"perhaps
you were made
for this moment
to walk
through blazing fire
and come forth
as gold."
"i love hopper so much," jo bergumam sambil memasukkan biskuit kecil ke dalam mulutnya. berada di samping jo membuat harry mendengar suaranya, lalu menoleh pada jo yang tenggelam dalam adegan di mana hopper dan joyce sedang merencanakan kencan mereka.
tadinya harry ingin fokus menonton, namun pemandangan di sebelahnya lebih menarik dan membuat jantungnya berdebar. jo terlihat cantik dari tampak depan, dan sangat manis dari tampak samping.
mata biru indah jo begitu berbinar saat menyaksikan apa yang ia sukai, sama seperti saat mereka menonton film black widow beberapa hari lalu. ia tahu jo menyukai film tersebut karena menunjukkan betapa kuat dan tak terkalahkannya seorang perempuan. bibir merah muda pucat itu sesekali terbuka, gemas ingin mengomel tiap kali karakter nyaris mati, dan harry berusaha keras untuk menjaga sikap sopannya atau sebuah tamparan mungkin akan mendarat di pipinya.
pernahkah harry mengatakan hidung jo sangat lucu? harry tidak tahu mengapa, namun ia menemukan bahwa hidung jo sangat menggemaskan dan harry ingin sekali menyolek hidung mancung itu.
dan tampaknya... tidak bisa dimiliki.
harry menghela napas karena pemikirannya sendiri. tidak seperti dirinya, jo pasti bisa mengatur perasaannya untuk tidak jatuh cinta dalam proses pembuatan cerita untuk tugasnya. harry, berada di sini, merasakan mungkin cintanya akan bertepuk sebelah tangan jika ia memiliki keberanian untuk mengakui perasaannya.
ia berkata jujur saat tidak menceritakan apapun tentang kencan-kencan palsu yang mereka lakukan pada siapapun, tapi tentu saja teman-temannya tahu ia menyukai jo. mereka tidak percaya saat harry menjelaskan pada matthew, pokoknya mereka memaksa kalau orang yang matthew lihat adalah jo—yang mana adalah benar. harry tetap pada pendiriannya untuk menjaga perasaan jo, jadi ia tidak mengiyakan. namun tahu-tahu matthew memberi nasihat, "aku bukan cedric yang mengatakan jo itu membosankan, in fact, i think she's rare. go for her, don't let her slip."
harry jadi sedikit sensitif jika nama jo disebut oleh teman-temannya, ia bahkan sempat berpikir matthew menyukai jo. tapi, ia buang jauh-jauh pikiran itu karena tidak mungkin. matthew sendiri memiliki hubungan yang masih harus ia perbaiki, tidak mungkin. jo memang cantik, harry sempat meminta pengakuan matthew dan cedric; mereka mengatakan 'ya', tapi jo juga bukan tipe cewek yang mereka cari.
samar, harry mendengar suara di telinganya. tidak tahu dari mana, ia mengabaikannya, memilih memperhatikan jo yang kini menoleh padanya. mata hijau harry menatap mata birunya, turun ke hidung dan pipinya yang merona, lalu ke bibirnya yang bergerak. apa ia mengatakan sesuatu?
"—you okay?"
mendengar itu, harry menerjap dan membuang wajahnya karena tersadar dari lamunannya. apakah jo baru saja menangkap basah dirinya sedang menatapinya? ya, ya.
"harry, kenapa?" tanya jo, membawa tangannya menyentuh tangan harry yang terlihat namun justru mengejutkan harry sehingga ia secara refleks menarik tangannya. "sorry."
menoleh, dilihatnya jo memandanginya tidak enak. "a-aku tidak apa-apa. memang kenapa?"
"kau melamun."
"oh," bagus, harry merasa canggung dan ia tidak tahu harus mengatakan apa. ia melihat pada layar tv, dan tahu-tahu sudah menunjukkan credit scene. selama itukah ia melamun? harry menerjap lagi, lalu menoleh pada jo. "kau lapar?"
