"time is everything we have and don't."
pagi-pagi sekali, harry sudah mengirim pakaian seperti apa yang harus mereka gunakan untuk kencan palsu nanti. jo tersenyum saat melihat foto brad pitt dan jennifer aniston yang harry gunakan sebagai referensi. itu artinya, sore ini mereka akan gunakan kaus hitam, dipadu dengan straight fit jeans, sling bag hitam, french coat hitam, dan chelsea boots yang dihadiahi oleh ibunya bulan februari lalu.
namun untuk sekarang, jo menggunakan rok sepanjang lutut dengan motif kotak-kotak biru, kemeja putih, blazer biru, kaus kaki sepanjang betis serta sepatu hitam. ya, jo harus sekolah dulu sebelum kencan dengan harry.
koreksi, kencan palsu.
jo mendengus selagi memandang pantulan dirinya di cermin. moodnya masih kurang baik pagi ini, dan mungkin akan membaik setelah ia bertemu harry di sekolah, atau saat kencan palsu dimulai nanti sore.
"ice skating?" tanya mrs. dixie saat jo minta izin untuk pulang malam hari ini. raut wajahnya terlihat bingung, karena pasalnya jo jarang sekali keluar hingga larut malam, kecuali ke perpustakaan kota. sudah tiga kali jo izin, dan ini yang keempat kalinya yang mana membuat ibunya bertanya-tanya. "dengan siapa?"
"temanku," jawab jo kemudian meneguk segelas susu hangat. selalu jawaban yang sama yang diberikan dan sepertinya tidak memuaskan hati, mrs. dixie harusnya tahu dengan siapa anaknya pergi.
"siapa temanmu?" tanya mrs. dixie lagi.
"temanku..." ia melihat pada sang ibu yang melihatnya dengan tatapan menagih penjelasan. "kau...tidak percaya aku akhirnya punya teman?"
mrs. dixie menghela napas. "bukannya tidak percaya, tapi sebelumnya kau tidak pernah izin keluar dengan tujuan main seperti akhir-akhir ini. aku hanya ingin tahu dengan siapa kau bergaul, jo. aku harus memastikan kau berteman dengan orang baik-baik, dan tidak akan menjerumuskanmu ke hal yang tidak baik."
"mom, kau tidak perlu khawatir," jo menelan ludah, bingung bagaimana menjelaskan pada ibunya tanpa memberitahu nama harry. karena kalau ia memberikan nama, terlebih lagi jika laki-laki, seperti ibu-ibu pada umumnya, ibunya akan menyerang dengan berbagai macam pertanyaan yang hanya akan membuatnya makin kebingungan. meskipun begitu, berbohong juga bukan pilihan yang tepat. "he's a-"
"he???"
oh, tidak. jo membuang wajahnya, dalam hati mengutuk diri karena sudah salah bicara. padahal tidak ada satu menit lalu ia mengantipasi dirinya kalau ia tidak boleh salah bicara, dan sekarang terjadi. lihat saja bagaimana raut wajah mrs. dixie sekarang-wanita itu terkejut, namun lama-lama wajahnya mengisyaratkan ia senang, lalu memberikan cengiran lebar.
jo menghela napas panjang. "mom-"
"oh, jadi anakku sudah kenal anak laki-laki?" jo berekspetasi ibunya akan marah karena menutup-nutupi siapa temannya, tapi justru ia kini sedang tersenyum lebar, seolah bangga karena akhirnya jo sedang dekat dengan laki-laki.
"mom, ini bukan masalah besar..." jo menghela napas malas.
"bukan masalah besar katamu?!" mrs. dixie memekik yang mana membuat jo jadi agak takut. ia heboh sekali, dan terakhir kali mrs. dixie seperti ini adalah ketika ia menemukan resep kue baru. "ini adalah berita besar untukku! kau harus mengenalkannya padaku, jo!"
jo menerjap. "a-apa? tidak!" kini giliran jo memekik.
mrs. dixie menautkan kedua alisnya, lalu melebarkan matanya karena heran. "kenapa tidak?"
"tidak perlu, tidak ada yang spesial." kata jo, mendengus lalu mengusap mulutnya dengan tisu. "aku harus berangkat."
"well, kalau begitu beritahu aku namanya." kata mrs. dixie gemas.
