Daemon Taiga.
Nama yang segera membawaku ke dalam ingatan masa lalu.Kenangan masa kecilku di sebuah kediaman besar di bawah lereng pegunungan Montanna.
Orang-orang mungkin mengatakan siapapun yang hidup di kediaman tersebut sangat beruntung, sebab memang suasananya begitu indah layaknya jelmaan taman Eden. Sungai mengalir deras bersama dengan ikan-ikan berlomba-lomba dalam arusnya. Hamparan pepohonan rindang, tempat berteduh ratusan burung dengan merdu kicauannya membuat penyanyi opera malu. Dan taman yang menjadi rumah bagi ribuan jenis bunga yang menjadi tempat favorit ibu menghabiskan harinya.
Di taman yang luas itu, diriku yang masih berusia tigabelas tahun, merebahkan tubuh merasakan sentuhan lembut hamparan rumput yang luas. Setelah hari penuh dengan pelajaran yang membosankan, berbaring memandang langit biru yang luas adalah kegemaranku saat itu.
Bagiku, kediaman itu hanyalah penjara berhias taman bunga. Kediaman Keluarga Noctis, tempat yang enggan kusebut sebagai rumah. Yaaa... setidaknya, makan siang tadi sangat lezat.
Tiba-tiba, seorang laki-laki berambut pirang melihatku dan tersenyum lembut,
"Sedang memikirkan apa, Nona Eclair?"
Mataku terbuka lebar ketika senyum merekah di wajahku, "Paman Taiga!" kataku berdiri dan memeluk pria dengan raksasa itu.
Sejak kecil, aku sudah sangat akrab dengan Paman Taiga. Kami kerapkali menghabiskan waktu bersama saat liburan musim panas, memancing di sungai, mendaki gunung dan menikmati alam, dan mendengar ribuan cerita petualangan Paman Taiga menejlajahi tujuh lautan. Bisa dibilang, kenangan termanisku di kediaman itu hanyalah ketika Paman Taiga datang di musim panas.
Paman Taiga seolah menjadi sosok ayah bagiku. Ayah yang lembut dan penuh kasih sayang, selalu mengerti dan mendengarkanku. Paman Taiga selalu menginspirasiku dengan ceritanya yang menakjubkan. Karena Paman Taiga-lah, aku dapat mengenal berbagai kehidupan diluar sangkar besi bernama kediaman Noctis ini.
Setelah melepas pelukan erat itu, aku menatap Paman dengan tatapan penuh harap dan berkata, "Paman akan menginap sampai kapan disini?"
Paman Taiga menatapku bersalah, "Maaf ya, Nona Eclair. Paman sibuk sekali sehingga tak bisa berlama-lama disini."
"Eeeehh, kenapa? Eclair ingin main terus dengan Paman!"
Tertawa akan manjanya aku, Paman Taiga mengacak-acak rambutku gemas dan berkata, "Mainnya nanti dulu ya, Nona muda. Hari ini adalah hari yang sangat spesial. Kamu tahu hari ini hari apa?"
"Hari Kamis to, Paman?" kataku bingung
Paman tertawa kecil, "Nona Eclair, hari ini adalah hari ulang tahun Nyonya Noctis."
"Eeeh, hari ini hari ulang tahun boneka porselain itu?" kataku setengah mencibir.
Berbeda dengan Paman Taiga yang hangat dan lembut, Ibu adalah sosok yang membuat bulu kudukku merinding. Anak kecil memiliki perasa yang lebih tajam daripada orang dewasa sehingga sejak kecil aku merasa ada sesuatu yang aneh dari ibu. Aku... tak seperti melihat seorang manusia, melainkan sebuah boneka porselain tak berjiwa.
Meskipun setiap sore, Ibu selalu membawaku ke laboratoriumnya dan mengajarkanku tentang sihir dan alkimia... Meskipun Ibu selalu hadir dalam acara ulang tahunku dan memberikanku sebuah buku sihir untuk belajar... Tak pernah sekalipun ia tersenyum dan memberikanku kehangatan, tak pernah ia memujiku dan bahkan hanya sekedar mengatakan "Ibu sayang kamu" saja tak pernah.
