untuk ukuran seorang yang ambisius di sekolah, nilai 70 adalah nilai yang sangat merusak pemandangan mata.
sejak dibagikan nilai tugas literatur bahasa inggris sepuluh menit yang lalu, jossette dixie belum memalingkan wajahnya dari kertas dengan coretan nilai 70 di pojok kanan atas. ia bahkan tidak memperhatikan guru yang sedang berceramah panjang di depan kelas. raut wajahnya terlihat jelas bahwa ia khawatir, marah, bingung dan sedih. segala kemungkinan yang akan terjadi hanya karena nilai 70 ini langsung memenuhi kepala, membuat gadis yang dipanggil jo itu ketakutan setengah mati.
dari segala kemungkinan, ada satu yang membuatnya paling takut: terpaksa melepaskan beasiswa harvard yang sudah diberikan padanya saat ujian tengah semester lalu. ia sudah bekerja keras untuk itu, dan tidak mungkin ia harus kehilangan beasiswa tersebut hanya karena nilai 75 pada mata pelajaran bahasa inggris.
di antara semua temannya di kelas, yang mungkin paling mengerti keadaan jo hanya…
"mr. carson, apa ada sesuatu yang lebih menarik dari pelajaranku sore ini?" suara mrs. anderson mengejutkan lamunan harry tentang gadis yang duduk di sebelahnya. dilihatnya harry terkejut, lalu pura-pura kembali membaca buku tulisnya. mrs. anderson kemudian memalingkan wajahnya pada jo, membuat murid-murid yang tadinya memandangi harry, kini memandangi jo. wanita itu menghela napas. "miss dixie?"
yang dipanggil hanya diam, masih belum menyadari suara guru yang memanggilnya.
"miss dixie, kau mendengarku?" tanya mrs. anderson, masih memiliki kesabaran.
harry melirik jo, yang nyatanya masih berkutat dengan kertas ujiannya. harry yakin kini satu kelas langsung tahu kalau jo sedang memandangi hasil ujian bahasa inggris yang diberikan mrs. anderson, dan mereka menyadari ada sesuatu yang salah.
mrs. anderson menghela napas kasar. "miss dixie."
lagi, jo masih tidak merespon panggilan mrs. anderson, yang mana harry mengutuknya untuk itu, karena ia tidak ingin gadis itu dihukum. jika jo dihukum, kemungkinannya untuk mendapat nilai perbaikan bisa jadi kecil.
mendengus, harry mengambil penghapus dari laci dan melemparnya tepat ke kepala jo. gadis itu memekik pelan, lalu menoleh ke harry dan melotot.
"the hell, harry?" katanya pelan sebal dan masih belum menyadari situasi hingga beberapa detik kemudian. ia menyapu pandangannya ke seluruh kelas. betapa terkejutnya jo saat menyadari ia sedang menjadi pusat perhatian, yang mana ia membencinya. dapat terlihat jelas wajahnya langsung pucat pasi, dan napasnya sedikit tercekat karena tatapan-tatapan mengerikan dari seluruh teman sekelasnya.
"worrying about your exam score, i see."
mendengar suara itu, jo buru-buru menghadap depan. jo terkejut bukan main saat mendapati mrs. anderson sedang berdiri di depan mejanya, memandanginya dengan tatapan yang jo tidak mengerti apa itu. "mrs. anderson, aku—"
mrs. anderson menghela napas. "temui aku seusai kelas, dan hingga saat itu, perhatikan kelasku jika kau menginginkan harvard." itulah kata-katanya sebelum akhirnya kembali ke depan kelas dan mengajar.
jo menghela napas lega. ia tidak tahu sudah seberapa banyak yang ia lewatkan sejak melamunkan nasib yang akan mendatanginya jika seandainya ia benar-benar gagal. tidak hanya ia kehilangan harvard, namun ia juga kehilangan kesempatannya untuk bertemu sang ayah di amerika.
delapan detik berikutnya, harry sudah menemukan jo kembali fokus pada pelajaran mrs. anderson di depan.
***
bel pulang sudah berbunyi tiga menit lalu, dan jo masih berdiri di hadapan mrs. anderson yang sedang menjelaskan kesalahan yang ia lakukan pada ujiannya. well, untungnya mrs. anderson memberikannya kesempatan untuk memperbaiki nilai ujian yang nyatanya belum dimasukan ke dalam rapor nilai.
jo memperhatikan mrs. anderson dengan saksama, tidak ingin lagi mengulangi kesalahan yang sama.
