Chereads / (how) to be in love / Chapter 7 - Chapter 6

Chapter 7 - Chapter 6

"i have a late night conversation with the moon, he tells me about the sun, and i tell him about you." – s.l. gray.

jo sampai di rumah pukul sebelas kurang. mobil harry baru saja meninggalkan kediamannya beberapa detik lalu, untungnya tidak membangunkan mrs. dixie dan marianne. setelah mengunci pintu dan meneguk segelas air putih dingin, jo bergegas untuk mandi dan mengenakan baju tidur. satu jam sudah terlewatkan, namun matanya belum juga terpejam. ia kembali bangun, kemudian duduk di meja belajarnya dan memutuskan untuk melanjutkan ceritanya.

tapi apa daya, jo hanya bisa mendapat 100 kata karena matanya terus melirik ponsel yang tak kunjung berbunyi. menit demi menit berlalu, jo menggigit bibirnya karena nama yang ia inginkan tidak kunjung muncul di layar hitam tersebut.

ia termenung.

apa, menunggu harry memberinya kabar? ya. jo tersenyum kecut dengan pemikiran tersebut. untuk apa menunggu harry memberinya kabar? ia pikir siapa dirinya? ia hanya sekedar teman, dan kencan palsu yang mereka lakukan sudah selesai tepat saat jo melangkahkan kaki keluar dari mobil harry.

tapi aku menyukainya.

butuh beberapa saat bagi jo untuk mencerna hal tersebut, sebelum akhirnya ia menyumpahserapahi dirinya sendiri karena melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. menyukai harry.

jo merasakan sesak yang menyeruak dadanya. ia tidak boleh menyukai harry. apa-apaan itu? harry boleh jadi baik, memiliki rupa yang tampan dan menggemaskan, sikap yang baik seperti menghormati keputusan yang jo ambil, serta berhasil menembus dinding pertahanannya. namun kendati seperti itu, jo tidak boleh menyukai harry karena akan sangat sia-sia.

harusnya jo sadar dan bisa membatasi dirinya. lagipula apa-apaan itu? jo pernah mengobrol dengan liam, pria itu bercerita tentang bagaimana ia mengejar teresa hingga akhirnya dapat menikah, serta memiliki tiga gadis kembar. liam bilang, butuh beberapa bulan untuk teresa merasakan hal yang sama dengan liam, itu pun dengan perjuangan yang cukup panjang, dan usaha tidak pernah menghianati hasil. jadi, tidak mungkin secepat itu jo menyukai harry. dan bisa jadi apa yang dirasakannya hanya sementara karena ia kagum.

bertambah lagi alasan jo untuk tidak boleh menyukai harry, yang tadinya hanya dua alasan kini menjadi tiga. lagipula hanya akan melukai diri sendiri jika apa yang dirasakannya benar, karena—sekali lagi, jo menegaskan pada dirinya sendiri—ia tidak akan pernah bisa menggapai harry. ya, benar sekali. jo harus bisa menata hatinya.

jo mengusap wajah dengan kedua tangan dan menghela napas panjang. waktu menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas, daripada menghabiskan waktu uring-uringan, ia memutuskan untuk melanjutkan ceritanya.

lima belas menit pertama, jo rasanya lancar saja menulis apa yang ada di otaknya. tapi kemudian ponselnya berbunyi, dan nama harry tertera dengan anggunnya di layar.

ia membiarkan ponsel itu berdering beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya mengangkat karena tidak tahan. "halo?"

"hai, kenapa masih bangun?" jo memijat kening sementara hatinya berusaha keras untuk tidak teriak kesenangan karena harry menghubunginya. mungkin ia baru sampai rumah? hush, apa pedulimu.

"um," jo melihat pada layar laptopnya. "aku sedang menulis."

"apa aku mengganggu?"

"tidak. kenapa?" oh, sial. apa barusan nadanya terdengar ketus? jo menggeleng, ia tidak terdengar ketus...kan? lagipula kalau ketus memangnya kenapa? harry terintimidasi? salah sendiri, kenapa menelpon pukul setengah satu pagi?

"jaketmu." katanya. "masih ada padaku."

***

harry mengutuk siapapun yang menghambur-hamburkan paku di tengah jalan dan membuatnya harus berhenti dan menghubungi supir keluarga agar menjemputnya, sementara membiarkan mobilnya diurus supir lainnya yang ikut. ia baru sampai rumah sekitar pukul setengah satu pagi dan langsung bergegas ke kamar untuk mandi karena tubuhnya basah kuyup akibat hujan. tapi kemudian ia baru menyadari bahwa jaket cokelat jo masih ia gunakan.

ia melepas jaketnya, lalu entah untuk alasan apa mencium aroma jaket yang ternyata masih terasa seperti jo meskipun sudah ia gunakan dan terkena air hujan. harry tersenyum, lalu meraih ponsel di kantung celana dan hendak menekan pilihan call ke nomor jo. tapi kemudian ia teringat bagaimana jo hanya menanggapi obrolannya dengan seadanya saja—sisanya hanya jo menatap keluar jendela.

