronostoria-ku. Yang kutinggalkan di kamar Lumina di Hilfheim.
"Bila kamu tidak mempublikasikan cerita Chronostoriamu ke koran pagi... Revolusi Kinje takkan terjadi. Dan aku sudah pasti dihukum pancung dihari itu. Sungguh, Claire... aku sangat-sangat berterima kasih kepadamu.... kata-kata ini, telah tujuh tahun selalu ingin kusampaikan kepadamu, penyelamatku," kata Quina menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku melihat sebuah cincin melingkar di jari manis kanannya.
"A-A-Ah, hahaha, aduh, asap rokok ini bikin mataku keringatan," katanya canggung mengapus air matanya.
Tetapi aku segera merangkulnya dan memeluknya dengan erat. Belum sepenuhnya aku paham tentang yang terjadi. Namun, tubuh hangat ini, keajaiban ini, hanya inilah yang kutahu. Bahwa sahabatku yang sangat kusayangi, kini berada disisiku.
Aku... tak ingin kehilangannya lagi.
Setelah melepas pelukanku, Quina tertawa dengan wajahnya yang merah lalu memamerkan cincin di jarinya, "Kamu lihat ini? Tahun ini, aku sudah menikah loh. Quina yang tomboy ini, jadi seorang istri!" katanya.
Aku tersenyum, "Selamat ya. Aku berharap kamu bahagia bersama suamimu. Lantas nanti, kamu akan menamai anakmu dengan nama apa?" tanyaku iseng.
"Hahaha, masih lama, Claire. Entah juga dr. Yusa masih punya stamina untuk itu ato nggak,"
Mataku melotot, "D-Dokter Yusa, t-t-tapi dia kan hampir dua kali lipat umurmu, Ina!"
"Emang umur menghalangi cinta? Yang paling bikin kaget itu malah kamu, sekarang menjadi seorang pedagang dan Chemo-ika. Ganti nama lagi, astaga. Jika aku tahu kalau Ecclarista si cantik Pariyastra adalah dokter Claire sahabatku, sejak awal tahun, aku sudah menemuimu,"
Aku tertawa, "Kamu baru sampai disini setahun, lalu langsung nikah? Bagi tips dan trik dong, cara ngegaet om-om yang efektif!" candaku.
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Obrolan di malam itu akan selalu kukenang dalam hati. Keajaiban, mimpi dan pengharapan telah melebur menjadi satu. Tak terukur betapa bahagianya aku, hingga senyuman selalu melengkung di wajahku.
Tetapi di dalam hatiku yang terdalam, kerisauan kian mengaduk arus emosi. Sebab aroma yang membawaku bertemu Quina adalah parfum yang selalu Ibu gunakan. Lantas apakah maksud ibu mempertemukanku kembali dengan Quina?
Puas tertawa, Quina menyodorkan Chronostoriaku, "Claire... apakah kamu akan kembali menjadi seorang dokter?"
Buku saku yang terlihat ringan itu, bagiku lebih berat daripada sebuah kapal. Sebab, meskipun sejarah telah tergantikan... darah yang mengalir di tanganku, tetaplah nyata. Aku tidak lagi pantas untuk membawa buku itu bersamaku.
Aku pun menggelengkan kepalaku, "Tidak. Tujuh tahun yang lalu, aku telah meninggalkan masa laluku. Aku tidak lagi pantas untuk menyandang nama sebagai seorang dokter," kataku yang melihat wajah kecewa Quina, "Tetapi, kamu berbeda."
Kugambar sebuah lingkaran di buku Chronostoria itu, "Claire vilane arbirate Quina," ucapku membuka pelindung sihir yang mencegah orang lain membuka Chronostoria itu dan menghapus namanya menjadi nama Quina.
"Di dalam Chronostoria ini adalah penelitianku tentang penyakit Nyght. Semua pengalamanku di Hilfheim dan desain pengobatan yang mungkin dapat menolong mereka yang terjamah oleh Sang Dewi Kematian. Dengan ini, kamu bisa melanjutkan perjuanganku, Ina," kataku menggenggam tangan Quina.
"Aku tidak akan menyerah, Claire. Aku akan mengalahkan penyakit ini," kata Quina. Ia kemudian menatap mataku dalam dan mengangguk, memantabkan minatnya.
Melihat tenang arus sungai aku pun berdiri dan menggenggam pagar jembatan. Sesungguhnya, aku masih memiliki satu lagi pasien. Yang terakhir dan tersulit. Awalnya, janji suci antara aku dan sang Raja memaksaku untuk melakukannya. Tetapi kini, orang-orang yang kucintai telah hadir di kota ini, terjebak dalam rangkulan kematian.
Melihat Quina, aku pun tersadar apa yang harus kulakukan. Aku ingin melindungi orang-orang yang kusayangi, aku tak ingin kehilangan mereka lagi. Aku ingin menghentikan rencana ibu dan mengakhiri lingkaran penderitaan yang melanda kami. Karenanya...
"Ada seseorang yang membutuhkanku. Aku pun ingin menyelamatkannya dari penderitaan ini."