Chereads / (how) to be in love / Chapter 2 - Chapter 1

Chapter 2 - Chapter 1

waktu yang diberikan mrs. anderson untuk membuat tulisan perbaikan nilainya hanya sebulan, yang mana harus ia gunakan sebaik-baiknya karena tepat setelah sebulan, sekolah akan mengadakan prom night yang tidak akan dihadirinya. setelah prom night, akan ujian akhir. namun sebelum prom night adalah waktunya guru-guru memasukan nilai ke dalam rapor dan pengambilan beasiswa ke harvard university di amerika.

dan jo harus berhasil. harus.

"makan malam sambil membaca buku adalah hal terakhir yang aku inginkan malam ini, jo. sungguh." mrs. dixie meletakkan satu porsi kentang tumbuk dan bakso besrta kuahnya di piring jo.

jo menerjap, segera menutup buku novel yang kemarin sore langsung ia beli di toko buku. "maaf." katanya, kemudian menyisip segelas air putih.

"sejak kapan kau membaca novel?" tanya mrs. dixie begitu menyadari anaknya membaca the fault in our stars.

"baru," jo memindahkan buku tersebut dari meja ke pahanya. "aku harus membacanya untuk mendapat inspirasi menulis."

"menulis? kau ingin menulis apa? romance?"

jo menghela napas memandangi ibunya yang kini tengah membantu adik kecilnya, marianne, makan malam. "ya, kurang lebih. mrs. anderson mengatakan mungkin aku harus mencoba sesuatu yang baru."

"bukankah itu bagus?"

"ya, mungkin."

mrs. dixie mengambil tisu, lalu membersihkan noda makanan di sekitar mulut marianne, baru kemudian menoleh lagi pada putri sulungnya—jossette dixie. ia tahu anaknya sangat mengincar harvard serta niat terselubungnya untuk bertemu sang ayah di amerika sana.

"bagaimana nilai-nilaimu?" tanya mrs. dixie santai, tanpa memberikan nada tekanan terhadap anaknya.

"baik." jawab jo singkat. wajahnya agak muram, sedih dan khawatir jadi satu. mrs. dixie paham bahwa jo tidak pandai berbohong. sadar mungkin menulis romansa adalah salah satu perbaikan nilai, mrs. dixie hanya mengangguk dan tersenyum.

***

setelah makan malam usai, jo kemudian mencoba kembali untuk membaca novel tersebut. namun entah kenapa, mungkin jo tidak dilahirkan untuk novel-novel romansa, ia tidak betah sekali membacanya. sudah tiga jam kemudian dan jo sudah melakukan banyak percobaan yang dilakukan agar ia setidaknya dapat membaca tiga halaman.

tapi sayang, ia selalu gagal.

sial. bagaimana jika ia seperti ini terus? film-film yang disarakan mrs. anderson, dan ia beli sendiri juga di toko, sangat membosankan. pada intinya, mereka tidak membantu dan mungkin jika tidak menulis romansa, jo akan menulis petualangan keliling luar angkasa.

"ah." ia mendengus, tidak tahu cerita romansa seperti apa yang akan ia jadikan sebuah tulisan. karena tentu saja, sebelumnya ia tidak pernah membayangkan hal ini terjadi hingga semua terkesan buru-buru, dan mengingat bahwa mrs. anderson sendiri yang memberinya saran untuk menulis romansa. jika guru itu sudah memberikan saran, maka sebaiknya diikuti karena bisa jadi menambah nilai perbaikan. tapi kalau seperti ini, bagaimana jadinya?

dan kemudian… sebuah nama muncul dalam benaknya.

harry.

ah! yang benar saja, jo terpikir untuk meminta bantuan harry untuk mengerjakan tugasnya. mau dikemana kan harga dirinya jika tetap meminta bantuan harry. jo bukan tipe yang enggan meminta bantuan, hanya saja ia sudah menolaknya mentah-mentah tadi sore.

jo menutup buku the fault in our stars tersebut, dan membaringkan tubuhnya di kasur. seandainya sang ayah tidak pindah ke amerika dengan alasan menghindari ibunya setelah bercerai, mungkin jo akan lebih memilih untuk melanjutkan kuliah di london saja. kenyataan berkata lain, jo tidak dapat melakukan apa-apa selain berdoa agar—

you got a new message.

jo menoleh ke meja tidur dan tangannya meraih ponselnya. dilihatnya nama 'harry' tertera di layar ponselnya. jo diam, hanya memandangi ponselnya sambil berpikir, bagaimana ia bisa menyimpan nomor harry? seingatnya, ia tidak pernah bertukar nomor dengan harry. jangankan bertukar nomor, mengobrol saja sangat jarang.

walau begitu, jo tetap membuka pesan dari harry. bunyinya seperti ini:

H - my offer stil stands.

jo mendengus, lalu mengetik balasan.