"baiklah. kau sudah mengerti maksudku?" enam menit kemudian, ia telah selesai menjelaskan pada jo letak kesalahannya. "aku sangat menyukai caramu menulis—caramu menggunakan kata-kata dan menyusunnya dengan baik. tapi tak ada perasaan yang tersentuh dalam diriku, dan aku sangat memperhatikan itu, jo."
jo terdiam untuk beberapa saat. "ya, aku mengerti."
dalam hati, jo mengutuk. jika sudah begini, memang bukan grammar atau tulisannya yang salah; dirinya yang salah.
"kau bisa membuat ulang essay ini, atau kembali dengan sebuah ide baru yang lebih brilian—yang lebih menggambarkan dirimu," mrs. anderson tersenyum. "tapi menurutku, mungkin cerita tentang penjelajahan bukan untukmu. mungkin kau bisa mencoba tema romansa?"
apa? romansa katanya?
"mengapa romansa?" alisnya saling bertautan. bagaimana tema percintaan menggambarkan seorang jossette dixie?
"so you can try something new,"
"kupikir kau ingin aku menulis sesuatu yang menggambarkan diriku?"
"ya," mrs. anderson mengangguk kecil. "dan mencoba sesuatu yang baru bukan hal yang salah, kan? aku hanya memberi saran, miss dixie. aku sedang membantumu untuk mendapatkan beasiswa yang sangat kau inginkan."
harvard.
kemudian mrs. anderson memberikan saran film-film atau novel romansa yang dapat jo tonton atau baca untuk mendapatkan inspirasi. mereka seperti titanic, the notebook, the fault in our stars, dan lain-lainnya. mendengar nama judulnya saja sudah membuat jo bosan, bagaimana saat membacanya?
pukul setengah lima, jo sudah keluar dari kelas dan sedang melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. ia baru akan menggunakan maskernya saat seseorang yang ia kenal suaranya memanggil.
"jo, tunggu aku!"
jo menghentikan langkahnya, berbalik badan untuk mendapati harry sedang berlari-lari ke arahnya. ia mendengus. "apa maumu?" tanyanya setelah harry sampai di hadapannya.
"aku menunggumu keluar kelas," balasnya sembari mengontrol napasnya.
"apa? kenapa kau melakukannya?"
"karena," harry menghela napas panjang dan menegapkan tubuhnya. "aku tahu kau akan meminta perbaikan nilai pada mrs. anderson."
jo mengerutkan keningnya, heran. "bagaimana kau tahu? itu bahkan bukan urusanmu."
"oh, poor jo." harry justru terkekeh, lalu meletakkan tangannya di pundak jo seolah keduanya berteman. jo menerjap dan cepat-cepat menepis tangan harry. "jo, kau dikenal sebagai murid paling ambisius di sekolah ini, dan jika melihatmu murung karena sebuah nilai—menurutmu apa yang mereka pikirkan, kau sedang patah hati?"
oh, dia membicarakan kejadian memalukan di kelas tadi. jo bahkan baru ingat bahwa harry lah yang menyadarkannya dari lamunan yang nyaris membuatnya frustasi.
"lalu apa pedulimu?" jo tetap tidak acuh.
"mrs. anderson menyuruhmu melakukan apa?" tanya harry.
"sungguh, harry," jo tergelak. "ini bukan urusanmu."
"oh, ayolah. aku hanya ingin membantu."
"tidak perlu. aku bisa sendiri."
"jo."
"apa?"
"biarkan aku membantu, oke?"
jo mendengus kesal. "kau tidak ada kerjaan seperti membantu teman-teman populermu membuat dekorasi prom?"
"tidak." jawab harry cepat.
"kalau begitu kau harus membantu mereka." jo memandangi harry dari atas hingga ke bawah, heran mengapa pula cowok ini bersikeras untuk membantu. mereka bahkan tidak berteman dan hanya pernah dua kali kerja kelompok di kelas bahasa inggris dan kimia, yang artinya niat harry sangat pantas untuk jo curigai.
tidak ada jawaban dari harry, maka jo melihat itu sebagai harry yang sedang mempertimbangkan sarannya. jo tersenyum kecut, kemudian berbalik badan dan melangkahkan kaki meninggalkan harry di belakang sana.
"jo!" astaga, ia tidak menyerah juga.
bagaimana pun juga, tidak sedikit pun dalam diri jo ingin menerima bantuan harry. jadi ia tetap melangkah menjauh.
"jo! jossette!"
oh, oh. apa harry baru saja memanggilnya dengan nama panjangnya?
langkah jo terhenti dan ia menolehkan kepalanya ke belakang, menemukan harry masih berdiri di tempatnya sambil terus memandanginya. sial, dia tidak bisa tinggalkan aku sendiri saja, ya? jo mendengus, mengangkat tangannya dan tanpa ragu, melemparkan jari tengah dan sebuah senyuman pada harry.
"go to hell, harry."