"mom, no," jo merengut. "aku tidak memberitahumu namanya, oke? aku-"
"apa dia yang datang dua hari lalu???" potong mrs. dixie. "yang membawakan minum untukmu dan marianne??"
mendengus, jo memakai tasnya. "bye, marianne." katanya, berdiri dan mencium pipi marianne, lalu mencium pipi ibunya yang masih tidak terima karena masih belum mengetahui siapa laki-laki yang sedang dekatnya. "bye, mom."
"bu-bye!" pekik marianne, matanya terus mengikuti kemana jo pergi hingga sosoknya menghilang dari penglihatan.
mrs. dixie tersenyum, entah mengapa senang sekali mendengar berita ini. selama ini, jo tidak pernah terdengar dekat dengan laki-laki. selalu saja ia pergi sendiri, atau bersama seorang teman perempuan, itu pun tidak hingga malam. bukannya mrs. dixie membiarkannya pulang malam, hanya saja bukankah anak muda zaman sekarang seperti itu?
***
pukul setengah lima, jo sudah berada di rumah dan kini sedang mandi agar terlihat segar. jam enam nanti, harry akan datang dan sebisa mungkin jo tidak ingin membuat harry menunggu lama. ia tahu gadis-gadis zaman sekarang yang memakan waktu lama untuk berdandan, dan membiarkan pasangannya menunggu di mobil atau di ruang tamu terlalu lama.
begitu selesai mandi, ia langsung menggunakan pakaian yang sudah ia rencanakan bersama harry. jo membuka lacinya, lalu mengeluarkan peralatan makeup dan segera mengaplikasikannya. membutuhkan lima belas menit untuk jo menyelesaikan makeupnya, namun seperti ada yang kurang.
jo menatap wajahnya di cermin, berpikir keras apa yang kurang di wajahnya. maksudnya, ia sangat percaya diri sekarang, tapi seperti harus ada sesuatu yang membuatnya tambah percaya diri.
aksesoris? jo hanya memakai anting pemberian ibunya, ia tidak begitu menyukai kalung karena gatal di leher. cincin? jo memakai satu di jari telunjuknya, kecuali di sekolah karena dilarang. gelang? tidak, jo tidak memakai gelang karena akan terasa gatal, sama seperti di leher.
menghela napas, ia mengambil laptopnya, lalu membuka youtube dan mengetik tutorial makeup natural. jo melewatkan bagian-bagian wajah, tapi berhenti di bagian di mana si pembuat tutorial itu mengaplikasikan eyeshadow. warna-warna yang digunakan tidak terlalu terang, melainkan warna-warna cokelat muda yang dipakainya juga tidak tebal dan teknik pengaplikasiannya juga terlihat mudah.
jo berdiri, melangkah keluar kamar menuju kamar ibunya, kemudian mengambil eyeshadow pallete di laci. setelah kembali ke kamar, ia langsung mempraktikkan apa yang ia tonton barusan. namun tentu saja dirinya tidak langsung mahir. sudah berkali-kali jo menonton ulang, dan sudah berkali-kali juga jo mengulang pengaplikasian eyeshadownya.
entah sudah berapa lama jo mencoba, namun akhirnya ia berhasil mengaplikasikan eyeshadow di matanya. ia tersenyum bangga pada dirinya sendiri, karena hasilnya yang nyaris sama dengan yang dilakukan youtuber tersebut. ia merapihkan peralatan makeupnya saat mrs. dixie mengetuk pintu kamar.
"jo? kau di dalam?" tanyanya dari luar.
"ya, kenapa?" jo menutup lacinya, mungkin nanti saja mengembalikan eyeshadow pallete ibunya. ia memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas, lalu membuka pintu kamar. "ada apa?"
mrs. dixie berusaha keras menahan senyumnya, namun jo dapat melihatnya dengan jelas. ia menautkan alis heran. "lama sekali dandannya. temanmu sampai menunggu lama."
jo baru akan membuka mulutnya saat mrs. dixie mengatakan kalimat terakhirnya. ia melotot kaget, lalu cepat-cepat menuju tangga dan menuruninya. di ruang tamu, harry terlihat sedang duduk dan bercanda dengan marianne. bagaimana dia bisa masuk?!
ia lalu melihat pada jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. oh, sialan. selama itu kah jo berdandan? hanya untuk mengaplikasikan eyeshadow di matanya. ia menerjap, merasakan tangan ibunya di pundak.