J - okay first thing's first. how did u get my number, and how the hell did i have ur number saved on my phone?

H - well u were really focus doing our science project last month so i took ur phone and saved my number and then i sent a text to my own number to get ur number deleted the text in ur phone hehe hope u're not mad

J - ??? u're weird. stop texting me

jo meletakkan ponselnya lagi di atas meja, lalu berbalik badan—memunggungi ponselnya, hanya untuk mengambilnya lagi lima detik kemudian karena harry sudah membalas pesannya.

H - jossette please im trying to help

J - go help someone somewhere and stop calling me jossette. we're not friends

langsung dibaca oleh harry, namun butuh beberapa menit sebelum harry akhirnya mengirim balasan.

H - then let me be ur friend

J - no

H - oh come on. u need my help for ur assignment becos as far as i know u've never been with a boy so i don't think u can write something u've never experienced before xoxo

jo menautkan alis. bagaimana harry tahu?

H - aku bertanya pada mrs. anderson tadi

J - u're a creep.

H - thanks but anyway do u accept the offer or?

kalau dipikir-pikir, jo memang membutuhkan seseorang untuk membantunya mengerjakan tugas bahasa inggris ini. terkutuklah jo karena tidak memiliki teman dekat di sekolah, sehingga ia benar-benar sendiri selama empat tahun bersekolah di everest school. dan kini, satu-satunya pilihan adalah menerima tawaran harry yang ingin membantunya.

berat juga rasanya mengetik huruf y dan a untuk harry.

J - ya, fine. how r u gonna help though?

tidak ada dua menit kemudian, ponsel jo sudah berbunyi dan menunjukkan nama harry di layarnya. jo mendengus, ingin yang semacam ini cepat-cepat berlalu.

saat mengangkat, jo tidak mengatakan apapun. di seberang sana terdengar suara grasak-grusuk yang jo tebak; harry berada di dapur dan entah apa yang dilakukannya di sana. mendengus, jo berdeham.

"eh, sudah diangkat, ya?" suara harry terdengar bodoh di telinganya, jo mengernyit jijik saat mendengar suara harry menelan makanan dan menghabiskan minumnya.

"baru saja ingin kumatikan," balas jo.

"oh, astaga. maafkan aku, aku tidak sadar," harry terkekeh, dan masih terdengar suara grasak-grusuk serta suara pintu yang terdengar agak dibanting. "jadi, bagaimana?"

"tidakkah kita terbalik? bagaimana kau akan membantuku?" tanya jo to the point.

"well, kau disarankan untuk menulis romance namun kau sendiri belum pernah bersama seseorang—setidaknya itu yang kutahu." jawaban harry membuat jo menghela napas panjang. entah cowok itu mengejeknya atau bagaimana.

"ya."

"nah, maksudku, bagaimana kau menulis romance sementara kau saja belum mengalaminya?"

jo benci mengakui, namun harry benar. "ya." dan jo dapat merasakan percaya diri harry yang melonjak.

"baik. kalau begiu, aku akan membantumu menulis romance," kata harry yang kini sudah tidak terdengar main-main.

"bagaimana?" tanya jo, sebelum akhirnya melotot kaget dengan jawaban yang diberikan oleh harry.

"dengan menjadi pacarmu."

***

esok harinya, harry sampai di sekolah dengan perasaan gelisah. bagaimana tidak, semalam setelah memberitahu bagaimana ia akan membantu jo, telinganya langsung panas karena dimarahi habis-habisan oleh jo. ia ingat sekali bagaimana jo mengatakan bahwa ia tidak serius; hanya main-main dan tidak benar-benar ingin membantunya mengerjakan tugas, yang mana adalah salah besar!

harry sangat ingin membantu jo, ia sungguh-sungguh ingin membantu jo agar ia berhasil mendapatkan beasiswa ke harvard. ia tidak mengerti mengapa jo menganggapnya main-main, entah karena dirinya kurang meyakinkan atau caranya membantu tidak masuk akal. menurut harry, itu merupakan cara terbaik bagi jo yang belum pernah dekat dengan pria mana pun—setidaknya itu yang harry dapatkan dari memperhatikan jo selama beberapa bulan terakhir.

