Chereads / Bunga Lentera / Chapter 21 - March of Time (2)

Chapter 21 - March of Time (2)

Teriakan nyeri memenuhi kamar itu memperlihatkan Danius memegang tangan putrinya dengan erat, ketika aku berusaha membuka jalan lahir dengan alatku yang berbentuk mulut bebek terbelah, bagian atas dipegang oleh Arthur sedangkan aku mengambil bagian bawahnya. Darah segera mengucur dengan cepat dan segera aku mengambil sebuah tongkat sihir dari perak dan mengulurkan tanganku kepada Arielle,

"Pegang tanganku, Arielle," perintahku. Gadis itu tersentak kaget ketika mendengar perintahku, langsung mengambil tanganku.

"Perlahan dan fokus, tarik nafas dan alirkan sihirmu ke tanganku, Arielle," kataku memberikan instruksi. Aku pun menggumamkan, "Hestia," dan melihat sebuah tangan api suci mulai muncul di tanganku.

Warna apinya begitu terang seperti sinar mentari, menggambarkan jiwa dari sang pemilik sihir. Begitu hangat dan lembut, layaknya sepoi angin musim panas di tengah padang bunga matahari. Ah, dengan sihir semurni ini, aku yakin putri Danius dapat selamat.

Kualirkan api suci ke tongkat sihir perak dan perlahan tongkat tersebut mendekati sumber keluarnya darah yang mengucur. Api suci segera mengesampingkan darah-darah yang muncul dan menunjukanku jalan lahir yang terbuka lebar. Segera dan hati-hati, sebuah lingkar sihir kugambar dan berucap, "Wallona Arschelis minimus."

Dari lingkar sihir itu, muncul jaring-jaring cahaya api. Kufokuskan pikiranku, mengendalikan jaring-jaring cahaya itu masuk ke rahim... Proses ini sangat sulit, karena salah-salah aku dapat membolongi rahim putri Danius dan menyebabkan kematiannya. Lapis-lapis ari-ari kupisahkan dari dinding rahim dengan cahaya tersebut hingga akhirnya jaring-jaring itu melingkupi seluruh rahim dalamnya. Beberapa saat kemudian, kemudian mengeras membentuk sebuah kristal oval berwarna kuning cerah. Aku menghela nafasku dalam dalam dan berkata,

"Nama Madam, siapa?" tanyaku, teringat aku lupa bertanya kepadanya sebelum memulai operasi ini.

"Se-Se..Seraphina, Dame," jawabnya lemas.

"Oke, Sera. Jujur. Ini akan sakit. Rasa sakitnya seperti seekor gajah meninjak perutmu. Tapi, jika kita tidak melakukannya, kamu akan mati. Apakah kamu sudah siap?" tanyaku.

Lama Sera terdiam hingga akhirnya sebuah anggukan kudapatkan lalu aku menatap Danius yang juga memberikanku anggukan setuju.

"Oke... Arthur, pastikan spekulum-mu tidak berubah posisi," kataku kepada Arthur yang mukanya pucat pasi, mengangguk dengan canggung. Lalu aku melihat ke Arielle dan segera terkejut aku melihat retaan merah muncul di kulitnya. Tanda-tanda seseorang mulai kehabisan sihir di dalam tubuhnya.Aku tak menyangka Hestia membutuhkan sihir sebanyak itu hingga sirkuit sihir anak ini mulai meledak.

"Arielle, kamu masih bisa menahannya sedikit lagi?" tanyaku.

Arielle meringis nyeri, tetapi sebuah anggukan ia beri kepadaku. melihatnya, kubulatkan tekatku. Menarik nafas dalam, aku mengucap doa kepada Tuhan sebelum perlahan aku menarik tanganku. Pelan-pelan hingga mataku mulai melihan kristal cahaya muncul dari kubangan darah, tetapi ketika tanganku bergerak 1 milimeter saja, teriakan Seraphina langsung terdengar begitu keras hingga jendela bergetar. Kutarik dengan lembut, memastikan bahwa kristal tersebut tidak pecah oleh sudut-sudut spekulum perak yang tajam.

Dan akhirnya, kristal pun keluar dan kutarih di basin ginjal di dekatku. Segera aku mengambil spekulum oval dan memasukan kasa untuk menyerap seluruh darah disana, menekannya hingga perdarahannya berhenti dan setelah semua hilang, mulut bebek itu kutarik perlahan dan kubuang di baskom berisi alkibiades.

Aku melepaskan genggaman tangan Arielle dan menyuruh keduanya beristirahat selagi aku membersihkan kekacauan yang terjadi. Tetapi Arielle menolak dan memilih untuk memperhatikanku bekerja, sedangkan Arthur dengan senagn hati keluar dan aku mendengar suara muntah dari balik ruangan.

"Selesai," kataku seusai membersihkan seluruh darah di kulit Seraphina.

Aku pun membawa basin ginjal itu dan menunjukan kristal bercahaya terang itu kepada Seraphina dan Danius. Dengan nada pelan, aku bertanya,

"Kamu ingin melihatnya, Madam Sera?"

Tetapi Seraphina menutup matanya dan berkata, "T-Tidak! S-Singkirkan benda itu dariku!"

Keringatku mengucur panik dan aku pun menatap Danius. Kucing tua itu mengerti lalu dengan khawatir membujuk Seraphina, "Sera, Papa tidak marah dan tidak menghakimu. Anak itu tidak bersalah jadi..Ayolah... Se-Setidaknya berikan dia nama."

