Chereads / (how) to be in love / Chapter 20 - Chapter 19

Chapter 20 - Chapter 19

jo berterima kasih pada tua yang baru saja menurunkannya tepat di gerbang masuk komplek, kemudian berjalan sambil menenteng sepatu heelsnya. ia tidak tahu bagaimana satu jam yang lalu, ia mempercayakan dirinya kepada pria tua yang tidak dikenal itu untuk mengantarnya pulang. tumpangannya gratis, tidak memungut biaya karena jo sendiri juga tidak membawa terlalu banyak uang. kini sudah pukul setengah sembilan, maka dari itu jo tidak menemukan siapapun selama perjalanan dari gerbang menuju rumahnya.

ia dapat merasakan ponselnya yang sedari tadi bergetar, namun tidak sedikit pun dari dirinya yang ingin mengangkat atau sekedar melihat siapa yang telah menghubunginya.

tubuhnya lemas, ia memeluk tubuhnya yang kedinginan selagi tetap menggunakan jas yang harry berikan tadi. jo berhenti, memejamkan mata karena hendak menangis begitu pikirannya kembali pada wajah harry. jo berkali-kali mengatakan pada dirinya untuk tidak menangis, tapi matanya mengkhianati hatinya; air mata kembali turun dengan derasnya.

jo tidak tahu harus berpikir apa. satu jam yang lalu, harry baru saja mencuri ciuman pertamanya. cowok itu memang bertanya apakah jo mengizinkan, dan jo mengiyakan. tapi saat harry melakukannya, jo mendadak tidak yakin.

ia masih dapat merasakan lembutnya lumatan harry, tapi ada dalam dirinya yang merasa aneh; tidak senang—tidak, bukan tidak senang. jo senang, ia dapat merasakan dirinya seolah terbang ketika harry menciumnya. what the heck is wrong with me? jo bertanya pada diri sendiri, namun ia juga tidak tahu jawabannya.

jo mengusap matanya yang bercucuran air mata, kemudian melenguh melihat mascara yang sudah luntur terkena tangannya. mungkin riasan wajahnya sudah benar-benar hancur karena menangis, tapi jo tidak peduli.

pikirannya kembali melayang pada harry. kejadiannya baru satu jam yang lalu, jo ingat betul bagaimana raut wajahnya saat jo menolaknya—hal yang sebenarnya tidak ingin jo lakukan, namun entah mengapa ia lakukan. mungkin dirinya takut. apa yang ditakutkan, jo sendiri tidak yakin. mengingat wajah harry membuat dadanya nyeri, membuatnya bertanya; apakah ia baru saja menyakiti seseorang?

mungkin ini yang jo takutkan. ia tidak ingin menyakiti harry. manusia seperti harry tidak pantas untuk disakiti, berbeda dengan jo yang merasa tidak pantas untuknya. harry deserves so much better than me, jo mengusap air matanya yang jatuh. pikirannya kalut, takut, benar-benar tidak tahu harus bagaimana jika ia dipaksa untuk kembali menghadapi harry.

jika harry membencinya, mungkin jo harus pasrah dan menjauh. jika harry tidak membencinya, maka jo tetap harus menjauhinya karena ia harus tahu diri. mungkin keberangkatannya ke amerika harus dipercepat, jo harus mengabari ayahnya secepat mungkin.

mempercepat langkah, jo mendengar suara mobil yang tiba-tiba berhenti di sampingnya. ia menerjap, menolehkan kepalanya sedikit sambil berharap mobil tersebut bukan milik harry.

dan nyatanya, memang bukan milik harry. mobil mini cooper dengan warna hijau tua metallic, namun kacanya yang gelap membuat jo tidak dapat mengenali siapa yang menyetir. tapi mungkin, tetangga yang tidak ia kenal. jadi, jo menghela napas dan kembali berjalan, sambil meratapi nasibnya.

tapi kemudian, jo dapat mendengar suara kaca yang terbuka serta mesin mobil yang nyatanya belum melaju cepat. peduli setan, pikirnya sambil terus melangkah.

"jo? is that you?"

mendengar suara itu, jo segera menghentikan langkahnya. ia tidak menoleh, namun dapat merasakan pemilik mobil mensejajarkan dirinya dengan jo.

"kau sedang apa di sini? kau seharusnya berada di prom." katanya, dan di detik ke lima baru jo mengenali suara ini. untuk membuktikan dugaannya, jo perlahan menoleh. ia menerjap, tidak terpikirkan sama sekali akan melihatnya saat ini. jo menautkan kedua alisnya, bingung.