"ia datang setengah jam yang lalu, ibu tidak sengaja melihatnya mengintip dari jendela mobil, jadi kuajak saja ia masuk." mrs. dixie berbisik, kemudian menghampiri harry dengan senyuman lebar di wajahnya. "jo sudah selesai, harry. maaf terlalu lama, ia baru pertama kali benar-benar berdandan untuk-"
"harry!" dengan sengaja, jo memotong ibunya karena wanita itu akan mengatakan sesuatu yang membuatnya malu besar. ia menghampiri ketiganya, lalu tersenyum canggung pada harry. "maaf. berangkat sekarang?"
harry memandangi jo dan mrs. dixie secara bergantian, lalu tersenyum manis. "sure," ia kembali melihat pada marianne, berbisik sesuatu hingga adiknya tertawa geli, baru kemudian berdiri menghadap keduanya. "mrs. dixie, terima kasih kue dan minumannya-they're delicious, nanti kubilang pada ibuku untuk membeli."
"sama-sama. aku titip jo padamu, ya, jo tidak merepotkan, kok!" seru mrs. dixie yang mana membuat jo mendengus, sementara harry hanya tertawa renyah. "jangan pulang lewat dari pukul sebelas, ya. nanti jo terpaksa tidur di teras depan."
memutar mata, jo menghadap ibunya dengan malas. "aku pergi dulu, ya," katanya, lalu berjalan lebih dulu keluar rumah. bukannya tidak sopan, namun ia malu saja karena ibunya seperti tipikal ibu-ibu pada umumnya saat anak gadisnya pergi kencan. ya ampun, ini bahkan bukan kencan sungguhan.
ia berjalan menuju mobil harry saat pemiliknya sudah berjalan di belakangnya, mengikuti. "ibumu baik sekali," katanya sambil membuka kunci pintu mobil, lalu membuka pintu untuk jo.
"ya, ya, ya," ia menggumam, lalu masuk ke dalam mobil.
harry terkekeh, menutup pintu dan menoleh ke depan rumah, mendapati mrs. dixie sedang mengintip dari jendela. tersenyum, ia mengacungkan ibu jari pada mrs. dixie baru kemudian masuk ke dalam mobil.
***
pukul setengah delapan kurang, harry dan jo sudah sampai di parkiran yang tidak terlalu penuh. itu artinya malam ini cukup ramai, harapan jo hanya agar tidak melihat siapapun yang mereka kenali. tadi siang udaranya terasa normal, namun kini terasa lebih dingin padahal ia sudah memakai coatnya, begitu juga harry dengan coat hitamnya.
"kau kedinginan?" tanya harry, menoleh untuk melihat bibir jo yang sedikit bergetar. mereka sedang mengantri untuk mendapat sepatu khusus untuk ice skating nanti.
ia ikut menoleh, beradu pandang dengan harry sebelum akhirnya menjawab. "tidak, kenapa?" jo berbohong, entah untuk alasan apa.
"oh..." matanya melirik ke bawah, melihat lengan jo yang merapat tidak menyisakan jarak dengan lengan harry. menyadari itu, jo menerjap dan menjauh selangkah dari harry, lalu membuang wajahnya ke depan karena malu. harry tertawa kecil, kemudian menangkap tangan jo yang tergantung bebas, menariknya agar kembali mendekat. "kemari."
jo yakin sekali kalau harry, atau orang-orang di sekitarnya dapat mendengar suara jantungnya yang berdebar-debar kencang. ia menunduk sedikit, melirik tangan harry dan tangannya yang saling berkaitan dengan erat seolah tidak ada hari esok. tiba-tiba, jo merasakan sesuatu di dalam dirinya-entah apa itu, namun membuat perasaannya jadi lebih senang dan tubuhnya menjadi sedikit lebih hangat.