"tidak. kau yakin tidak apa-apa?" alih-alih menjawab, harry justru menemukan nada khawatir yang tersirat dalam kalimat jo. ia menahan senyumnya. "lebih baik aku pulang, ya? kau harus istirahat."
mata harry secara refleks melebar lalu kepalanya menggeleng cepat. "no, stay."
jo menerjapkan matanya, sedikit terkejut. "kenapa? kau butuh istirahat."
"kau belum makan, ke mana sopan santunku kalau tidak memberimu makan, josie?" harry berdiri, menuju lemari dan meninggalkan jo yang sedang memandanginya dengan bingung.
"tidak apa, harry." katanya.
"it's not okay," harry membuka pintu lemarinya, mengambil kaus hitam dan hendak membuka selimut yang membalut tubuhnya. "now turn around if you don't wanna see me shirtless."
harry dapat merasakan jo memutar mata dan pergi ke balkon, maka dari itu ia terkekeh. lucu sekali, ia bisa saja mencium cewek itu jika tidak memiliki otak. dengan cepat, harry memakai kausnya dan mengganti boxernya dengan celana yang lebih panjang di bawah lutut.
"sudah selesai."
ia berbalik badan, jo melangkah masuk ke dalam dan duduk lagi di sofa. "sial, aku lupa."
harry menautkan alis, menghampiri jo dan duduk lagi di sampingnya. tangan harry meraih gelas orange juice, meneguknya sebelum akhirnya bersuara. "lupa apa? mengerjakan tugas? pakai laptopku saja."
"bukan. aku seharusnya di rumah—mrs. anderson ingin membaca sedikit dari cerita yang sudah kutulis."
"hey!" harry memekik, teringat sesuatu. "aku juga meminta hal yang sama, ingat?" wajahnya protes namun tidak serius, berharap jo tertawa, tapi nyatanya cewek itu menggeleng. "kenapa???"
"aku tidak mau kau membacanya," jawaban itu membuat harry sedikit terkejut karena jo tiba-tiba merubah pikirannya. apa yang terjadi? mengapa pikirannya berubah? padahal harry tidak pernah menghina tulisannya—baru sekali ia membacanya, dan menurut harry, tulisan jo sudah sangat baik dan merupakan standar harvard. harry juga mengatakan pada jo bahwa ia menyukainya, terlepas dari karakter cowok yang (ia pikir) terinspirasi darinya.
"kenapa begitu?"
"tidak apa-apa..." ia berubah jadi gugup sekarang. "hanya... tidak mau saja. lagipula aku malu."
apa, malu? "kenapa harus malu? kau tahu apa yang kupikirkan mengenai ceritamu." harry mengerucutkan bibirnya yang mana membuat jo tertawa. "ayolah, jo."
"tidak, harry. aku malu—nanti saja. kalau sudah selesai, atau kalau aku sudah tidak malu lagi!" ujar jo menunjukkan gigi-giginya yang rapih.
"masih lama."
"tidak," jo menggeleng. "dua minggu lagi prom, berarti dua minggu lagi aku akan mengumpulkan seluruh ceritaku pada mrs. anderson. kau bisa membacanya saat itu."
"ya, tapi—"
jo mendengus. "tidak ada tapi-tapian. aku tahu aku mengatakan untuk memberimu update, tapi aku berubah pikiran karena aku merasa malu dengan tulisanku, oke? mengirimkannya pada mrs. anderson saja aku takut."
"tapi kau membiarkan aku membaca ceritamu saat itu," harry merajuk, masih menunjukkan bibirnya yang mengerucut dan membuat jo tidak mengalihkan pandangannya.
"t'was different," jo nyengir, namun harry tetap merajuk karena masih berusaha mengerti alasan jo merubah pikirannya. "akan kuberitahu kalau aku sudah siap, ya? aku janji."
harry mendengus. "nanti berubah pikiran lagi.
"tidak, tidak akan."
"oke." perlahan, harry menunjukkan senyumnya.
