Chereads / (how) to be in love / Chapter 9 - Chapter 8

Chapter 9 - Chapter 8

"my head understands things my heart is not willing to accept."

- zack grey.

jo bangun pagi-pagi sekali dengan kepala pusing. namun untungnya ia memiliki aspirin di laci meja, jadi ia bisa berjalan di lorong sekolah hari ini. meskipun kepalanya masih sedikit sakit, jo tetap harus masuk karena ia tidak boleh tertinggal sedikit pun pelajaran dan membiarkan nilainya turun.

"jossette dixie?"

jujur saja, jo agak terkejut dengan suara itu. ia segera menutup pintu lokernya, lalu mendapati natasha fyers dan emily polinski sedang berdiri di hadapannya—ya ampun, mereka teman-teman harry. lagi, jo terkejut. "ya?"

"milikmu?" natasha mengangkat sebuah buku yang jo kenal. buku fisikaku!

"eh, ya. dapat darimana?" tanya jo yang berusaha untuk tidak gugup, namun sepertinya gagal.

"jatuh di dekat toilet," natasha menoleh sekilas ke arah toilet yang tidak jauh dari mereka. ia mengulurkan tangannya dan memberikan buku tersebut pada jo yang disambut dengan baik.

"terima kasih."

"sama-sama!" natasha melempar senyum.

emily melirik ke kanan dan ke kiri, lalu menatap jo tepat di mata. "kau sedang dekat dengan harry, ya?"

untuk kesekian kalinya, jo terkejut. pertanyaan apa itu? ada apa sampai ia tiba-tiba bertanya? bagaimana mereka tahu? matthew melihatnya dengan harry, ya? apa harry yang memberitahu? tapi bukannya ia berjanji tidak akan beritahu siapa-siapa?! jo menerjap.

"tidak," kalau matthew benar melihatnya... "tidak juga."

"masa?" emily mengangkat alisnya tidak percaya.

"iya."

emily memiringkan kepalanya, bingung. "aneh. padahal harry sering membicarakanmu."

"benar," natasha mengangguk, mendukung pernyataan emily yang nyaris membuatnya ingin pingsan. "apalagi di groupchat. he doesn't know how to shut up."

keduanya tertawa ringan, namun malah membuat jo sebal sekali karena cowok itu tidak bisa menutup mulutnya. jo menghela napas, berusaha menahan kekesalannya dengan sebuah senyuman simpul.

harry suka membicarakannya di groupchat, dan dia tidak tahu caranya diam. jo menggelengkan kepala, ini bukan pertanda bagus. apa yang ia bicarakan? harry benar dengan kata-katanya untuk tutup mulut, kan? lantas apa topik yang mereka bicarakan hingga namanya terseret ke dalam sana?

natasha dan emily berlalu saat matthew dan cedric memanggilnya di ujung koridor. ia tak melihat harry di sana, dapat mengartikan cowok itu belum datang, atau mereka akan bertemu di satu titik tempat. jo mendengus, menyimpan bukunya di loker, menguncinya dan berjalan menuju kelas.

jam pelajaran pertama dan kedua berjalan begitu seru, setidaknya bagi jo seorang diri karena yang lainnya terlihat mengantuk dan bosan. jo kini hendak menuju kantin saat mrs. anderson tiba-tiba muncul di pandangannya dan langsung menghampiri jo.

"jo," sapanya.

jo hanya tersenyum.

"bagaimana ceritamu? apa sudah ada kemajuan dari apa yang kurekomendasikan?" tanya mrs. anderson.

"um," ada, justru kemajuannya pesat sekali. "ya, aku sudah membuat kemajuan cukup baik. terima kasih atas saran-saranmu." meskipun tidak begitu membantu. hanya sekitar 20%, karena 80% lagi adalah harry.

"bagus kalau begitu," ia tersenyum senang. "apa aku boleh membacanya? siapa tahu aku bisa memberikan masukan lagi."

