"darling,
when i think of you,
i start writing
invisible love letters
to your heart."
- alexandra vasiliu
pukul 10 pagi, jo terbangun di atas laptop yang masih menyala. ia mengucak matanya dan mendengus begitu melihat jam di dinding. jo kemudian terdiam sejenak memandangi layar laptopnya. baru ia sadari bahwa dirinya sudah menulis lumayan banyak semalam, karena entah mengapa idenya lumayan lancar dan... tunggu dulu.
jo buru-buru mengambil ponselnya dan dia menghela napas lega begitu melihat sambungan telponnya dengan harry semalam sudah mati. tapi kemudian ia merasa tidak enak karena tertidur lebih dulu, padahal janji akan tidur pukul tiga dan menemani cowok itu makan. tangan jo mengetikkan sesuatu di pesan.
j - hei, maaf sekali. aku tertidur lebih cepat semalam. kau tetap jadi makan dan mandi pagi-pagi, kan?
entahlah, mungkin harry belum bangun. jo memutuskan untuk bangun dan mencuci wajah serta menggosok giginya di kamar mandi. setelah itu, ia bergegas turun dan menyapa mrs. dixie dan marianne di bawah.
"selamat pagi!"
"pagi!"
jo menghampiri marianne yang tengah menonton kartun di karpet di ruang tv, kemudian memberinya ciuman gemas di pipi. "kau sedang nonton apa?" tanya jo kemudian memangku marianne di pahanya. jari mungilnya menunjuk layar tv yang sedang menayangkan kartun sofia and the princess, kesukaan marianne.
marianne kemudian mengoceh, menunjuk-nunjuk wajah jo dengan mainan bonekanya. jo tersenyum, mengikuti permainan adiknya yang amat ia sayangi, meskipun marianne bukanlah adik kandungnya. well, empat tahun lalu mrs. dixie iseng mengikuti blind date dengan pria yang terlihat baik-baik, namun nyatanya hanya mempermainkan wanita yang hingga kini masih sangat terlihat cantik itu. jo sempat sangat marah, tapi mrs. dixie mengatakan setidaknya jo memiliki adik kecil untuk menemaninya kala ibunya tidak di rumah. namun semenjak saat itu, mrs. dixie tidak pernah lagi berkencan dengan pria mana pun—kedua anaknya saja sudah cukup.
dua puluh menit kemudian, jo masih belum melihat ibunya. "where's mommy?" tanya jo pada marianne yang kemudian menunjuk ke arah dapur.
"kitchen." katanya meskipun tidak terlalu jelas.
berdiri, jo menggendong marianne dan membawanya ke dapur. benar saja, ia menemukan ibunya sedang asyik menelpon seseorang. namun saat matanya menangkap jo duduk di kursi meja makan, ia segera menyudahi panggilan tersebut dan mempersiapkan sarapan semi makan siang untuk jo, serta camilan untuk marianne.
"morning," sapa mrs. dixie, melempar senyum pada jo yang sedang memperhatikannya.
"morning," balasnya, kemudian menutup mulut karena menguap.
"pulang jam berapa semalam?" tanya mrs. dixie sambil mengoleskan selai kacang pada roti untuk jo.
jo kembali menguap sebelum menjawab, "sebelas, kurasa."
mrs. dixie mengangguk. "auntie mel menelpon barusan," katanya lalu menoleh sekilas untuk melihat kedua alis jo yang terangkat pertanda ia ingin tahu apa yang dibicarakan ibunya dengan auntie mel. "ia bercerita katanya zayn jadi menyebalkan sejak punya kekasih."
mata jo melotot kaget, "apa? zayn?? kekasih??" pekiknya. apa-apaan itu, padahal jo saja tidak tahu sepupunya punya kekasih, tahu-tahu dikabarkan menjadi budak cinta.
"yup," mrs. dixie terkekeh. "katanya zayn akan mengantar kekasihnya kemana pun ia pergi—tapi menurutku itu tidak masalah, artinya zayn tidak ingin terjadi apa-apa pada kekasihnya, kan?"
"aku bahkan tidak tahu zayn punya kekasih." ujar jo sembari memberikan biskuit pada marianne.
