Chereads / (how) to be in love / Chapter 5 - Chapter 4

Chapter 5 - Chapter 4

tadi pagi-pagi sekali jo mendapat pesan dari harry, isinya mengatakan keduanya harus bertemu pada jam istirahat kedua di kantin. jo hanya mengiyakan ajakan harry, tanpa berpikir panjang mengenai konsekuensi yang akan ia terima nantinya-saat ini.

jo mengutuk dirinya sendiri karena tidak menolak saran harry, karena kini ia berdiri di depan pintu kantin, tidak berani ke dalam meskipun sudah melihat harry bersama teman-temannya. mereka sedang makan siang sembari tertawa-tawa, terlihat asyik hingga jo rasanya tidak ingin menganggu mereka dengan kehadiran cewek ambis sepertinya.

tidak peduli dengan apa yang orang katakan tentangnya bukan berarti jo tidak tahu apa saja yang mereka katakan. ia tahu dirinya dicap sebagai cewek serius yang kerjanya hanya belajar, belajar dan belajar tanpa ingin bersenang-senang, bahkan punya teman saja tidak. itulah mengapa beberapa hari lalu, harry langsung dapat menebak apa yang sebenarnya terjadi pada ulangan bahasa inggrisnya. lagi-lagi jo bertanya mengapa harry mau berteman dengannya-padahal ia sudah mendapat teman-teman yang asyik seperti mereka. jo membayangkan jika ia tiba-tiba datang dan bergabung, ia hanya akan menghancurkannya dengan membuat suasana menjadi canggung.

menarik napas, jo menghembuskannya sambil memutuskan untuk tidak jadi menghampiri harry di kantin. ia melangkahkan kakinya menjauh dari kantin, lalu mengambil ponselnya di kantung dan membuka pesan harry.

J - can't come. sorry.

baru saja hendak memasukkan ponselnya kembali ke kantung, harry ternyata langsung membalas pesannya.

H - kenapa?

J - i'm sick. maybe another time.

dengan itu, jo mematikan mobile data ponselnya, lalu menyimpan ponsel di kantungnya dan kembali ke perpustakaan untuk belajar fisika.

sementara itu di kantin, harry diam saja membaca pesan terakhir dari jo. ia menggaruk tengkuknya heran, karena ia melihat dengan mata kepalanya sendiri tadi jo sedang berdiri di pintu kantin. lalu bagaimana ceritanya jo mengatakan bahwa ia sakit? ia mengetik balasan untuk jo, namun jo tidak lagi membaca pesannya.

"kupikir kita setuju untuk tidak memainkan ponsel jika sedang berkumpul?" suara natasha membuyarkan lamunan harry, cowok itu meliriknya dan menghela napas. "lho-hey! ingin ke mana?" tanya natasha, diikuti mata teman-temannya yang lain karena harry tiba-tiba berdiri dan hendak melangkah menjauh.

"toilet." katanya singkat, lalu melangkahkan kaki ke arah yang bukan ke toilet, melainkan pintu masuk kantin.

emily menautkan alis heran. "harry kenapa? apa kita melakukan kesalahan?"

matthew menghela napas, menoleh pada emily dan menggeleng. "sepertinya tentang jo."

"jo... jossette dixie?" ulang emily, lalu menutup mulutnya yang membentuk huruf o besar. cedric menebak bahwa emily baru tahu.

sampai di depan pintu kantin, harry menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk mencari batang hidung jo yang tak kunjung terlihat.

harry pikir mungkin ia harus mempercayai alasan jo bahwa ia sedang sakit, sehingga tidak bisa bertemunya di kantin. tapi bukankah tadi pagi ia menyetujui permintaannya bertemu di kantin pada istirahat kedua? lalu kenapa tiba-tiba seperti ini? apa jo tidak ingin bertemu harry? padahal jo juga berjanji akan membiarkan harry membaca tulisannya. mungkinkah jo berubah pikiran? tapi kenapa? apa ia akhirnya memutuskan bantuan harry tidak berguna?

harry memijat kepalanya sendiri karena pening. ia tidak mengerti mengapa ia jadi gelisah sekarang, bahkan orang-orang yang lewat memandanginya dengan heran. mereka yang menyapanya pun hanya harry pandang saja tanpa menyapanya balik. pikirannya bercabang, namun terpusat pada suatu titik: jo.

