Inilah momen penentuan. Jawaban dari Tuhan pada semua doaku. Pertanyaan yang selalu menghantuiku. Masih bolehkah seorang pembunuh berdarah dingin sepertiku menebus kesalahanku di masa lalu?
Debu merah memenuhi lab ditemani sebuah tabung labu berdiri tegak diatas lingkar sihir yang bersinar merah terang. Kami bertiga pun berdiri, ketika aku memanjangkan jemari belatiku secara insting, Arthur dan Arielle memasang kuda-kuda mereka.
"Claris, isi labu itu apa? Kenapa kamu bersiap-siap seperti itu?" tanya Arielle mengambil tongkat sihirnya yang sudah patah dan ikut bersiap.
"Aku mengganti sumber sihir seorang manusia menjadi batu Quartz.Dengan harapan, energi sihir berlimpah di dalamnya akan membantu menyembuhkan tubuh anak itu. Aku hanya berharap algoritma yang kupasang sesuai dengan struktur tubuhku... jika tidak, seekor monster akan lahir," ceritaku.
"G-Gila kamu. I-Ini, kalau tidak salah aku pernah membacanya. Hedgehog contraception… jantung imitasi bertenaga Quartz. Sepuluh tahun lalu, Prof. Asherune berusaha membuktikan teori itu namun… Kamu tahu, bahwa percobaan ini akan selalu gagal, tubuh manusia dan Daemon secara alami takkan mampu menahan sihir besar dalam batu Quartz," balas Arielle.
Aku menggelengkan kepalaku, "Prof. Asherune sudah gila? Mana mungkin dia bisa melakukan itu tanpa bantuan Putri Malaakh sepertiku?"
"Pada awal mulanya Batu Quartz adalah kumpulan dari puluh ribu jiwa yang terkurung dalam sebuah batu sihir. Mengganti jantung seseorang dengan Batu Quartz berarti mengalirkan puluhribu jiwa tersebut ke tubuhnya. Semua jiwa itu akan saling berkompetisi untuk menguasai tubuh baru itu. Bila tubuh anak itu berhasil menahan kekuatan destruktif batu Quart, aku tidak tahu siapa yang akan mendiami tubuh anak itu… dan perasaan apa yang dibawanya," lanjutku kemudian.
"M-Maksudmu, bila ternyata jiwa seorang pembunuh yang menang, maka orang itu menjadi seorang pembunuh?" kata Arthur memegang erat pedangnya.
Aku mengangguk, "Atau lebih buruk lagi. Tidak ada jiwa yang menang, namun hanyalah kumpulan perasaan kuat… kesedihan, kemarahan. Dengan kata lain, seekor iblis akan terlahir," ucapku kemudian, "Jika kedua hal tersebut terjadi… aku tak bisa membiarkannya hidup."
Arthur mengetatkan rahangnya. Wajahnya menunjukkan rasa tidak setuju yang sangat. Pasti dalam pikirannya terpikir betapa gila aku melakukan percobaan segila ini.
Aku pun putus asa, tahu! Tujuh tahun lalu aku telah melawan penyakit Nyght. Ratusan cara telah kugunakan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa malang itu. Namun, tak ada yang berhasil. Ritual ini hanyalah satu-satunya cara yang kutahu untuk mengalahkan penyakit itu. Semoga.
"Bagaimana kamu bisa tahu ritual ini? Bahkan, catatan tentang penelitian ini pun telah dilenyapkan dari perpustakaan," tanya Arielle.
"Kamu bisa bilang, Dewi Kematian sendiri mengajarkannya padaku," jawabku jujur. Ingin kujelaskan lagi, tetapi sepertinya waktu telah habis.