"shit, did i make her uncomfortable..?" tanya harry pada dirinya sendiri. ia ingat jo hanya tersenyum simpul dan keluar dari mobilnya dengan gontai.

oh, tidak. harry menjatuhkan tubuhnya di kasur. apa jangan-jangan ia sudah membuatnya tidak nyaman selama kencan tadi?

harry memang sudah mulai terbiasa dengan wajah jo yang mengintimidasi, karena mungkin itu hanya resting bitch face yang dimilikinya. namun harry sadar bahwa tetap ada saat-saat di mana ia takut melakukan kesalahan dan jo tidak menyukainya.

seperti tadi saat menonton. harry senang bukan main karena jo memperhatikannya sampai mau memberikannya jaket, tapi sebuah pikiran melintas... jangan-jangan ia meminjamkannya karena harry tidak berhenti menggenggam tangannya dan ia tidak nyaman? kemudian saat jo mengatakan ia melihat matthew di night market. harry sebenarnya ingin sekali untuk sekedar menyapa matthew bersama jo, tapi jo tampak seperti tidak nyaman sehingga akhirnya harry memilih untuk mengajaknya makan di mobil.

harry tentu tahu jo tidak ingin matthew, atau siapapun dari temannya mengetahui soal kencan palsu mereka, tapi menurutnya kalau pun mereka curiga, harry bisa mengatakan mereka hanya berteman dan itu bukalah suatu kebohongan. mereka berdua memang teman. harry dan jo adalah teman. harry menghela napas panjang memikirkan kata 'teman' dalam kalimat yang menyinggung dirinya dan jo. tapi jo tidak mengenal matthew, jadi mungkin sulit untuk jo mempercayai bahwa matthew tak akan membuat gossip di sekolah.

harry mengernyit ketika ia mengingat semi-deep talk pertama yang ia lakukan dengan jo tadi. perubahan wajah jo begitu signifikan. wajahnya yang semula memancarkan rasa senang dan semangat, berubah menjadi datar dan sendu saat harry mengatakan bahwa ada alasan personal tentang mengapa ia ingin pergi ke harvard.

tapi setidaknya harry jadi mengerti bahwa jo adalah orang yang sensitif. mungkin ia langsung teringat alasan tersebut dan... hal itu membuatnya sedih, sama seperti saat harry bertanya tentang ayahnya.

oh, astaga. bagaimana kalau keduanya berhubungan sehingga itu menjadi topik yang sangat sensitif bagi jo? dan ia telah membuatnya tidak nyaman.

menerjapkan mata, harry menggeleng cepat dan langsung menekan pilihan call kepada jo—sambil berharap jo masih terbangun.

satu detik...

lima detik...

tujuh detik...

"halo?"

jantung harry langsung berdegup kencang dan seolah brain freeze, ia malah terdiam untuk beberapa saat. untungnya jo tidak mematikan sambungannya. "hai, kenapa masih bangun?"

"um, aku sedang menulis." harry mengangkat alis.

"apa aku mengganggu?"

"tidak. kenapa?" nada bicaranya ketus sekali, harry akui ia agak takut sekarang. ditambah ia membayangkan betapa jutek wajah jo jika mengatakannya secara langsung.

"jaketmu," harry menelan ludahnya, gugup. "masih ada padaku."

ada jeda sebelum jo menjawab. "oh ya? kalau begitu simpan saja, hari kamis bisa kau kembalikan."

"ya, sepertinya akan kucuci dulu. terkena hujan," harry berujar seraya menatapi jaket jo.

"hujan? bagaimana bisa?"

"yaa...tadi ban mobilku bocor dan aku sudah mencari bengkel dekat sana tapi tidak ada satu pun," harry bangkit dari kasur, membuka pintu balkon dan menempatkan dirinya di bangku. "jadi... kehujanan."

"oh, begitu rupanya."

"sudah berapa banyak?" tanya harry, membiarkan angin malam bertiup ke arahnya.

"apanya—oh, tulisanku. hampir 2000 kata."

harry tersenyum. "cool. tidak sabar untuk membacanya," ia terkekeh. "idenya pasti lancar sekali, ya?" harry bisa merasakan jo yang memutar matanya.

"lumayan. sedikit stuck di beberapa bagian," dirasakannya suara jo yang mulai santai dan tidak ketus seperti sebelumnya. harry menghela napas lega. "kenapa belum tidur?"

