Chereads / (how) to be in love / Chapter 12 - Chapter 11

Chapter 12 - Chapter 11

"like breathing,

loving you

is the most natural feeling

i've ever known."

- alicia n green.

pukul tujuh, jo bangun dari tidurnya dengan perasaan lega, karena hampir seluruh tugasnya sudah selesai dikerjakan. kecuali, tentu saja, tulisannya yang masih membutuhkan beberapa tambahan lagi. setelah melihat memes dan video di media sosial, jo segera bangun dan bergegas mandi.

selesainya, ia menggunakan kaus putih dan celana training ketat, tidak lupa menguncir rambutnya agar tidak mengganggu. hari minggu ini tampak cerah, dan merupakan waktu yang tepat untuk mengajak marianne jalan-jalan. baru kemudian ia turun dan bergabung bersama mrs. dixie dan marianne.

"sedang buat kue apa??" tanya jo saat menemukan ibunya sedang membuat adonan kue. ia duduk di samping marianne yang sedang meneguk susunya, lalu mengambil roti bakar yang sudah disiapkan.

"cookies, untuk tetangga baru di sebelah rumah nenek janice," jawab mrs. dixie, lalu menoleh pada jo. "kenapa tidak beritahu?"

"untuk apa? rumahnya jauh," jo mengangkat bahu acuh, memasukkan potong roti ke mulutnya. namun wajah ibunya terlihat sebal, jadi ia menghela napas dan menelan rotinya. "fine, i'm sorry. biar nanti kuenya kuantar. bagaimana?"

mrs. dixie menghela napas. "tidak perlu, biar nanti kuantar sendiri. kau ajak saja adikmu jalan-jalan."

"well," jo mengangguk, merasa tidak enak pada ibunya, namun tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menurutinya. "okay."

menit berikutnya, ponsel jo berbunyi dan ia segera mengambilnya. nama harry tertera di layar.

H – good morning

H – mau update kesehatanku tidak?

jo tersenyum kecil, mengetik balasan untuk harry.

J – sure.

H – suhu tubuhku sudah turun, dan flunya sudah selesai tadi pagi. jadi aku dibolehkan pergi keluar oleh ibuku.

J – pergi kemana?

H – rumah matthew.

H – mau ikut?

jo menerjapkan mata. ia merasa bersyukur karena punya rencana ingin mengajak marianne jalan-jalan, karena kalau tidak, ia harus repot-repot mencari alasan untuk mengatakan tidak.

J – as much as i want to, aku tidak bisa. aku harus mengajak adikku jalan-jalan pagi.

H – oh ya? ke mana?

J – sekitar komplek, dan taman.

H – oh, okay. hati-hati, jo

J – ya, kau juga

berhasil mengirim pesan, jo meletakkan ponselnya di meja. ia menoleh untuk mendapati marianne sudah selesai dengan susunya, dan kini sedang bermain dengan boneka kesayangannya, sofia. marianne sudah siap sejak pagi tadi oleh ibunya, jadi kini ia tinggal berangkat.

"mom, aku dan marianne akan berangkat." katanya, bangkit dari duduknya sambil meneguk susu hingga habis.

"hati-hati ya, kereta dorongnya di ruang tamu."

mengangguk, jo bergegas ke atas karena harus mengambil tas kecilnya, baru setelah itu membawa marianne ke kereta dorongnya. keduanya pamit pada mrs. dixie, kemudian langsung disambut oleh matahari pagi begitu keduanya keluar dari rumah.

"where we going?" tanya marianne.

jo tinggal di kompleks yang jarak antar rumah cukup dekat, banyak anak-anak usia dua belas tahun yang suka bermain keluar rumah, juga terdapat taman di dekat sini. hari ini hari minggu, jadi sudah pasti suasana kompleks menjadi tambah ramai. ditambah lagi dengan orang-orang yang lari pagi, berolahraga dan bermain sepeda. mrs. dixie cukup protektif menjaga marianne yang artinya ia jarang sekali diizinkan main keluar rumah.

namun kali ini, marianne bersama jo. percaya atau tidak, jo sempat ragu untuk memiliki adik, tapi setiap melihat mata kecilnya berbinar saat melihat sesuatu yang disukainya, rasa sayangnya semakin bertambah saja. seperti saat ini—matanya berbinar-binar melihat banyak anak-anak berlarian ke sana kemari.