"now that's the smile!" pekik jo dan harry menyambutnya dengan kekehan serta memutar matanya, masih sedikit jengkel.
tanpa disadari, waktu kini menunjukkan pukul enam dan keduanya tertawa karena sama-sama mendengar suara perut masing-masing yang meronta ingin diberi makan. dan kebetulan, pada jam enam lah keluarga harry biasa menyantap makan malam.
harry berdiri, diikuti jo yang sebelumnya harus dipaksa harry untuk makan malam bersamanya di meja makan. cewek itu terlihat kikuk dan sedikit takut karena sudah pasti akan bertemu anne, ibunya. padahal, yang harry lihat beberapa jam lalu, anne terlihat sama saja seperti dirinya kepada teman-teman harry yang lain—yang artinya ia menyukai jo. meskipun harry agak kecewa ibunya tidak berpikiran ke arah sana tentang jo dan dirinya.
begitu keduanya turun dari tangga, harum masakan tradisional inggris sudah tercium di hidung yang mana membuat harry dan jo semakin lapar. mereka bergegas ke ruang meja makan, dan menemukan jean sedang menata piring untuk tiga orang—ayahnya tidak pulang cepat hari ini.
"mom?" panggil harry karena tidak menemukan ibunya di sana.
"nyonya masih bersiap, tuan." jean menunduk saat menjawab harry, padahal sudah dikatakan untuk tidak bersikap seperti itu—karena pembantu lamanya juga harry minta untuk tidak terlalu formal, karena ia bukan ibunya.
apa boleh buat, harry hanya mengangguk dan memberi kode pada jo agar ia duduk di seberangnya. jo sempat menolak, namun suara anne berbicara di telepon terdengar semakin dekat, mau tidak mau jo duduk di tempat yang harry minta.
"ya, dia bersama seorang gadis—...aye, mereka sudah di sini. kusampaikan salammu. bye, sayang." anne buru-buru mematikan ponselnya dan melempar senyum pada jo. "hey, jo."
jo tersenyum.
"tadi siapa?" tanya harry begitu ibunya sudah duduk.
"dad," ia merapihkan rambutnya, menyisihkannya ke belakang. "ia harus pulang larut malam ini, ada meeting mendadak dengan horan company."
jean langsung menyiapkan makan untuk ketiganya, dan seperti yang sudah diduga, anne dan jean memasak menu tradisional inggris tadi sore. yaitu cottage pie dan yorkshire pudding.
harry melihat ke arah jo saat jean menyiapkan makanannya. ia tidak tahu, namun raut wajah jo menunjukkan gadis itu sedang merasa canggung namun justru membuat harry gemas karena pipinya merona merah. harry mengangkat ujung bibirnya, lalu menoleh pada ibunya yang ternyata sudah memperhatikannya dengan kedua alis yang melengkung ke atas.
sial, dua kali saja dirinya tertangkap basah sedang memandangi jo. harry harus berpura-pura bodoh.
ia menerjap. "...apa?"
"tidak ada," ucap anne, menahan senyumnya lalu menoleh pada jo. "jo, kau berdoa?"
jo menengadah dan melihat pada anne. "eh, ya. tentu."
"harry, pimpin doa makan malamnya."
dengan itu, harry menunduk dan mengaitkan tangannya dengan anne, begitu juga jo. baru setelah itu harry mengucapkan rasa syukur terhadap makan malamyang mereka dapatkan, dan memulai makan setelah mengucapkan kata 'amen'.
"jo," kata anne saat mereka sudah mulai makan.
"ya?"
anne menoleh pada jo, dan harry dapat mengatakan wanita kesayangannya itu tertarik dengan jo seperti ia tertarik dengan teman-temannya. terlihat sekali dari matanya, dan ia bahkan mengatakan ayahnya bahwa dirinya membawa teman perempuan hari ini. "kau teman sekolah harry?"
jo mengangguk. "ya, kurang lebih seperti itu." harry menahan tawanya karena jo yang canggung.
"pasti harry merepotkan sekali ya, di sekolah? apa dia pernah membully seseorang? kalau ya, beritahu aku, ya!" seru anne yang disambut putaran mata jengkel harry. anne selalu mengatakan hal itu kepada teman yang harry kenalkan padanya.