"matthew?"

***

once upon a time, a quite nice summer in new york.

sudah satu bulan lima belas hari semenjak kepindahan resmi jo dari london, inggris, ke massachussets, amerika serikat.

rumah ayahnya berada di masschussets, kota di mana harvard berada. namun karena liburan musim panas, elijah memutuskan untuk membawa seluruh keluarganya ke new york. siapa sangka kalau ayahnya begitu kaya raya, ia memiliki rumah kedua yang sama besarnya seperti di massachussets. jo tahu bahwa ayahnya memang kaya, tapi ini jauh di luar ekspetasi serta jauh dari apa yang ibunya ceritakan.

begitu jo memunculkan batang hidungnya di depan keluarga ian, ia langsung memeluk ayahnya—melepas rindu yang sudah membendung sejak bertahun-tahun yang lalu. rose, ia tersenyum dan memberi sambutan yang cukup hangat untuk jo, begitu juga julie yang masih berusia dua tahun.

jo masih ingat apa yang rose katakan tentang dirinya di telepon saat itu, tapi ia memilih untuk melupakan dan melanjutkan hidupnya. lagipula, rose menunjukkan sikap baik, jadi jo rasa tidak perlu bersikap tidak senang dengannya.

"jo, ingin ke mana hari ini?" sebuah suara yang familiar terdengar dari pintu. jo menoleh, mendapati elijah sedang berdiri di depan kamar jo sambil bersender dan melipat tangannya di dada. ia tersenyum, senang sekali karena akhirnya dapat melihat putri pertamanya berada di kamar yang telah ia siapkan sejak lama. karena ia memiliki dua rumah, ia juga menyiapkan kamar di tiap rumah untuk jo.

"tadinya ingin di rumah saja, tapi temanku mengajak ke central park sore ini." kata jo yang sedang menyiapkan baju untuk pergi nanti.

"mau kuantar?" tawar elijah.

tersenyum, jo mengangguk. "sure."

sekarang pukul sepuluh pagi, jo baru saja selesai mandi dan sekalian menyiapkan baju untuk nanti sore.

pikirnya, ia akan benar-benar merasa sendirian karena bayangan rose dan julie yang akan memusuhinya. namun nyatanya tidak begitu. tadi pagi, julie dengan semangat membangunkannya untuk bergabung sarapan. terdapat banyak makanan yang disediakan oleh rose, jo sampai sangat kenyang dan menunda jam mandinya, lalu bermain bersama julie di ruang bermainnya.

mereka baru bertemu, tapi jo sudah menyayangi julie seperti menyayangi adiknya—marianne. memperhatikan julie, ia memiliki rambut cokelat serta mata biru sepertinya, tapi jo baru sadar bahwa ia mirip sekali dengan ayahnya. mungkin ayahnya kini bahagia karena memiliki putri yang mirip dengannya.

pukul satu, jo baru selesai makan siang saat ibunya menelepon untuk video call. sudah sebulan ia tidak bertemu mereka, dan jo sangat merindukan ibunya dan marianne. sayangnya mereka hanya akan bisa bertemu di musim panas tahun depan, lalu kembali lagi ke amerika untuk melanjutkan pendidikannya, tentu saja. ia sangat menyayangi ibunya, tapi apakah ia menyesal membuat keputusan ini?

tidak. jo tidak menyesal pindah untuk tinggal bersama ayahnya.

pindah ke amerika adalah seperti awal yang baru untuk jo. ia bisa melupakan dan merelakan masa lalunya, menuntut ilmu dan membuat masa depannya menjadi lebih cerah. tidak ada waktu lagi untuk bermain-main, jo harus lebih serius untuk mencapai cita-citanya.

mungkin nanti ada waktu di mana jo gagal, namun ia harus bisa kembali bangkit lagi. dengan dukungan ibu dan ayahnya, jo pasti bisa.

pukul tiga sore, jo sudah siap berdandan. ia sudah mengabari temannya bahwa jo akan pergi diantar sang ayah, jadi ia tidak perlu repot-repot untuk menjemput. memakai parfum, jo keluar dari kamarnya dan menghampiri ayahnya di ruang tv.

"dad?" panggil jo.

elijah menoleh, segera berdiri ketika melihat jo menuruni tangga. "berangkat sekarang?" tangannya bergerak mengambil kunci mobil.