"keliling komplek, lalu ke taman," jawab jo, melihat marianne sedang menengadah untuk melihatnya. "lalu ke kafe liam. ingat liam, kan?"

marianne menunjukkan cengiran lebar. "iyam!"

jo tersenyum.

satu jam berikutnya, mereka menghabiskan waktu dengan berkeliling komplek. sepanjang jalan, marianne tidak henti-hentinya mengoceh. banyak sekali yang mulut kecilnya bicarakan sampai jo kesulitan menanggapinya.

mulai dari orang-orang yang sedang lari pagi, anak kecil yang ia sapa saat mereka berpapasan di jalan, rumah paling besar di komplek, lalu kupu-kupu yang hinggap di hidungnya dan bagaimana ia bersin setelahnya. kalau nanti jo jadi pindah ke amerika, mungkin hal terberat yang harus ia tinggalkan setelah ibunya adalah marianne.

ia juga melewati rumah nenek janice, yang otomatis membuatnya melewati rumah yang akan dikunjungi ibunya untuk mengantar kue. truk-truk pindahan sudah tidak ada, namun sepertinya mereka sedang bersih-bersih dalam rumah karena ember, kain pel dan sapu terlihat berantakkan di teras rumah. dari rumah yang merupakan rumah terbesar kedua di komplek serta mobil yang terparkir depan rumah, jo paham mereka adalah orang kaya—pantas saja ibunya ingin menawarkan kue, mana tahu mereka suka dan memutuskan untuk berlangganan.

jo tidak meragukan ibunya, kue buatannya memang enak dan nyaris seluruh isi komplek berlangganan kue ibunya. dari hasil penjualan kue itu lah mereka berhasil bertahan hidup.

kini mereka sedang menuju taman kota. anak-anak yang bermain di sana semakin banyak dan marianne semakin girang dan ingin cepat-cepat lepas dari pengait kereta dorongnya. jo memarkirkan keretanya di dekat tempat duduk dan melepas pengaitnya.

"hati-hati ya, jangan lari—marianne!" jo memekik terkejut saat marianne turun dari kereta dorong, kemudian bergabung bersama anak-anak lainnya. kaki kecilnya berlari ke tempat bermain khusus anak-anak. gadis cilik itu terlihat begitu semangat dan senang, jadi jo memilih untuk membiarkannya.

jo duduk di kursi tempat ia memarkirkan kereta dorong marianne. tidak hanya anak-anak yang ada di sana, namun juga para orangtua atau babysitter yang sedang mengawasi anaknya. jo kemudian mengambil ponselnya di tas.

saat jarinya mengaktifkan ponsel, notifikasinya langsung dipenuhi oleh beberapa pesan yang masuk dari harry. hal ini membuat jo tanpa sadar menarik ujung bibirnya menjadi sebuah senyuman kecil.

H – jo, tahu tidak? tadi aku baru inign jalan dan ibuku bertanya apa aku perginya bersamamu atau tidak. kubilang tidak, lalu dia sok sok kecewa. katanya ingin titip salam.

H – ingin*

H – jalanan macet sekali

H – jo, aku tadi melihat mrs. anderson sedang bersama suaminya di tempat makan di sebelah restaurant china yang waktu itu kita datangi

H – now i'm craving chinese food

H – have fun walking!!

masih banyak lagi pesan harry yang menurutnya adalah hal-hal kecil, namun entah mengapa ia menganggapnya manis. harry memberitahunya hal-hal yang jika ia melakukannya pada orang lain, mungkin akan menganggapnya aneh. tidak dengan jo. harry manis sekali—secara fisik atau sikap dan jo suka itu.

namun pesan terakhir dikirim sepuluh menit lalu.