"feel better?" tanya harry, berbisik.
jo menerjap, mengangkat wajahnya untuk menatap harry. "thanks."
selanjutnya, keduanya berjalan maju. harry mengobrol dengan laki-laki di hadapan mereka, meminta dua pasang clap skate. mereka diberi waktu untuk bermain di lapangan es selama dua jam, baru kemudian membayar.
dengan masih mengaitkan tangannya dengan jo, harry membawanya ke tempat duduk di dekat pintu masuk. di lapangan es, rata-rata pengunjungnya adalah pasangan-pasangan muda, dan sisanya adalah keluarga dengan anak-anak kecil. jo tersenyum kecil, teringat pada masa-masa kecilnya yang sering kali menghabiskan waktu di tower of london ice rink bersama ayah dan ibunya. dan kini...bersama harry.
ia memandangi dinding-dinding yang dihias dengan lampu-lampu cantik, kemudian cahaya biru yang terpancar dari bawah lapangan es. tidak banyak perubahan semenjak ia terakhir kali ke sini, yaitu sekitar tiga tahun lalu-sendirian karena ia merindukan ayahnya.
jo kemudian duduk di samping harry, memakai clap skatenya dan mengikat talinya dengan kencang. sepatu mereka diambil oleh petugas, kemudian diletakkan di dalam rak sepatu di tempat makan di sebelah lapangan es.
"aku boleh jujur?" harry bersuara, mengundang jo untuk menoleh cepat. wajahnya terlihat gugup, namun ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
"spill."
ada jeda beberapa detik sebelum harry akhirnya mengakui, "aku tidak bisa main ice skating." katanya cepat.
jo mengangkat kedua alis sambil menegapkan duduknya. ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya perasaan bersalah mulai menyelimuti. bodoh sekali, harusnya ia bisa bertanya pada harry dulu sebelum memberikan usul tempat kencan palsu mereka. kalau seperti ini pasti harry jadi tidak semangat untuk menjalankannya. menghela napas, jo secara refleks memegang tangan harry yang ada di pahanya. "aku minta maaf. kau mau pindah tempat saja???" tanyanya, panik.
"apa-tidak!" pekik harry. jo menerjapkan matanya. "tidak perlu. di sini saja," katanya dan jo mendadak merasa bodoh karena harry sudah membayar. "hanya saja... aku butuh kau untuk mengajariku. bagaimana?"
"well, okay," jo tersenyum. jo kemudian berdiri. "bisa berdiri dan jalan?" tanyanya, lalu menjulurkan tangan ketika harry menggeleng. "kemari, biar kubantu."
untungnya mereka duduk di dekat pintu masuk, jadi harry tidak perlu berjalan terlalu jauh ke lapangan es. jo menuntun harry berjalan dan begitu sampai di depan pintu, jo yakin sekali kalau harry bergetar.
"kau baik-baik saja?" tanya jo.
"ya, aku baik." mata harry tertuju pada lapangan es, dan anak-anak kecil yang terlihat begitu mahir berseluncur di atasnya. entah apa yang ada di pikirannya, jo tidak dapat menebak.
"kau tahu, kita bisa mundur kalau kau ingin," ia menghela napas. "aku akan ganti biayanya."
harry menoleh pada jo, mengeratkan genggaman tangannya. "you're talking nonsense. ajari aku, jo."
menggigit bibir, gadis itu mengangguk. "oke." ia memijakkan kakinya di lapangan es, lalu berbalik badan untuk menghadap harry. kalau mau membandingkan, jo lebih bergetar lagi saat ia harus mengambil kedua tangan harry yang terasa hangat. "pelan-pelan."
harry menunduk, melihat kakinya yang dengan kaku melangkah masuk ke lapangan es. "wow," ia menggumam sesaat setelah kedua kakinya berada di dalam. ia menengadah, melihat jo tersenyum. tapi kemudian keseimbangannya berkurang yang mana membuatnya mengeratkan pegangan dengan jo.
"sekarang pelan-pelan gerakkan kakimu untuk mengikutiku, ya." ujar jo. ia menggerakkan kakinya, berseluncur pelan namun pasti ke arah belakang sambil tetap menuntun harry.
"okay."
ia mengikuti perkataan jo dengan susah payah, namun tiba-tiba gadis itu tertawa. "santai saja, jangan dibawa kaku."
"tapi aku takut jatuh," ujar harry pelan.
"tidak akan," jo tersenyum. "i got you."
seperti ikatan yang dimiliki elena gilbert dengan damon salvatore, harry mempercayai jo begitu saja. ia menarik napas, kemudian menghelanya dengan dramatis. secara perlahan, ia membuat kakinya menjadi lebih santai dari sebelumnya dan meluncur pelan mengikuti jo. wajahnya gugup sekali, dan jo menemukan itu sangat menggemaskan dan rasanya ingin sekali mencubit pipinya.