Wanita setengah baya itu terasa dingin, wajahnya yang cantik jelita dan kulitnya yang putih membuatnya persis seperti boneka porselain. Makanya... aku memberi julukan itu kepada wanita itu.
Paman Taiga berlutu dan memegang pundakku, "Nona Eclair, ijinkan saya membocorkan satu rahasia untuk Nona."
"Eh, apa itu paman?"
"Nona masih ingat kue ulang tahunmu kemarin?"
"Kue yang enak banget itu? Perpaduan 3 lapisan coklat dan kacang almond yang bagiakan bom manis meledak itu? Tentu saja ingat! Itu kue terenak yang pernah Eclair makan!"
Pamain Taiga tertawa kecil dan mengangguk, "Ya. Benar, benar. Jadiii, ini rahasia loh, jangan dibeberin ya. Sesungguhnya... kue ulang tahun Nona selalu dibuat oleh Nyonya Noctis."
"Bohong!" kataku secepat kilat. Tidak-tidak mungkin Ibu bisa membuat kue seenak itu. Kalau obat sejuta penyakit, aku percaya, sebab aku sungguh kagum dengan beraneka ragam alkimia yang ibu uji di laboratoriumnya... tetapi kue? Tidak-tidak-tidak! Membayangkan boneka porselain itu membuat kue... iiihh, bikin merinding saja.
"Sungguhan loh, Nona. Paman hadir saat itu, membantu Nyonya. Ketika membuat kue itu, Paman dapat merasakan cinta Nyonya yang begitu dalam untuk Nona. Tetapi, Nyonya itu... pribadi yang pemalu dan canggung, makanya ia ingin merahasiakannya dari Nona," kata Paman kemudian.
Pemandangan Ibu menyayangiku... adalah sesuatu yang sangat surreal bagiku. Tetapi, apabila Paman yang mengatakannya, ia pasti tidak berbohong. Sebab aku sangat mempercayai Paman Taiga.
"... Kalau begitu, jika hari ini ulang tahun Ibu... Maka, Eclair harus memberinya hadiah?" kataku enggan.
Paman Taiga mengangguk, "Yep, betul sekali. Paman percaya, hadiah dari anaknya yang paling manis di dunia ini pasti dapat membuat senyuman bersemi di wajahnya," kata Paman Taiga.
Senyuman di wajah ibu... umu. Sudah lama sekali, aku ingin melihatnya.
Jauh dari membenci, aku sangat menyayangi ibu, seperti anak lain pada umumnya yang mencintai orang tuanya tanpa syarat. Tetapi, setiap kali menatap wajah Ibu dingin, hatiku selalu merasakan nyeri. Layaknya aku hanya membawa penderitaan baginya... anak bandel yang selalu mengecewakan dan membuat Ibu bersedih.
Sesungguhnya dalam hatiku yang terdalam, aku ingin... meskipun hanya sekali saja, membuat Ibu tersenyum senang. Aku ingin... menjadi anak yang baik sehingga Ibu tak perlu kecewa dan sedih lagi.
"Sungguh, Paman percaya Eclair dapat membuat Ibu senang?" tanyaku sungguh.
Paman mengangguk lagi, menguatkan keyakinannya, "Paman percaya. Sangat percaya."
Keyakinan Paman memicu harapan di hatiku. Eclair bukan anak yang bandel, Eclair adalah anak yang baik. Eclair bisa membuat Ibu bahagia. Pemikiran itu mendorongku untuk mengangguk dengan semangat, berharap harapanku akan terwujud.
"Tapi... hadiah apa ya yang ibu suka?" kataku bingung.
"Hmm, benar juga. Paman tidak kepikiran sampai disana," kata Paman taiga mengelus dagunya. Ia pun menatap sekitar taman itu dan melihat hamparan bunga yang indah. Sekejap amtanya terbuka lebar penuh dengan api inspirasi, "Ah, Paman ingat. Dahulu, Nyonya Noctis pernah memberitahu Paman bahwa ia sangat menyukai bunga. Makanya Nyonya Noctis sendiri yang membuat taman bunga ini. Mungkiin, kita dapat membuat mahkota dari bunga untuknya?"