"not really, mrs. carson—"
"just anne is fine," potong anne, lalu melahap pienya.
jo tersenyum. "not really, harry sebenarnya sedang membantuku mengerjakan tugas untuk nilai raporku."
"wow, akhirnya aku mendengar hal baik." anne tertawa, melirik harry sekilas dengan senyuman mengejek. "biar kutebak, kau sedang mengejar beasiswa?"
"harvard."
harry nyaris seperti tidak dianggap, namun itu tidak jadi masalah. ia senang ibunya berkenalan dengan jo, kalau-kalau nanti mereka sudah jadi... harry tidak perlu bersusah payah untuk mengenalkannya lagi.
"that's cool, kau pasti seorang jenius, kan?" anne terlihat heboh sekali, sementara jo masih saja terlihat canggung. "berapa nilai matematika dan fisikamu?"
"100..." ucap jo dengan malu-malu, membuat harry sendiri agak terkejut. ia tahu jo murid paling pintar di angkatannya, bahkan di antara satu sekolah. namun mana pernah harry tahu nilai jo sesempurna itu. sementara anne justru memandangi jo dengan kagum.
"bagaimana dengan kimia?"
"aku dapat nilai 98, tapi guruku memberi dua poin lagi sehingga bulat menjadi 100." jawab jo. ini membuat harry berpikir bahwa otak jo terbuat dari mesin pintar.
"itu luar biasa, jo. aku punya kenalan orang dalam di harvard, aku pernah membantunya mempertahankan pekerjaannya di sana, jadi kupikir ia tidak akan keberatan kalau aku memintanya agar kau masuk ke harvard tanpa daftar, tes atau beasiswa." jelas anne. "bagaimana menurutmu?"
mulai lagi.
harry menghela napas saat jo yang begitu bingung dan melihat padanya sekilas. tentu saja jo tidak mau, kalau seperti ini untuk apa usaha jo membuat cerita sampai harus kencan palsu dengannya? sia-sia? harry tidak tahu apa alasan yang membuat jo begitu gigih, tapi usahanya tidak boleh sia-sia.
"uh..." dilihatnya jo bergerak tidak nyaman. "aku...tidak tahu."
tentu saja.
"mengapa begitu?" anne meneguk sedikit winenya. "kau tahu, kalau kau mau, aku akan membantumu sampai selesai."
"uh... entah..."
harry menghela napas melihat jo bergerak tidak nyaman seperti itu. "mom?" panggilnya. anne menoleh. "can you please... not?"
"maksudmu?" anne menautkan alis, lalu kembali menoleh pada jo. "kau ini pintar, jo, tidak perlu kau beritahu nilaimu juga aku dapat menebaknya. tidak perlu dijawab sekarang, tapi pikirkan, ya?"
jo hanya memberikan senyum manisnya dan mengangguk.
selesai makan malam, anne tadinya ingin mengajak jo ke ruang bacanya, memberikan buku-buku rekomendasi yang ia baca saat akan masuk harvard dulu. namun untung sekali, rekan kerjanya menelepon dan meninggalkan harry bersama jo di ruang tv.
"harry," panggil jo sesaat setelah batang hidung anne tak lagi terlihat. yang dipanggil menoleh, melengkungkan kedua alisnya ke atas. "no offense, tapi sepertinya aku mengerti perasaanmu."
"maksudmu?"
"ya—ia menawarkan cara mudah masuk harvard padaku, dan kalau aku menerimanya, lantas untuk apa aku berusaha sejauh ini?" ujar jo, matanya menatap harry yang menghela napas.
"well, sekarang kau tahu." harry menunduk, bukan hanya karena jo mengerti perasaannya, entah kenapa ia salah tingkah karena jo menatapnya tepat di mata. tapi kemudian ia mengangkat kepalanya lagi. "kau tidak akan menerimanya, kan? kau akan melanjutkan seluruh usahamu ini, kan?"
saat bertanya begitu, harry tidak tahu apakah karena ia ingin jo berhasil karena usahanya sendiri, atau karena yang lain. mungkin keduanya, namun sepertinya juga karena yang lain.