"aku tidak membawa laptop, mrs. anderson. tapi aku bisa mengirimkannya padamu usai pulang sekolah melalui e-mail, jika kau tidak keberatan." ujar jo.

"good idea. aku tunggu, ya!"

setelah mrs. anderson berlalu, jo melanjutkan langkahnya ke kantin. begitu memasuki area kantin, matanya langsung tertuju pada matthew, cedric, natasha dan emily. hanya mereka berempat, tidak ada rambut keriting yang jo selalu lihat saat memasuki kantin.

jo diam sejenak.

apa jangan-jangan harry sakit? cowok itu mengatakan dirinya hujan-hujanan karena mencari bengkel, lalu saat di rumah pun tidak langsung mandi dan entah apa yang dilakukannya setelah jo tertidur. kemarin di telepon juga jo tidak bertanya karena matanya yang sangat berat untuk dibuka. dan pagi ini, jo tidak menerima kabar apapun dari harry.

jo menggelengkan kepala, berlebihan sekali pikirannya. siapa tahu harry sedang ke toilet, atau dipanggil ke ruangan guru, atau mengantri makanan. atau mungkin melakukan kegiatan lain yang tidak diketahui oleh jo. kehidupan harry tidak melulu tentangnya, dan teman-temannya.

jo mengantri makanan, mengambil makanan yang sebenarnya tidak begitu membuat selera makan. ia menempati meja kosong, lalu menikmati makan siangnya di sana. saat baru setengah makanannya habis, ponsel jo berbunyi dan menunjukkan harry telah mengiriminya pesan.

h – heyyyy

h – aku baru bangun. kau sekolah?

apa, pesan macam apa itu?

jo menautkan alisnya, matanya bergerak melihat ke arah teman-teman harry yang masih mengobrol sambil menghabiskan makannya. masih tidak ada harry dan jo bahkan tidak menyadarinya. ia cepat-cepat kembali melihat layar ponselnya dan membalas pesan harry.

j – maksudmu? aku di kantin.

h – aku di rumah...

j – kenapa di rumah?

h – flu, demam tinggi dari kemarin sore.

jo melotot terkejut. benar dugaannya, harry sakit dan sekarang terpaksa harus tidak masuk sekolah. jo langsung menekan tombol call pada kontak harry. butuh beberapa waktu sebelum harry mengangkat teleponnya.

"kenapa bisa sakit?" tanya jo, bahkan sebelum harry dapat menyapanya.

"sepertinya karena aku minum dingin seharian kemarin—sorenya suaraku berubah dan tahu-tahu pilek. sekarang suhu tubuhku tinggi," jelas harry, dan jo juga baru menyadari suara harry yang berubah. cowok itu mungkin mengatakan karena ia minum air dingin, namun secara tidak langsung juga salahnya karena tetap membuat harry pergi ke night market bersamanya.

"oh."

tiba-tiba lidahnya terasa kelu. ia ingin sekali mengingatkan harry untuk meminum obatnya, makan tepat pada waktunya dan ia harus beristirahat alias tidak melakukan hal-hal bodoh, namun entah mengapa terhenti hanya sampai tenggorokkan saja.

"kalau begitu cepat sembuh, ya." hanya itu yang dapat dikatakan jo.

"terima kasih!" pekik harry yang masih tetap semangat meskipun keadaannya sedang lemah.

"ya."

"jo,"

jo mengaduk kentang tumbuk di hadapannya dengan malas. "ya, kenapa?"

