Chereads / Bunga Lentera / Chapter 20 - March of Time (1)

Chapter 20 - March of Time (1)

Kukh!! Nyeri kepala hebat langsung menyerang kepalaku. Masa lalu selalu menjadi musuhku, mencoba lagi membajak dan meledakkan kepalaku. Sesaat aku terjebak dalam nostalgia, namun kini, kenyataan telah menyambutku kembali dengan kedua bocah manusia menatapku dengan heran.

"Kamu yakin itu Daemon Taiga?" tanyaku kepada Arthur.

Bocah itu mengangguk ragu dan menunjukan kalung Quartznya kepadaku, "Ini buktinya. Saat bertarung dengan sang legenda, aku berhasil mencuri kalung ini darinya. Ini... sebuah Quartz bukan?" tanya Arthur.

Aku mengangguk dan memeriksa kembali batu sihir itu, mencium aroma darinya. Bau ini...walaupun tipis, aku masih dapat mencium campuran bau melati dan mint yang manis. Dadaku serasa terikat, sebab di dalam ingatanku masih jelas terekam bau itu. Aroma kematian dibalik monster yang mengerikan, ibuku sendiri.

Tetapi, kenapa Paman Taiga memiliki Quartz ibu?

Apakah mungkin saat ini... Paman Taiga sedang bersama Ibu? T-Tidak, tidak mungkin. Aku pun teringat akan perkataan terakhir ibuku kepada Taiga, bahwa ia telah mencuri apa yang tak seharusnya dicuri dan ia pantas untuk mati karena itu.

Bekas luka yang terlihat disekitar leher Arthur, mengingatkanku akan cakar seekor harimau. Lantas... jika benar Arthur bertarung melawan Taiga, berarti pada malam itu... Ibu melepaskan Taiga? Kenapa ia melakukan itu?

BAM!! BAM!!

Suara gedoran pintu mengejutkan kami bertiga. Hssshh, sesaat setelah aku hampir menemukan jawabannya, ada saja yang mengganggu.

Segera aku memasang jubah hitamku dan membuka pintu toko, menemukan wajah paling terakhir ingin kutemui. Si gembrot Danius dengan muka merah padam menahan amarah.

Segera kucing tua itu mengambil kerah bajuku dan meneriaki aku, "Keparat kamu!!"

"A-A-A-apa maksudmu tuan?" tanyaku bingung.

Dilepasnya pegangan erat dikerahku, lalu Danius memegangi dahinya terlihat bingung bercampur khawatir, "Elu...Elu! Lu kenapa ngasih obat sialan itu kepada dia?!"

"T-T-Tenanglah, Tuan! Aku tidak dapat mengerti," kataku.

"Putri gua... Elaina. Dia-Dia mau mati sekarang. Tak ada dokter yang mau menolongnya! Semua pada sibuk dengan wabah penyakit sialan ini! S-S-Semua karena kamu memberinya obat gugur kandungan itu!" bentaknya kepadaku.

Obat gugur kandungan... Gurenge? Ingatanku segera terpecik. Si gadis Husskar! Astaga Tuhanku, dia sungguh meminum obat itu? Sudah kubilang kepadanya!

Danius mengetatkan rahangnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya marah, kesal, bercampur dengan putus asa ketika duduk di kursi tunggu depan tokoku, mengacak-ngacak rambutnya.

"Kenapa lu lakuin ini ke gua? Gara-gara gua nagih hutang ke elu. Haiishh...!," katanya dengan misuhan ala Pei Jin yang belum kumengerti artinya sebelum akhirnya matanya berkaca-kaca, "Elaina adalah satu-satunya yang gua punya sekarang. Jika gua pun kehilangannya... "

"Tidak, bukan maksudku ~Ah..., " kataku hampir saja membela diriku. Memang benar, di posisi sekarang akulah yang bersalah telah memberikan obat mematikan itu kepada gadis malang itu. Danius menatapku dengan tajam, bingung mau memarahiku atau bagaimana.

Aku pun menelan ludahku, kemudian bertanya, "Tuan, sebelum menjadi Chemoi-ika, aku adalah seorang dokter dari Negeri Kinje. Aku bisa membantu Tuan. Aku mohon, bolehkan aku menolong putrimu, Tuan Danius?"

Wajah Danius menatapku tak percaya, namun aku tetap menatap matanya berharap bahwa kucing itu percaya denganku.

Tanpa kukira, Danius langsung menggapai tanganku dan menjawab, "Gua tak peduli lu berbohong atau tidak. Asalkan masih ada harapan untuk Elaina... Tolong, selamatkan putriku, Dame Claris."

Melesat menembus keramaian kota, aku berlari membawa tas kulitku di tangan diikuti Arthur dan Arielle. Mereka berdua ingin membantuku sebagai asisten, meskipun aku agak sungkan, apalagi Arielle yang memiliki pengalaman medis. Sebab, prediksiku... pengalaman ini jauh dari menyenangkan.

Tetapi, aku tak punya pilihan selain percaya kepada potensi sihir yang dimiliki Arielle. Sebab jujur, semua sihirku telah habis untuk membangunkan Luciel. Pun, bila aku menggunakan sihir dari Quartz... tanpa rekonstruksi tubuh... sihirnya akan meledakkan tubuh gadis Husskar itu.

Sebab Danius tidak keberatan tentang para manusia ingin menolong putrinya. Kecurigaanku pun makin mencuat pada identitas Gadis husskarr itu sebenarnya. Tak salah lagi, gadis itu... adalah seorang manusia.