H – aku sudah di rumah matthew.

jo terdiam.

tiba-tiba terlintas di pikirannya, apa yang harry lakukan? menurutnya manis jika harry suka mengirim hal-hal kecil, tapi untuk apa? ia sedang bosan dan tidak ada yang bisa dilakukan, ya? atau hanya karena harry 'kan bawel. mungkin selama di jalan tidak ada teman mengobrol?

maksudnya, saat ia mengirim banyak pesan, semuanya hanya berjeda dua sampai lima menit dan pesan terakhir adalah sepuluh menit lalu. artinya mungkin harry sudah ada teman mengobrol yang lebih asyik.

jo sebenarnya merasa seperti sedang beralasan, namun... mana berani jo berpikir kalau harry menyukainya. hanya dalam mimpi indahnya.

J – salam balik untuk anne. aku membaca buku darinya semalam.

menekan tombol send, jo mengalihkan pandangannya pada marianne yang kini sedang mendengarkan anak-anak yang sedikit jauh lebih tua dari usianya berbicara. ia bertingkah seolah-olah mengerti apa yang mereka katakan, kemudian ikut berlari-lari mengitari perosotan.

"hai, jo!"

jo menoleh, mendapati thalia tucker berjalan ke arahnya. ia seperti yang jo selalu lihat, tersenyum lebar sambil membawa alat gambarnya di tangan. gadis sepantarannya itu gemar menggambar dan karya-karyanya sangat luar biasa. jo adalah orang pertama yang ia berhasil gambar beberapa tahun lalu—memenangkan kompetisi sekolahnya.

"hai," jo balas tersenyum, bergeser agar ia bisa duduk. "ingin menggambar apa pagi ini?"

"entahlah. aku bingung sekali." ia meletakkan peralatan lukisnya di dekat kereta dorong, kemudian membawa pandangannya pada jo. "kau keberatan kalau aku melukismu lagi?"

kedua alis jo terangkat, sedikit terkejut karena permintaan thalia. "...kenapa aku?"

"entah, ingin saja. boleh, ya?" pinta thalia.

sepertinya jo memang tidak ingin menolak dari awal, jadi ia menganggukkan kepala dan duduk menghadap thalia. "kau mau aku melakukan apa?"

"hm," thalia tampak berpikir. "apa saja, aku tidak ingin memaksamu melakukan sesuatu agar terlihat lebih natural. tapi seperti waktu itu. jangan melihat sampai aku selesai."

jo tersenyum. "aku mengerti."

thalia pun mulai menggambar menggunakan pensil khusus menggambarnya. Ia menggambar wajah jo yang awalnya kebingungan harus melakukan apa. namun pada akhirnya ia memilih untuk membaca pdf tentang pelajaran sekolah, sambil sesekali mengawasi marianne yang masih asyik berlari-larian. jo yakin sekali, setelah makan siang nanti pasti ia akan tertidur pulas, yang mana akan memberikan waktu untuk ibunya beristirahat setelah membuat kue pagi ini.

ia terlalu larut dalam bacaannya, sehingga jadi tidak terlalu memikirkan lagi bagaimana ekspresi wajahnya. thalia juga tidak protes dengan apapun yang jo lakukan, seperti yang ia minta agar terlihat lebih natural.

satu jam berlalu, thalia sudah hampir selesai dan sedang melakukan finishing, bersamaan dengan jo baru saja selesai membaca pdfnya. ia menoleh, namun tidak mengintip gambarnya.

"gambar itu untuk apa nantinya?" tanya jo, namun matanya mengecek notifikasi ponselnya. tidak ada pesan masuk, jadi disimpannya lagi ke dalam tas.

thalia menoleh. "iseng saja. kau bisa memilikinya."

"sungguh?"

gadis itu hanya mengangguk lalu menyelesaikan apa yang ia lakukan. ia menulis nama lengkap jo, lalu juga menulis 'by thalia tucker. may 17th, 2020.' di ujung kertas, baru kemudian memberikannya pada jo.

"wow, i look really pretty in your drawing," katanya, kagum melihat bagaimana wajahnya terlihat jauh lebih cantik dibanding aslinya. Thalia hanya tertawa, lalu mulai untuk menggambar lagi, kali ini tempat bermain anak-anak menjadi objeknya. "thanks, thalia."

