Chereads / (how) to be in love / Chapter 16 - Chapter 15

Chapter 16 - Chapter 15

"in a world full of misdirection, you are my one way." – perry poetry.

pagi harinya, jo merasakan kepalanya sakit luar biasa sehingga tidak sanggup bahkan untuk membuka mata. ia bisa mendengar ponselnya berdering berkali-kali, namun jo tidak bisa mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubungi. pukul sepuluh, mrs. dixie datang ke kamar untuk mengecek putrinya, lalu membawakan obat dan sarapan ke kamarnya. tidak hanya itu, jo meminta ibunya untuk mematikan ponselnya karena sangat berisik.

siangnya, jo merasa lebih baik meskipun masih tidak kuat untuk benar-benar beraktifitas. jadi ia lebih memilih untuk berdiam diri di kasur, memejamkan mata sambil berkhayal dirinya berada di harvard university. semuanya memang indah melalui khayalan, namun nyatanya ia harus menghadapi rintangan yang tidak mudah.

contohnya menaikan nilai bahasa inggris dengan membuat cerita bertema romance yang tadinya belum pernah ia rasakan, karena berpikir bahwa ada yang lebih penting dari percintaan. sekarang pikiran itu telah berubah. mungkin ada sisi positif dari percintaan, namun juga memusingkan kepala—bahkan belum ada status antara dirinya dan harry.

ah, harry.

cowok itu sangat tampan, kalau ia adalah sebuah lukisan, jo rela menghabiskan waktu memandanginya karena ia merupakan karya terindah yang seseorang bisa ciptakan. he is art; harry is art.

kemudian bicaranya lambat, namun begitu menenangkan. jo bisa mendengarkannya agar dapat tertidur pulas sekarang.

sebuah gambar tangan terlukis dalam pikiran jo, bukan hanya sekedar tangan; mereka adalah milik harry. tangannya yang besar itu menggenggam tangan jo demi membuatnya merasa lebih baik. lalu dengan erat karena takut jatuh, meskipun jo tidak akan melepasnya kecuali harry yang meminta.

jika konteksnya berbeda, jo akan menertawakan dirinya sendiri karena berjanji seperti laki-laki dengan omong kosong.

tapi kalau membayangkan harry menjadi kekasihnya...mungkin dunia akan terasa lebih indah. ia akan bangun setiap hari dengan pesan-pesan manis dari harry, lalu kencan ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi, membuat kue di dapur, belajar bersama di perpustakaan di rumah harry, lalu menatap langit di primrose hill.

ah, primrose hill. tempat yang tadinya biasa saja, jadi memiliki memori manis untuknya dan itu terjadi karena harry. lalu bioskop, night market london, dan tower of london ice rink. rasanya seolah harry membuat tiap kencan palsunya berarti, atau mungkin hanya jo yang mengingatnya.

di mana pun khayalan berada, realita selalu mengikuti di baris terakhir. jo tahu harry bukan miliknya, jadi ia harus menghentikan khayalan-khayalan indahnya. ia menghela napas, membuang jauh-jauh harapan harry ingin mendaftar di harvard agar mereka tetap bersama. karena harry akan melakukannya dengan claire.

fucking claire.

jo mengerang kesal mengingat bagaimana claire ingin mengajak harry sebagai kencannya, pergi ke afterparty, kemudian melakukan seks di kamarnya. kendati harry mengatakan ia akan menolak claire, jo tetap tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. bisa saja ia berubah pikiran dan pada akhirnya pergi bersama claire. jika kemungkinan buruk itu terjadi, jo mungkin akan menangis sejadi-jadinya dan tidak akan pernah kembali lagi untuk melihat wajah harry.

bayangan harry sedang menari dengan claire di lantai dansa—membuat sakit kepalanya semakin jadi. jo memutar badannya jadi menghadap dinding, memejamkan mata mencoba menghapus bayangan menggelikan itu. mungkin yang sedang dialaminya adalah perasaan cemburu, dan jo tidak suka itu.

harry yang tersenyum pada claire, lalu claire yang isi pikirannya hanya ingin melakukan seks dengan harry. lagi, jo mengerang. ia benci bagaimana claire mendeskripsikan harry, seolah cowok itu adalah properti yang mana adalah salah. tidak adakah pemikiran selain seks dengan harry di otaknya? jo mengakui bahwa harry terlihat panas dengan tato-tatonya, tapi harry lebih dari sekedar itu. harry bukan sebuah objek untuk fantasi seks seseorang.