"zayn punya, yang tahu hanya beberapa saja. kupikir kau tahu," mrs. dixie menuangkan segelas susu untuk jo. "kau ini sepupu favoritnya, bagaimana bisa tidak tahu?"
jo menerjap. "sejak kapan ia punya?"
"seminggu lalu."
lagi, jo terbelalak kaget. "siapa kekasihnya?"
"gigi, kau pernah bertemu dengannya dua minggu lalu saat acara keluarga, dan gigi tidak sengaja datang untuk mengembalikan jaket zayn yang tertinggal."
oh, jo kemudian teringat bahwa ia memang pernah bertemu—malah dirinya yang membuka pintu untuk gigi. tapi seingatnya mereka baru dekat beberapa hari, sekarang sudah berstatus sepasang kekasih?
"kenapa rupanya?" tanya mrs. dixie menyadari perubahan wajah jo.
"mereka baru dekat seminggu, lalu sekarang sudah jadi sepasang kekasih?" jo tahu setelah ini ia akan menghujani sepupunya itu berbagai pertanyaan.
mrs. dixie hanya tertawa mendengarnya, lalu duduk bersama jo dan marianne. "memangnya kenapa?" tanya beliau seraya membersihkan mulut marianne yang kotor karena biskuit.
"tidakkah itu terlalu cepat?" jo meneguk sedikit susunya. "liam bilang padaku kalau butuh waktu lama agar membuat seseorang menyukai kita juga. seingatku mereka saat itu benar-benar baru mengenal beberapa hari."
"jo," mrs. dixie mengambil alih untuk memangku marianne, lalu menoleh pada jo yang bingung. "untuk beberapa orang memang terlalu cepat, tapi kupikir waktu tidak terlalu menjadi masalah dalam hal ini. kalau kau menyukai seseorang, berarti kau menyukainya."
"kenapa?"
"tidak tahu," mrs. dixie bergidik bahu dan tersenyum. "mungkin karena parasnya, perlakuannya padamu, atau caranya memandang dunia. yang tahu hanya dirimu sendiri."
jo hanya diam sambil memandangi ibunya, sementara tangan kanannya menggenggam segelas susu.
"aku tidak pernah mendengarmu dengan siapapun," ibunya kembali bersuara karena jo tidak memberikan respon. nadanya terdengar menggoda dan bercanda, namun jo tahu ibunya pasti ingin dirinya mengenalkan seorang cowok padanya yang mana tidak akan pernah terjadi—mungkin.
"karena memang tidak ada."
"oh ya?" mrs. dixie mengangkat alis.
mendengus, jo berdiri dan mengangkat gelas serta rotinya hendak menghabiskannya di kamar. mrs. dixie hanya tertawa meledek, diikuti marianne yang tertawa dan kemungkinan besar tidak tahu mengapa, ia hanya mengikuti ibunya tertawa.
sesampainya di kamar, jo langsung mengecek ponsel yang belum mendapat balasan apa-apa dari harry. cowok itu belum bangun, membuat jo menghela napas dan menempatkan dirinya di kursi belajar. jo memandangi hasil tulisannya semalam, hendak menulis lagi namun memilih untuk menghabiskan sarapannya lagi.
setelah selesai menghabiskan roti selai kacang dan segelas susu putih, jo kembali fokus pada laptopnya. ia menghabiskan waktu satu jam untuk menumpahkan ide yang ada sejak semalam, dan yang baru saja terpikir olehnya. namun saat hendak menuliskannya, ia tiba-tiba tertawa.
"harry bodoh," ucap jo di sela-sela tawanya. tawanya tidak melengking atau besar, namun sepertinya mrs. dixie akan dengar jika ia lewat di depan kamar jo. ia berusaha mengatur tawanya, kemudian lanjut menulis sambil menahan tawa.
meregangkan kedua tangan, jo bergegas mandi karena ia harus mengerjakan tugas sekolah seperti sejarah, matematika, dan fisika. ketiganya baru dikumpulkan minggu depan pada hari jumat, namun salah satu yang jo sukai dari mengerjakan tugas lebih awal ia bisa bersantai, atau mengerjakan tugas yang lainnya.
selama ia mandi, ia bisa mendengar ponselnya berbunyi beberapa kali, namun sayang ia tidak membawanya ke kamar mandi. jadi begitu jo selesai mandi dan berpakaian—namun masih membiarkan handuk membungkus rambutnya, ia langsung mengambil benda tersebut. ia terkejut melihat siapa yang menelpon. bukan karena nama harry tertera tiga kali, namun nama 'dad' yang membuatnya terdiam.
butuh beberapa menit bagi jo untuk memberanikan diri agar ia menekan tombol call back. di dering ketiga, seseorang mengangkat.