yah, memang terdengar menyeramkan. tapi apa yang bisa dilakukan seseorang ketika menyukai seseorang yang sebenarnya sedikit mengintimidasi saat mereka berinteraksi? ya, untuk harry, jo itu mengintimidasi. mengobrol dengan jo mengenai tugas saja membuatnya takut salah bicara, jadi bayangkan berapa besar rasa bersalahnya setelah membuat jo marah semalam.

kebetulan hari ini adalah hari kamis, dan mereka akan bertemu dalam satu kelas lagi. harry melangkahkan kakinya menuju kelas dengan agak terburu-buru, namun sebuah tangan menahannya hingga ia harus berbalik badan. ia menemukan natasha wills dan cedric van Douz—salah dua teman dekatnya.

"buru-buru sekali," dengus natasha saat harry sudah berhadapan dengannya. "kimia?"

harry mengangguk. "ya, aku buru-buru." katanya, melepaskan tangan natasha pelan.

"is it her?"

menautkan alis, harry menoleh pada cedric. "dia siapa?" mereka bertiga tahu kalau harry pura-pura bodoh, karena jelas-jelas semua teman dekat harry tahu bahwa cowok ini menyimpan rasa pada seorang jossette dixie.

"bodoh," cedric memutar matanya, dan mendapat respon dengusan harry. "kau tidak menyerah juga, ya?"

"ced, setidaknya dia berusaha untuk mengobrol dengannya," timpal natasha. ia kemudian tertawa mengejek harry, karena cowok itu selama ini hanya berani melihatnya dari jauh. harry kembali mendengus—moodnya sedang tidak baik untuk bercanda.

"ya, daripada kau menguntitnya terus, seram. siapa tahu kau bisa mengubahnya menjadi lebih menyenangkan, dude." cedric kemudian tertawa pelan, disusul oleh natasha yang menyetujui pendapat cedric.

harry diam, bibirnya menarik garis lurus pertanda ia sudah kesal. rasanya ingin sekali menyumpal mulut mereka dengan kertas. meskipun harry sedikit menyetujui hal tersebut, mereka tidak seharusnya mengejek jo seperti itu. menurut harry, setiap orang berperilaku tertentu karena suatu alasan. "kalian serius?"

mendengar harry tidak semangat, keduanya berhenti tertawa dan menoleh lagi pada harry. cedric menyentuh pundak harry yang mana tidak menyambut hal itu dengan baik. "hey, bukan salahku jika kau menyukai gadis yang terlalu serius dan—"

belum selesai cedric berbicara, harry langsung melenggang pergi meninggalkan keduanya yang kini terdiam, agak terkejut dengan sikap harry pagi ini. "wow," natasha bergumam, memandangi punggung harry yang semakin menjauh. "he must really like her, then."

harry terus melangkahkan kakinya menuju kelas kimia dengan wajah kesal, namun ia tak peduli meskipun mendapat tatapan bingung dan ragu untuk menyapa dari gadis-gadis yang biasa menyapanya di koridor. begitu ia hampir sampai di depan kelas, raut wajah harry langsung berubah penuh harapan saat ia menemukan jossette dixie yang baru saja memasuki kelas dengan wajah seriusnya.

ia masuk ke dalam kelas, melihat jo baru saja duduk di kursi saat mereka adalah partner lab. harry menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. tapi bukannya makin tenang, ia justru semakin berdebar. semoga ia tidak salah bicara kali ini.

"hey—"

"jangan bicara denganku." jo seolah tahu siapa yang menghampirinya, tiba-tiba membuka mulut. harry menerjap, untungnya kelas masih kosong pagi itu.

"jo, aku serius ingin membantumu," harry kemudian menempatkan dirinya untuk duduk di hadapan jo, yang berarti di meja depan jo.

jo, yang sedang berkutik dengan sebuah buku, menengadah dan melihat pada harry. "omong kosong. bantuan macam apa itu?" tanya jo. "kau mengejekku karena tidak pernah melihatku dengan pria??"