jo merasakan dirinya yang semakin emosi dengan memikirkan claire. tapi kemudian, rasa emosi itu berubah menjadi rasa ngilu. mulai dari kepala, kemudian secara perlahan turun ke perut, dan berlanjut ke pinggang.

jo bangkit dari tidurnya, bersender pada bantal di kepala kasur dan mengerang karena rasa sakit di perut dan pinggangnya. jo lupa tepatnya tanggal berapa dia mulai menstruasi—tapi dari rasa sakit yang tiba-tiba saja muncul, sepertinya hari ini.

berdiri, jo mengambil pembalut di laci dan bergegas menuju toilet untuk memakainya. sekitar sepuluh menit, jo keluar dengan perasaan yang cukup lega meskipun perutnya yang masih terasa ngilu.

mengambil ponsel dan buku pelajaran, jo keluar dari kamar dan turun menuju ruang tv. tidak ada siapa-siapa di sana, karena mrs. dixie dan marianne sedang mengantar kue ke rumah-rumah. dan sekarang, rumah ini menjadi miliknya selama beberapa jam.

ia menyalakan ponsel dan meletakkannya bersama buku-buku di meja, lalu berlalu ke dapur untuk mengambil beberapa camilan dan minuman. begitu ia kembali ke ruang tv, ponselnya sudah menyala dan menunjukkan notifikasi-notifikasi yang sebenarnya sudah sejak tadi masuk.

tentu saja, harry yang menghubunginya sebanyak dua puluh kali sejak pukul delapan pagi, kemudian pesan yang kebanyakan memanggil namanya dan meminta maaf. jo hanya membaca pesan dari luar notifikasi saja, dan ia mendadak bingung kenapa harry harus minta maaf.

selain itu, ada banyak pesan dari sebuah grup chat yang jo baru ingat kalau ia bergabung kemarin. grup chat untuk harry, matthew, cedric, natasha dan emily—sekarang, dengan dirinya juga. ia menekan layar untuk membuka grup tersebut, membaca isi chat dari atas hingga yang terakhir, dua puluh menit yang lalu.

apa jo harus mengatakan halo? dari yang ia baca, mereka tampak menunggu-nunggu kehadirannya. ia juga tidak jarang tertawa karena apa yang mereka jadikan bercandaan, terutama meme dari harry dan video tiktok yang diberikan emily. hal ini jelas sangat menghiburnya, bahkan lupa bahwa perut dan pinggangnya sedang sakit.

jossette

hai

emily p

hai jo!

matthew barnes

muncul juga yang ditunggu-tunggu

@harryyy

cedric van dous

hai jo

kata harry tolong balas pesannya

harryyy

berisik @cedric van dous

natasha fyers

welcome, jo!

semoga betah berteman dengan orang-orang seperti kami

cedric van dous

??

kau tidak balas pesanku @natasha fyers

harryyy

hahahah

kasihan seklai

*sekali

matthew barnes

harry butuh kaca, ya?

jo tersenyum simpul. jarinya keluar dari room chat, kemudian membuka chat harry yang ternyata berjumlah tujuh puluh. matanya menerjap, membaca seluruh isi pesan yang isinya permintaan maaf dan bagaimana harry menyesal ia telah membiarkan jo mendengar pembicaraan claire dan ariana.

ia masih bingung mengapa harry harus meminta maaf. atau... kemarin malam ia terlalu kasar pada harry?

kemudian, jo tertegun.

bodoh. dalam hati, jo mengutuk dirinya berkali-kali, bersamaan dengan perasaan bersalah yang tiba-tiba merasuki dan menguasai tubuhnya. kata-kata yang ia keluarkan pada harry kini terngiang-ngiang di kepalanya, dan semakin ia merasa bersalah karenanya.

ia memikirkan bagaimana perasaan harry mendengarnya mengatakan bahwa ia tidak peduli. harry yang mudah terintimidasi olehnya, harry yang sudah berniat baik untuk mengajaknya berkumpul bersama teman-temannya, dan harry yang bahkan sudah berinisiatif untuk membahasnya lebih dulu, serta harry yang meminta maaf meksipun ajakan claire bukanlah salahnya.

jo tidak ingin menangis, namun dadanya menjadi sesak. ponselnya kemudian berbunyi, ada pesan masuk dari harry.

harryyy

jo?

tolong balas pesanku :(

aku minta maaf, okay? kau tidak seharusnya mendengar apa yang claire katakan kemarin. aku minta maaf..

ya ampun, jo semakin tidak tega pada harry. ia bahkan tidak sanggup untuk membaca sisa pesannya, jadi jo kembali mematikan ponselnya, lalu memeluk kedua kakinya—membiarkan rasa bersalah menggerogoti dirinya.