"Uwaah! Ide bagus banget Paman!" kataku penuh semangat lalu mulai melihat-lihat bunga di sekitar taman itu, mencari mana yang cocok. Hmm, apakah aku kasih perpaduan bunga Dahlia dan Gerbera dengan aneka ragam warna? Apa mungkin Ibu lebih menyukai rangkaian bunga mawar mawar?
Aku pun teringat tentang sebuah bunga yang hanya tumbuh di daerah pegunungan Montanna. Bunga Olivia, yang katanya merupakan ratu di atas semua jenis bunga.
"Hmmm, Eclair pingiiin sekali merangkai Bunga Olivia untuk ibu... Tapi, Ibu bilang Eclair tak boleh pergi melewati sihir pelindung. Katanya ada banyak serigala disana, suka makan anak kecil. iiihh," kataku merinding, lalu menoleh ke Paman Taiga, "Mungkin, Paman bisa menemani Eclair?
Paman Taiga menggelengkan kepala, "Jangan Nona muda, nanti malah Nyonya Noctis khawatir loh. Nanti malah rencana kita gagal," tegur Paman Taiga yang kemudian melihat hamparan bunga mawar putih, "Ah, mungkin kita bisa menggunakan bunga itu!"
Pada akhirnya, Paman menolongku merangkai mahkota bunga dari Mawar putih dan sebuah bunga matahari berukuran sedang. Ketika mahkota itu jadi, kami berdua menatapnya dengan takjub karena begitu indah mahkota itu sampai-sampai Paman membuatkannya lagi untukku, karena aku juga menginginkannya.
"Semoga Ibu senang dengan hadiah ini," kataku memandangi mahkota bunga itu, tersenyum penuh harap.
"Kalian berdua sedang apa disini?" tanya suara yang sangat familiar di belakangku dan Paman Taiga. Panik, aku pun segera menyembunyikan mahkota itu di belakang punggungku.
Kami berdua pun berbalik dan menemukan Ibu menatap kami dengan dingin dan tak beremosi. Angin membelai rambut ungu gelap Ibu yang panjang, yang berwarna senada dengan gaun hitam sederhana yang ia kenakan. Bisa dibilang, Ibu seperti cerminanku ketika aku dewasa nanti, tetapi... aku tak ingin menjadi boneka porselain berambut gelap itu. Ibu sendiri tak bergeming dan hanya melihat kami, sama seperti matanya yang tak tersentuh sama sekali dengan keindahan di taman bunga itu.
"Sekarang sudah jam 3. Bukannya tadi, kamu berjanji membantuku di lab?" tanya Ibu kepadaku, tetapi ia kemudian memperhatikan tanganku dan bertanya, "Apa yang kamu sembunyikan?"
"N-Nyonya Noctis, mohon maaf, ijin hamba ingin mengatakan bahwa Nyonya membuat Nona Eclair ketakutan," kata Paman Taiga hormat.
"Oh," kata Ibu menutup matanya sejenak lalu membalikan badannya dan melangkah pergi, "Bila urusanmu selesai, temui aku di lab, Eclair," katanya.
Memegang erat mahkota itu, entah keberanian darimana aku pun mengejar ibu dan berteriak, "Ibu, tunggu!!"
Wanita itu pun menoleh kepadaku yang telah menyodorkan mahkota bunga itu kepadanya. Dengan tangan dan kaki yang gemetar dengan sangat.
"I-I-Ini hadiah untuk I-Ibu, dari Eclair!" kataku terbata-bata, takut hingga lupa mengucapkan selamat ulang tahun kepada Ibu.
Ibu mengambil mahkota itu dan memperhatikannya sejenak, "Kamu membuatnya untukku? Kenapa?" tanya Ibu.
"K-K-Kata Paman Taiga, hari ini hari ulang tahun ibu. Karenanya, Eclair membuatnya untuk Ibu," kataku.
Aku sungguh berharap bahwa hadiah itu dapat membuat Ibu tersenyum. Tetapi, layaknya Bunga yang mekar dan kering kemudian, begitu pula harapanku pupus. Tak ada senyuman yang muncul di wajah dingin itu, melainkan pertanyaan darinya,
"Kamu sadar apa yang kamu lakukan?"
Di tempat kami berdiri adalah tanah yang baru saja digemburkan sehari sebelumnya. Aku menatap bingung kepada Ibu yang kemudian menunduk dan menggali tanah dengan tangannya. Kemudian di dalam lubang itu, ia meletakkan mahkota bunga itu dan menguburnya.