"ya, tidak sibuk, kan?" jo menghampiri elijah yang ternyata hanya sendiri di sana. "di mana rose dan julie?" untuk sesaat, ia melihat raut wajah elijah yang... entah, mungkin kecewa. hal itu dikarenakan jo yang enggan memanggil rose dengan sebutan 'mom'. tidak sudi, namun tentu saja jo tidak mengatakan itu, dan untungnya elijah tidak memaksa.

"seperti biasa, rose sedang menemani julie di kamar." katanya, merangkul jo dan melangkah ke garasi bersama-sama.

"okay..." ia masih belum terbiasa dengan kegiatan keluarga ayahnya, tapi jo berusaha.

sesampainya di garasi, mereka segera memasuki mobil dan berangkat menuju central park. di perjalanan, jo masih tidak henti-hentinya menceritakan masa sekolahnya di london. semuanya, kecuali satu bulan terakhir sekolah, atau setidaknya, jo menghindar dari cerita yang berhubungan dengannya. jika pun harus, jo akan menyebutnya sebagai orang yang ia kenal.

"baik sekali," elijah berkomentar. "apa kau tidak jatuh cinta padanya?" pertanyaan itu mengandung unsur candaan, tapi tidak untuk jo. ia hanya tertawa canggung, membuang wajahnya ke jalanan manhattan. untuk beberapa saat, hening. tidak ada yang bersuara selagi jo berusaha untuk tidak kembali ke masa lalu. ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengingat-ingatnya lagi.

"kita sudah sampai." kata elijah, menoleh pada jo yang sedang memakai tasnya. "kujemput?"

jo menoleh sembari melepas safety beltnya, "ah, tidak usah. aku sudah menyimpan alamat rumahnya, aku bisa naik uber atau diantar temanku."

"okay, tapi kalau kesasar atau kau butuh bantuan, langsung telepon aku. kau mengerti?" elijah memastikan.

tersenyum, jo mengangguk. ia senang karena ayahnya masih menyayanginya seperti dulu. "aku mengerti, dad."

dengan itu, jo melangkah turun dari mobil. ia melambaikan tangan saat mobil melaju pergi. jo menoleh ke kanan dan ke kiri, sebelum akhirnya menyebrang dan berjalan menelusuri central park.

dulu, saat jo masih sering menangis karena kepergian elijah, ayahnya sering menelepon. entah untuk membacakan cerita tidur melalui telepon, menanyakan kabar, dan terkadang menceritakan seperti apa itu new york. yang paling jelas berada di bayangannya adalah central park—tipikal sekali, tapi setidaknya hari ini ia dapat mengunjunginya.

jo mengambil ponsel dan membuka kamera, mengambil foto untuk kemudian dikirimkan kepada ibunya melalui pesan. setelah itu, jo membuka pesan temannya.

jossette

heyyy

aku sudah di central park

kau di mana?

terkirim, jo pun menyimpan ponselnya lagi di kantung. ia kembali berjalan menyusuri central park, hingga ia sampai di the great lawn yang luas dan ramai oleh orang-orang seusianya, atau mungkin lebih tua sedikit.

ini terlihat seperti... primrose.

menerjap, jo menggeleng kuat saat memori yang ia berusaha simpan jauh-jauh nyaris mengintip keluar. jo berada di sini untuk memulai sesuatu yang baru, bukan untuk mengenangnya.

"jo!"

mendengar namanya dipanggil, jo segera berbalik badan—kemudian tersenyum ketika melihat sosok yang ia tunggu-tunggu sejak tadi. dengan kaus hitam, flannel merah-hitam serta ripped skinny jeansnya yang khas, ia menghampiri jo.

"sudah menunggu lama?" tanyanya begitu sudah berada di dekat jo.

jo menggeleng. "tidak," ia tersenyum, kemudian matanya tertuju pada sesuatu yang menurutnya adalah baru. "where's your lipring?"

"ah, terlepas." ia menyengir, mulai berjalan menuju lapangan hijau yang luas di hadapan mereka.

"bagaimana bisa? apa sakit?" tanya jo.

"tidak terasa, aku bangun tidur dan sudah terlepas." jawabnya yang mana membuat jo meringis, karena matthew terdengar santai baginya. kalau ia yang mengalami hal itu, mungkin jo sudah panik dan takut sesuatu akan terjadi pada bibirnya.

"silly matthew."

mendengar itu, matthew menoleh dan tertawa. "sudah berapa kali kau memanggilku seperti itu?"

jo mengulum bibirnya. "tidak tahu. aku tidak menghitung."

"well, i guess i will forever be your silly matthew, then."

***