Hawa dingin musim gugur menembus jendela toko, menemaniku dan segelas kopi hangat membaca surat demi surat yang kudapat. Redup terang Bunga Lentera sengaja kuatur untuk menghemat biaya, lagipula untuk apa sinar terang ketika orang yang masih bangun hanya aku sendiri di rumah ini?
Tetapi, kedua bocah itu memang benar-benar. Aku tersenyum ketika mereka memohon kepadaku untuk memperbolehkan mereka tinggal disini, karena mereka tak punya duit untuk menyewa kamar kos. Tentu saja aku memberi syarat, bahwa kedua bocah itu harus mengikuti perkataanku. Sekarang, mereka tidur dengan damai di loteng, yang kami ubah sedemikan mungkin menjadi kamar yang cukup nyaman untuk mereka berdua.
Sungguh, begitu banyak pesanan yang menumpuk, tak hanya dari pabrik tetapi dari rumah sakit juga. Semua hampir kehabisan stok mereka. Untungnya, Arthur dan Arielle telah mengantar beberapa permintaan tadi sore dan aku memang sudah menyiapkan banyak kimia sihir di gudang untuk keadaan seperti ini.
Kubawa lentera sihir itu menuju laboratoriumku, dan terkesima melihat betapa bersihnya tempat itu... jauh dari ingatanku. Arielle sempat berkata bahwa Arthur orangnya jijik-an, sehingga dia rajin bersih-bersih sampai ke tiap sudut kamar.
Tak selang beberapa lama, aku menemukan diriku menyonteng to-do-list sambil mendengarkan melodi dari Gruhningen. Ah... tak ada yang membuatku lebih tenang selain mendengar dentumannya. Dua barrel Aether sudah beres, 3 kg diamond dust yang dipesan oleh apra tukang kayu untuk bahan pengawet dan terakhir 10 liter alkibiades. Aku meregangkan otot-ototku ketika menuangkan liter terakhir alkibiades dalam sebuah tong besar dari kayu.
"Bunda?" tiba-tiba terdengar Luciel memanggilku.
Aku terkejut setengah mati, hingga hampir menupahkan gayung berisi daganganku. Dengan canggung aku melihat Luciel yang membawa guling, menatapku dengan matanya yang setengah sadar. Sedang diriku canggung sendiri, tak terbiasa dipanggil demikian.
Semenjak terbangun, Luciel tiba-tiba memanggilku dengan Bunda. Aku tak mengerti kenapa, mungkin dia merasa kesepian atau apa. Tapi kalau dirunut memang secara teknis benar ish, aku menciptakan Luciel dengan kata lain aku adalah ibunya.
"A-Ada apa Luciel? Tidak bisa tidur?" tanyaku mendekati Luciel sembari melepas alat pelindung. Ah, iya benar juga. Luciel sama sepertiku... Tubuh kami tidak memerlukan tidur untuk tetap berfungsi dengan optimal. Lantas pertanyaan bodoh yang kukatakan itu.
Luciel mengangguk pelan.
"Oya, oya... benar juga, ini hari pertama kamu bangun. Tentu saja kamu belum terbiasa dengan tubuh barumu ini. Maaf," kataku berlutut dan memperhatikan Luciel dari ujung kaki hingga kepala, kemudian mengendusnya untuk mencari anomali.
Luciel tertawa geli ketika aku mengendusnya, membuatku tergoda untuk menjahilinya dengan menggelitiki gadis lucu itu. Kemudian aku menatap Luciel dalam dalam dan berkata,
"Dengar Luciel, kamu... bukan lagi seorang manusia ataupun Daemon. Kamu sama sepertiku. Makhluk yang sama sekali berbeda. Kita tidak memerlukan tidur dan pun kita takkan pernah sakit. Lapar yang kita rasakan sesungguhnya hanyalah cara kita untuk memulihkan sihir di tubuh kita."
"Lalu, kita sebenarnya apa, Bun?" tanya Luciel bingung, aku yakin ia hanya menangkap 10% dari perkataanku.
Ah, pertanyaan seribu satu dollar. Aku pun bingung sebenarnya apa aku ini, sebab Ibu menghilang sebelum memberitahuku. Pangeran dan Putri Malaakh, seperti Raja Kinje? T-Tidak, tubuhku berbeda dengannya. Entah kenapa aku tahu, sebab bau yang dimiliki Raja George dan Pangeran tengik itu... membuatku ingin muntah.
Lantas kata-kata dalam Chronostoria Ibu terpecik di ingatanku. Anima kata itu berbunyi... menjelaskan tentang makhluk dari jaman primordial yang memiliki jantung sihir dan dapat hidup hingga ribuan tahun. Ibu menjelaskan di bukunya bahwa Anima juga memiliki kemampuan yang sama denganku. Tapi, anak-anak tidak mungkin mengerti bukan?
"Ah, kalau kita bukan Daemon ataupun manusia, maka kita bisa memilih kapan kita menjadi manusia dan kapan kita menjadi Daemon," kataku yang kemudian mengubah bentuk telingaku menjadi sama seperti yang dimiliki manusia umumnya.
Luciel tersenyum lebar dan berkata, "Kalau begitu Luciel ingin menjadi Daemon."
"Kenapa begitu?" tanyaku.
"Supaya bisa sama dengan Bunda," katanya yang mememik caraku mengubah penampilan. Telinga manusianya kini berubah menjadi sepasang telinga rubah yang tinggi. Aku pun terkejut dan berpikir, astaga, anak ini... apakah dia seorang jenius?