"sama-sama. Pajang di kamarmu, ya." ia menoleh sekilas pada jo, melemparkannya senyum.

"pasti."

jo memandangi gambar wajahnya yang ia akui memang terlihat cantik. Sudah pasti ia akan memajang ini di kamarnya, dan sebelum itu, jo mengambil ponselnya—karya ini harus ia bagikan dengan teman-teman di media sosialnya. tapi belum sempat ia membuka kamera, matanya melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas.

sudah pukul sepuluh, berarti waktunya menuju pemberhentian selanjutnya; kafe liam yang membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai di sana. semalam ia juga sudah berjanji pada liam untuk membantunya membuka kafe, karena teresa sedang berada di glasgow—menjenguk ibunya yang sakit.

pun ia meletakkan karya thalia di kantung belakang kereta dorong, lalu menoleh pada thalia. "hey, kau tidak apa sendiri?" mengingat taman hanya dipenuhi anak-anak kecil dan orangtua atau babysitter yang tentunya berusia jauh di atas mereka. "aku harus membantu liam."

thalia mengenal liam, karena gadis itu adalah sepupu jauhnya. "tidak apa. nanti sore aku juga akan ke sana. sampaikan salamku padanya, ya!"

tersenyum, jo mengangguk. ia beralih pada marianne yang sedang bermain ayunan dengan temannya. melambaikan tangan, marianne segera melihatnya dan berlari ke arah jo.

"ke tempat iyam?!" tanyanya dengan heboh. ia meloncat-loncat kesenangan saat jo mengangguk sebagai jawaban, kemudian duduk di kereta dorong tanpa diminta. marianne suka dengan kafe liam, karena pria itu memberikan milkshake cokelat terbaik menurutnya.

setelah berpamitan dengan thalia, jo membawa kereta dorong marianne menuju kafe liam. seperti sebelumnya, marianne mengoceh—menceritakan apa yang ia dan teman-temannya mainkan, serta bagaimana marianne ingin lebih sering-sering pergi ke taman komplek untuk bermain. mau tidak mau, jo mengiyakan. hitung-hitung kegiatan baru.

lima belas menit di jalan tidak memakan waktu lama jika dihabiskan dengan mengobrol, dan tahu-tahu mereka sudah sampai di depan kafe.

melalui kaca transparan, dapat terlihat liam sedang merapihkan meja kasir. tangan jo mendorong pintu yang menyebabkan bel di atas berbunyi, dan mengundang perhatian liam untuk menoleh.

"hai, jo." sapanya, tersenyum.

"hai, liam. dapat salam dari thalia." Ujar jo sembari membawa kereta dorong marianne masuk."iyam!" sapa marianne dengan heboh.

"hey, marie!" liam kini menghampiri keduanya selagi jo menutup pintu di belakangnya. pria usia dua puluh tujuh tahun itu berlutut pada marianne. "milkshake rasa apa hari ini?"

marianne tampak berpikir. "buubeyi!" pekiknya, membuat liam tersenyum dengan sumringah.

"oke, milkshake bluberry it is," ia menengadah, melihat pada jo. "kalau kau?"

"aku nanti saja. aku sudah janji akan membantu berberes kafe, kan?"

"well," ia berdiri. "baiklah kalau begitu. peralatannya ada di belakang dank au bisa ambil selagi aku membuatkan minuman untuk marianne."

mengangguk, liam masuk ke dapur sementara jo memindahkan marianne ke atas kursi khusus anak-anak yang sudah ada di dekat meja kasir. setelah itu, jo bergegas masuk ke dalam untuk mengambil peralatan bersih-bersih.

sebenarnya, jo melakukan ini murni karena ingin membantu meskipun terkadang liam suka memberinya upah berupa uang atau minuman gratis. awalnya ia sering mengerjakan tugas di sana, sehingga tergerak untuk membantu pria itu. ibunya sempat memberi saran untuk bekerja part time di sana, namun jadwal yang liam berikan tidak sesuai dengan jam sekolah jo.

kecuali hari minggu yang mana ia gunakan untuk bersantai dan melakukan apa yang ia mau.