"lihat? mudah," katanya, meskipun langkah harry masih sedikit kaku, namun sepertinya harry adalah tipikal yang cepat belajar. "akan kulepas kalau sudah lancar."
"no!" harry memekik, mengeratkan tangannya dan menengadah. ia terlihat panik. "jangan dilepas. aku belum terbiasa."
jo terkekeh. "aku tahu, aku tahu."
"jangan di lepas."
"i won't, i won't let go."
oh, ya ampun. jo merinding sendiri dengan kata-kata yang dikeluarkannya. kalau mereka ada di situasi yang berbeda, mungkin akan terdengar manis sekali. tak lama kemudian, baru jo menyadari wajah harry yang memerah.
"kau kedinginan?" tanya jo, mengangkat kedua alisnya.
"apa?" harry menerjap, menjaga keseimbangannya namun matanya tetap memandangi jo.
"kau kedinginan?" jo mengulang.
lagi, harry menerjap. "tidak. tapi udaranya memang dingin." ia terkekeh, terlihat gugup dari biasanya.
"you're getting better," gumam jo, menunduk melihat pada kaki harry yang memang sudah terlihat lebih baik. kakinya terlihat lebih santai berseluncur di atas es, pegangannya sudah merenggang.
"aku tahu," kata harry. "jangan dilepas dulu."
"iya, harry."
jo menepati kata-katanya, namun tangannya tidak lagi begitu erat menggenggam lengan harry, berpindah ke tangan dan mengaitkan jemari-jemarinya dengan milik harry. saat itu juga jo menyadari kalau kuku-kuku harry terpotong sangat rapih.
ini mirip seperti saat mr. ian mengajarinya ice skating. mirip juga seperti harry, jo belajar dengan cepat dan bedanya, jo semangat sekali belajar. meskipun sering terjatuh, jo tetap mencoba dan mencoba lagi.
"jo?"
"harry?" mata keduanya saling bertemu.
"kau bisa melepasku." tapi aku tidak mau.
ia menyunggingkan senyum, lalu dengan berat hati melepas tangan harry dan perlahan merasakan tangannya kembali dingin. "kau yakin?" tanya jo, melihat harry yang mencoba untuk berdiri sendiri. tidak ada lima detik, harry sudah kehilangan keseimbangan dan nyaris sekali jatuh jika jo tidak cepat menangkapnya. "well...?"
harry mendengus, tapi kemudian tertawa. "aku tidak apa, jo."
"aku tahu. pelan-pelan saja," ucapnya, sedikit terkejut saat ia menengadah karena wajah harry yang begitu dekat. bibirnya merah sekali. ia menerjap, lalu membawa harry untuk berdiri. "kau bisa."
keduanya berdiri tegap, lalu jo kembali melepaskan harry agar ia dapat berdiri sendiri. bibirnya tersenyum saat harry berhasil berdiri, lalu memberikan cengiran bangga pada jo.
tapi kemudian jo berseluncur menjauh. "kemari."
"coming!" seru harry, masih dengan cengiran lebarnya meluncur pelan ke arah jo. ia nyaris kehilangan keseimbangan, tapi ia berhasil menghampiri jo dengan lancar.
jo menangkap harry saat ia mendekat, keduanya tertawa karena nyaris terjatuh.
"lagi!"
selama dua puluh menit, harry berlatih keseimbangan dan meluncur dengan lancar. kini sudah satu jam lebih, keduanya sedang berseluncur bersama, mengelilingi lapangan es sembari harry memeluk lengan jo, membuat jo harus bersusah payah mengatur detak jantungnya yang kelewat kencang.
"ini hobimu selain membaca buku tebal, ya?" tanya harry, membuat jo menoleh. "kau terlihat mahir, dan caramu meluncur tadi sangat keren."
"thanks, tapi tidak juga," jo tersenyum, membuang wajahnya ke depan. "terakhir tiga tahun lalu, aku bahkan agak terkejut masih ingat cara berdiri di atas es."
"belajar sendiri?" tanya harry, masih memandangi jo dari samping.
jo menggeleng.
"lalu?"
raut wajah jo yang semula terlihat senang dan nyaman, mendadak berubah menjadi sendu dan harry sepertinya menyadari itu. ia akan membuka mulutnya saat jo bersuara. "ayahku."