"mau ke rumahku, tidak?" tanya harry dan membuat jo berhenti melakukan apa yang ia lakukan.

ke rumah harry.

yang ada di bayangan jo adalah rumah harry yang besar, megah dan mewah seperti dikatakan orang-orang yang pernah berkunjung ke rumah harry. mereka bilang, orangtua harry senang mengoleksi mobil, segala jenis mobil ada di situ dan tidak ada yang tergores sedikit pun. selain itu, harry memiliki taman dan kolam ikan besar di halaman rumahnya.

jo pikir mereka terlalu banyak menonton video tiktok, namun mengingat harry pernah memberitahu pekerjaan ayahnya, mungkin ada benarnya. hal ini sontak membuat jo merasa minder karena sangat bertolak belakang dengannya—meskipun ayah jo juga merupakan seorang pengusaha, namun ia tidak memberikan uang kecuali child support, itu pun berhenti begitu jo menginjak usia enam belas tahun.

mengheha napas, jo menggeleng kecil sendiri meskipun harry tidak lihat. "tidak tahu," lagipula, jo tidak tahu mengapa ia harus ke rumah harry. kencan ketiga saja belum dibicarakan sama sekali.

"please? aku bosan sekali. ketiga kucingku berada di rumah cedric, sedang proses kawin. jadi, aku tidak ada teman." jo tersenyum membayangkan bagaimana harry membujuk dengan bibirnya yang dimanyunkan.

"kenapa tidak ajak teman-temanmu saja?" jo melirik ke arah mereka berempat duduk.

"mereka sudah ke sini kemarin malam."

jo menautkan alis. "maksudmu?"

"ya, setelah meneleponmu, mereka datang membawakan makanan dan menginap. jadi, sekarang giliranmu sebagai teman yang baik untuk menjengukku. sekalian mengambil jaketmu, sepertinya sudah kering." kata harry.

jo terkekeh. "jadi kau minta dijenguk?"

"anak pintar!"

"oke. aku ke sana setelah pulang sekolah," jo memandangi makanannya sambil tersenyum, mengacuhkan yang melihatnya dengan tatapan aneh. "mau kubawakan sesuatu?"

"nope. tapi aku ingin baca ceritamu, sudah sejauh mana?" pertanyaan harry membuat jo teringat akan sesuatu.

"about that... aku ingin menanyakan sesuatu. berikan saja alamatmu, sampai nanti!"

ia tahu harry pasti kebingungan karena jo mematikan sambungan begitu saja, tapi ia mendadak kesal karena tadi pagi.

***

jo memang setuju untuk menjenguk harry di rumahnya, dan cowok itu sudah memberikan alamat rumahnya, tapi tidak menyangka cowok itu justru menyuruh seseorang untuk menjemputnya di sekolah. jadi, di sini lah jo, duduk di dalam mobil audi a6 milik harry... atau orangtuanya.

suasananya canggung sekali di lima menit pertama, tapi setelah itu, supir harry yang bernama mr. heidi justru banyak sekali berbicara. ia membicarakan tentang dirinya, lalu bertanya-tanya tentang kehidupan jo, kemudian membuat lelucon hingga jo tertawa terbahak-bahak, dan membicarakan seseorang yang menjadi alasannya berada di mobil itu.

"harry tidak pernah membawa seorang gadis ke rumah," katanya, melirik jo dari spion tengah. "kalau natasha dan emily jadi pengecualian, mereka kuanggap seperti anakku sendiri."

jo mengangkat alis. "oh ya? memangnya sedekat itu dengan teman-teman harry?"

"ya, seperti itu. harry suka memintaku mengantar mereka pulang jika sudah larut malam, lalu—seperti kau dan aku sekarang, kami mengobrol banyak. awalnya kupikir salah satu dari mereka disukai harry, tapi mereka bilang tidak." mr. heidi tertawa renyah. "matthew dan cedric pun sama, tapi mereka punya kendaraan sendiri—jadi 'kan tidak perlu kuantar."

dari yang dibicarakan mr. heidi, mereka mungkin tidak seburuk yang jo kira. tapi tetap saja, jo tetap merasa minder jika harry mengajaknya bergaul dengan mereka.

"oh ya?"