begitu kafe sudah beres, jo memutar papan 'close' menjadi 'open'. kini pukul sebelas, dan sebentar lagi, orang-orang yang baru saja selesai olahraga akan kehausan dan kafe liam menjadi pilihan terbaik. selain harganya murah, rasanya juga enak.

jo menoleh pada liam yang sedang berada di kasir, mempersiapkan kebutuhannya untuk membuat minuman nanti, lalu pada marianne yang tahu-tahu menunjuk ke arahnya. jo menautkan alis, kemudian menoleh ke arah pintu.

ia terkejut bukan main saat melihat sosok harry berdiri di depan pintu, menunggunya membuka pintu dengan cengiran lebar. pun jo membuka pintu, memandangi harry dengan bingung.

"kau sedang apa di sini???"harry melangkah masuk, membuat jo mundur beberapa langkah. Pintu di belakang harry tertutup. "ingin membeli minuman. kau sendiri? kupikir sedang berjalan-jalan dengan..." belum selesai bicara, matanya tertuju pada marianne yang sedang memandanginya dengan polos. "itu adikmu?"

menghela napas, jo mengangguk. "ya, marianne."

"hai!" sapa harry, lengkap dengan senyumannya. ia duduk di samping marianne yang terus memandanginya dengan berbinar. tidak seperti jo, marianne adalah pribadi yang terbuka. ia senang berkenalan dengan orang baru, lalu berteman dengan mereka. "marianne?"

kepala kecilnya mengangguk.

"aku harry, aku temannya jo," harry menjulurkan tangannya untuk salaman yang langsung disentuh oleh marianne.

"hai, hawwy." kata marianne.

"bicaranya belum sempurna," jo ikut duduk di kursi seberang mereka. dalam hati, ia masih bertanya-tanya apa yang harry lakukan di sini. mobilnya juga terparkir di depan. bukankah ia berada di rumah matthew? Jadi, jo menyuarakan isi hatinya. "bukannya kau ada di rumah matthew?"

jangan-jangan harry berbohong.

ia menoleh sembari mengusap kepala marianne, sementara gadis cilik itu sedang meminum milkshakenya. "memang. sekarang aku sedang akan membeli minuman karena kulkasnya belum terisi camilan."

bel berbunyi, pertanda ada pelanggan yang masuk sehingga membuat liam mulai bekerja. "maksudmu?"

"matthew baru saja pindah rumah, dan kebetulan dekat dengan rumahmu."

seketika, jo teringat rumah yang kemarin didatangi truk-truk pindahan, lalu tadi pagi juga ia lewati, serta ibunya yang menjadikannya target langganan kue karena mereka orang kaya. oh.

"oh ya? aku—" belum ia selesai bicara, pikirannya langsung tertuju pada sesuatu yang berhubungan dengan kencan palsu mereka. "bukankah itu artinya kau harus lebih berhati-hati?"

"maksudmu?" harry menautkan alisnya.

"ya, maksudku. kencan palsunya." kata jo.

jo mendengus. "aku takut matthew melihat ki—kau dan aku. saat itu ia ada di night market, lalu kau bilang ia melihat kita di parkiran bioskop—"

harry memotong kalimatnya. "dia tidak yakin kalau yang dilihat adalah kita, jo."

"tetap saja, harry," jo seolah berapi-api, rasanya gemas dengan harry karena tampaknya ia agak acuh. "sekarang ia pindah ke dekat rumahku. kau tidak takut kalau ia melihatmu sedang menjemput atau mengantarku pulang saat akan kencan palsu?? apa yang ia katakan kalau dia melihat kita??"

"kalau dia melihat kita, tinggal bilang saja sedang main atau belajar bersama. sesimpel itu, jo, tidak perlu panik," ujar harry, kemudian memindahkan tangannya ke atas tangan jo—membuat jantung jo seketika berdegup kencang, terlebih saat ia meremas tangan jo dengan harapan membuatnya tenang, namun yang ada hanya membuat jo ingin berteriak karena perasaan yang campur aduk. "tidak perlu panik," harry mengulang, matanya menatap lurus jo tepat di mata. seolah sihir baginya, perlahan rasa gelisah jo menghilang, berganti dengan kepedihan karena kalimat harry selanjutnya. "kita hanya teman."

uh, oh.

ini seperti tamparan untuk jo. rasanya seperti penolakkan yang ia tidak minta sama sekali. harry mengklarifikasi apa yang mereka miliki adalah hal terakhir yang jo inginkan hari ini. bagaimana kalau jo menginginkan lebih.

jo menerjap, melempar pandangannya ke bawah karena malu dengan pertanyaan di hatinya. ia harus tahu diri. harus.