"tidak bisa, lagipula aku berencana tidur seharian besok." ujar harry.

"oh."

"jo?"

"yes, harry?"

harry berdeham, kemudian mengatakan apa yang ingin diutarakannya pelan-pelan. "aku ingin minta maaf."

"kenapa minta maaf?" ia terdengar bingung di ujung sana. harry menghela napas.

"aku minta maaf jika aku menyakiti perasaanmu tadi," agak sedikit mengejutkan karena dirinya berhasil mengatakannya dengan lancar. "aku tidak bermaksud menyinggung karena—"

"kau berpikir aku tersinggung...?"

"ya, kira-kira seperti itu. karena setelahnya kau hanya diam saja, mengabaikanku berbicara dan lebih memilih untuk melamun sambil menatapi jalanan. kau baik-baik saja, kan?"

ia mendengar jo mendesah pelan. "aku baik-baik saja, harry. tidak perlu minta maaf, sepertinya aku yang terlalu sensitif—aku akan mencoba untuk lebih santai lagi lain kali."

"tidak ada yang salah dengan menjadi sensitif," harry bersender pada kursi, tangan satunya melipat di atas dada karena anginnya begitu dingin saat menembus kaus tipis yang dipakainya. "if it hurts you, it hurts you."

"tapi 'kan kau tidak sepenuhnya menebak," kata jo.

"memang."

"lalu?"

"lalu aku punya knock knock jokes!"

"oh no," harry membuat cengiran lebar ketika mendengar tawa jo melengking dari ujung sana. semoga ia tidak membangunkan orang rumah. "better be good."

harry berdeham, memasang wajah sombong yang dibuat-buat seolah jo akan melihatnya sekarang. "oke. knock knock?"

suara tawa jo terdengar begitu merdu. "who's there?"

"lil old lady," harry berusaha keras menahan tawanya.

"lil old lady who?"

"wow, jo, i didn't know you could yodel!" pekik harry kemudian mengeluarkan suara tawa yang melengking, ia bahkan nyaris tidak mendengar suara gerutu jo. "lagi, lagi!"

"fine, go on," kata jo sambil terkekeh.

"knock knock!"

"who's there?"

"no one,"

"no one who?"

harry hanya diam sambil memasang senyum kebanggaannya, membiarkan jo memikirkan sendiri maksud dari leluconnya yang payah itu.

"...harry? you there?" namun harry tetap diam, menahan tawanya. "kupikir kau seharusnya menjawab—oh." baru kemudian harry tertawa terbahak-bahak karena leluconnya sendiri. ia bahkan harus memegang perutnya karena itu. "you suck." kata jo, namun hanya membuat harry semakin kencang tertawa.

"aku punya jokes lainnya," harry berbicara setelah beberapa menit berusaha mengontrol tawanya.

terdengar jo yang menguap, namun kemudian ia mengatakan, "apa?"

"seekor babon pernah bertanya pada jerapah, 'why the long face?'. menurutmu kenapa ia bertanya demikian?" tanya harry.

jo terdiam sejenak, "karena ia sedang sedih?"

"bukan, karena babon itu mengira lehernya adalah wajahnya!" jawab harry kemudian kembali tertawa terbahak-bahak sendirian—sementara jo mungkin sedang terdiam dengan wajah datarnya, memikirkan keputusannya berteman dengan harry.

"you suck at jokes," namun pada akhirnya jo tertawa juga.

"i'm a master," harry berdeham setelah berhasil mengontrol suara tawanya. "kau bisa masukan itu di ceritamu."

"no, absolutely no," jo terkekeh.

melirik jam, kini sudah menunjukkan pukul satu lewat sepuluh dan harry sudah mulai kedinginan. tapi ia masih ingin mendengar suara jo. "hey, kau datang ke prom, kan?"

"tidak." perasaan harry saja atau jo menjawabnya dengan cepat.

"kenapa tidak?"

"tidak mau."

harry mengangkat alisnya. "atau karena tidak ada yang mengajakmu?" ia bisa merasakan jo memutar matanya, maka dari itu ia terkekeh pelan. "kalau aku mengajakmu bagaimana?"

bukannya menjawab, jo justru terbatuk berkali-kali. "sorry, you what?"

"yaa... bagaimana kalau aku mengajakmu ke prom?" ulang harry, mencoba mengabaikan jantungnya yang berdegup kencang. untuk sekali saja harry tidak menyesali perbuatan mulutnya yang suka tiba-tiba bersuara asal.

"um, tidak tahu."

"kenapa tidak tahu?" alis kirinya terangkat sebelah.