"aku merasa muda lagi jika sedang bersama mereka," lagi, ia tertawa renyah dan kemudian melemparkan satu pertanyaan yang membuat jo sedikit terkejut. "bagaimana denganmu, kalian punya hubungan spesial sampai aku diminta untuk menjemputmu?"

jantung jo berdegup kencang, bagaimana menjawabnya? memangnya ada hubungan spesial? tidak, kan? jo saja yang berharap, padahal mereka hanya sekedar teman.

"teman," jawabnya, singkat.

"teman," jo tiba-tiba berharap mereka sudah sampai, karena nada bicara mr. heidi yang mengejek membuatnya malu. "betulkah begitu?"

"ya, hanya teman," ucap jo melempar senyuman palsu terbaiknya. ia mengasihani diri sendiri, berharap pada seseorang yang jelas-jelas tidak bisa dimilikinya.

"harry is a good kid," mr. heidi melirik jo melalui spion tengah. ia tersenyum tulus, "any friend of harry, is a friend of mine, too."

jo tersenyum. "terima kasih, mr. heidi."

tidak lama kemudian, keduanya memasuki halaman rumah harry yang besar bukan main, membuat jo kesulitan untuk tidak melihatnya dari jendela—ia merasa mirip seperti orang norak yang baru melihat kemewahan.

"harry tinggal di sini?" tanya jo, tidak percaya.

mr. heidi tidak membalas, hanya tertawa.

yang dikatakan orang-orang benar. rumah harry memang seperti di video tiktok yang tidak sengaja ia tonton di instagram.

mr. heidi menghentikan mobil di depan pintu utama, lalu membukakan pintu untuk jo yang masih tercengang dengan kemewahan rumah harry yang bernuansa krem, putih dan hijau. tanaman hijau ada di mana-mana, jo tidak heran karena memang taman yang tadi ia lewati pun sangat besar. ia menebak pasti mrs. carson ingin membuat rumahnya tampak lebih asri dan sejuk, karena ia berhasil.

"terima kasih sudah menjemputku."

"sama-sama. kau masuk saja, aku harus mencuci mobil ini," kata mr. heidi, melempar senyum sebelum kembali masuk ke dalam mobil. begitu mobilnya melaju, jo sempat mengikuti ke mana arah mobil itu pergi—ke sebuah garasi besar yang membuat jo lagi-lagi teringat gossip yang beredar bahwa keluarga carson mengoleksi mobil.

namun garasi mobilnya terlihat sebesar itu, apakah memang benar sebanyak itu mobil yang mereka punya?

"jo!"

jo nyaris melompat kaget saat mendengar harry memanggil namanya dengan teriak. ia menoleh, melihat harry berdiri di pintu dengan balutan selimut di tubuh hingga kepala, menyisakan wajahnya yang penuh cengiran.

"masuk, apa yang kau lakukan di situ?" harry terkekeh melihat jo yang hanya diam melihatnya.

menghela napas, jo akhirnya menghampiri harry dan baru ia menyadari wajah harry yang sedikit pucat. tangannya beralih ke kening harry, terasa panas dan sepertinya belum juga turun sejak kemarin.

"aku sudah membaik," kata harry, lalu membuka pintu sedikit lebih lebar dan menunjukkan sebuah lampu besar yang menggantung dari lantai dua, lalu di samping kanan dan kiri terdapat tangga, dan ruangan di sebelah kanannya terdapat ruang tamu yang luas. jo berusaha keras untuk tidak menatap terlalu lama, namun sepertinya gagal dan harry dapat melihatnya. "kau ingin minum sesuatu?"

menerjap, jo menoleh cepat pada harry. "tidak usah."

"kau baru saja dijemput mr. heidi," harry berjalan melalui lorong tengah, yang ternyata mengarah ke dapur. jo mengekor di belakang, namun matanya tidak berhenti mengagumi tempat tinggal harry. "pasti ia mengajakmu mengobrol sepanjang jalan. orange juice?"