***

pukul dua belas, jo baru pulang dari taman bersama marianne. sekali lagi, marianne dibuat senang oleh jo—terima kasih juga pada mood jo yang sedang baik pagi ini. adiknya jadi bertemu teman-teman meskipun kebanyakan lebih tua di atasnya.

begitu sampai di rumah, ia membantu marianne untuk bersih-bersih, lalu menidurkan marianne hingga pulas. mrs. dixie sedang berada di dapur, membuat kue yang kelihatannya hanya dibuat untuk sekedar taster. biasanya ia akan disuruh mencicipi, menilai bagaimana rasa dan segala macamnya, lalu memberikan saran. tidak hanya dengannya, namun juga dengan beberapa tetangga dekat.

selesai berganti baju, jo memutuskan untuk melanjutkan cerita dan belajar untuk ujian akhir. ia memang cepat belajar, namun kini sedang mati-matian mempelajari rumus kimia yang sialan.

pukul tiga sore, jo sudah selesai belajar. tadinya ia ingin mengajak marianne untuk menonton film kartun, namun adiknya itu belum bangun sehingga ia memutuskan untuk menontonnya sendiri sementara ibunya masih berkutat dengan kuenya di dapur.

lima menit masuk ke dalam film, suara bel terdengar nyaring. ia menekan tombol pause, lalu pergi ke pintu depan dan membukanya untuk menemukan harry sedang menunduk pada ponselnya.

jo menerjap kaget, namun tetap diam karena harry yang masih belum menyadari kehadirannya. cowok itu malah mencari kontaknya, lalu menekan opsi call. ketika ia mendekatkan layar ponsel ke telinga, harry mengangkat wajahnya dan terkejut bukan main. ia melangkah mundur beberapa kali, lalu menerjapkan mata sembari memutuskan sambungan.

"hai." sapanya, terdengar kaku.

yang disapa hanya diam, menelan ludah selagi rasa bersalah itu kembali muncul dan menyeruak di dada. ia tersenyum tipis. "ada apa?" tanya jo pada harry yang kemudian disesalinya. dia menyapa—apa tidak bisa ramah sedikit?

"aku ingin menemui ibumu," jawab harry, masih tidak menunjukkan emosi apapun pada wajahnya selain kecanggungan.

seheran apapun jo dengan jawaban harry—karena untuk apa harry menemui ibunya? ada kepentingan apa juga jo tidak tahu—jo menahan dirinya untuk tidak bertanya. "ibuku ada di dapur, sedang membuat kue."

"dan kau." harry menghela napas.

"apa?"

"aku ingin menemuimu." harry melangkah mendekat, bersamaan dengan jo mundur beberapa langkah. "boleh, kan?"

jo memandangi harry yang menatapnya—jo mungkin berkhayal, namun keningnya berkerut dan matanya yang berkaca-kaca. ia menerjapkan mata, lalu menghela napas dan mengangguk. "boleh."

jo melebarkan pintu dan membiarkan harry masuk. sementara harry duduk di ruang tamu, jo melesat ke dapur.

"mom, ada tamu." ucap jo. ia membuka kulkas, mengambil jus dan menuangkannya ke gelas untuk harry.

mrs. dixie baru selesai menata kue di dalam toples saat ia jo datang. "harry, ya?" pertanyaan ibunya membuat jo berpikir bahwa mereka sudah membuat janji sebelumnya dan jo tidak mengetahui itu sama sekali.

"iya."

"oh!" ia memekik. "siapkan minumannya, ya. mom mau memberikan sampel kue yang kubuat tadi."