"sudah kubilang aku tidak mau pergi ke prom," jo menghela nafas. "tapi lihat saja nanti."

harry menyunggingkan senyum. "oke."

setelah itu tidak ada yang berbicara, namun harry dapat mendengar suara ketikan laptop jo yang berarti cewek itu sedang melanjutkan ceritanya sekarang. cerita tentangnya.

harry menerjap. lagi-lagi ia terlalu percaya diri. tidak boleh. kalau pun jo menulis tentangnya, belum tentu ia menyukainya. harry hanya memberinya pengalaman, bukan?

"jo?"

"ya?"

"i'm cold,"

"kenapa? kau sudah di rumah, kan?" nadanya terdengar begitu khawatir dan harry menyukainya.

"sudah."

"lalu?" tanya jo.

"aku belum mandi," harry memasang cengiran lebar. "maksudku, baru hendak mandi lalu aku sadar masih memakai jaketmu. jadi aku cepat-cepat menelponmu lalu kita mengobrol..."

jo mendengus. "kau ini habis kehujanan, harusnya langsung bergegas mandi air hangat agar tidak sakit. lagipula siapa suruh menelponku lebih dulu? tidak ada, aku juga tidak meminta."

mendengar itu, harry jadi terdiam. jo benar merasa tidak terganggu olehnya, kan? kendati merasa bersalah, harry tetap memaksakan tawa yang malah terdengar hambar. "iya, maaf. siapa tahu kau mencari jaketnya, jadi aku inisiatif mengabarimu."

"ya, ya. sekarang pukul satu, mandi sana." suara jo terdengar seperti ibunya. harry juga membayangkan kalau ibunya tahu ia baru saja hujan-hujanan dan belum mandi, bahkan mengeringkan tubuh di balkon kamar, pasti akan sangat marah.

"aku berencana mandi pukul empat pagi nanti, jadi setelahnya bisa langsung tidur seharian." ujar harry dengan santainya, sementara jo terdengar mendengus sebal.

"ya sudah, terserahmu saja."

"kau ingin tidur jam berapa?" harry berdiri setelah memastikan tubuhnya kering, kemudian masuk ke kamar dan menutup pintu balkon.

"jam tiga," namun harry justru mendengarnya menguap kecil. "aku memiliki ide dan rasanya sayang sekali kalau aku menunda. kau mengerti maksudku?"

"ya, aku mengerti."

harry meletakkan ponselnya di antara telinga dan bahu, lalu membuka celana dan menggantinya dengan boxer pendek di gantungan di balik pintu. "jo?" panggilnya karena hanya mendengar suara ketikkan di laptop.

"ya, harry?"

"telponnya jangan dimatikan, ya?" pinta harry seraya melangkahkan kaki keluar dari kamar. ia menoleh pada pintu kamar orangtuanya yang tertutup rapat, berharap mereka tidak bangun seraya berjalan menuju tangga.

"kenapa begitu?" tanya jo.

"aku mendadak ingin ramen," harry menuruni tangga. "temani aku memasak, ya? lalu temani aku makan, hanya ada suara ketik laptopmu juga tidak masalah. temani, ya? mau, kan?"

"bukannya tadi habis makan?"

"itu makan malam. ini sarapanku," harry terkekeh.

tidak ada jawaban, jo hanya tertawa pelan. harry meletakkan ponselnya di konter dapur, menekan loudspeaker dan mulai memasak ramen instan untuk dirinya.

jika ada kakaknya, gemma carson, biasanya perempuan itu akan tahu saat harry akan memasak sesuatu—dan kemudian ia akan turun untuk memasak juga. itu salah satu yang membuatnya merindukan gemma di rumah, ia bahkan sempat berpikir untuk mengikuti gemma ke australia setelah sekolah usai.

harry memotong bakso, sosis, dan sayur-sayuran sebagai pelengkap kecil ramennya. baru setelah itu dimasukkan ke dalam masakkan, dan dalam sepuluh menit ramen instannya sudah jadi. ia memindahkannya ke mangkuk, mengambil botol minum di kulkas dan meletakkannya di nampan.

"jo?" panggil harry setelah mengambil ponselnya. namun tidak ada suara yang terdengar, suara ketikan laptopnya juga tidak ada. "jo, kau masih bangun?" tanya harry.

tidak ada suara.

"jo?" panggil harry lagi.

harry hendak memanggil jo lagi, namun kemudian ia mendengar suara dengkuran halus yang membuatnya tersenyum kecil. jo pasti sudah tertidur di atas laptopnya. well, apa boleh buat. sudah setengah dua, harry yakin pasti jo kelelahan dan tidak mungkin ia membangunkannya.

"aight, good night, jo."

dengan itu, harry memutuskan sambungan telponnya dan menikmati sarapan ramen instannya di kamar.

***