Chapter 20 - Bab 20

Aku begitu khawatir dengan Jojo yang begitu banyak tingkah di tengah kami sedang berada di dalam keramaian, dengan susah payah aku mengendalikan anak itu dengan cara kugandeng supaya tangannya tidak memegang barang-barang yang di pajang di sana.

"Kak aku mau yang ini, beliin ya, yang ini aja." Katanya sambil menunjuk tepat pada ponsel Samsung galaxy s10, aku langsung menegurnya.

"Jangan sayang, kemahalan, buat kamu anak kecil yang android biasa aja yahh." Kataku, dan Tony menuju ke retail smartphone Oppo. Di sana kulihat rupanya Tony mempunyai  kenalan teman cowok, dia bernama Steven, dan pria itu nampak sepantaran dengan Tony, yang selaku pemilik retail ponsel tersebut.

Wajahnya putih, memakai kaca mata, dan anak itu sepeti orang keturunan China. Aku sempat diperkenalkan oleh Tony kepada pria muda tersebut, dan Steven rupanya teman akrab sekampus Tony dulu.

"Cantik ya Ton cewekmu." Katanya, dan kami sedikit berbincang kepada Steven perihal kabar dan hubungan kami berdua.

"Udah sejak kapan nih jadiannya?" Tanya Steven.

"Udah lama, cuman baru-baru ini aja diresmikan." Kata Tony sambil tersenyum, lantas Steven tertawa sadang.

"Oke deh, semoga bisa cepet-cepet nikah ya, ingat umur lo Ton." Singgung Steven.

"Itu sih gampang, lo sendiri sekarang gimana nih usahanya lancar dong pasti?" Tanya Tony.

"Enggak sih Ton, semenjak wabah covid gini agak sepi, yah disyukuri aja lah." Kata Steven, dan anak itu sedikit melirik kearahku. "Oh iya Mel, dulu ini pas waktu masih sekampus, Tony ini anaknya suka traktir makan lho, jadi kamu kalo udah jadian sama Tony enak tuh bisa ditraktir terus." Kata Steven. Lantas aku tersenyum sambil menatap Tony, dan merasa bahwa kukira Tony itu anaknya memang benar introvert, namun dia juga rupanya punya teman akrab yang masih tau betul tentang dirinya.

"Enggak sih kak, saat ini aku yang masakin buat dia, jadi kita udah gak usah beli-beli lagi, bahaya entar ada korona." Kataku.

"Pacarku ini pinter masak Stev, udah gak kerepotan lagi aku sekarang kalo soal makanan." Kata Tony.

"Bagus tuh, kalian berdua emang so sweet dah." Ucap Steven, dan dia sepintas juga melirik Jojo.

"Coba aku tebak, pasti mau cari smartphone buat dedek-nya ini yah?" Tanya Steven.

"Iya, ada yang bagus gak yah?" kata Tony,  lalu mereka berdua sedikit berbincang mengenai gadget dan seakan tak ingin berlama-lama di sini, Tony langsung menggendong Jojo untuk naik ke atas kursi dan dia tunjukkan kecanggihan Smartphone tersebut kepada Jojo, sungguh di mataku Tony terlihat seperti seorang ayah dari adikku. Apakah ini hanya kebetulan saja? Tapi perasaanku berkata seperti itu.

Kudengar Steven memberikan harga spesial khusus untuk Tony, dan tak lama itu Jojo sudah mendapatkan ponsel yang dia inginkan, kami kemudian berpamit kepada Steven dan dia berkata kepadaku kalau sering-sering mampir. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala.

"Temanmu tadi baik ya Ton?" kataku sembari kami berjalan menuju ke pintu keluar gedung ini.

"Temenku dulu memang anaknya baik-baik Mel." Kata Tony, dalam hatiku berkata, rupanya anak seperti Tony ini punya banyak teman baik juga.

"Jujur Ton, aku kagum sama kamu, aku pikir kamu itu anaknya introvert dan gak punya teman, ternyata dugaanku salah." Kataku, dan dia sejenak tersenyum.

