"Arthur... Sudah berapa kali aku bilang.... aku masih murid, aku tidak tahu~"
"Ta-Ta-Tapi masa kamu mau membiarkan orang ini mati begitu saja? Orang ini sudah menyelamatkanku, tapi lihat dia sekarang, sudah tiga hari dia tidak bangun. Tolonglah Arielle, sekali ini saja. Ya, ya, ya?"
Uuugh, berisik sekali. Aku terbangun dari mimpi buruk lama. Perasaan nostalgia memenuhi dadaku bersama pula dengan penyesalan. Bau darah segar masih tercium jelas dari tanganku, membuatku bersyukur setidaknya... aku telah kembali ke dunia nyata.
Suara kicauan burung memaksaku membuka mata, menemukan diriku berbaring di kasurku yang empuk. Hmm, sepertinya kedua orang yang sedang ribut diluar telah membawaku ke kamarku. Tak cuma itu, seperitnya mereka juga telah mencuci seprai putih ini yang sebelumnya penuh darah, menjadi putih bersih. Apakah orang yang baik hati menolongku ini.. adalah bocah tentara itu?
Sepertinya tiga hari aku kehilangan kesadaran? Lumayan lama juga.
Kuambil langkah pelan dan hati-hati, sembari berpegangan pada meja di samping kasurku. Aiyah, tubuhku masih lemas rasanya, baru berdiri saja kakiku sudah seperti mie keriting. Ya bagaimana lagi, aku memang kehilangan terlalu banyak darah saat menyelamatkan anak perempuan itu. Kemampuan regenerasi dari cordia golmi kewalahan pastinya.
Suara tersebut berasal dari dapur, kutuntun perlahan tubuhku bertumpu pada dinding sebelah tangga. Ketika aku membuka pintu dapur itu, aku melihat dua manusia berambut perak sedang bertengkar disana. Yang satu adalah bocah laki-laki yang kuselamatkan dan satu lagi, bocah perempuan yang cantik jelita, tetapi memiliki suara alto yang terdengar dewasa. Kulihat betul iris mata gadis itu, ternyata berwarna terang. Sebuah kesimpulan langsung dapat kutarik, bahwa ia adalah manusia ras Ellwind, tetapi bukan sembarang Ellwind. Bangsawan dan satu-satunya negeri yang memiliki bangsawan Ellwind... hanyalah Kinje.
Kedua manusia itu... mungkin datang kemari untuk memburuku ataupun rahasia bunga Lentera, atau keduanya. Aku mengira keberadaanku telah tersembunyi, tetapi aku hanyalah tahanan takdir. Mau tidak mau, masa lalu akan menemukanku.
Sambil mendengarkan pertengkaran kucing mereka itu, kku pun mengambil susu dari tong kumodifikasi dengan sihir pendingin, meneguknya botol demi botol. Aaah, kesegaran dari susu sapi murni memang tak terkalahkan. Mungkin aku harus mengirim obat pereda nyeri untuk berterima kasih ke Pak Toni, tetanggaku, yang memberikan diskon pada susu ini.
"Umm, nggak lanjut?" tanyaku setelah menyadari kedua manusia tersebut melongo menatapku.
Si anak perempuan itu yang ambil suara duluan, "D-D-Demi kumis kucing, Ba-Bagaimana bisa?"
"Emmm, kalau kalian mau bunuh aku, sekarang waktu yang tepat loh. Aku melemah sebab jantungku masih berusaha memulihkan darahku," kataku menaruh botol susu tersebut di wastafel, lalu memanjangkan kuku jariku yang tajam seperti belati. Aku pun mengambil kursi di meja makan dan duduk disana, mengetuk meja, "Jika kalian punya cukup sihir untuk itu," lanjutku.
Tetapi kedua manusia itu malah menatap satu sama lain bingung, yang membuatku bertanya pada mereka, "Emmm... Kenapa kalian diam aja? Aku jadi canggung. Eh, kenapa muka kalian jadi merah?"