"jo?"
jo menerjapkan mata. "dad, hai."
"apa kabarmu?" jo tidak tahu pasti, namun ia dapat mendengar suara mesin mobil yang mana ia berasumsi ayahnya sedang berada di jalan sekarang.
"aku baik, dad bagaimana?" jo melepas handuk di kepalanya, lalu meletakannya di belakang pintu kamar mandi.
"m'good, love, dad sedang berada di jalan," dugaannya benar. "business trip to washington."
jo tersenyum. "kenapa jalannya pagi sekali?" london dan new york berbeda lima jam, jadi jika di london menunjukkan pukul dua belas, maka di sana waktu menunjukkan pukul tujuh.
"tidak apa, sudah jadi kebiasaan. lagipula aku harus cepat, rose dan julie menungguku di rumah." jo terdiam saat mendengar nama rose dan julie. rose adalah istri baru ayahnya yang secara tidak langsung adalah ibu tiri jo, namun mereka tidak pernah benar-benar bertemu. sementara julie, ia adalah anak perempuan mereka berdua yang baru berusia dua tahun. kalau jo benar-benar pindah ke sana untuk meneruskan kuliah, mau tidak mau, harus tinggal dengan mereka. "honey, you there?"
lagi, jo menerjap. "i'm here."
"bagaimana nilai-nilai sekolahmu? aman, kan?" tanya mr. ian. (jika kau bertanya, maka jawabannya adalah mirrel—nama ibunya jo—tidak lagi menggunakan nama belakang mantan suaminya, begitu juga untuk jo dan marianne, sejak kelahiran marianne).
"nilaiku..." jo terdiam begitu ia mengingat nilai bahasa inggris yang jauh sekali dari harapannya. jo mengutuk diri dalam hati, ia mendadak panik karena tidak mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan mengenai nilai. padahal harusnya ia ingat sejak awal, ayahnya pasti akan menanyakan nilai yang berhubungan dengan beasiswa harvard. sekarang bagaimana ia harus menjelaskan nilai bahasa inggrisnya yang jelek? "soal itu.. nilaiku..." jo mengutuk diri sendiri lagi, tidak tahu harus bagaimana.
"kenapa dengan nilaimu? baik-baik saja, kan? stabil, tidak turun?" mr. ian mungkin bernada santai, namun dalam hati jo tahu ia berekspetasi tinggi terhadapnya dan jo tidak menyalahkannya untuk itu. menurutnya, sang ayah berekspetasi tinggi karena ingin jo berhasil masuk harvard dan tinggal bersamanya. itulah yang menjadi motivasi jo selama ini.
"dad?"
"jo?"
"i.. i'm trying my best. a-aku harus mengerjakan ulang sebuah tugas karena tidak sesuai apa yang kuharapkan namun untungnya guruku, mrs. anderson memberikanku kesempatan sebelum ia memasukan nilai yang akan diberikan kepada—"
"you're kidding."
jo menerjap, berusaha menahan air matanya. "apa?"
"kau bercanda, kan? nilaimu tidak mungkin turun, kan? selama ini kau pasti sudah belajar semampumu jadi tidak mungkin nilaimu turun sampai harus diberikan remedial yang mana akan mengotori catatan rapormu? because if you do, then what the hell are you doing all this time?"
air mata jo kemudian turun. apa yang dilakukannya selama ini?
"dad—"
"jo, kupikir kau serius dengan niatmu, kalau seperti ini caranya, dad tidak tahu." apa, ayahnya mendadak tidak percaya dengan niatnya hanya karena nilai bahasa inggrisnya menurun?
"dad, i am!" saat itu juga, pintu kamar terbuka dan menunjukkan mrs. dixie yang langsung duduk di sampingnya. "i'm serious about living with you! mungkin saat ini nilaiku sedang jatuh, namun aku melakukan sesuatu tentang itu dan aku sedang melakukannya. aku—"
belum selesai jo berbicara, mrs. dixie mengambil alih ponsel jo dan berdiri. "what the heck, elijah?!"
hanya itu yang dapat jo dengar, selebihnya hanya suara tangisnya sendiri yang ia dengar.