"apa?" jo menautkan kedua alisnya, bingung mengapa ibunya jadi semangat untuk bertemu harry.

ia tidak menjawab, melainkan langsung membawa tiga toples kecil yang baru saja ia hias. kemudian terdengar suara heboh ibunya, harry yang menjawab sama hebohnya.

jo berjalan keluar dapur, mengintip harry dan ibunya dari balik dinding yang memisahkan. mereka tampak mengobrol dengan seru, jo juga dengar harry menyebutkan nama anne. katanya anne ingin membeli kue ibunya karena mereka sangat enak, dan anne berencana untuk memesan kue ulangtahun pernikahan.

dalam hati, ia ikut senang karena penjualan ibunya yang laku. namun jo juga tidak tahu harus berkata apa karena mereka tahu-tahu sudah berteman akrab. mungkin harus senang?

"tapi aku tidak bisa menemanimu lama-lama di sini, aku harus mengantar sampel lainnya. bersama jo saja tidak apa, ya?" jo menerjap saat namanya disebut. ia buru-buru pergi ke dapur dan mengambil gelas berisi minuman untuk harry. "jo!"

"aku datang!"

ia meletakkan gelas di atas nampan, baru kemudian menghampiri ibunya dan harry yang menunggunya. setibanya di ruang tamu, jo meletakkan gelas di meja.

"kau ini—lama sekali," kata mrs. dixie. "temani harry, ya, aku harus mengantar sampel sekarang juga."

jo melirik harry yang ikut memandanginya, tapi kemudian membuang wajahnya pada minumannya. "ya."

"oke." mrs. dixie menyisakan satu toples di meja, memasukkan sisanya ke dalam paperbag cokelat di sampingnya. ia melihat pada harry yang tengah meneguk minumannya. "harry, aku pergi dulu, ya. aku hanya sebentar, lalu memasak makan malam dan kau akan bergabung dengan kami, okay?"

serius?

sesuka itukah ibunya dengan harry?

"well, i can't say no. terima kasih untuk kuenya, mirrel." jo mengangkat kedua alisnya, ibunya membiarkan harry memanggil dengan namanya langsung? oh, ini seperti saat anne menyuruhnya untuk memanggil nama depan. namun tetap saja ia sedikit terkejut.

"kalau begitu, aku pergi dulu." mrs. dixie tersenyum, baru kemudian bangkit dan keluar melalui pintu. "tutup pintunya, jo!" teriaknya setelah berada di luar rumah.

menghela napas, jo berjalan menuju pintu dan hendak menutupnya saat melihat seorang pria yang memarkirkan motornya di depan pagar. ia memakai seragam uber, dan mengeluarkan sebuah buket besar, lalu tersenyum saat melihat jo.

"miss jossette dixie?" tanyanya setelah memasuki pagar rumah, mendekati jo di pintu. di dalam, harry langsung menoleh karena mendengar pria itu, lantas langsung menghampiri dan berdiri di belakang jo.

"siapa—oh."

menghiraukan harry, jo mengangguk. "ya, ada apa?"

dengan sebuah senyuman lebar, ia memberikan buket merah besar yang ternyata berisi cokelat. "paket untukmu." katanya, lalu memberikan buket tersebut. jo menerjap karena buket yang ternyata agak berat.

"dari siapa?" tanya jo, melihat pada buket cokelat tersebut.

"dari mr. harry carson, ia mengatakan bahwa dari hatinya yang paling dalam, ia menyesal dan ingin meminta maaf atas kesalahannya. ia berharap kau mau menjawab telepon dan membalas pesannya, karena ia tidak tahan bertengkar denganmu. juga, ia berharap saat kalian bertemu sore nanti, kau sudah memaafkannya."

...oop.

"kau tahu, miss? pacarmu itu terlihat desperate. ia berkali-kali menulis kartu ucapan, tapi selalu berujung kertas tersebut terbuang dan pada akhirnya memutuskan untuk tidak menulis apapun—memilih untuk menyampaikan pesannya melalui aku."

jo tersenyum. "okay...terima kasih."