"oh."
jo mengangguk, menunduk karena kembali teringat kenangan-kenangan bersama ayahnya di sini. sedih sekali karena sekeras apapun jo ingin membenci ayahnya, ia tidak akan bisa. pria tua itu memang menyakiti ibunya, tapi bagaimana pun juga, banyak sekali kenangan yang mereka buat.
"pertanyaan itu sensitif, ya?" harry kembali bersuara yang mana membuat jo mengangkat wajahnya, melihat pada harry.
"ya." ia tidak bermaksud untuk bernada ketus, namun sepertinya begitulah harry mendengarnya.
"maaf, aku..."
"tidak apa-apa," jo memotong, memaksakan sebuah senyuman dan sepertinya harry juga dapat melihatnya. "sudah lama."
"kau... ingin cerita?" tanya harry, pelan.
senyuman jo menghilang, menatap mata hijau harry yang diterangi cahaya dari lampu-lampu cantik di dekat mereka. "mungkin," tapi apa jo sudah siap? "mungkin juga tidak."
harry balas tersenyum. "aku tunggu sampai kau siap."
"terima kasih."
"jo," ia melepas tangannya. "aku mau coba berseluncur, tapi kau harus berdiri sedikit lebih jauh."
"memangnya kenapa?" jo mengerutkan keningnya, bingung. namun kalau dilihat dari senyumnya, harry akan melakukan sesuatu yang kemungkinan besar akan ia sesali setelahnya.
"lakukan saja."
"harry?"
harry tersenyum. "percaya padaku."
apa boleh buat? jo kemudian berseluncur menjauh dari harry, sambil memandanginya yang berdiri dan berdecak pinggang. begitu sudah cukup jauh, harry tersenyum, mengambil ancang-ancang dan meluncur ke arahnya. namunm sesuai dugaan jo, ia berusaha melakukan atraksi.
jo tersenyum, baru akan bertepuk tangan saat tahu-tahu harry mendarat dengan posisi yang salah hingga akhirnya, bokongnya mencium lapangan es yang dingin. ia langsung mendekati harry, tidak peduli puluhan mata yang menoleh padanya. harry bodoh, untung aku menyukaimu.
"you silly thing," ucap jo, terdengar kesal karena harry justru tertawa sambil memegangi bokongnya. "ayo bangun, jangan tertawa. malu tahu."
bukannya bangun, harry makin tertawa. jo mendengus, bukan karena kesal-melainkan karena bagaimana jika harry mengalami luka serius? jo tidak akan bisa berhenti menyalahkan dirinya, terlebih jika anne menuntutnya untuk bertanggung jawab.
"harry," jo menyentuh tangan harry. "bangun."
"nanti dulu, aku menertawakan kebodohanku." ia lanjut tertawa hingga matanya menyipit. kalau situasinya berbeda, jo akan sangat senang sekali tapi sayangnya tidak.
sekitar dua menit, harry tertawa dan mengabaikan orang-orang di sekitarnya yang mungkin berpikir ia sudah gila. jo tidak malu, hanya saja bingung dengan sikap harry yang saat ini tidak bisa ditebak. entah mungkin ia berusaha menutupi rasa sakit di pinggangnya dengan tertara, atau ia memang benar-benar menganggap ini lucu.
tapi kemudian tawanya berhenti, menggenggam tangan jo untuk membantunya bangun. "aku berusaha membuatmu terkesan dengan kemampuanku yang ternyata belum ada." katanya, lalu entah untuk alasan apa, jo tersenyum malu-untung harry tidak lihat.
"now, why would you-"
belum sempat jo menyelesaikan kalimatnya, kakinya malah terasa lemas sehingga ia terpeleset, memaksa harry untuk jatuh lagi bersamanya. jo memejamkan mata, meringis sakit karena bokongnya mendarat lebih dulu, baru kemudian merasakan dua buah tangan di kepalanya.