***

begitu bel pulang sekolah berbunyi, jo cepat-cepat membereskan perlengkapannya dan melesat menuju lobby sekolah. entah mengapa ia masih ingin sekali menghindari harry, pesan darinya pun hanya dibaca dari notifikasi-tidak dibuka sama sekali meskipun harry pasti sudah melihat tulisan 'delivered' di ponselnya. saat pergantian jam pelajaran pun, jo buru-buru pergi ke kelasnya berada agar tidak bertemu harry di lorong loker. begitu sampai di gerbang, jo pikir ia sudah cukup cepat karena meskipun ramai, ia tidak melihat harry dan teman-temannya di mana pun.

setelah melalui gerbang sekolah, jo melangkahkan kakinya menuju halte bus. jalanan cukup ramai saat itu, karena jam sudah menunjukkan pukul empat sore yang mana bersamaan dengan pulangnya karyawan kantor. bus-bus yang ia biasa gunakan terlihat lebih penuh dari biasanya, dan jo tidak bisa menaikinya, kira-kira sudah tiga bus yang lewat.

kalau seperti ini terus, bisa-bisa harry muncul dan menanyakannya banyak hal yang jo tidak ingin jawab sama sekali. rasanya memalukan sekali jika ia menjawab dirinya merasa minder di depan teman-teman harry, pasti harry akan berpikir macam-macam dan menganggap jo aneh. jo mendengus, hendak meraih ponsel untuk memesan uber saat sebuah mobil berhenti di depannya. jo menautkan alis heran, tapi kemudian menerjap kaget sesaat ia menyadari siapa pemilik mobil itu.

kacanya terbuka, menunjukkan sosok harry yang sedang memandanginya dengan mata memicing. "masuk." katanya membuat jo gugup seketika, namun tetap melakukan apa yang harry suruh. "kau baik-baik saja?" tanya harry setelah jo memasang sabuk pengaman dan mobil sudah melaju.

jo menoleh, memandangi harry dan mempelajari ekspresi wajah yang harry tunjukkan kali ini. matanya masih sedikit memicing seperti sebelumnya, nafasnya dapat dibilang tenang, namun bibir merah mudanya menarik garis lurus yang jo rasa harry sedang kesal. mungkinkah harry tahu ia berbohong? jo menghela napas, mengangguk sebelum akhirnya menghadap depan. "much better than before." jo merasakan jantungnya berdetak cepat setelah mengatakan kebohongan itu, karena nyatanya ia takut harry tahu dirinya berbohong.

tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut harry selama beberapa menit, dan sedikit menyiksa jo karena ia kini merasa terintimidasi oleh harry. wajahnya masih terlihat kesal-yang entah karena apa, namun tebakannya adalah harry tahu ia berbohong. jo menghela napas resah, menggigit kukunya menahan rasa gugupnya.

"sudah makan?" tanya harry tiba-tiba.

"belum."

"kenapa belum?"

jo menahan diri untuk tidak menoleh. "tidak lapar."

"kau ini bagaimana sih," pikirnya harry akan mengatakan ia tahu dirinya berbohong, namun yang dikatakan harry membuatnya menoleh bingung. "kalau sakit harusnya jangan telat makan!"

jo hanya diam melihat harry merungut seperti anak kecil. bibir merah mudanya yang semula menarik garis lurus, kini jadi maju beberapa centi. menggemaskan, maka dari itu jo menahan dirinya untuk tersenyum. "aku bilang aku sudah merasa lebih baik."

"tapi kau belum makan," ia menoleh. "tidak alergi seafood?"

"eh, tidak. kenapa?" tanya jo memiringkan kepalanya pada harry yang tidak menoleh padanya sama sekali.

"karena kita sedang menuju ke tempat makan seafood kesukaanku."