"ya..." matanya terpaku pada sebuah patung pahatan yang mirip dengan dewa-dewi yunani.

harry membuka selimut yang membalut tubuhnya dan meletakkannya di kursi. ia membuka kulkas, mengambil sebotol orange juice dan menuangkannya di gelas, lalu setelah itu ia bergerak mengambil beberapa toples camilan seperti biskuit, permen dan cokelat. harry meletakkan semua itu di atas nampan, lalu membawanya dan menoleh, menemukan jo sedang memperhatikan patung milik orangtuanya.

"itu milik orangtuaku," harry bersuara, menghampiri jo yang terkejut. "mereka baru akan mengoleksinya, tidak tahu untuk apa."

"tapi ini sangat—shit, harry!" jo baru saja menoleh pada harry namun langsung menutup mata dengan kedua matanya. "pakai bajumu!"

"jo," harry berusaha untuk tidak tertawa, atau apapun yang ia pegang akan jatuh dan berantakkan. "aku tidak punya bajuku sekarang, hanya ada selimut yang kupakai tadi..."

jo mendengus. "ya, sudah. pakai selimutnya!"

"lalu nampannya bagaimana?" dengan itu, jo membuka mata dan mengintip melalui sela-sela jarinya... harry punya tato. ada tato kupu-kupu besar di bagian perut atasnya, dan dua ekor burung di kanan dan kiri dadanya. dan... apa itu yang ada di perut harry? jo menerjap, berusaha membuang jauh-jauh rasa penasarannya. tapi harry tiba-tiba menyuarakan isi hatinya. "aku akan menjelaskan tato-tatoku nanti, tapi bagaimana kalau nampannya kau ambil sementara aku menggunakan selimutku?"

oh, sialan. jo kembali menutup matanya, namun tangannya terbuka untuk meminta harry meletakkan nampan di tangannya itu. setelah itu baru harry mengambil selimut dan membalut tubuhnya lagi.

"buka matamu."

jo membuka mata, kembali melihat harry yang sedang nyengir dengan tubuh yang dibalut selimut. mendengus, jo hendak berbalik badan saat ia tiba-tiba melihat seorang wanita seusia ibunya berdiri di sana. lagi, jo terkejut bukan main dan nyaris menjatuhkan isi nampan.

"whoa, whoa, chill," wanita itu terkekeh, memegang tangan jo yang menahan agar nampan tidak jatuh. "maafkan aku, kau tidak apa?"

jo menerjap, menautkan alis saat melihat wanita di hadapannya sangat mirip dengan harry. atau harry yang mirip dengannya. "y-ya, aku tidak apa-apa.""syukurlah," ia tersenyum, melirik harry di belakang jo. "i'm anne, harry's mother. kau pasti teman perempuan harry, ya?"

"y-ya..." jo tidak tahu mengapa tiba-tiba ia merasa kikuk.

"siapa namamu, sayang, dan mengapa kau membawa nampan?" anne mengalihkan pandangannya pada harry dan menggeleng heran. "kemana sopan santunmu?" kata anne, menepuk pundak harry yang hanya memberikan cengiran lebar. "jean???"

jo menoleh pada harry yang sudah menoleh padanya. "ibuku." kata harry yang hanya dibalas anggukkan oleh jo.

"jean—tolong antarkan nampan yang ada di tangan gadis manis itu ke atas—ke kamar harry. lalu setelah itu tolong ambilkan belanjaan di depan rumah dan bawa kemari." perintah anne pada jean yang baru saja memasuki ruangan. jean mengangguk, lalu mengambil nampan dari tangan jo. "now, what's your name, love?"

"jo, namaku jo," jawab jo, melirik tangan anne yang melingkar di bahunya sembari keduanya berjalan menuju tangga, begitu juga harry yang mengekor di belakang. jari-jarinya dipenuhi cincin-cincin yang jo tebak pasti mahal, lalu rambutnya yang panjang menjuntai ke belakang, serta wajahnya yang sudah menunjukkan keriput—namun tetap terlihat cantik.

"apa kau dijemput mr. heidi?" tanya anne.