"sama-sama. jangan khawatirkan biaya, ia sudah membayarnya," pria itu terkekeh. "kuharap masalah kalian cepat selesai!" katanya sebelum akhirnya kembali ke motor dan berlalu untuk melanjutkan pekerjaannya.

jo berbalik badan dan menutup pintu. ia melihat pada harry yang ternyata sudah duduk kembali dan sedang memandangi layar ponsel sambil bersiul, memasang wajah tembok—seolah ia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh pria uber tadi.

menghela napas, jo kemudian menghampiri harry dan duduk di sebelahnya. "harry." jo meletakkan buket cokelatnya di meja, menghadap pada cowok yang langsung bergerak canggung. "harry."

ia menerjap, mengangkat kedua alis saat memberanikan diri untuk menoleh pada jo. "ya?" tanya harry, pura-pura bodoh.

"i thought you're here to apologize." ucap jo, entah dapat keberanian dari mana ia berani menatap harry lurus di mata.

"i am." harry menghela napas. ia hendak bersuara lagi, namun jo memotongnya.

"well, you're not." harry menautkan alis. "aku yang minta maaf."

"mengapa? kau tidak membuat salah apapun."

"tentu saja aku membuat salah," ucap jo, menghela napas panjang. "it's that time of the month, harry. ini kebiasaan burukku; emosiku jadi tidak stabil dan aku sendiri tidak menyukainya. kau tidak perlu memberitahuku, aku tahu itu tidak bisa dijadikan alasan atas aku yang terlalu kasar padamu, atau membuatmu merasa terintimidasi, lalu membuatmu sakit hati. aku seharusnya bisa menahan diri.

"jadi..."—jo menarik napas, dan menghelanya—"...aku menyesal, dan aku minta maaf karena membuatmu merasa bersalah sampai harus mengirim buket cokelat untukku. a-aku juga minta maaf karena telah mengabaikanmu, aku tidak bermaksud seperti itu."

harry balas menatap jo, namun terdiam cukup lama.

"harry?"

ia menggigit bibirnya. "kalau kau menyesal, apa itu berarti kalau kau sebenarnya... peduli?" tanya harry. "peduli kalau claire mengajakku sebagai kencannya ke prom? peduli kalau seandainya aku mengiyakan ajakkannya?"

"aku..." jo ingin sekali menjambak rambutnya karena mendadak frustasi. mata harry memancarkan sebuah harap, dan jo tidak dapat mengerti apa yang harry harapkan. "aku tidak tahu, haruskah?" ia menerjap, lalu menyesal mengatakannya karena raut wajah harry yang terlihat sedih dan ia tidak tahu mengapa.

"kupikir kau tidak suka claire." kata harry.

"aku memang tidak suka claire." jo menegaskan.

"lalu bagaimana kalau aku mengiyakan ajakkan claire?" pertanyaan macam apa itu? dadanya terasa sesak seketika, namun entah mengapa perasaannya mengatakan semua akan baik-baik saja.

jo menghela napas. "then i guess you agree to..." have sex with her. "be her date."

kini gantian harry yang menghela napasnya, menunduk untuk beberapa detik lalu mengangkat wajahnya lagi untuk menatap jo. "aku tidak mau."

"tidak mau apa?"

"pergi dengan claire."

jo tak kuasa menahan senyumnya. "then don't."

harry menggeleng, tersenyum manis memamerkan lesung pipinya. "i won't."

"okay."

"okay."

jo mengangkat sisi kanan bibirnya, lalu memicingkan mata. "augustus waters?"

"wha—oh." harry tertawa pelan. "jadi kau penggemarnya?"

"no." jo menggeleng. "kita... tidak bertengkar lagi, kan?"

"memangnya masih ingin bertengkar?" tanya harry, memiringkan kepalanya dan mendapat balasan berupa gelengan dari jo.

"berarti kau mengerti maksudku. aku memang tidak menyukai claire, aku juga tidak suka dia melihatmu sebagai objek yang mana adalah kau bukan. namun itu tidak berarti aku melarangmu untuk pergi dengannya. aku akan khawatir, tapi kalau menyetujuinya sesuai dengan kemauanmu... then i'll be completely fine with it."

lies.

fucking lies. jo tidak pernah diajarkan untuk berbohong, apalagi oleh ibunya. kejujuran adalah nomor satu, namun sekarang seolah ia tidak peduli dengan pelajaran pertama yang ia pahami dari ayahnya.

"why are you fine with it?" tanya harry, menatap jo serius.