"tidak," jo menggeleng dengan kuat. "aku suka pada ibumu karena sejujurnya dia sangat baik, harry. tapi yang ditawarkannya adalah cara curang, dan aku tidak mau. aku lebih memilih berhasil dengan caraku, kalaupun aku gagal, aku akan gagal karena diriku sendiri."
harry tersenyum.
entahlah, sepertinya ini yang ia suka dari jo. ia tidak menyerah meskipun seseorang memberinya jalan pintas untuk mencapai tujuannya. ia ingin berhasil dengan caranya sendiri, dan harry iri akan hal itu.
"aku juga ingin bisa mengatakan hal itu." ucap harry.
"mengatakan apa?"
"berhasil dengan caraku sendiri," karena seluruh hidupnya sudah direncanakan oleh kedua orangtuanya dan harry sangat tidak menyukai itu. ia bahkan tadinya tidak ingin masuk ke everest school karena memakai seragam (meskipun pada akhirnya ia bersyukur mendapat teman-teman yang baik). urusan kuliahnya pun sudah diatur dan namanya sudah terdaftar di universitas michigan, dan pekerjaannya adalah menggantikan ayahnya di perusahaan keluarga. jika beruntung, harry diperbolehkan memilih sendiri nantinya.
jo memandangi harry dengan kasihan, entah apa yang ada di pikirannya pun harry tidak tahu. "kau bisa."
"bagaimana?"
"aku tidak tahu, tapi itu poinnya," jo tersenyum. "dengan caramu sendiri."
keduanya terkekeh.
"kurasa aku harus pulang, ibuku sudah mencari." kata jo, lalu melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan kurang. ia menengadah melihat harry.
"oke," harry mengangguk dan berdiri. "tunggu di sini, biar kuambil tas dan jaketmu."
dengan itu, harry menaiki tangga dan berjalan ke kamarnya. ia mengambil tas jo yang terletak di atas sofa, lalu mengambil jaket cokelat milik jo yang sudah menginap di rumahnya. setelah itu, baru ia turun dan tahu-tahu, ibunya sudah di bawah dengan membawa beberapa buku untuk dibaca.
"mom, jo ingin pulang," kata harry begitu ia berjalan mendekat.
anne mendengus. "ya, aku tahu. sayang sekali, padahal aku ingin menunjukkanmu buku-buku lainnya yang pasti akan kau sukai. lain kali datang lagi, ya? jangan tunggu diundang harry, aku mengundangmu kapan pun untuk datang kemari!"
"terima kasih, anne. i appreciate it," jo tersenyum, lalu memasukkan bukunya ke dalam tas setelah harry memberikannya.
"jaketmu sudah bersih dan wangi." ucap harry, memberikan jaket itu pada pemiliknya, lalu memberikan cengiran lebar. "maaf ya, sampai terbawa."
"sudah kubilang tidak masalah," balas jo, masih tersenyum namun kini memberikannya pada harry.
"minggu depan aku masuk sekolah," harry membentuk kedua jarinya seperti angka dua. "janji." jo hanya mengangguk, lalu tersenyum seolah mengatakan, 'sure, jan.' membuat harry memutar matanya dan tertawa. "aku serius, josie."
"ya, ya, aku percaya,"
harry tersenyum—dan tidak bisa untuk tidak tersenyum, tidak peduli jika terasa pegal karenanya. ia menoleh pada anne yang memperhatikan keduanya sambil tersenyum penuh arti pada harry.
menerjap, harry mengambil tangan jo dan segera menariknya ke depan pintu, meninggalkan anne yang kini tertawa karena berhasil menggoda anak laki-laki kebangaannya itu.
"kau ini kenapa? aku belum berpamitan pada ibumu, tahu!" seru jo, menarik tangannya dari cengkraman harry dan mengusap-usapnya. "tanganku juga sakit."
"iya, tidak perlu. nanti kusampaikan saja," ucap harry, berusaha untuk tidak membuat kontak mata dengan jo karena ia sangat malu dan wajahnya pasti memerah sekarang. bagaimana kalau jo lihat senyum penuh arti ibunya tadi? kemungkinan ia tidak mengerti, tapi harry tetap saja merasa malu. kemudian matanya menangkap mr. heidi yang baru saja keluar dari garasi rumah. "mr. heidi!"
yang dipanggil menoleh karena teriakan harry cukup kencang.