"ya, dia baik sekali."

anne tertawa pelan, menaiki tangga bersama jo. "he is. ia sudah seperti anak muda, senangnya bergaul dengan harry dan teman-temannya. apalagi kalau sudah berkumpul malam seperti kemarin."

jo melirik harry di belakang, tertawa kikuk karena bingung harus menjawab apa.

kini keduanya berjalan menuju pintu yang terbuka, namun terdapat nama harry di depannya. jadi, tentu saja ke kamar harry. terlihat jean keluar dari kamar harry, menunduk saat melewati anne, jo dan harry.

"selamat datang di kamar harry yang tidak pernah rapih," kata anne yang mana membuat harry memutar matanya. "semoga kau nyaman, ya. kalau harry macam-macam, cubit saja hidungnya. aku akan berada di dapur. harry, jangan jadi menyebalkan."

dan dengan itu, anne melempar senyum pada jo dan meninggalkan keduanya di sana. jo menghela napas lega, karena untungnya anne tidak bertanya yang macam-macam seperti yang dilakukan mr. heidi.

"masuk."

harry memasuki kamar, lalu diikuti jo yang tidak menyetujui omongan anne barusan. menurutnya, kamar harry yang bernuansa hitam dan putih ini dapat dibilang rapih untuk ukuran anak laki-laki berusia 17 tahun sepertinya.

di sudut ruangan terdapat bola basket, gitar akustik dan skateboard. ah, jo baru teringat bahwa harry pernah menjadi anggota basket di sekolah, namun keluar karena ia terfitnah kasus yang menggemparkan sekolah. kasurnya, meskipun terdapat laptop yang tengah diisi baterainya beserta kabel-kabel yang tidak tahu apa fungsinya, tetap terlihat rapih. selimutnya tidak ada karena dipakai harry, dan baju-baju kotornya tertumpuk tidak rapih di keranjang dekat lemari—meskipun begitu, bajunya tidak berserakkan di mana-mana.

di dinding kamar harry terdapat sebuah bingkai foto cukup besar—di foto itu, ia dapat melihat harry, kedua orangtua harry, dan seorang perempuan cantik berambut pirang (yang sepertinya karena ia mengecat rambutnya). ini membuat jo mengakui kalau gene yang dimiliki keluarga carson kelewatan sempurnanya. maksudnya, pantas saja harry dan kakak perempuannya berparas seperti itu, anne dan suaminya pun sangat cantik dan tampan.

lalu di bawahnya, terdapat foto bersama teman-teman harry seperti matthew, cedric, natasha, emily, dan beberapa teman harry yang tidak jo kenali. lalu di sampingnya terdapat foto harry berada di paris, ia ingin terlihat sedang membawa menara eiffel.

jo tertawa kecil, lalu menoleh pada harry yang sedang memandanginya. "dasar pintar."

"i know," harry terkekeh, duduk di sofa di depan tv kamarnya. "jaketmu sudah kering, ada di lemariku."

"oke...?"

tangan harry bergerak menuangkan orange juice yang dibawakan tadi ke dalam gelas dengan susah payah, karena tubuhnya masih terbalut dengan selimut. jo memutar mata, kemudian duduk di samping harry dan mengambil alih jusnya. harry hanya nyengir.

"harry,"

"ya?" ia mengambil remot di balik bantal, lalu menyalakan tv di depan mereka.

"kau memberitahu teman-temanmu tentang kita, ya?" tanya jo, lalu meneguk sedikit minumannya.

harry sempat terdiam, tapi kemudian menoleh pada jo yang memandanginya. terlihat jelas cowok itu sedang menahan senyumnya. "tentang kita? memangnya kita kenapa?"

beberapa detik kemudian, jo menerjap dan membuang wajahnya dari harry karena baru menyadari kata-kata yang ia gunakan terlalu ambigu. ia bertambah sebal karena harry yang justru tertawa, membuatnya ingin sekali pergi dan menghilang begitu saja dari hadapannya karena malu.

saat tawanya mereda, harry berdeham. "maaf, maaf. memangnya kenapa?"

jo menghela napas dan menoleh. "natasha dan emily bertanya jika aku sedang dekat denganmu atau tidak. mereka bilang kau membicarakanmu di groupchat kalian. benar, ya?"

terlihat harry menerjap dan terlihat gelagapan. jo menatap harry, wajah pucatnya menjadi berwarna merah muda. "tidak, aku tidak membicarakanmu. tidak seperti itu."