Si perempuan kecil itu menunjukku dan berkata, "K-K-K-Kamu tidak sadar apa yang kamu kenakan? Di-disini ada laki-laki tahu!"
Eh? AKu pun melihat tubuhku dan sadar bahwa aku hanya mengenakan pakaian dalam saja. Tetapi, aku menekuk leherku dan bertanya, "Ini kali pertama kamu melihat wanita setengah telanjang? Hem, dasar perjaka."
Sang laki-laki langsung melambaikan tangannya gugup, "T-Tunggu dulu, kayaknya ada kesalahpahaman disini" balas si bocah laki-laki yang dengan berani mendekatiku. Aku lihat perban yang kulilitkan di tubuhnya sudah dilepas sepertinya, dan lukanya telah sembuh tanpa bekas. Aku tersenyum, sepertinya darahku bekerja dengan baik pada bocah itu.
"I-Ini bukan kali pertama aku melihatnya!" teriak bocah itu, yang langsung mendapat tepukan keras dari si perempuan di pundaknya. Muka gadis itu merah bagai tomat, "Iih! Ini bukan saat yang tepat buat ngomong begitu, Arthur!"
Sejenak keduanya bertengkar kecil, memberikanku waktu untuk meneguk susu lagi. Eh, lucu juga tingkah mereka, layaknya pasangan SMA yang baru saja jadian. Si bocah laki-laki kemudian menunduk hormat kepadaku dan memperkenalkan dirinya,
"Namaku Arthur dan wanita paling cantik di dunia di sampingku ini adalah istriku, Arielle. Kami adalah pengungsi dari Kinje yang menetap disini selama dua bulan," jelas bocah itu.
Um...mm??? Suami istri? Semuda mereka? Tersedak aku mendengarnya. Ini pasti bercanda bukan? Mereka masih remaja! Kugelengkan kepalaku menepis pikiran itu. Mungkin Kinje telah berubah sejak tujuh tahun aku meninggalkannya.
Anehnya, aku sungguh tidak merasakan hawa rasa ingin membunuh dari mereka. Lebih dari itu, keduanya tampak seperti tidak mengenalku sama sekali. Masa? Aku sang Daemon Bulan loh. Aku yang telah memporak-porandakan kerajaan itu.
"Kamu beneran tidak apa-apa? Kamu baru saja kehilangan darah lebih dari dua liter," tanya Arielle mendekatiku pula dengan hati-hati, sembari mengawasi jemari belatiku.
"Dua liter bukan apa-apa. Aku pernah ditembak hingga tubuhku penuh lubang, tapi aku masih hidup sehat sekarang," kataku setengah bercanda dengan maksud membuat kedua orang itu takut padaku. Kalau mereka takut dan nyalinya ciut, maka kita tak perlu bertarung bukan?
Sungguh, keadaanku sebenarnya buruk. Arthur memiliki tubuh yang athletis dan sangat luwes, aku menduka bocah itu sangat jago dalam seni beladiri, sedangkan Arielle, aura sihir yang memancar darinya begitu besar, lebih besar dari yang kurasakan dari penyihir-penyihir lain di asosiasi penyihir Kinje. Jika keduanya sungguh ingin memburuku sekarang, aku nggak yakin bisa keluar dari pertarungan tersebut utuh.
Diplomasi. Ya, diplomasi satu-satunya pilihanku disini.
Aku pun berdehem, "Gini, kalau misalnya aku memberitahu kalian rahasia Bunga Lentera dan kalian melepaskanku, apakah kalian akan menerimanya? Bukan tawaran yang buruk, kan?"
"Ah, kamu tahu rahasia obat mujarab itu? Pantasan aku bisa pulih dengan cepat seperti ini. Wuaaaah, beruntung banget. El, dengan obat dari Kakak ini, kita bisa menyelamatkan korban-korban wabah itu," kata Arthur dengan semangat.