Sesaat setelahnya tabung itu perlahan terbuka dan dari dalam tabung itu mengucur darahku yang membanjiri lantai Lab. Dari tepian terbukannya labu itu, jemari-jemari belati merayap keluar. KREK, terdengar bunyi memilukan dari tabung tembaga diremas oleh tangan-tangan itu, perlahan terbuka bersamaan dengan dengung yang menggema di lab ini. Pada akhirnya, bunyi hentaman keras terdengar ketika sosok gelap dibalik kabut merah itu memaksa buka tabung tersebut.
Hah, setidaknya tubuh anak itu tidak hancur, pikirku sedikit lega. Tetapi, apa yang mengisi jiwa anak itu kini membuatku gusar. Perlahan sosok hitam itu berjalan melewati genangan darah, menembus kabut merah untuk mendekati kami. Gemericik bunyinya membuat keringat dingin mengucur. Apakah seekor iblis akan terlahir, ataukah keajaiban terjadi?
"Siapakah namamu?" tanyaku. Sebuah pertanyaan sederhana, namun penting. Jika ada keraguan terdengar dalam ucapan itu, maka aku tahu bahwa jiwa lain menguasai gadis itu. Tapi… jika dia dapat menjawabnya dengan tulus… maka…
Dengan suara pelan dan serak, sosok gelap itu menjawab, "Lu… ciel."
Kabut pun mereda, menunjukan seorang anak perempuan berdiri di depan tabung labu yang kosong. Untaian rambut hitamnya memanjang hingga ke lantai, menutupi kulitnya yang pucat seperti rembulan. Matanya terlihat sayu, namun sinar harapan masih cerah di kedua iris biru lautnya. Luciel, nama anak perempuan itu, kehilangan kekuatannya dan pun terjatuh.
Aku menangkap tubuh Luciel secepat kilat, hingga aku terjatuh dan bermandikan darahku. Kupegang kepalanya dan kusisir kembali wajahnya, memperhatikan betul setiap lekuk tubuhnya terutama luka di dada Luciel yang telah menutup sempurna. Jemari belati Luciel perlahan menumpul menyisakan tangan kecil yang mungil, yang kupegang erat.
"S-Setelah tujuh tahun… Akhirnya... Tuhan menjawabku juga," gumamku terbata-bata.
Arthur dan Arielle melepaskan kuda-kuda mereka, merasa bahwa bahaya sudah lewat. Aku menatap wajah mereka yang terkejut. Tentu saja, sebab aku pun demikian. Sebuah keajaiban baru saja terjadi. Kemungkinan yang hanya 0,000001% terjadi.
Jauh dari yang kusangka, Arthur menawarkanku sapu tangannya, "Boleh kusimpulkan… kamu berhasil, Claris?"
"I-Iya... tak ada keraguan dari kata-katanya. Gadis ini... sungguh Luciel. Anak yang kuberusaha selaamtkan," kataku terbata-bata. Aku pun mengambil sapu tangan itu dan mengelap sekujur wajahku. Eeh, sekacau ini kah tampakanku? Pikirku melihat sapu tangan itu segera berwarna merah. Aku melihat wajah Luciel yang tertidur dengan tenang, terlepas dari penderitaannya. Senyuman kecil merekah di wajahku, mengucap syukur pada Tuhan yang telah mengabulkan doaku.
"S-Syukurlah… syukurlah, " jawabku kemudian, "Sepertinya… Masih ada harapan bagiku untuk menebus kesalahanku di masa lalu," lanjutku kemudian.
Sebuah ingatan bergema di kepalaku. Sebuah lukisan yang sama antara aku dan gadis ini, namun di lukisan itu, aku menggantikan posisi Luciel dan melihat ke arah dia yang memangkuku. Wanita itu, dengan untaian rambut ungunya mengelus pipiku. Buram ingatan itu, namun aku dapat melihat jelas wajah tanpa ekspresi itu. Tanpa cinta, tanpa kesedihan, tanpa perasaan apapun, meskipun anak yang ia besarkan hampir saja mati. Layaknya boneka tak bernyawa.