"apa? tidak," harry buru-buru mendekatkan kursinya, lalu menerjapkan mata karena jo memundurkan kursinya. "sudah kubilang, kan. kau butuh pengalaman nyata untuk bisa menulis romance."

dilihatnya jo mendengus kesal. ia mengangkat buku yang harry baru sadari adalah sebuah novel the fault in our stars dengan kemasan yang masih baru. dapat ditebak bahwa gadis itu baru membelinya. "aku punya buku ini, dan dua buku lainnya, serta empat film yang harus kutonton. jadi kupikir dengan membaca atau menonton sudah sangat cukup."

harry diam. ia bingung sekali bagaimana meyakinkan gadis di hadapannya bahwa ia ingin membantu agar tugasnya berhasil. gadis di hadapannya itu kini memandanginya, menunggu balasan harry yang pasti akan terdengar bodoh di telinganya.

"jo—"

tapi, nyatanya jo memotong kalimatnya. "lagipula apa maksudmu tiba-tiba ingin menolongku? apa yang kau inginkan dariku? harry," ia memasang raut wajah serius, yang mana sangat mengintimidasi harry sekarang. "kita tidak pernah mengobrol selain mengenai tugas kelompok, oke? yang satu ini adalah tugas individuku, jadi aku benar-benar tidak butuh bantuanmu—apalagi dengan caramu. apa-apaan? jadi pacarku? aku bahkan tidak bisa melihat niat dan tujuanmu membantuku."

ah, itu dia.

harry harusnya sudah dapat menebak apa yang menjadi keraguan jo dalam menerima bantuannya. menghela napas panjang, harry berusaha mati-matian membuang wajah gugupnya.

"dengar, aku tahu kalau kita tidak berteman, dan maka itu kau mencurigai niatku. tapi kau harus percaya padaku kalau niatku adalah tulus, dan kupikir kita harus menjadi teman—"

jo memotong omongannya lagi. "tidak—"

harry balas memotong. "—karena aku tidak seperti orang-orang yang mengajakmu berteman agar kau mengerjakan tugas mereka—aku ingin melihatmu mendapatkan beasiswa ke harvard."

harry tidak tahu dapat keberanian dari mana telah berani meninggikan suara pada jo. tidak sepenuhnya salah harry, karena gadis itu telah membuatnya gemas karena kerap menolak penawaran harry. namun walau begitu, ia langsung merasakan penyesalan yang menyelimutinya.

dilihatnya jo terdiam. ia seperti terkejut atas jawaban harry yang lantang barusan. harry tidak tahu apa yang jo pikirkan, gadis itu justru hanya diam dan memalingkan wajahnya.

"i don't know, jo," harry memulai lagi. "dari semua orang yang kutahu, hanya kau yang benar-benar serius mendapatkan mimpimu. bahkan teman-temanku yang kau sebut populer—mereka tidak sepertimu, dan kupikir aku tidak akan maju jika hanya berteman dengan mereka."

jo kembali memandangi harry. "tapi kau tidak mengenalku."

"kalau begitu biarkan aku mengenalmu." ia memandangi jo, tak sadar justru ia yang memohon-mohon agar dirinya dapat membantu jo—bukan sebaliknya. "tell me, why is this so important to you? why do you wanna go to harvard so bad? why don't you let anyone help you?"

"kau sudah tahu kenapa." balas jo. harry tahu kenapa gadis itu tidak membiarkan orang lain membantunya—mereka punya maksud tertentu.

"well i'm not them. i'm harry, i don't help people because i want something from them."

kini, keduanya terdiam.

tidak ada yang bersuara hingga lima menit ke depan. jo menunduk, terlihat larut dalam pikirannya sendiri yang mana membuat harry frustasi. ia tidak mengerti mengapa sulit bagi jo untuk menerima bantuan dan ajakan pertemanannya, tapi ia juga lebih tidak mengerti lagi mengapa ia bersikeras untuk membantu dan ingin menjadi teman jo.

dua menit berikutnya, sudah banyak murid-murid yang masuk ke dalam kelas, termasuk cedric yang duduk di sebelah harry, dan natasha yang duduk dengan emily, teman mereka yang lainnya.

"jadi…?" cedric bersuara pelan, menoleh pada harry yang daritadi hanya diam.

"jadi apanya?"

cedric mendengus. "apa dia mau kau bantu?"

"ti—"

"harry."

harry menerjapkan mata, lalu menoleh ke belakang bersamaan dengan cedric. dilihatnya jo memandanginya dengan raut wajah yang sulit ia artikan. "ya?"

"4 pm, after school," kata jo pelan. "is that okay?"