***
sejak siang tadi hingga setelah makan malam, jo hanya mengurung diri di kamar. ia mematikan ponselnya, tidak jadi mengerjakan tugas, dan mood untuk menulis serta bersosialisasinya hancur, padahal beberapa tetangga datang untuk mencicipi kue baru buatan ibunya sebelum dipasarkan.
matanya masih sembab dan merah karena menangis cukup lama. nada bicara yang digunakan ayahnya memang tenang, namun benar-benar menyakiti hatinya yang selama ini sudah bekerja keras. ia mengerti keinginan ayahnya, namun jo juga tidak mengerti mengapa ayahnya begitu menekannya.
setelah berdebat dengan diri sendiri, jo akhirnya bangkit dan membasuh wajahnya di wastafel. i look completely like shit, pikirnya. tapi kemudian, jo mengangkat kedua jarinya membentuk tanda peace, lalu memanyunkan bibirnya dan berpose. detik berikutnya, jo terkekeh atas kebodohannya sendiri, dan setelahnya meringis karena perutnya berbunyi. ia lapar.
jadi dengan cepat, jo keluar dari kamar menuju dapur. ibunya dan tetangga yang berkunjung berada di ruang tamu yang mana membuat jo aman agar tidak perlu menyapa mereka semua.
dengan gerak cepat, jo meletakkan mangkuk, mengambil sereal dan menuangkannya ke mangkuk, baru setelah itu menuangkan susu. untuk minumannya, jo mengambil tumbler dan mengisinya penuh dengan jus jeruk yang tersisa di kulkas. selesai membuat makan malam, jo membawanya ke kamar.
sesampainya di kamar, jo mengambil oversized hoodie di lemari dan memakainya. ia menata bantal-bantalnya agar nyaman, mematikan lampu, bersandar pada bantal-bantal yang sudah ditata, menarik selimut hingga pinggang, lalu meletakkan laptop yang memutar film annabelle comes home di atas paha dan sereal untuk dimakan. quality time kesukaannya.
dua jam berlalu—serealnya sudah habis, jus dalam tumbler sudah hampir habis, film sudah berakhir lima belas menit lalu dan kini ia sedang menonton video tentang cara membuat notes terlihat lebih aesthetic di youtube. tapi lama-lama, jo bosan.
baru kemudian ia teringat sesuatu: ponselnya. tangan jo bergerak meraih ponsel di meja tidur, lalu menyalakannya untuk mendapati harry yang menghubunginya sebanyak sepuluh kali, dan pesan lima belas kali.
jo tercengang.
jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. harry menghubunginya. tunggu, harry mencarinya? sebagian besar pesan hanya berisi harry yang memanggilnya, namun tetap saja berhasil membuat jo salah tingkah. tanpa berpikir dua kali, jo menghubungi harry dan langsung diangkat oleh cowok itu.
"jo?? kau masih hidup??? kupikir kau mati." jo melotot begitu harry mengeluarkan suara, lalu mendengus dan mendapat kekehan darinya. "sorry, but where the hell have you been? aku menghubungimu sejak pukul dua belas kurang, lalu saat kutelepon lagi—ternyata nomormu sibuk. lalu kucoba lagi dan nomormu tidak aktif, dan baru aktif lagi sekarang. pukul sembilan. maka dari itu kukira kau mati!"
ia tak habis pikir, harry bawel sekali. "iya, maaf," jo menghela napas sambil meletakkan laptop di sebelahnya lalu mengubah posisinya menjadi tiduran. "aku... um, aku baru selesai menonton film."
"apa? menonton film dari siang tadi?" tanya harry tidak percaya.
"tidak," jo memutar matanya. "siang tadi aku..." ayo, putar otak! "mengerjakan tugas!" ide bagus. "ya, aku mengerjakan tugas. sangat menumpuk jadi aku memutuskan untuk mengerjakan tugas-tugas sampai sebelum makan malam. setelah makan malam, aku lupa menyalakan ponsel dan... well, menonton film."
ada jeda sebentar sebelum harry membalas. "oh, begitu rupanya. nonton film apa?"