"jo?" ia mengangkat wajahnya saat harry melepas tangannya. "aku pesan minuman dulu, ya."

harry berdiri, menghampiri liam dan segera memesan minuman. yang jo dengar, cowok itu memesan tujuh minuman dan entah untuk alasan apa harry berbisik pada liam yang malah mengangguk-angguk.

"jooo!"

menoleh, ia mendapati marianne memegang ponsel jo di meja. jo mengangguk mengerti, mengambil ponselnya dan membuka aplikasi youtube. ia mencari kartun barbie, lalu memberikannya pada marianne untuk ditonton.

tidak lama kemudian, harry kembali duduk. "omong-omong, kencan palsu ketiganya bagaimana?" tanyanya.

"memang ingin kemana?" jo bertanya balik, menyandarkan punggungnya pada kursi. di belakangnya, sudah lumayan banyak pelanggan yang datang dan memesan. tidak sedikit yang memilih untuk duduk.

"um, tidak tahu. kau ada saran?"

"tidak," jo nyengir. "tapi biar aku yang cari. nanti malam atau besok aku kabari."

"fine," harry tersenyum, tapi kemudian matanya menangkap sosok cowok berbadan tinggi dan berambut pirang. "matthew."

jo menerjap, lalu menoleh dan bersamaan dengan matthew yang tahu-tahu duduk di sampingnya—yang berarti berhadapan dengan marianne, sementara ia berhadapan dengan harry.

"hey, sudah pesan minuman?" tanya matthew sembari meletakkan paperbags dengan logo tempat makan di dekat kafe liam."sudah." ia melirik marianne dan jo, memberi matthew kode bahwa ada dua orang lagi di meja ini selain dirinya.

matthew menyadari itu dan menoleh pada jo. ia tersenyum, dan jo baru menyadari bahwa pria itu pun mempunyai lesung pipi seperti harry. namun tetap saja, milik harry yang membuatnya jatuh cinta. oh, kau ini cringe sekali.

"wow, hai jo. aku tidak berekspetasi bertemu kau di sini," ujar matthew, memiringkan duduknya sedikit menjadi menghadap jo. ia hanya tersenyum, tidak tahu harus berbicara apa. "kau tinggal dekat sini?"

"uh..." jo menerjap. entah, ia sudah mengatakan pada harry bahwa ia akan berbaur dengan teman-teman harry dan mungkin sekarang adalah permulaan yang bagus. tapi entah mengapa ia mendadak buntu.

"ya, dia tinggal dekat sini, matthew." jo menoleh pada harry yang membantu menjawab.

matthew mengangguk, matanya menangkap marianne yang sedang asyik dengan dunianya sendiri. "ini... adikmu?" tanya matthew.

"ya, namanya marianne." lagi, harry membantu jo untuk menjawab dan ingin rasanya jo memeluk harry sebagai tanda terima kasih.

pemikiran itu membuatnya bertanya-tanya bagaimana rasanya memeluk harry. maksudnya, untuk ukuran remaja, postur tubuh harry sangat bagus dan seingat jo, ia memiliki otot di perut dan lengannya. bahunya juga cukup bidang. jo membayangkan cowok itu dapat memukul samsak hingga hancur.

"berapa usianya?" matthew memandangi marianne dengan sebuah senyuman di wajahnya.

"seingatku tiga," jawab harry.

matthew memutar mata dan melihat pada harry. "wow, thanks, jo." katanya dengan sarkas, membuat harry kini tertawa.

sial, tampan sekali.

"hey, kita mengobrol dan aku tidak tahu apa yang kau lakukan di sini." kata harry. ia mengutuk harry dalam hati, seandainya cowok itu tahu jo sedang gugup.