"kau baik-baik saja?" suara harry memenuhi gendang telinganya, membuat jo segera membuka mata dan terkejut bukan main ketika menemukan harry berada di atasnya.
kuulang, harry berada di atasnya.
di atasnya.
lengkap dengan wajah polos dan khawatirnya yang terlihat dengan jelas, jo juga disuguhi bibir merahnya yang sedikit terbuka. kedua alisnya bertautan. "...jo?"
tidak membalas, jo malah teringat dengan percakapan antara keduanya kemarin pagi. harry meminta izin untuk menggenggam tangan atau memeluknya, namun coba lihat mereka berdua sekarang. ini lebih dari sekedar berpegangan tangan. klise memang, seperti yang ada di film-film, tapi salahkan kakinya yang mendadak lemas.
jo menelan ludah, berusaha memaksa matanya untuk hanya menatap mata hijaunya saja, dan bukan ke bawah sana. telinganya perlahan mendengar suara detak jantung, dan tidak perlu waktu lama untuk jo menyadari bahwa detak jantung itu adalah miliknya dan harry.
mereka berdetak secara bersamaan, berirama.
selama ini, jo suka memperhatikan wajah harry dari jauh, dan baru kali ini ia dapat menyaksikannya dari dekat. tanpa diminta, jo akan seribu kali mengakui bahwa harry benar-benar maha karya ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dan tidak ada yang bisa mengalahkannya. kalau jo bisa bersama harry, ia berjanji tidak akan menyakiti dan melepaskannya. jo merasa terdengar seperti laki-laki pada umumnya yang suka berjanji, tapi memang itu yang ia akan lakukan.
"jo? kau baik-baik saja?" bahkan suaranya yang serak terdengar merdu di telinganya. seandainya jo punya nyali, seandainya jo memiliki keberanian, seandainya jo tidak merasa minder dengan kekurangannya. namun sayang sekali ia tidak bisa. harry hanya di angan-angan saja. jo ingin sekali menangis.
wajah harry terlihat khawatir, kemudian ia bangun dan membawa tubuh jo untuk duduk yang mana membuat jo berharap bisa bertahan lebih lama. tangannya menepuk-nepuk pipi jo, karena ia tetap memandangi harry dengan raut wajah yang mungkin ia tidak mengerti. tapi sudah waktunya kembali ke realita.
"jo? bicara padaku." katanya, masih menepuk-nepuk pipi jo agar ia tersadar dari lamunan. detik berikutnya, jo meletakkan tangannya di atas tangan harry, lalu menjauhkannya. "jo?"
"ya," ia menerjap. "aku baik-baik saja, tapi dingin sekali."
harry tertawa pelan melihatnya menepuk-nepuk pinggangnya, namun merasa lega karena jo baik-baik saja. dengan pelan, ia membawa jo untuk berdiri dan sebisa mungkin tidak membuat mereka terjatuh lagi. setelah itu, keduanya berseluncur ke pintu keluar yang langsung membawa mereka masuk ke dalam tempat makan dan menghangatkan diri.
harry membawanya duduk di dekat perapian, melepas sepatunya dahulu baru kemudian melepaskan sepatu jo. hingga saat ini, jo masih dalam tahap dapat bertahan dengan perlakuan manis harry. beberapa kali lagi, mungkin jo akan pingsan. ia melepaskannya dengan lembut, padahal mereka berdua sama-sama tahu bahwa sepatunya sedikit sulit untuk dilepaskan dan harry sebenarnya tidak perlu melakukan ini.
"aku akan mengambil sepatu kita di sana." harry tersenyum, lalu berdiri dan menghilang di dekat kerumunan orang-orang yang mencari sepatu mereka.
jo melirik jam dinding, masih menunjukkan pukul sepuluh kurang dua puluh menit. oh, ya ampun. waktu terasa begitu cepat jika menghabiskannya dengan orang yang kau sukai, mungkin jo harus menulisnya di cerita yang sedang ia selesaikan.
harry kembali dengan sepatu dan kertas menu. begitu ia akan membungkuk di hadapannya, jo segera menahannya.
"kenapa?" tanya harry, menengadah.
"aku bisa sendiri." jo menggigit bibir bawahnya, melempar senyum tipis saat harry mengangguk dan berdiri. ia duduk di bangkunya, memakai sepatu bersamaan dengan jo. "makan di sini?"
"yup," harry mengangguk dan menoleh. "kau ingin makan di tempat lain?"
"eh, terserahmu saja."
harry tampak berpikir selagi membaca menu makanan yang ada. "apakah enak-enak?" tanya harry pelan, melihat sekilas pada jo.
"well..." jo menggeleng sebagai jawaban pasti.
"kau kuat jalan atau kau mau aku menggendongmu ke mobil?"
jo terbelalak kaget mendengarnya, dengan cepat ia berdiri dan menepuk-nepuk pinggangnya. "aku kuat jalan."
harry tersenyum.
sepuluh menit berikutnya, mereka sudah berada di mobil dan sedang mencari street food di sepanjang jalan menuju rumah jo. harry bilang, ia ingat melihat food truck kebab turki di sekitar tower of london ice rink dan ia bergumam senang ketika menemukannya.