"Itu bener sih Mel, temen-ku emang gak seberapa, tapi mereka sangat baik dan sudah seperti keluarga, kamu kalau bisa cari teman seperti itu, meskipun sedikit tapi mereka bisa berarti kepadamu, ketimbang punya teman banyak tapi gak saling mengerti." Kata Tony, dan itu seakan menampar diriku saat ini. Memang selama ini aku begitu menginginkan bisa punya banyak teman, bahkan aku sama sekali tidak pilih-pilih untuk menerima siapa saja yang mau menjadi temanku. Tapi semuanya itu mudah hilang hanya untuk sesaat saja. Bagiku selama ini hanya Eny dan Andy lah yang kuanggap teman yang sebenarnya.

"Kak Tony, ini berarti udah bisa aku pake ya Hp-nya?" tiba-tiba Tanya Jojo.

"Jangan dulu Jo, entar sampe rumah harus di charge dulu sampe 5 jam, baru deh udah bisa digunakan." Kata Tony.

"Oke deh, jadi gak sabar mau make." Katanya, lantas saat itu aku menatap Tony.

"Btw makasih ya Ton udah beliin Jojo Hp," kataku, "Jujur aku sediri gak tau nanti gantinya gimana." imbuhku, dan Tony seketika menatapku.

"Kenapa di ganti sih Mel? Udah gak usah bilang gitu. emang aku niatnya ingin beliin adik kamu kok, udah lah, lagian aku itu sayang sama Jojo, dan juga sama kamu." Katanya, lalu helai tangan kirinya merangkul pundakku, akupun melakukannya serupa dengan helai tangan kiriku yang tetap menggandeng Jojo.

"Kamu tau gak si Ton, kalau tadi pas aku liat kamu sama Jojo di sana itu aku teringat sama Almarhum ayah aku, Jadi aku ngerasa kalo kamu itu kayak ayahnya Jojo." Kataku, lalu Tony tertawa sedang.

"Kita Jalan-jalan sama bawa Jojo di sini itu kelihatan seperti satu keluarga kali ya?" ucap Tony. "Aku jadi ingin punya anak Mel." imbuh Tony, dan sejenak aku melepaskan helai rangkulannya di pundakku.

"Eitss, ya nikah dulu lah Ton." Kataku.

"Iya, iya, gak usah kaget gitu dong, kan cuman bercanda." Kata Tony.

"Jadi ini rencananya kita langsung pulang ke rumah nenek Nih?" kataku.

"Iya, habis itu aku langsung pulang ya Mel, badanku rasanya capek sekali mau istirahat." Katanya, dan aku mengangguk.

"Duh kasian, apa perlu aku pijitin juga?" tanyaku.

"Dimana kamu bisa pijitin aku?" Tanya Tony. "Di mobil?" imbuhnya, dan aku berpikir sejenak, sambil melirik Jojo.

"Pinginku sih gitu, tapi kita sekarang bawa Jojo, gak enak kalo kita pijit-pijitan pas ada dia satu mobil." kataku, dan Tony pun seketika tertawa lepas saat itu.

"Haha, yaudah deh gak usah Mel, aku istirahat aja di rumah, lain kali aja yah." Katanya.

"Iya deh." Balasku, sungguh percakapan yang konyol, tapi jujur, sebenarnya aku tidak ingin waktu moment ini berakhir. Entah kenapa berjalan dengannya, menelusuri waktu tiap hari dengan Tony merasa semua ini berjalan begitu cepat, aku seakan tak ingin mengakhirinya. Apakah ini adalah rasa sayang yang sesungguhnya? Jelas sudah pasti, lama-lama aku dengan pria ini sungguh tak bisa menghindar lagi.

Sesampai kami di mobil, Jojo dan aku langsung masuk ke dalam. Lalu Tony menyalakan mobil dan mulai keluar dari dalam gedung Wtc ini.

Pada saat perjalanan pulang, jalanan saat itu ternyata macet total. Memang jam-jam sore seperti ini ialah waktunya orang-orang untuk pulang dari pekerjaannya.

Pada perempatan lampu merah, kemacetan itu seakan tak bisa dikendalikan. Kami bertiga terperangkap di jalanan kurang lebih sekitar 30 menit. Jalanan ini nampak penuh sesak oleh pengendara mobil.