"hanya...mampir setelah mengajak marianne jalan-jalan." dalam hati, jo menggerutu. suaranya gugup sekali, tangan dan kakinya juga tidak mau diam karena gugup.

"oh." harry dan matthew bersamaan. harry seolah ingin mengatakan sesuatu, namun ia menahannya entah mengapa.

kemudian jo menyadari, ia tidak mau berada di sini. tidak, kalau matthew berada di sini. karenanya ia jadi tidak bisa memandangi harry sambil mengaguminya, karena kalau cowok itu menyadarinya bagaimana? bisa mati.

"jo, kau dan harry ada apa?"

tidak seperti yang jo bayangkan, namun tetap saja pertanyaan matthew berhubungan dengan apa yang ia lakukan dengan harry!

jantungnya kembali berdebar, ia menerjapkan mata dan menelan ludah. kenapa juga matthew bertanya seperti itu? apa urusannya? bukankah harry sudah menjelaskan bahwa tidak ada apa-apa? dan kenapa juga ia tersenyum miring seperti itu? apa harry tidak mau membantu menjawab pertanyaan seperti tadi?

well, cowok itu baru saja ingin membuka mulut, matthew mengangkat jari telunjuknya dan mengisyaratkan harry untuk diam. ia mengubah duduknya jadi benar-benar menghadap jo, membuatnya tidak nyaman dan sedikit bergeser.

"harry bilang kalian teman," kalau begitu kenapa bertanya lagi? "tapi aku tidak percaya, jadi aku butuh mendengarnya darimu."

menyusahkan sekali.

harry melotot pada matthew, lalu berbicara tanpa suara pada jo. "i'm sorry."

maafnya tidak berguna saat ini. tapi jo mengingat kata-kata harry semalam. katakan saja teman. teman. teman.

semakin benci saja jo dengan kata itu.

menghela napas, jo mengangguk. "ya, kami hanya teman, matthew." jo menelan ludah. "tidak lebih." sakit sekali.

"oh..." matthew mengangguk-angguk, mengulum senyumnya dan melihat pada harry. matanya terpicing. "your ass is safe now."

sementara mereka mengobrol dengan saling mengejek satu sama lain, perhatian jo teralih pada marianne yang tiba-tiba memberikannya ponselnya. jo dengan cepat mengambil ponsel dan melihat ibunya menelepon, namun saat diangkat, sambungannya mati dan berganti dengan notifikasi pesan.

karena tidak lagi menonton, marianne akhirnya bergabung sendiri dengan harry dan matthew. ia berkenalan lagi, lalu asyik mengobrol sementara jo membaca pesan ibunya yang menginginkannya untuk segera pulang.

"um, harry...matthew?" ia melihat pada keduanya secara bergantian.

keduanya menoleh secara bersamaan. "ya?"

"aku harus pulang, ibuku memintaku untuk melakukan sesuatu di rumah." ia memasukkan ponselnya di tas kecil miliknya, kemudian berdiri. "ayo, marianne."

"perlu kuantar?" tawar harry, matanya tidak mau lepas dari jo selagi gadis itu mengangkat adiknya dari kursi.

"terima kasih, tapi tidak perlu. aku bisa sendiri." jo melempar senyum pada harry, melirik matthew kemudian meletakkan marianne di kereta dorong. "mommy's looking for us." jelasnya pada marianne, karena ia mendadak manyun.

"okay..."

jo menghampiri liam untuk pamit, lalu kembali lagi ke meja untuk mengambil marianne. "well, aku harus pulang." ia tersenyum.

"baiklah, hati-hati, josie."

"hati-hati, jo!"

ia hanya mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan keduanya di meja tersebut. kemudian samar-samar sebelum ia keluar dari kafe, jo dapat mendengar.

"apa itu, josie?" tanya matthew.

"namanya, bodoh. tapi kau tidak boleh memanggilnya begitu, hanya aku."

matthew terdengar heran. "mengapa begitu?"

jo tidak mendengar lagi jawaban harry, tapi ia teringat saat harry mengatakan hal itu.

"my josie."