"aku butuh bantuanmu!" teriak harry, lalu mengacungkan ibu jarinya pada mr. heidi setelah pria itu berjalan cepat ke arahnya. "mr. heidi yang mengantar, ya. aku belum kuat membawa mobil."
jo mengangguk, menatap harry dari samping. "sebenarnya, aku pulang sendiri juga bisa..."
balasan itu membuat harry menoleh cepat. "tidak," protesnya tidak terima. "kau ini perempuan, tidak boleh pulang sendiri kalau sudah malam. kalau diculik, siapa yang akan repot karena mengkhawatirkanmu?"
"ibuku," jawab jo, menahan senyumnya.
"benar."
jo terkekeh, melempar senyum pada harry yang ikut membalas senyumannya hingga lesung pipinya terlihat. kemudian, untuk beberapa saat, waktu seolah beku dan dunia berhenti berputar. kalau bisa, selamanya.
pernahkah harry mengatakan mata biru jo sangat menenangkan? hari sudah malam, namun entah bagaimana caranya cahaya bulan berhasil mencari celah untuk menerangi matanya. ini akan terdengar seperti gombalan jika harry mengatakannya keras-keras, namun ia rela melakukan apa saja untuk membuat jo bahagia.
harry juga tidak tahu mengapa bibir jo terlihat begitu menggoda, tapi tentu saja ia harus menahan dirinya atau jo akan menganggapnya sebagai cowok kurang ajar. menghembuskan napas panjang, harry akan membuka mulutnya untuk berbicara saat mr. heidi tiba-tiba muncul.
"harry, ada apa?"
keduanya menerjap, lalu menoleh secara bersamaan yang mana membuat mr. heidi mengulum senyumnya. "mr. heidi, tolong antarkan jo, ya. aku belum kuat membawa mobil, alamatnya yang tadi siang kuberikan padamu."
mr. heidi mengangguk. "baik kalau begitu, aku harus mengambil mobil dulu."
begitu mr. heidi kembali ke garasi untuk mengambil mobil, keduanya saling menoleh lagi secara bersamaan. dan lagi, keduanya menerjap.
"terima kasih makan malamnya, ya. juga untuk buku-bukunya," jo tersenyum, membuat harry pusing. "katakan itu pada ibumu."
"terima kasih juga sudah mau menjenguk," kata harry, mengaitkan kedua tangannya di belakang punggung.
"sure. cepat sembuh."
"i will, miss dixie."
jo memutar matanya, lalu terkekeh. tidak lama kemudian, mobil yang sama menjemput jo tadi siang sudah muncul di depan mereka. harry lalu membukakan pintu belakang untuk jo, "hati-hati menyetirnya!" serunya pada mr. heidi saat jo melangkah masuk ke mobil.
"not one scratch, mr. carson!" balas mr. heidi, menutup jendela dan bersiap untuk menyetir.
tertawa pelan, harry menutup pintu untuk jo dan membiarkan mobil melaju dengan kecepatan normal—menjauh keluar dari pekarangan rumahnya.
ini perasaan saja atau memang fakta, namun harry merasa lebih baik dari sebelum jo datang ke rumahnya. jika sebelumnya ia merasakan tubuhnya lemas, kini merasa lebih bugar meskipun belum bisa membawa mobil. perasaannya juga jauh lebih baik dan lebih dalam lagi untuk jo.
harry terkekeh, lalu terkejut lagi saat melihat anne sedang berdiri dan bersandar di pintu, melipat tangan di dada dan tersenyum miring.
"apa?" tanya harry, mengangkat kedua alisnya.
"kau menyukainya, kan? maksudku, jo memang manis."
harry menerjap. "tidak."
wanita itu tersenyum miring, lalu tertawa dan melayangkan tangannya di udara. lalu sebelum masuk ke dalam rumah, ia mengatakan sesuatu yang membuat harry menghela napas karena tidak tahu harus berbuat apa. "you're just like your father."
***