"aku tidak punya hak untuk melarangmu melakukan apapun yang kau mau. maksudku, aku siapa?" jo mengakhiri kalimatnya dengan tawa yang ia sendiri geli untuk mendengarnya. "kalau kau mau mengiyakan, lakukan saja."

harry memajukan bibirnya, menggeleng kencang. "aku tidak akan mengiyakan ajakkan claire."

"kalau begitu kau tidak pergi ke prom dengan claire."

"i'm not."

"terima kasih cokelatnya." ucap jo, menyunggingkan senyuman leganya sambil tetap menatap harry. "sepertinya—" ucapan jo terpotong karena tiba-tiba, ia mendengar suara marianne yang menangis di kamarnya di lantai atas. adiknya pasti sudah bangun, lalu menangis karena tidak menemukan mrs. dixie. "marianne sudah bangun. sebentar, ya."

jo berdiri, berjalan menuju tangga dan cepat-cepat pergi ke kamar (ia tidur dengan mrs. dixie). marianne sedang terduduk di kasurnya, menangis sambil memeluk boneka.

"hey, marianne." sapa jo tersenyum, mengangkat dan menggendong marianne yang sudah membuka tangannya. "susu?"

marianne menggeleng.

"okay..." ia melangkah keluar kamar. "bagaimana kalau menonton finding dory?"

marianne, yang sudah mereda tangisnya karena sudah bersama jo, mengangguk.

"harry?" panggil jo, menghampiri harry di ruang tamu dan cowok itu langsung menoleh. "pindah ke ruang tv saja. marianne ingin menonton."

"tentu." harry tersenyum, berdiri dan membawa buket cokelat, lalu mengikuti jo ke ruang tv.

marianne memeluk leher jo, yang berarti ia menghadap belakang—melihat harry yang membawa cokelat banyak. hal ini membuat matanya jadi berbinar-binar, melihat seseorang dan hal yang ia sukai sedang bersama dalam satu waktu. "hawwy! cokot!"

terkekeh, jo meletakkan marianne di sofa. namun tentu saja ia tidak mau duduk, ia langsung berlari menghampiri harry.

"kau ingin cokelat?" tanya harry, tertawa lalu duduk di sofa dan meletakkan buket cokelatnya di meja, yang otomatis jadi mudah untuk diraih oleh marianne. "oke, oke, kemari." harry mengangkat marianne untuk duduk di pahanya.

"cokot!" pekiknya.

jo baru saja akan menekan tombol play di tv, namun terhenti karena melihat pemandangan yang pernah ia lihat beberapa hari lalu.

cowok yang ia sukai bermain dengan adiknya yang paling ia sayangi. keduanya sama-sama memakan cokelat, kemudian tertawa-tawa seolah jo tidak ada di sana adalah hal paling menggemaskan. sebelum khayalan jo semakin jauh, ia cepat-cepat menyalakan film yang sebenarnya ingin ia tonton tadi.

tentu saja ini mengundang perhatian marianne. dengan memegang cokelatnya di tangan, ia melompat-lompat dan menunjuk heboh ke arah tv. turun dari pangkuan harry, ia berlari menuju kursi khusus miliknya dan mulai menonton dengan tenang.

"film kesukaannya setelah sofia and the princess," ucap jo, akhirnya menempatkan bokongnya di sofa di sebelah harry.

"sofia and the what?" suara harry tidak seperti bertanya, jadi jo menoleh.

"the princess..?"

harry menahan tawanya. "it's sofia the first."

"oh...ya?" jo menerjapkan mata, baru sadar ia salah menyebut, namun siapa peduli? harry. "tahu darimana?"

"i—"

tapi kemudian jo ingat. "kau menonton disney channel." keduanya tertawa, meskipun sebenarnya ia bingung mengapa harry masih saja menonton channel yang tidak seru lagi.

tiga puluh menit berikutnya, harry sudah pindah duduk dekat dengan marianne, karena gadis kecil itu meminta cokelatnya dire-fill tiap kali habis. begitu juga dengan jo yang membawa stok minuman dan camilan lainnya untuk dihabiskan.

selama tiga puluh menit itu, jo mengira ketiganya serius menonton—namun tidak dengan harry. matanya memang mengarah ke tv, namun lebih tepatnya, mengarah pada foto keluarga yang terletak di atas tv—hanya ada mrs. dixie, dirinya, dan marianne. normal saja baginya, namun untuk seseorang dengan orangtua yang lengkap, tentu saja terasa ganjal oleh harry.

mungkin harry merasa seseorang memperhatikannya, oleh karena itu ia menoleh pada jo. ia terkejut, karena baru saja tertangkap basah.