***

begitu sampai di rumah, jo dimintai tolong untuk menghitung keuntungan dan kerugian penjualanan ibunya. mereka bersyukur sekali saat banyaknya keuntungan yang mereka terima selama beberapa bulan terakhir.

setelah itu, mrs. dixie menidurkan marianne dan jo membuka laptopnya. ia benar-benar tidak tahu harus di mana kencan ketiga ini berlangsung. jadi, jo membuka laptop dan mencari tempat-tempat menyenangkan di london. payah sekali, ia warga london yang untuk mencari tempat menyenangkan saja harus membuka internet.

tapi setidaknya itu sangat membantu, dan ia tahu harus kemana saat harry bertanya.

pukul tujuh setelah makan malam, bel rumahnya berbunyi. jo berdiri dari kursinya, lalu melesat ke pintu depan dan membukanya.

"harry??"

cowok dengan rahang yang tajam itu menoleh, lalu untuk kesekian kalinya di hari itu, ia tersenyum. "selamat malam, miss dixie."

jo memutar mata, namun tersenyum juga. "hai. ada apa?"

"kau melupakan sesuatu," ia mengangkat paperbag dengan simbol kafe liam. jo menebak isinya adalah minuman. "minumanmu tadi siang. tapi jangan khawatir, aku menyimpannya di kulkas matthew agar tidak basi."

"aku tidak memesan apapun..?" jo menautkan alisnya.

"i did, for you." harry mengambil tangan jo, meletakkan paperbagnya di sana agar jo mengambilnya. "apple pie frappucino untukmu dan milkshake strawberry untuk marianne. mr. payne bilang mereka adalah kesukaanmu dan marianne."

"uh... ya," ia tersenyum. "terima kasih."

"sama-sama."

kemudian, jo teringat apa yang ia lakukan tadi siang. "omong-omong, how about tower of london ice rink?"

harry terdiam sejenak, lalu mengangguk semangat. "sure, that's cool. hari apa?"

"um, bagaimana kalau selasa?"

"okay, selasa."

keduanya tersenyum, kemudian terdengar suara mrs. dixie dari dapur yang memaksa keduanya untuk berhenti. "jo, siapa itu?"

"temanku!" seru jo.

"oh?" ia terdengar terkejut. "kalau begitu ajak masuk!" ibunya berseru dari dapur.

jo menerjap, lalu menoleh pada harry yang tersenyum namun menyiratkan kebingungan di wajahnya. well... apa boleh buat?

***

tidak.

harry tidak masuk ke dalam dan bertemu mrs. dixie. seingin apapun ia untuk berkunjung, ibunya sendiri sudah memerintahkannya untuk pulang tidak lebih dari pukul delapan malam dan harry menyalahkan dirinya yang memang baru saja sembuh dari sakit. katanya, harry justru harus istirahat agar benar-benar pulih dan jo sangat setuju dengan itu.

tapi setidaknya, hari selasa ia akan kencan dengan jo. harry tahu ini hanya kencan palsu, tapi, biarkan saja hatinya bersenang-senang.

cowok itu berbelok keluar dari komplek rumah jo, menuju rumahnya yang agak jauh kalau dihitung jaraknya. tidak lama setelahnya, ponselnya berbunyi dan menunjukkan nama ibunya di layar. wanita itu bertanya keberadaannya dan harry menjawab ia sudah di jalan pulang.

saat meletakkan ponsel di jok sampingnya, ia teringat dengan kertas yang ia temukan di kafe tempat ia bertemu dengan jo. begitu lampu merah, ia berhenti dan tangannya mengambil kertas tersebut di samping ponselnya.

jossette dixie, by thalia thucker. may 17th, 2020.

sebuah kertas dengan gambar wajah cantik jo, yang ia temukan di lantai di dekat kereta dorong marianne setelah gadis itu pulang. kertas itu sepertinya terjatuh, dan tadinya harry sempat ingin mengejar jo untuk mengembalikannya, namun nyatanya ia sudah hilang di tikungan.

jadi... "apa boleh buat?" harry mungkin akan mengembalikannya, entah kapan. tapi untuk sekarang, ia akan menyimpannya terlebih dahulu.

***