Chereads / Bunga Lentera / Chapter 14 - Secercah Harapan (2)

Chapter 14 - Secercah Harapan (2)

Aku benci manusia.

Pikiran itu terbesit selalu pada setiap langkahku menuruni tangga menuju laboratorium.Aku telah menerima bagian dalam diriku itu. Meskipun begitu, aku tak ingin melukai mereka.

Di perhentian, aku menoleh kebelakang, melihat kedua manusia itu saling berpegangan tangan, dengan pelan dan berhati-hati, menuruni tangga itu satu per satu. Pemandangan itu menyadarkanku akan betapa rapuhnya manusia, seperti nyawa mereka selalu berada di ujung tanduk.

Namun, ingatan akan pengkhianatan Raja padaku takkan pernah kulupakan. Deretan tulang dan daging yang kurobek dengan belati jemari ini, darah yang melumuri tanganku ini, mengurungku dalam masa lalu. Rasa percaya tidak memiliki arti apa-apa, hubungan darah hanyalah omong kosong belaka, cinta hanyalah mimpi yang semanis gula. Pada akhirnya, manusia akan selalu dikuasai oleh keegoisan dan ketamakan mereka.

Karena itulah, meskipun aku tak ingin merasakannya lagi… setelah mereka melihat labku, aku hanya berharap mereka... tidak akan menyerangku. Jika ternyata hal itu terjadi... maka aku tak punya pilihan lain.

"Ayoo, kenapa lama sekali?" tanyaku.

"Iiih. Sek to, aku nggak se-fit kamu," omel Arielle yang gemetaran memegang tangan suaminya yang memimpin jalan. Arthur pun tertawa kecil dan berkata, "Aiih, gemesin banget sih istriku. Coba kamu selucu ini setiap hari."

Tetapi komentarnya menghadiahi cubitan maut pada lengannya. Kaki Arielle pun terpleset namun dengan gesit Arthur dapat menangkap istrinya dan membawanya turun. "Kalau mau digendong, bilang dong dari tadi," goda Arthur yang menghadiahinya pukulan kecil di dada oleh Arielle yang mukanya merah tomat.

Cahaya redup menyambut kami saat pintu lab dibuka. Cahaya tersebut berasal dari lingkar-lingkar sihir yang mengitari sebuah tabung labu besar di depan deretan Gruhningen. Layaknya Bulan mengitari Bumi, lingkaran itu melingkupi tabung labu. Sinarnya yang redup memberitahuku bahwa waktunya telah tiba untuk pengaturan terakhir… atau lebih tepatnya pengadilan terakhir. Jawaban akan doaku, dipertanyakan pada momen ini.

"S-Sejak pertama aku melihat lab ini, aku selalu bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang seorang Chemo-ika ingin lakukan dengan sihir sebesar ini? Firasatku buruk, tapi... kamu tidak merencanakan sesuatu yang jahat bukan?" tanya Arielle kepadaku, yang siap dengan tongkat sihirnya.

Aku melipat tanganku dan melirik pada gadis penasaran itu, "Hmm, sesuatu yang jahat ya. Nong, waktu kamu di univ, pernah kamu membaca tentang sihir primordial?" tanyaku.

"Satu atau dua buku menyebutkannya, tapi detilnya aku belum dengar. Ngomong-ngomong, kenapa kamu memanggilku Nong? Misalpun imut seperti ini, aku seorang dame loh, wanita dewasa!" gumam Arielle sambil mengayunkan tongkatnya berusaha membaca makna lingkaran sihir tersebut, "Grizelde vur fein das amorphe~?" gumamnya lagi.

Segera kuhempas tangan gadis itu sambil berteriak, "Hentikan~!"

Percikan petir muncul di tongkat sihir Arielle, mematahkan tongkat sihir itu dan membakar ujung jari gadis mungil itu. Gadis itu berteriak sakit dan Arthur segera mendekati Arielle dengan khawatir. Ah, aku terlambat seperitnya. Dasar, tidakkah pernah gadis itu mendengar peribahasa bahwa rasa penasaran membunuh seekor kucing?

Setelah mengigigit ujung jariku hingga berdarah, aku mengambil tangan Arielle dan mengolesi darahku pada lukanya. Sekejap kulit tersebut pun sembuh seperti sediakala, bersamaan dengan tatapan tidak percaya dari gadis itu.