"jo—"

ia memotong. "it's okay." jo menunduk, berpikir mungkin kini waktunya memberitahu harry tentang apa yang membuatnya begitu ambisius untuk mendapatkan universitas harvard. jo mengangkat kepalanya, menatap harry yang masih melihat padanya. "kalau aku cerita, kau mau dengar?"

harry tersenyum. "jo, i'm all ears."

jo balas tersenyum, kemudian berdiri dan berpindah duduk ke sofa yang agak jauh dari marianne. melihat itu, harry secara otomatis mengikuti jo dan duduk di sebelahnya namun keduanya saling berhadapan.

dalam hatinya, ia berharap bercerita dengan harry adalah keputusan yang tepat, keputusan yang tidak akan disesalinya di kemudian hari. ia agak gugup, sebelumnya tidak pernah menceritakan hal ini pada orang lain. kebiasaannya adalah menyimpan segala sesuatunya sendiri.

"jadi..?"

matanya melirik marianne yang sedang fokus menonton sambil menggigit cokelat, lalu kembali melihat pada harry. "jadi... alasan mengapa kau tidak melihat sosok ayah di foto keluarga kami adalah... karena ayahku pergi." jo pikir respon harry akan lebih terkejut dari apa yang ia tunjukkan, tapi tiap orang memiliki asumsi masing-masing dan mungkin harry sudah memiliki asumsinya sendiri.

"dia... pergi seperti—pergi atau, well, maaf, meninggal?" tanya harry pelan.

"pergi. bersama istri barunya." kini, respon harry lebih terkejut dari yang sebelumnya. ia menerjap, kemudian menggaruk tengkuknya entah karena apa. namun dari rautnya terlihat seperti tidak enak.

"jo, aku minta maaf. aku tidak tahu." jo dapat mendengar nada tidak enak di sana, namun ia hanya tersenyum.

"tidak apa-apa." jo tersenyum. "kulanjutkan?"

"ya, lanjutkan."

selama satu jam setengah berikutnya, jo menceritakan seluruh cerita dari awal.

pada awalnya, jo memang sudah menyadari bagaimana ayah dan ibunya sudah tidak akur. mereka bertengkar di dalam kamar agar jo tidak mendengar apa yang mereka teriakkan pada satu sama lain. ayahnya masih menyempatkan waktu untuk jo, tentu saja, tapi ia lebih sering berada di luar rumah. bahkan ia pernah tidak pulang selama seminggu.

di minggu-minggu terakhir, jo selalu melihat ayahnya yang tidur di ruang tamu. ibu dan ayahnya juga tidak pernah berinteraksi, menjadikannya sebagai perantara untuk berkomunikasi. ia masih muda saat itu, tidak terlalu mengerti hingga setelah dua minggu ayahnya tidak pulang, ia membawa seorang perempuan—rose laughlin yang sekarang sudah berganti menjadi rose ian.

jo masih berusia dua belas tahun, ia tidak begitu mengerti secara detail namun ia mengerti bahwa ayahnya sudah meninggalkan mereka. mr. ian sempat ingin membawa jo ke amerika, namun untungnya mrs. dixie memenangkan hak asuh jo. ia masih kecil, tentu saja merasa terpukul karena tidak ingin kehilangan sang ayah yang sangat disayanginya.

hingga akhirnya sebuah keputusan yang membuat jo menjadi seperti sekarang dibuat. elijah ian akan memberikan jo pada mirrel dixie, tetap membayar segala kebutuhan jo hingga usianya enam belas tahun, sementara jo harus belajar dengan giat agar mendapat beasiswa harvard dan tinggal bersama ayahnya.

ia juga bisa saja meminta bantuan sang ayah untuk masuk ke harvard melalui jalur mudah, namun mrs. dixie melarangnya dengan alasan ayahnya tidak akan mau membantu. jo bertanya pada ayahnya melalui telepon, dan itu memang benar adanya. sejak saat itu, jo menjadi lebih giat belajar dan mendapat penghargaan karena selalu juara kelas.

dua tahun berikutnya, ibunya mengikuti blind date dengan seorang pria yang brengsek. tapi kalau ibunya tidak mengikuti blind date, jo tidak akan memiliki marianne sekarang. marianne seperti hadiah dari Tuhan untuk menggantikan kehilangan mereka sebelumnya, dan jo sangat menyayanginya.