Sentuhan dingin di pipi adalah ingatan terakhirku akan wanita itu, sebelum ia pergi menghilang dan meninggalkanku sendirian di kediaman Noctis. Wanita yang paling kucintai, namun pula yang paling pertama mengkhianatiku. Wanita dingin tanpa perasaan yang sampai sekarang tak pernah kumengerti.
Dia adalah ibuku, Amelia Sonata'o Noctis atau yang lebih dikenal sebagai Magistrat Tao, pendiri dan pemimpin tertinggi asosiasi penyihir Kinje.
Takdir memang melengkung aneh membuatku melakukan apa yang ibuku lakukan. Mengubah kota Hilfheim menjadi batu Quartz, menghidupkan kembali seseorang yang seharusnya mati. Tujuh tahun hidupku… meskipun terpisah, pada akhirnya aku melebarkan layar bahteraku ke lautan yang ia susuri. Layaknya seorang anak mengikuti bayang-bayang ibunya.
Hingga kutemukan dia di kota ini… dengan penyakit ini pun muncul. Tujuh tahun tak berjumpa, ironi akan membawa takdir kami bertemu kembali. Tetapi bukan sebagai ibu dan anak, melainkan sang pemburu dan yang diburu.
Jawaban doa dari Tuhan ini menyadarkanku akan peranku sesungguhnya di dunia. Selama tujuh tahun ini aku selalu menentangnya sendiri… namun, seakrang, bersama anak yang baru terlahir ini… Tuhan seperti menunjukku untuk memenuhi janjiku.
Aku harus menghentikan ibuku akan kegilaannya, meskipun untuk itu… aku harus mengakhiri hidupnya. Tujuan hidup ini menjadi cahaya dalam lentera hidupku yang telah lama redup. Ironi, tetapi aku tak pernah emrasa lebih hidup dari saat sekarang.
Namun... sebelum aku memenuhi janjiku, aku ingin, sedikitnya mengerti tentang ibu.
Pada akhirnya, kedua anak muda itu membantuku membereskan lab. Kurebahkan tubuh mungil Luciel di kasurku, tak lupa kuselimuti dengan baju dan selimut yang hangat. Suara beres-beres pun usai, dan kudengar keempat langkah kaki mendekati kamarku.
"Kutanya untuk terakhir kalinya… akulah sang Daemon Bulan, pembawa gelap pada daratan Kinje. Apakah kalian telah memutuskan untuk membunuhku?" tanyaku kemudian.
Arthur menjawab, "Arielle dan aku telah berbincang."
Hening pun muncul membuatku membalikkan tubuhku menghadap kedua anak muda itu. Terkejut mataku mendapatkan mereka membungkuk hormat di hadapanku. Belum aku sempat bertanya, Arthur berkata, "Kami sudah… menghadapi keputusasaan yang hebat pada wabah ini. Kami sudah cukup mendegar dan melihat nyawa orang-orang yang kami kenal, jatuh dan mati. Pei Jin telah menjadi rumah kedua bagi kami, sehingga kami tak ingin kehilangannya."
Arielle menyambung, "Kamu adalah penyihir terhebat yang pernah kulihat..tidak, mungkin dalam sepanjang masa. Karena itu… sebagai warga Pei Jin, kami mohon, oh Daemon Bulan… Pinjamkan kekuatanmu agar kami dapat menyelamatkan kota ini."
Nada bicara mereka tulus dair dalam hati, aku tahu sebab telingaku lebih tajam dari manusia. Niatan membunuh sama sekali tak tercium. Meskipun aku memiliki tujuan yang sejalan dengan mereka, namun keraguanku pada manusia masih menguasaiku. Arthur yang terluka parah dan murid Edinburg yang melarikan diri ke kota Pei Jin, kota yang orang Kinje katakan menjijikan. Kombinasi yang mau tidak mau membuatku makin sulit mempercayai mereka.
Aku pun bertanya kepada mereka, "Bila begitu, bolehkah aku mendengar cerita kalian?"