***

"aku tidak mau!"

jo sudah menghabiskan setengah jam menolak ajakan harry untuk makan bersamanya di restaurant seafood kesukaan harry. seandainya ia memang benar sakit tadi, kemungkinannya jo tidak akan menolak karena harry bermaksud baik-namun sayangnya ia berbohong dan ia merasa buruk untuk itu.

"ayolah, aku yang traktir." balas harry yang sedari tadi tetap santai meskipun jo merasa sudah berteriak padanya. satu alasan lagi bagi jo untuk merasa buruk terhadap harry.

"tidak perlu, harry. aku bisa makan di rumah," ucap jo merasa gemas sekali dengan harry yang terlihat tak acuh. ia bahkan sudah memasang wajah memelasnya agar dibiarkan pulang saja, namun harry tampaknya tidak peduli.

"pulang ke rumahmu membutuhkan waktu satu jam, jo. sementara tempat makan seafood kesukaanku sudah terlihat di depan," kata harry. jo menautkan alis sebal, ia mendengus. "lebih cepat makan, lebih baik."

"sudah kubilang, aku bisa pulang sendiri," timpal jo. ia sudah tidak tahu lagi bagaimana cara meyakinkan harry agar ia tidak perlu mengajaknya makan. terlebih lagi ditraktir, berapa banyak hutang yang harus ia balas nantinya? jo melihat harry yang benar-benar mengabaikannya, lantas berdecak. "harry." ada sedikit penekanan suaranya.

"ish, kalau pulang sendiri lalu terjadi apa-apa denganmu di jalan bagaimana?" harry balik bertanya yang mana membuat jo kesal karena percakapan ini sudah terulang berkali-kali, tapi harry gigih sekali. wajah jo memerah akibat kesal, lalu mendengus kasar.

"ck, apa pedulimu sih?!" teriak jo. "kalau aku sakit lalu tidak makan, apa pedulimu? kalau sesuatu terjadi padaku di jalan-apa pedulimu?!"

jo tidak tahu, tapi ia melihat perubahan wajah harry yang begitu jelas. dari harry yang tampak tidak peduli dan tetap melakukan apa yang menurutnya benar, ia menerjap dan tak lagi tersenyum miring. harry tampak sedikit lebih tegang, bahkan wajahnya memerah dan jo berani sumpah ia melihat tangan harry bergetar hebat sekarang, membuat jo langsung merasa tidak enak karena membentak harry.

mobil harry terjebak macet di satu lampu merah namun hanya butuh sekali putar balik untuk sampai di restaurant yang harry maksud. terjadi keheningan di antara keduanya, entah apa yang harry pikirkan, namun jo digelisahi rasa bersalah. sudah ia berbohong, lalu membentak harry dengan niat baiknya.

jo menghela napas panjang, berusaha membuang emosinya jauh-jauh dan menghadap harry untuk minta maaf. begitu ia bertemu dengan mata hijau harry yang begitu mengintimidasi, perasaan emosinya benar-benar berubah menjadi perasaan gugup. "harry, aku-"

"karena aku temanmu." kata harry, memotong kalimatnya. jo menautkan alis, memandangi harry dengan tidak yakin. cowok itu menoleh, "kau bertanya apa peduliku, karena aku temanmu." ia mengoreksi, lalu kembali menyetir lurus. "tapi ya sudah, aku mengantarmu pulang."

jo kembali terdiam.

hanya teman...ia tidak terlalu suka jawaban itu, entah mengapa. seperti ada rasa yang menginginkan jawaban lebih tentang kenapa harry peduli akan kesehatannya. jawaban 'teman' seperti tidak cukup, tidak menjawab. jo menggeleng kecil, menghapus pemikiran yang seharusnya tidak ia pikirkan, fokus pada rasa bersalahnya yang menyelimuti.

"harry, aku minta maaf..."

"tidak apa," jawabnya cepat.

"sungguh, aku tidak bermaksud meneriakimu seperti itu, aku minta maaf," jelas jo dengan perasaan tidak enak. ia memandangi harry yang fokus menyetir, sambil sesekali melirik spion mobil.

"tidak masalah," jawabnya lagi.

jo menggaruk tengkuknya, "kalau begitu-kita tetap makan saja."