"dan kau tahu?" jo menyunggingkan senyumnya. "untuk pertama kali setelah beberapa tahun ini, aku merasa lega."

harry menautkan alis. "kenapa?"

"karena kau orang pertama yang mengetahuinya, dan aku percaya padamu."

itu memang benar. awal mulanya terasa berat bagi jo bahkan hanya untuk memikirkan bagaimana ia akan menceritakannya, namun kini terasa enteng. plong. seperti sesak yang memenuhi seluruh ruangan di dada akhirnya pergi, membuat hidupnya terasa lebih mudah untuk dijalani.

hanya karena ia bercerita pada seseorang yang dipercayainya; harry. terlebih lagi, selama jo bercerita, tidak sedikit pun harry memotong pembicaraannya. dia mendengarkan, dia memperhatikan, dan dia mengerti.

mendengar itu, harry tersenyum manis. "first thing's first, aku merasa terhormat untuk menjadi orang pertama yang mengetahuinya. kedua, terima kasih untuk mempercayakan ceritamu padaku. yang ketiga," kedua tangan harry meraih milik jo, menggenggamnya erat dan menatapnya penuh arti. "aku meminta maaf karena itu semua terjadi padamu. kau pantas untuk mendapatkan yang lebih baik, jo—geez, you deserve the whole world, and yet, the world doesn't deserve you."

you.

i don't deserve you.

"aku ingin kau tahu, kalau aku akan selalu mendukung setiap keputusan dan jalan yang kau ambil demi kebaikanmu sendiri. kalau kau sedang membutuhkan seseorang untuk mendengarkanmu, aku akan ada untukmu. selalu. i'm a phone call away, jo. dan itu bukan janji manis palsu yang orang-orang biasa lontarkan—karena, biar aku ingatkan."

jo menahan tawanya, "apa?"

"i'm harry, and i'm a man of my words."

keduanya tertawa. perhatian jo kemudian beralih pada tangan harry yang meremas pelan tangannya, seolah memberikan kekuatan pada jo. ia mengangkat wajahnya untuk melihat harry yang sudah menatapnya, sama-sama tidak kuasa menahan senyum.

meskipun pelan, jo dapat merasa jari harry yang mengusap lembut punggung tangannya—memberikan reaksi desiran aneh namun menyenangkan. jo merasakan jantungnya yang berdebar, lalu diam-diam berharap harry tidak mendengarnya. ia gugup, merasa canggung dan senang sekaligus karena mata harry yang tidak mau beralih dari wajahnya. entah apa yang dilihat, namun selalu melihat ke mata dan ke bagian bawah.

"harry—"

"jo."

jo menerjapkan matanya. "ya?"

"bisa tolong tutup matamu?" pinta harry, menatap lurus matanya.

"kenapa?"

harry menelan ludahnya. "just... do it, please."

"kau tidak akan—"

ia menggeleng. "please."

jo tidak mengerti, namun dengan seluruh rasa kepercayaannya pada harry, ia memejamkan kedua matanya. setelahnya, harry tidak bersuara. tidak ada pergerakkan yang ia rasakan pada harry. "harry?"

"sstt..." harry seperti berbisik, namun terasa begitu dekat.

detik berikutnya, jo juga merasakan sebuah hembusan angin yang hangat menerpa kulit wajahnya. mint, itu yang muncul di otaknya. apa, harry menyemprotkan sesuatu pada wajahnya? detik tiap detik berlalu, hembusan angin hangat yang entah apa itu, terasa semakin dekat dan jo tidak bisa mengatakan ia tidak menyukainya.

"ha—"

sesuatu menginterupsinya—suara bel rumah membuat jo menoleh dan membuka matanya. "aku pulang!" ibunya.

"mommyyy!!" marianne bersorak senang dan berlari menuju pintu depan.

menghela napas, jo kembali menoleh pada harry karena cowok itu menarik tangannya. ia menunduk, dengan raut wajah yang tidak dimengertinya.

"harry? kau baik-baik saja?" tanya jo.

sebagai jawabannya, harry hanya menoleh dan tersenyum.

***