Seraphina justru mengamuk menghempas basin itu dari tanganku sambil berteriak, "Tidak!! Aku tidak mau melihatnya! Sebab-Se-Sebab, karena benda itu, a-aku kehilangan segalanya!"

Mataku terbuka lebar mendengar perkataan Seraphina, tetapi refleksku segera menangkap kristal tersebut dan membawanya pergi dari kamar itu. Aku mendekap erat kristal itu yang segera bersinar merah terang, membawanya sejauh mungkin dari rumah itu... tidak, dari semua tempat yang memiliki kehidupan.

Ketika Arielle berusaha mengejar, segera aku berteriak, "Jangan kejar aku, pergi!" Tetapi gadis itu keras kepala dan diikuti oleh Arthur, mereka berdua mengejarku hingga kami sampai di sebuah pemakaman tua yang sudah lama ditinggalkan.

Kristal merah itu bergetar begitu hebat dan mengeluarkan panas yang luar biasa. Refleks, aku segera menggali tanah cepat-cepat.

"Apa yang kamu lakukan Claris?" tanya Arielle bingung.

"K-Kamu nggak tahu? Meskipun masih janin, dia masih memiliki jiwa dan perasaan. Penolakkan dari seorang ibu, akan melukainya dan membuatnya mendendam. Sihirmu, Arielle... terlalu murni hingga dia dapat menggunakannya untuk meledakkan diri," jelasku panik sembari menahan panas kristal itu.

"B-Bukanya itu cuma mitos?" tanya Arielle.

"Kalau mitos, kamu bisa menjelaskan ini?" teriakku menunjukan kristal merah itu.

Segera Arthur membantuku menggali dan bertanya, "Butuh berapa dalam, Dame?"

"Tujuh meter, itu pun masih minimal, sebab ledakan kristal ini masih menghancurkan seperempat distrik ini,"

"Tujuh meter?! Mana mungkin,"

"Terus mau gimana lagi?! Kalau tidak dikubur dalam-dalam, kristal ini akan meledak dan menghancurkan distrik ini."

Aku pun paham, ini sia-sia. Secepat apapun aku dan Arthur menggali, kami tidak mempunyai cangkul. Paling banyak 1 meter sebelum kristal ini meledak. Ah, andaikan aku masih memiliki sihir, aku bisa melempar kristal ini ke ruang hampa!

"Tolong, beri aku ruang," kata Arielle tiba-tiba.

Aku dan Arthur menatap bingung, tetapi melihat wajah Arielle yang serius, kami pun menurut. Gadis itu segera mengambil buku chronostorianya dan bersamaan itu, anting-anting merah di telinga Arielle bersinar.

Tiba-tiba dari tubuh bocah itu muncul sihir yang begitu gelap dan mengerikan hingga membuatku ingin muntah karena begitu menjijikan rasanya, tetapi aura sihir itu sangat kuat. Seperti... sihir milik Raja George. Jadi... inikah sihir Arielle sesungguhnya? Anak dari seorang Pangeran Malaakh?

"Gate of Hell," kata gadis itu.

Bau busuk segera menyerang hidungku, ketika tangan mulai muncul dari tanah satu persatu. Mereka merobak tanah dan membukanya begitu dalam hingga sinar matahari tak mampu sampai ke dasarnya.

Kristal merah itu semakin panas, membuatku tak banyak tanya langsung melemparnya ke dasar tanah itu. Setelahnya, Arielle segera memerintahkan tangan-tangan itu untuk saling menarik satu sama lain dan menutup lubang tanah raksasa itu.

BUM!

Sebuah gempa bumi kecil menggemparkan Pei Jin, tanda kristal itu telah meledak jauh di dalam tanah sana. Aku menghela nafasku tetapi perhatianku segera menuju Arielle yang segera terjatuh, tetapi bayangannya kemudian berdiri dan ingin merasuki tubuh Arielle.

Arthur segera melompat dan menebas bayangan itu, kemudian menendang buku Arielle sejauh-jauh mungkin dari gadis itu. Segera ia memeluk Arielle dengan erat dan berkata, "Kamu bisa Arielle, kamu bisa. Jangan kalah dengannya! K-Kamu bukan Putri Annabella."

Buku Chronostoria itu tiba-tiba terbuka dan dari dalamnya muncul sebuah tangan gelap diikuti tawa wanita yang membuat merinding. Ia berkata dalam bahasa kuno, "tubuhku... tubuhku... berikan kepadaku!" Tanpa peduli aku segera memanjangkan kuku dan menusuk buku itu berkali-kali hingga bayangan itu menghilang... bersamaan dengan seluruh aura sihir gelapnya yang menjijikan.

Aku menatap kedua pasangan itu, ingin bertanya kepada mereka. Namun, melihat wajah lelah Arielle dan raut muka khawatir Arthur, aku tak dapat berkata apa-apa. Aku pun mengambil buku Chronostoria itu dan tak terkejut melihatnya menyembuhkan diri.

Sepertinya ada kelanjutan dibalik cerita Putri yang melarikan diri. Rasa penasaran menyerang hatiku, sebab nama Putri Annabella yang disebutkan oleh Arthur... apakah mungkin memiliki kaitan dengan Putri Annabella yang disebut Matrovska tua yang dikalahkan Paman Taiga. Aku ingin mendengarnya... Aku ingin benar-benar memahami... sesungguhnya apa yang terjadi di malam itu.