"Jangan gegabah, Nong. Ini adalah sihir primordial. Sihir yang jauh lebih kuat dari sihir satu silabel yang orang jaman ini biasa gunakan. Salah pelafalan sedikit saja maka sirkuit sihirmu akan meledak dari dalam dan kamu pun akan mati," peringatku yang kemudian mengecek kembali tangan itu, memastikannya tak ada luka lainnya yang tersembunyi.

Setelah lega tak ada yang tersia, aku pun tersenyum menyeringai menunjukan taringku dan bertanya, "Gimana rasanya hampir mati sekali?"

"Aku baik-baik saja," Arielle mengambil tangannya dariku lalu bertanya, "Sihir ini... K-Kamu mau buat apa sebenarnya, Dame?"

Kutatap tabung labu itu dan berkata, "Keajaiban bila Tuhan mengkhendakinya. Bencana bila setan yang menghendakinya," kemudian aku mengambil alih lingkar sihir tersebut dan mengaturnya sehingga mengorbit pada satu sumbu. Tanganku terbakar ketika melakukannya, namun kemampuan regenerasi tubuhku mampu menyembuhkannya terus menerus,

"Grizelde vur fein das amorphez Deus Incarnatus. Sihir kuno untuk merekonstruksi tubuh manusia. di jaman Primordial, dengan sihir ini manusia mampu menumbuhkan sayap di punggung mereka dan memiliki kekuatan fisik yang menandingi dewa-dewi. Tetapi, aku tidak menggunakan sihir ini untuk itu. Aku mencoba menyembuhkan kematian. Lebih tepatnya... tubuh yang mampu bertahan dari tekanan sihir Quartz," jelasku.

Sebenarnya aku sendiri hanya mengetahui sihir ini dari buku penelitian Ibu, tetapi belum pernah melakukannya. Buku Ibu sangat presisi dan jelas, sehingga aku dapat mengikutinya langkah demi langkah. Sungguh, meskipun terpisah delapan tahun, Ibu selalu merayapkan genggaman kegelapannya dalam hidupku.

Saat kecil, aku juga nakal seperti Arielle. Rasa ingin tahuku menyebabkanku menyelinap masuk ke laboratorium Ibu. Disana aku dengan sembrono membaca mantra sihir kuno dan menyebabkan kematianku. Tetapi, Tao kemudian menghidupkanku kembali dengan cordia golmi.

Quartz yang menjadi inti sihir ini selalu menolak tubuhnya, menyebabkan hancurnya tubuh itu hingga ke partikel terkecil. Karena itu... aku harus membuat struktur tubuh anak itu sekuat milikku. Sampai sekarang aku belum bisa menguak bagaimana Tao dapat menggunakan Quartz itu untuk menghidupkanku kembali. Bagian itu... yang membuatku ragu apakah sihir ini berhasil atau tidak.

"Menghidupkan seorang yang telah mati? Claris… sebenarnya kamu ini apa?" tanya Arielle.

Sambil menuliskan relief-relief baru pada lingkaran sihir tersebut, aku menjawab pertanyaan Arielle dengan ringan, "Kamu belum sadar?Seorang daemon dari suku muso dengan jemari belati dan darah yang dapat menyembuhkan luka. Akulah sang Daemon Bulan."

Bila pembicaraan ini terjadi selain di lab ini, pastilah mereka akan menganggapku bercanda. Akan tetapi, Arthur segera mencabut pedangnya dan melindungi Arielle. Tangannya gemetar dan matanya lekat mengawasiku. Hmm, boleh juga bocah ini. Meskipun masih bocah, dia dapat mencium niatan membunuhku dan berani menentangku tanpa mengompol. Para pembunuh bayaran yang mengincar kepalaku semua lari terbirit-birit ketika merasakan niatan membunuhku.

"K-Katakan kamu berbohong, Claris! T-Tidak mungkin… sosok yang memiliki hati sebaikmu, yang menolong orang asing di tengah jalan, merupakan pembunuh ribuan nyawa tak berdosa dan mengutuk tanah Kinje dalam kegelapan!" tanya Arthur.