Arielle mencubit tangan Arthur dengan keras hingga laki-laki itu merintih kesakitan, "Arthur, kamu ini selalu saja. Mbok jangan cepat percaya dong. Lagipula Daemon Bulan dan Bunga Lentera itu kan cuma mitos. Kalau misalnya Mbak ini tahu ramuan Bunga Lentera, kenapa dokter Oe meminta bantuan kita kemari dan kenapa pula masih banyak orang menderita oleh wabah itu?" katanya.
Gadis dengan mata almond itu menatapku dengan tajam, "Kamu juga. Kenapa sih menaruh curiga banyak ke kami, sampai harus berbohong demikian. Meskipun ya, Kinje telah berperang dengan Uni Erites tujuh tahun ini, tapi bukan berarti semua manusia ingin membunuh Daemon. Buktinya, aku yang merawatmu selama kamu tidak sadarkan diri," omel Arielle yang kemudian mendekatiku, menunjuk pada tato naga di tanganku,
"Aku nggak tahu siapa kamu sebenarnya, tapi tato naga di tanganmu itu. Kamu berasal dari asosiasi penyihir Kinje, bukan? Kalau begitu kita sama. Sebelum melarikan diri ke kota ini, aku adalah murid asosiasi penyihir Kinje sekaligus murid ilmu kedokteran Universitas Edinburg" kata Arielle yang menunjukan tato naga di tangannya, "Meskipun aku belum resmi menjadi penyihir dan belum memiliki julukan, tapi aku masih anggota murid di asosiasi tersebut. Dengan kata lain, aku juga telah mengucap sumpah untuk nggak melukai sesama penyihir asosiasi, manusia pun, daemon pun."
Ugh, bocah ini berani memarahiku, orang yang lebih tua darinya? Tetapi poin perkataannya benar. Aku telah bertindak tidak sopan menuding kedua manusia yang telah menolongku. Mimpi yang kulalui semalam menyebabkan pandanganku dikabutkan oleh dengki masa lalu.
"Emm, maaf aku curiga pada kalian," kataku kemudian.
Arielle mengacak pinggangnya menatapku sedemikian rupa hingga membuatku menunduk malu, "Sungguh ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadamu. Tapi, kalau kamu berhasil selamat, Estiel-ill-Lah."
Hmm, nostalgik sekali mendengar ungkapan Estiel-ill-lah. Hanya penganut Dewi Estelle yang mengucapkan mantra tersebut, paling banyak kudengar di Kerajaan Kinje. Arti dari ungkapan itu adalah syukur kepada Tuhan, tetapi juga dapat diungkapkan sebagai kelegaan yang sangat.
Menghela nafas dalam, aku memendekan kuku di jemariku. Kuayunkan telunjukku dari ujung kaki hingga ujung kepalku, menyebutkan sihir, "Esmeralda." Serbuk-serbuk sihir kemudian ditenun menjadi kain berwarna putih, membentuk sebuah kimono putih sederhana yang terlihat lebih pantas dihadapan kedua orang ini dibandingkan pakaian dalamku.
"Ijinkan aku mengulangi lagi," kataku yang kemudian mengangkat kecil rokku dan menunduk, memperkenalkan diri dengan sopan dihadapan kedua penolongku itu, "Namaku Ecclarista, Chemo-ika kota Pei Jin. Aku sungguh berterima kasih atas kebaikan hati kalian menolongku saat sakit. Bila ada yang bisa kulakukan untuk menebus kebiakan itu, katakan saja."
Hampir aku menggigit lidahku, sudah lama sekali aku tidak berbicara sopan seperti itu. Arthur langsung canggung dan melambai-lambaikan tangannya dengan cepat, "T-Tidak, a-aku yang malah harus berterima kasih, kamu mau menolong seorang asing sepertiku."
Arielle langsung menyikut Arthur dan mengambil alih pembicaran, "Kalau begitu, Dame Claris. Apakah kamu berkenan menjelaskan apa yang kamu perbuat di lab-mu?"