"A-Ah, hahahaa, kamu ini.." kataku canggung dan mengubah telingaku menjadi telinga rubah. Dipanggil dengan sebutan "Bunda" masih terasa teramat sangat asing bagiku... entah kapan aku bisa terbiasa. Tetapi, aku lebih tergoda untuk mencubit pipi Luciel yang tembem dan melihat reaksinya yang lucu.
Aku pun berdiri dan mengulurkan tanganku ke Luciel, "Kalau begitu... bagaimana jika kita berjalan-jalan menikmati terang bulan?"
Gadis itu mengangguk antusias dan mengambil tanganku. Disaat tangan Luciel menyentuhku... Dingin tangannya membuatku mengerti bahwa... aku telah membuat Luciel berhenti menjadi seorang manusia.
Pemandangan Pei Jin di malam hari sungguh berbeda kala siang. Ya, tanah masih becek dan bau tidak nyaman masih muncul dari berbagai tempat. Tetapi kesunyian yang ditawarkan dapat menenangkan hati sembari kami berdua berjalan.
Aku membawa Luciel melihat tempat favoritku, yaitu deretan angkringan di atas jembatan besar Oktavianus, jembatan yang melewati sungai Patricia yang lebar. Terang bulan sabit tercermin dalam arus sungai, menghadirkan pemandangan dari negeri dongeng bagi mata, namun, harum sedap jajanan dan suara bara yang terbakar mengembalikan kami di dunia. Menggoda perut untuk makan.
"Ini tempat favoritku," kataku ke Luciel sambil terus erat memegang tangannya, "Kalau aku sedang gundah, aku selalu kesini. Entah kenapa, melihat pemandangan ini, aku merasa damai," lanjutku.
"Bunda sering galau?" tanya Luciel.
"Tentu saja, tentu saja. Semua orang begitu. Semakin bertambah usiamu, semakin banyak kesalahan yang kamu lakukan. Karenanya, kegundahan dan penyesalan akan selalu datang," kataku. Ah, apa yang baru saja kukatakan ke anak-anak? Claris yang bodoh, kamu hanya membuat gadis polos ini bingung.
"Tetapi Bunda juga telah menyelamatkan Luciel. Bila tak ada Bunda, Luciel... mungkin tak bisa melihat pemandangan indah ini. Karenanya Bun... Luciel sangat-sangat-sangaaattt berterima kasih Bunda telah memberikan Luciel kesempatan kedua untuk hidup," kata Luciel menatap sungai Patricia. Sinar mata yang gadis ini tunjukan membuatku sadar bahwa... sebelum bertemu denganku, gadis ini telah melewati hidup yang sulit, sebagai anak jalanan.
"A-Ah, um. Ya, sama-sama?" jawabku canggung. Belum terbiasa aku menerima kata-kata setulus dan semanis itu. Sungguh, gadis ini... menunjukanku warna dunia yang berbeda. Begitu berbeda hingga aku pun bertanya-tanya... Apakah aku juga memberikan warna yang berbeda bagi dunia Ibu?
Sebuah kereta kencana lewat di belakang kami. Aneh, sang kusir memacut kuda-kudanya cepat-cepat seperti dikejar hantu. Refleks aku pun segera melindungi Luciel dan menjauhkannya dari jalan. Tetapi tiba-tiba, gadis kecil itu berkata,
"Harum sekali baunya, Bun... Seperti, daun mint dan bunga melati?"
Kata-kata Luciel meresap di kepalaku, membuat indera penciumanku semakin tajam dan mencium bau yang dimaksud. Mataku melebar dan melihat asal bau itu... Kereta kencana yang baru saja lewat.
Cemas segera merasuk dalam dadaku, ketika aku teringat perkataan Paman Taiga. Hanya satu orang memiliki bau kematian sepekat ini... Lantas, a-apakah Ibu ada di dalam kereta kencana itu?
"Luciel, pegang aku erat-erat, jangan sampai lepas," kataku yang kemudian disambut oleh angguk bingung anak kecil itu.
Perlahan dan waspada, aku mengikuti aroma parfum itu. Heran begitu pekat baunya, seakan-akan Ibu sengaja menguatkan aroma tubuhnya untuk menuntunku.
Lantas pada malam itu... sesungguhnya apa yang terjadi? Mengapa Ibu... membuat begitu banyak orang menderita dan mengubahnya menjadi Quartz? Mengapa Ibu... meninggalkanku seorang diri? Ada begitu banyak yang ingin kutanya kepada Ibu... tetapi, ingatan terakhirku tentang wajah dingin ibu yang menatap tubuhku bersimbah darah di lantai, membuatku menjadi waspada... apalagi kini, aku membawa Luciel yang belum mengerti apa-apa.
Aku sungguh tak dapat membayangkan... apa yang akan kukatakan ketika bertemunya lagi. Namun, satu hal yang kutahu pasti. Jika Ibu ada di kota ini, maka... Penyakit Nyght ini... sungguh, apakah Ibu tega mengubah kota ini menjadi Quartz?
Langkah kami berdua pun berhenti, di perhentian akhir tempat bau itu menghilang. Aku melongo tak percaya, menemukan diriku kembali di tempat ini... namun suara Luciel segera menyadarkanku,
"Bunda, bukannya tempat ini adalah Klinik dokter Oe?"