"Percaya dengan instingmu, bocah. Ataukah harus kuambil nafas dari wajah manis istrimu agar kamu percaya?" tantangku sambil terus membenarkan relief yang semakin tidak stabil ini, "Kalaupun jujur, aku tahu bahwa sebagai tentara Kinje, kamu pun diberi perintah untuk membunuhku, bukan?" tanyaku balik.

Sebuah ide terbesit di kepalaku, "Biar kuberitahu kamu, Arthur. Saat ini aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mempertahankan lingkaran sihir ini. Aku tidak bisa berhenti, sebab jika relief sihir ini putus maka sihir di dalam labu ini akan meledakkan satu kota Pei Jin," kataku sambil semakin cepat menuliskan ulang relief yang kian menghilang, "Kamu bisa dengan mudah memenggal kepalaku dan menikam jantungku, memisahkan tubuhku dan mengurungnya dalam segel sihir di tujuh penjuru dunia. Misalpun aku tidak mati, tapi kamu telah berhasil melumpuhkanku," lanjutku.

Sial, kenapa lingkaran sihir ini sangat tidak stabil? Aku pun menggerakkan rambutku untuk membantu menuliskan relief demi relief. Sesungguhnya aku benar-benar kewalahan, tetapi inilah saat yang tepat untuk menguji mereka. Jika Arthur adalah manusia egois seperti yang kukira, maka ia akan berusaha membunuhku dan akhirnya mengorbankan satu kota ini demi ambisinya.

"Apa jawabanmu, Arthur?" tanyaku lagi.

Rahang Arthur mengetat, keraguan nampak jelas di wajahnya. Namun Arielle menarik bajunya. Keduanya bertatapan sejenak sebelum akhirnya Arielle mengangguk. Ah… seperti dugaanku. Manusia akan selalu bodoh dan egois. Tujuh tahun pun, seratus tahun pun, hal itu takkan pernah berubah. Karena itulah… aku sungguh membenci manusia.

Tetapi Arthur kemudian menyarungkan pedangnya dan menggandeng tangan Arielle. Keduanya menatapku dengan mantab.

Aku menekuk alisku heran, "Oi, kalian tidak mendengarku?"

Tetapi, Arthur kemudian menjawabku, "Kami percaya denganmu, Claris. Kamu, sebenarnya, memiliki hati yang baik," kata Arthur kemudian.

"Tidak ada teroris yang sedang bersusah payah mencegah kota ini dari kemusnahan," sambung Arielle.

Eeh? Apa-apaan dua manusia itu? Berani-beraninya mereka keluar dari ekspetasiku. Tapi, hal yang menyebalkan sekarang adalah rangkaian lingkar sihir ini. Ah! Andai aku punya tangan satu lagi untuk mengguyurnya dengan Aether!

"Kalau begitu, bantu aku," kataku kemudian kepada dua bocah itu lalu dengan rambutku aku menunjuk deretan tong Aether dan kimia sihir lainnya di pojokan Lab, "Siram lingkaran sihir ini dengan bubuk itu. Hati-hati, jangan sampai menyentuh lingkar sihinya kalau tak ingin mati, mengerti?!" teriakku.

Kedua bocah itu menuruti perkataanku. Dengan tergopoh-gopoh, mereka menghujani rangkaian sihir tersebut dengan bubuk sihir. Satu tong, dua tong tidak cukup. Hingga habis semua tong di lab itu. Hamparan medium sihir dihadapanku, kurangkai bersama-sama dengan lingkar sihir itu, mengubah warnanya dari putih terang menjadi merah mengkilau. Keringat segera menetes, mataku mulai pedih karena tak berkedip sama sekali.

Akhirnya setelah perjuangan kecepatan yang panajng, perlahan, satu persatu lingkar sihir itu pun menjadi tenang, mereka kemudian bersatu menjadi sebuah lingkar sihir besar yang menyentuh tanah. Tabung labu yang daritadi terbang, perlahan mulai duduk di lantai. Astaga Tuhanku, betapa lega rasanya.

Aku menghela nafas dan terjatuh di lantai. Kedua manusia itu pun kelelahan karena terus menerus mengangkut tong seberat 50 kilo. Sungguh… benar-benar, aku membenci manusia namun… dalam lubuk hatiku terdalam, melihat mereka, harapan ingin muncul dari lubuk hatiku.

Masih ada kebaikan di sudut kemanusiaan.