"Dengar, Eclair. Sama sepertimu, bunga ini juga memiliki hidup dan kamu mencabutnya dan mengubahnya menjadi benda yang tidak berguna. Hidup bunga ini, kamu buat jadi sia-sia.
Hewan dan tumbuhan juga memiliki hidup, sama seperti Daemon dan manusia. Kita semua memiliki nyawa yang sama di dunia ini, karenanya, selayaknya kita menghormati hidup satu sama lain," kata Ibu yang kemudian berdiri dan menatapku,
" Kamu... adalah manusia. Sama sepertiku. Aku ingin kamu percaya dengan kebaikan hati manusia. Karenanya-"
"Cukup!" teriakku menutup telingaku paksa, "Eclair mengerti! Eclair paham. Ibu membenciku sebab Eclair adalah anak yang nakal dan jahat!! Eclair hanyalah seekor monster yang tak punya hati, yang tega menyia-nyiakan hidup demi tujuan egois sendiri!" teriakku lagi.
"Tidak, maksudku-"
"Eclair hanya ingin... membuat Ibu bahagia... Tetapi, Eclair salah! Tidak mungkin Eclair bisa membuat ibu bahagia, jika Ibu snediri telah membenciku sejak lahir!" teriakku yang kemudian berlari meninggalkan Ibu dan Paman Taiga.
"Eclair!!" teriak Ibu memanggilku, tetapi tidak kugubris.
Aku terus lari dan lari tanpa peduli dimana aku berlari. Hatiku yang hancur dengan perkataan Ibu, ingin rasanya kuambil dan kubuang jauh-jauh, sehingga aku tak perlu merasakan nyeri di dadaku ini!
Kenapa...Kenapa Ibu melakukan itu padaku? Apa salahku? Apakah aku benar-benar anak iblis yang sungguh ia benci? Lantas kenapa Ibu sangat membenciku?
Tanpa kusadari, bulan telah mengganti mentari dan aku telah berlari jauh dari rumah. Kakiku pun berhenti, ketika aku menemukan sebuah danau yang luas, yang tak pernah kulihat. Ini... bukan lagi Kediaman Noctis, aku langsung tersadar. Sepertinya aku telah berlari, jauh melewati lingkar sihir pelindung yang Ibu katakan... jangan lewati.
Tetapi... aku tak ingin memikirkan itu. Aku hanya ingin perig, aku tak ingin kembali ke penjara itu!
Aku pun duduk di tepian danau dengan cerminan bulan menari diatasnya. Namun ketika aku melihat tanganku, aku pun terkejut melihat cakar-cakar yang tajam melengkung di jemariku. I-Ini bukan tanganku, segera aku berteriak dalam hati.
Tetapi, mataku pun melihat sosok yang tercemin dibalik danau. Disana aku melihat sosok mengerikan dengan telinga tinggi seperti tanduk di kepala dan taring-taring yang tajam.
"S-S-Siapa kamu!?" teriakku, tetapi sosok gelap itu mengikuti setiap gerakkanku. Ketika aku meraba tanduk itu, aku pun menangis tererang-erang, menyadari bahwa telinga itu... adalah milikku.
Sosok gelap itu... adalah aku. Seekor iblis berambut putih dengan taring-taring menakutkan.... A-A-Aku... sungguh-sungguh.... seekor monster yang menyeramkan...!
"Disini Nona rupanya," suara familiar terdengar dibelakang tubuhku. Lantas aku pun langsung menoleh penuh harap, sebab itu adalah suara Paman Taiga.
Namun, ketika aku justru melihat sosok manusia macan raksasa dengan tangan yang besar dan mata yang garang, tersenyum memamerkan taring-taringnya padaku.
"S-Siapa kamu... Kamu bukan Paman Taiga!" teriakku.
Mendengarnya, manusia macan itu tertawa begitu keras hingga membuat semua burung yang bersembunyi di pohon, terbangun dan terbang melarikan diri. Ketakutanku pun semakin memuncak ketika manusia macan itu mendekatiku...
Dengan niatan membunuh sepekat gelap hutan di malam itu.