"lantas?"

harry menghela napas. "matthew sempat melihat mobilku yang terparkir di bioskop, dan katanya ia melihat aku bersama seseorang—ia pikir itu kau, dan yang lain mulai ribut, jadi harus kukatakan bahwa yang bersamaku bukan kau, tapi orang lain."

mendengar itu, jo terdiam. ia benar, harry malu terlihat bersamanya, ya? tinggal jawab 'iya' saja, meskipun jo tidak mau mereka tahu kedekatannya dengan harry, jo pikir harry akan dengan mudahnya mengakuinya. jo melihat ke tv yang sedang menunjukkan channel disney, membuatnya kembali melihat harry dengan bingung.

"kau menonton film disney?" tanya jo tidak percaya, ia menahan tawanya.

harry memutar matanya. "tidak pernah terlalu tua untuk disney channel."

"ya, tapi acara-acara disney sudah tidak seru sekarang," jo menyandarkan punggungnya ke sofa. "aku lebih baik nonton the kissing booth daripada nonton channel ini."

lagi, harry memutar matanya dan jo rasa matanya akan copot sebentar lagi. "kau ini—the kissing booth itu film yang bagus dan menarik, oke? joey king terlihat manis meskipun karakternya sedikit menyebalkan jika aku adalah lee."

"it's cringey," ucap jo, mengejek harry.

"tidak."

"benar. aku lebih memilih to all the boys i've loved before," jo tersenyum memamerkan gigi-giginya. tubuhnya agak mundur saat harry mengubah duduknya jadi menghadap jo.

"kenapa begitu?"

"tidak tahu, maybe i can relate?"

harry memiringkan kepalanya dan jo berusaha keras untuk tidak mencubit pipi harry karena cowok itu manis sekali. "relate to who?"

"lara jean."

"apa, kau juga menulis surat untuk setiap cowok yang kau sukai dan tidak pernah memberinya?" tanya harry yang disusul tawanya yang renyah.

jo akan menjawab bahwa ia bisa relate dengan lara jean karena karakternya menulis surat, untuk cowok-cowok yang pernah disukai. namun bedanya, jo menulis cerita tentang cowok yang ia sukai; harry. dan jika ada yang berpikir cukup bodoh bahwa jo akan benar-benar menjawab seperti itu...

"tidak juga," jo nyengir. "aku hanya asal dan mencari alasan untuk mengatakan the kissing booth adalah film buatan netflix paling payah."

"ah, menyebalkan!" seru harry kemudian melempar bantal pada jo yang justru asyik tertawa.

harry akhirnya kembali mengambil remote, membuka netflix dan mencari film untuk ditonton, sementara jo sudah mengalihkan pandangannya ke balkon yang tidak tertutup.

terdapat kursi di sana. jo membayangkan, di sana lah harry duduk saat menelponnya beberapa hari lalu, memberinya lelucon yang sama sekali tidak lucu. jo mengangkat ujung bibirnya saat harry memanggil.

"menonton ulang stranger things season 3, episode 8?" harry memicingkan matanya, menantang jo.

jo ingat betul saat menonton episode terakhir, ia menangis dan bersedih dari malam ke pagi, ke malam hingga ke pagi lagi karena meninggalnya karakter hopper, serta surat yang diberikannya pada eleven karena gaya pacarannya dengan mike. namun dengan percaya diri, jo tersenyum miring dan mengangguk. "sure, why not?"