"pinggangmu baik-baik saja?" tanya harry setelah memesan dari mobil. makanannya akan diantarkan ke mobil oleh asisten pemilik food truck.
jo terkekeh. "baik-baik saja."
"m'sorry," kata harry, merasa bersalah. "bodoh sekali."
"tidak apa-apa, jatuh yang kedua itu salahku karena aku tidak tahu kenapa kakiku jadi lemas." ujar jo, menambahkan tawa kecil di akhirnya.
"lemas? mungkin aku yang terlalu berat." canda harry.
jo hanya tertawa, lalu entah mengapa ia berani bertanya hal yang mungkin akan membuat harry menyadari kalau ia memperhatikannya. ia mengubah duduknya jadi menghadap harry. "kau tahu, dari yang kulihat saat di rumahmu, kau olahraga?"
"you noticed!" harry memekik senang. "ya, aku memang olahraga. kau juga? maksudku, bukannya tidak sopan, tubuhmu ramping."
"tidak, aku tidak olahraga. sepertinya keturunan-ibuku susah bertambah berat badan." jo berujar.
"cool! aku menghabiskan sepanjang musim panas untuk tubuh ini, dan juga untuk mempertahankannya." harry memberi cengiran bangga.
"so, you're a keeper."
harry tertawa. "damn right, baby, i am a keeper."
jo tak kuasa untuk menahan senyumnya, tapi ia harus melihat ke arah lain-menyembunyikan pipinya yang memerah. butuh beberapa detik untuknya kembali menghadap harry, hanya untuk menemukannya sedang menatapnya. jo menerjap. "apa?"
"tidak ada." jawab harry, tersenyum.
"serius."
"just admiring beau-"
kalimat harry terhenti ketika seseorang mengetuk kaca mobil harry. ia menoleh, mendapati seorang pria membawa dua kebab pesanan keduanya. menghela napas, harry membuka kaca dan mengambil kebabnya. "terima kasih." ia tersenyum.
"sama-sama. silahkan menikmati kebabnya."
dengan itu, pria tersebut pergi dan meninggalkan harry bersama jo. harry menoleh pada jo, memberikan kebab miliknya. "jo."
"ya?" jo mengambil dan membuka kebabnya dengan cepat. diam-diam ia juga sudah merasa lapar sejak tadi.
"selamat makan."
jo tersenyum. "selamat makan, harry."
mereka makan dengan cepat ketika menyadari sekarang sudah pukul setengah sebelas. mrs. dixie memberikan jam malam untuk jo-meskipun sebenarnya tidak ada jam malam, itu hanya untuk bersikap seperti tipikal ibu-ibu pada umumnya.
mereka sampai di depan rumah pukul sebelas tepat. jo seperti sudah menduga, namun tetap terkejut karena melihat ibunya yang berdiri di depan pintu sambil memegang mug di kedua tangannya.
jo membuka seatbelt dan menghela napas. "langsung pulang saja." katanya.
"kenapa? nanti ibumu bertanya?" harry baru akan mematikan mesin mobil, jadi ia langsung berhenti dan menoleh.
"nanti kusampaikan salammu saja. bagaimana?" usul jo.
"well... ya, sudah kalau begitu. istirahat, jo. besok sekolah." ucap harry, menyunggingkan senyuman manisnya yang memabukkan.
"ya. hati-hati di jalan, dan istirahat sesampainya di rumah. see you at school!" jo membuka pintu mobil, melangkah keluar dan menutup pintunya.
ia berjalan mengitari mobil menuju pagar rumahnya, tapi kemudian menoleh saat harry membuka kaca. "jo."
"eh, ya?"
"apa aku sudah mengatakan bahwa kau terlihat sangat cantik?" tanya harry. kata-kata itu seolah menghantarkan listrik ke tubuh jo, ia jadi salah tingkah dan berusaha keras menahan senyum meskipun sepertinya gagal total.
"...belum. kenapa?"
harry tersenyum. "because you look really beautiful this entire night. good night, jo."
setelah itu, yang jo ingat hanya mobil harry yang melaju pulang, dan dirinya yang mematung di depan pagar rumah karena terlalu tersihir oleh pujian harry.
***