"katamu ingin pulang?" crap, mengapa jadi sulit sekali membujuk harry? apakah cowok ini sedang merujuk? jo menerjap bingung, lalu memutar otaknya agar semuanya tetap baik-baik saja.

"ya, memang." jo menghela napas. "setelah makan-dan aku yang memilih tempat, serta tidak ditraktir."

jo diam saja menunggu reaksi harry. ia tidak tahu apa yang ia harapkan, namun tiba-tiba kecemasan yang lebih parah datang. bagaimana jika harry benar-benar marah? ia sakit hati karena bantuannya ditolak, lalu berpikir untuk apa membantu jo. bagaimana jika menurutnya membantu jo adalah hal paling sia-sia? yang lebih parah, bagaimana jika harry memutuskan tidak ingin lagi menjadi temannya?

lalu... menjauh dari jo.

selanjutnya, jo bersyukur sekali melihat bahu harry yang turun. dilihatnya harry menoleh padanya sebentar, "oke, baiklah."

jo menerjap dengan mata berbinar, mendadak hatinya senang lagi setelah mendengar dua kata yang keluar dari mulut harry. "sungguh?? aku dimaafkan??" tanya jo, yang mendapat anggukkan dari harry. menghadap depan, jo melempar wajahnya ke luar jendela, mendapati dirinya tersenyum namun memutuskan untuk menutupinya dari harry.

"ya, josie."

lima menit berikutnya, jo dan harry sampai di sebuah restaurant kecil china bernama xi'an impression london. agak sulit mencari parkir karena di pinggir jalan, namun harry mengakali hingga akhirnya mereka berdua dapat turun.

"kau suka chinese food?" tanya harry saat keduanya sedang mengantri untuk memesan.

"ya, ibuku suka membelinya di sini setelah pulang bekerja," sahut jo sambil menoleh pada harry yang tengah memperhatikan tempat makan yang dapat dibilang sempit itu. harry adalah orang kaya, maka jo menebak ia pasti selalu makan di tempat yang lebih nyaman, besar dan bersih. "tidak pernah makan di tempat seperti ini?"

"tidak," harry menggeleng. "ibuku selalu lebih memilih take away jika tempat makannya kecil seperti ini." jo sadar harry telah mengecilkan suaranya, takut si penjual mendengar apa yang ia katakan dan merasa tersinggung.

tiba-tiba terlintas dalam pikiran jo, bagaimana kalau harry tidak nyaman? jo memang tidak menemukan sirat wajah tak nyaman pada harry, tapi siapa tahu harry memang pintar menyembunyikan sesuatu. "kalau begitu...mau take away dan makan di jalan saja?" tanya jo.

harry menoleh, "kenapa begitu?"

"kalau kau merasa tidak nyaman karena tidak biasa?" jawaban jo lebih terdengar seperti pertanyaan, dan ia sadar akan hal itu.

"tidak apa," cowok itu menggeleng. "lagipula aku tidak bisa makan sambil menyetir, atau kau mau menyuapiku?"

jo menerjap mendengar kalimat yang dilontarkan harry, ia menoleh untuk mendapati harry sedang melemparkan cengiran bodoh nan menggemaskannya. bagus sekali, jo merasakan pipinya memanas. "tidak."

yang ditolak hanya tertawa pelan, lalu maju untuk memesan makanan. jo memesan sweet sour pork ribs, sementara harry memesan beef slices with special sauce. tadinya mereka hendak makan di kursi luar, tapi kemudian seseorang baru akan meninggalkan tempat paling pojok-maka di sana lah harry dan jo duduk.

"wow," harry menggumam, namun jo tetap dapat mendengarnya.

"kenapa?" tanya jo setelah menelan makanannya.

"makanannya lebih enak makan di sini," jo mengernyit jijik saat melihat harry berbincang sambil mengunyah. "kenapa dengan wajahmu?"