Di depanku, Danius berlari dengan keempat tungkainya, begitu cepat. Aku terus menerus melihat punggung Danius yang berlari tergesa-gesa. Danius yang seram dan berkuasa, kini tampak seperti anak yang hampir kehilangan hal yang berharga baginya.

Berpikirlah aku, apakah seperti itu... cinta orang tua untuk anaknya?

Terbesit pertanyaan aneh di pikiranku... Ketika malam itu, cakar belati mencuri nyawa dari ragaku, apakah pula Ibu memiliki ekspresi wajah yang sama dengan Danius? Apakah Ibu juga mengkhawatirkanku?

Tetapi ingatanku yang jernih segera memberikan jawaban. Tidak, sosok yang kusebut Ibu bahkan tak melihatku yang jatuh ke lantai. Ekspresi wajahnya tetap dingin, layaknya boneka porselain.

Dulu tak pernah terbesit dipikiranku, namun kini pertanyaan ini pun menggema. Apakah Ibu benar-benar menyayangiku sebagai anaknya? Ataukah kau...hanyalah satu dari puluhan kelinci percobaannya yang gagal seperti Raja Kinje?

Putra dan Putri Malaakh?

Bau darah langsung menyambutku di depan kediaman Danius. Berbeda dari latar belakangnya sebagai lintah darat, Danius memiliki rumah yang persis seperti rumah boneka. Cantik dan imut dengan dindingnya yang berwarna putih, berbeda dengan tetangganya. Tetapi rumah itu kini dipenuhi oleh bau darah yang pekat dan tangisan dari para pelayan.

"Ikuti aku, segera!" teriak Danius panik.

Ketika pintu kamar sang Putri Husskar terbuka, lukisan merah langsung menyambut kami. Gadis itu berteriak kesakitan memegangi perutnya, pucat wajahnya seperti mayat. Namun bukan itu yang membuat Arthur dan Arielle terkejut, melainkan sosok gadis itu yang merupakan seorang manusia Ellwind.

"Tuan, bawakan aku sebaskom air," kataku yang kemudian membuka tas kulitku, menyiapkan peralatan yang kubutuhkan. Kugelar kain hijau di samping kaki Putri Danius dan menyusun peralatan perak berurutan. Sepasang tang perak berbentuk mulut bebek, pinset perak, dan peralatan medis lainnya. Kuganti jubah hitam yang kukenakan dengan apron tipis berwarna putih. Tak lupa kulempar sisa apron tipis itu kepada Arthur dan Arielle serta menyuruh mereka menggunakannya.

"Eclair... kamu tidak terkejut?" tanya Arielle kemudian.

"Terkejut akan apa?" tanyaku balik.

Arielle tampak canggung dan sambil melirik ke putri Danius, ia berbisik kepadaku, "Seorang manusia menjadi anak seekor Daemon."

Ah, sudah lama aku tak mendengar kata-kata itu. Benar juga, Arielle belum tahu bahwa sebenarnya Daemon dan manusia adalah sama. Sebab manusia Kinje selalu memandang Daemon sebagai makhluk inferior.

"Siapapun bisa menjadi keluarga bagi seseorang. Baik dengan ikatan darah maupun tidak. Tetapi, hal itu tidak penting. Fokus, Arielle. Sebab tugasmu hanya satu, menolong mereka yang membutuhkan," kataku singkat yang dibalas oleh tatapan bingung Arielle.

Tak lama, sebaskom air pun datang melalui tangan pelayan yang kemudian kubenamkan ramuan kimia sihir di dalamnya, mengubah warnanya menjadi biru dengan sinar-sinar biru berkilauan. Alkibiades. Sebuah ramuan pembersih paling poten dari tokoku.

Ketika aku mencuci tangan, Arielle menatapku dengan bingung, "Apa yang kamu lakukan?" bisiknya tak mengerti.

"Lakukan saja, Arthur, kamu juga. Ikutin seperti yang kulakukan," kataku sambil memperagakan caraku mencuci tangan. Mulai dari telapak tangan dan punggunya, sela-sela jari dan tangan, jempol dan terakhir kuku, "Banyak orang mati untuk apa yang tak terlihat bukan yang terlihat," kataku kemudian, berbicara dari pengalaman masa lalu.

"Oh ya, Arielle. Kamu... masih memiliki sihir yang banyak?" tanyaku yang langsung dijawab wajah panik Arielle mengangguk, "Aku masih bisa memanggil tiga sihir tinggi," balasnya.

"Kalau begitu, ikuti arahanku. Aku membutuhkan sihirmu," kataku kemudian yang dijawab anggukan cemas gadis itu. Tentu saja, ia belum seorang dokter. Ini pasti pengalaman yang menakutkan baginya.

Darah yang mengucur mewarnai seprai putih hingga sampai ke lantai. Tetapi, gadis itu masih dapat membuka matanya dan melihatku, "Maafkan.. aku... Dame," katanya kemudian, pelan.

Aku menggelengkan kepala, "Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik aja. Aku sudah berjanji padamu bukan?" ucapku berusaha menenangkannya, meskipun di dalam hatiku aku tahu bahwa nasibnya berada pada kuasa Tuhan.

Apabila aku dapat menggunakan sihir, aku dapat menolongnya lebih mudah. Tetapi, sihirku telah habis ketika membangunkan Luciel. Berdiri saja sekarang sungguh, sudah sangat berat bagiku. Ah, itu alasanku saja! Kondisi gadis ini, semua karena keteledoranku.

Jika saja saat itu aku tak tergiur oleh duit dan tidak memberikannya obat itu...

Kugeleng kepalaku segera, menepis pikiran aneh. Yang paling penting, gadis ini akan bertemu dengan kematian jika kami tak melakukan apapun.