"annabelle comes home," jo memeluk gulingnya.
"ew, horror," balas harry. "jaketmu sedang dicuci, ya."
"ya."
"kau baik-baik saja, kan?" tanya harry, kini membuat jo terdiam sebentar.
menarik napas, jo menghembuskannya secara perlahan. "aku baik-baik saja. memang kenapa?"
"tidak, hanya..." jo mengangkat alis sambil menggaruk dahinya. "hanya mengkhawatirkanmu saja."
kemudian, jo merasakan pipinya memanas. kedua sudut bibirnya terangkat, menunjukkan senyuman manis yang padahal tidak ada siapa-siapa di sana. "aku baik-baik saja, tidak usah cemas."
terdengar hembusan napas lega di seberang sana. "bagus kalau begitu. besok sekolah, kan?"
"tentu saja aku sekolah."
"oke."
"oke."
lalu,
hening. tidak ada dari keduanya yang berbicara, meskipun sepertinya jo sedang berdebat dengan dirinya sendiri untuk memutuskan apakah ia harus bercerita dengan harry atau tidak. ada rasa ingin, namun juga ada perasaan ragu untuk melakukannya.
menghela napas, jo melirik layar ponselnya ketika harry bersuara lagi. "jo, kau lelah?"
saat itu juga, jo baru menyadari matanya yang terasa panas. "ya, lumayan."
"kalau begitu tidur saja, biarkan teleponnya tetap tersambung." kata harry, yang lebih terdengar seperti meminta.
"kenapa begitu?"
"no reason."
mengangkat alis, jo bergidik bahu. "oke." ia memang lelah karena menangis sepanjang siang, namun bukan berarti ia akan tidur sekarang.
jarinya keluar dari aplikasi call, lalu membuka aplikasi instagram karena sudah sejak kemarin belum ia buka. tidak ada yang menarik, kecuali postingan zayn dan gigi di instagram. jo mendengus sebal karena sepupunya tidak memberitahunya kalau ia sudah jadian.
tapi, melihat foto mereka membuat jo teringat dengan perkataan ibunya.
"waktu tidak terlalu menjadi masalah dalam hal ini. kalau kau menyukai seseorang, berarti kau menyukainya."
"kenapa?"
"tidak tahu," mrs. dixie bergidik bahu dan tersenyum. "mungkin karena parasnya, perlakuannya padamu, atau caranya memandang dunia. yang tahu hanya dirimu sendiri."
jo terdiam.
ia menatap dinding di hadapannya dengan datar, namun dalam bayangannya terpampang wajah harry ditambah dengan senyumnya, lesung pipinya, lalu matanya yang menyipit saat tertawa. tidak hanya itu, otaknya memutar kembali tentang bagaimana harry memperlakukannya dengan baik; menghormati keputusan apapun yang jo ambil, bagaimana tangan besar harry menggenggam tangannya meskipun jo masih suka berpikir negatif tentang hal itu, dan bagaimana cowok itu menjadi seorang gentleman dan manis meskipun tidak diminta.
tapi, semuanya atas nama menjadi extra, bukan sungguh-sungguh. tapi, saat ini jo dan harry sedang tidak dalam kencan palsu, begitu juga saat harry khawatir terhadap kesehatan jo dan memaksanya makan. lalu, apa ini? memintanya menemani makan ramen, lalu ingin menemaninya sampai tertidur. oh, sialan.
siapa peduli? siapa yang tidak senang dan menaruh hati kalau sudah begini? baru dua kali kencan, tapi siapa tahu kalau dirinya seperti gigi yang baru saja mengenal seseorang dan sudah menyukai sepupunya dengan cepat? oh, sialan.
jadi, pertanyaanya, apakah jo menyukai harry?
jawabannya, ya. sangat.
"jo."
hening.
"kau sudah tidur?"
lagi, hening dan mungkin harry hanya mendengar suara hembusan napas dari jo.
"thank goodness you're asleep," harry terkekeh. "cause i really wanna tell you that i care so much about you. and... i like you. i like you like... a lot. yeah, i like you a lot, jossette. good night."
sesuai dugaan harry, pemilik nama jossette itu sudah tertidur dan kini, memasuki alam mimpi.