"jangan mengunyah sambil berbicara. menjijikkan." jawabnya singkat.

cowok itu tersenyum bodoh setelah menelan makanannya. "maaf," ucapnya pelan. "kau janji sesuatu padaku, ingat?"

jo melirik harry, lalu mengangguk. "ada di tas." tangan jo meraih tas yang ada di kakinya, lalu mengambil laptop kecil miliknya. ia membuka folder khusus menulis, lalu membukanya dan memberikannya pada harry. "baca saja."

sambil menyantap makanannya, harry membaca tulisan jo dengan saksama. jo mungkin kini terlihat biasa saja, bahkan cuek, namun dalam hatinya berharap cemas atas reaksi harry. jo berhasil mengetik 800 kata dalam kurun waktu cepat, membacanya ulang sebanyak tiga kali dan melakukan sekali revisi. namun entah kenapa ia takut harry tidak menyukainya.

jo mengunyah makanannya pelan, sesekali mencuri pandang wajah harry yang kini menarik senyuman kecil di bibirnya.

"apa maksudnya?" tanya jo tiba-tiba.

harry melihat wajah jo di balik laptopnya, "apa?"

"senyummu." jo menelan ludah. "saat membaca tulisanku, maksudnya."

"oh," senyuman harry justru makin melebar, membuat jantung jo makin tidak karuan. "aku suka. masih chapter awal, namun cukup detail dan menarik. aku suka bagaimana pemeran utamanya menjelaskan bagaimana cowok yang ia temui. siapa inspirasimu?"

jo memutar matanya, yang kemudian disambut tawa harry. "aku suka bagaimana aku menulisnya, namun belum tentu itu yang akan aku lanjutkan. lihat saja nanti."

"will you give me an update?" tanya harry, mulai melanjutkan makannya lagi. nampak sekali untuk jo bahwa cowok di depannya ini sedang lapar.

"ya," jo menghabiskan makanannya dengan santai. "bagaimana dengan kencan selanjutnya?" tanya jo yang langsung ia sesali, karena tiba-tiba ia merasa dirinya yang paling bersemangat, padahal harry saja belum membahas itu sama sekali. jo meremas rok sekolahnya, dalam hati mengutuk diri sendiri.

"oh iya. bagaimana, kau ingin menentukan kencan selanjutnya?" harry berbalik tanya dengan mata yang menunjukkan rasa semangat. "aku punya daftar yang bisa kita kunjungi-jika kau mau. kalau kau punya ide, boleh-boleh saja."

jo terdiam.

sebenarnya, ia sendiri tidak memiliki ide tentang kencan kedua. maksudnya, ia tidak tahu tempat dan kegiatan apa yang harus dijadikan tempat berkencannya dengan harry. jo hanya ingin membahasnya saja, karena entah kenapa memikirkannya saja membuatnya senang dan berandai-andai, maka terlebih lagi saat membahasnya.

"aku... tidak tahu." jawabnya yang entah kenapa kelewat jujur. harry pasti sudah berpikir betapa bodohnya dia saat ini.

"baiklah," namun senyumannya membuat jo berpikir harry tidak sejahat itu untuk menganggapnya benar-benar bodoh. "bagaimana kalau menonton dan festival malam setelahnya?"

"kapan festival malam di london?"

harry menghabiskan minuman di tangannya, lalu memanyunkan bibir sambil mengingat-ingat kapan tanggal diadakannya festival malam. sementara jo berusaha keras untuk tidak kehilangan kontrol dirinya akibat harry yang terlalu menggemaskan.

"hari rabu. dan kebetulan film black widow sudah tayang di bioskop. bagaimana? sounds like a great plan for the second date?" tanya harry bersemangat.

jo ingin sekali mengatakan 'ya', namun itu akan terdengar seolah mereka benar-benar berkencan. ia tersenyum, lalu memicingkan mata. "our second fake date," jo seketika tidak suka mengoreksi kesalahan yang ia biasa lakukan saat belajar. "yes, that sounds great."

ia tidak tahu untuk alasan apa, namun senyum harry sedikit memudar sebelum akhirnya kembali tersenyum sumringah dan mengangguk.

jo menghela napas, menunduk melihat makanannya yang sudah hampir habis. pelan-pelan, ia menghabiskannya sambil mengingatkan otak dan hatinya agar sinkron, agar keduanya tetap berpendapat teguh bahwa harry hanya bersikap baik, jadi ia tidak boleh berharap lebih.

***