"Andai kita pakai motor, pasti udah sampe dari tadi." Kataku, Tony seketika menatapku.

"Sabar lah, bentar lagi juga udah lampu hijau." Kata Tony.

"Makanya dari dulu aku benci banget sama mobil, lihat aja jalanan penuh sesak sama mobil semua." Singgungku, dan Tony sejenak menghembuskan nafas panjang, hingga membuat diriku menatapnya.

"Yaudah deh maaf." Ules Tony sambil menatap kedepan, dan ekspresinya terlihat lesu.

"Kamu pasti capek banget ya Ton?" tanyaku, dan dia mengangguk. Sekilas diriku melihat kaca spion di depan mobilnya, dan aku melihat di kursi belakang kalau Jojo sedang tertidur.

"Ehh Ton, Jojo sedang tidur tuh." Kataku, lalu Tony menengok ke belakang, dan dia tersenyum.

"Dia pasti juga kecapekan, biarin aja Mel, entar kalo udah sampe kita bangunin." Katanya, dan diriku terdiam sejenak sambil menatapnya. Lampu merah ini masih terasa begitu lama, kemacetan total ini seakan tak bisa membuat ruang gerak bagi mobil untuk melaju, bahkan dalam kondisi lampu hijau pun, arah laju dari jalur lain di seberang sana juga ikut tak bisa jalan sama sekali. Itu sungguh membuatku kesal.

"Pasti ini sampe malem untuk bisa sampai di rumah nenekmu." Kata Tony sambil mendesah.

"Iya gak pa pa Ton, mau gimana lagi? kamu kalau merasa capek gimana kalo aku pijitin sekarang?" kataku, lantas Tony melirikku sejenak. Dan dia terlihat bimbang.

"Sebentar saja, kamu menghadap ke samping, biar aku pijat pundakmu." Kataku. dan Tony seakan menelan ludah dengan susah payah. Aku tau dia nampak grogi saat ini, bagiku dia begitu terlihat manis. Kemudian Tony pun menyampingkan badannya.

Dan kupegang pundaknya saat itu, seketika aku merasakan bentuk ototnya yang keras, kurasa aku perlu tenaga ekstra untuk memijatnya. Namun kurasa Tony menikmati pijatanku.

"Gak kerasa Mel!" kata Tony, dan aku menahan tawa, takut bila Jojo terbangun dari tidurnya.

"Pundakmu keras banget Ton." Gumamku. Lalu aku sejenak mengecek isi tas-ku, barang kali di dalam sana terdapat balsam dan minyak kayu putih, dan aku mendapatkan keduanya di sana.

"Aku punya balsam nih Ton." Kataku, dengan perlahan Tony langsung membuka kemejanya, dia ada di depanku, dan aku ada dibelakangnya. Seketika itu aku melihat ada luka lebam pada area pundaknya, hingga aku mengernyit merasa terkejut tentang luka itu.

"Ini abis kena apa?" tanyaku.

"Itu luka udah lama kok, gak usah dikhawatirkan." Katanya, dan perlahan diriku mengoleskan balsam ini ke area pundak Tony, dan mulai kupijat pundaknya sekeras tenaga yang kupunya. Lalu dia akhirnya merasakan kenyamanan itu.

Sebenarnya aku masih penasaran soal keberadaan luka lebam di pundak Tony ini, barang kali kalau luka tersebut masih ada lagi di sekitar area punggungnya, namun itu tertutupi oleh baju dalam Tony yang tak mungkin untuk kusuruh lepas juga.

"Udah Mel, segini aja udah cukup." Katanya sambil mendesah-desah. Lalu aku menghentikan pijatanku.

"Makasi yah, pundakku udah gak capek lagi kok, itu balsamnya panas banget." Katanya, aku sambil melirik Jojo kebelakang, dan dia masih tidur, dalam hatiku syukurlah.

"Ngomong-ngomong aku gak pernah lho Ton liat luka lebam separah itu, sampe membekas biru dan merah." Kataku, lalu Tony menghembuskan nafas panjang, merasakan panasnya balsam dan pijatanku.

"Gak usah dipikir, udah gak sakit lagi kok." Katanya.

"Kalau ada apa-apa, atau masalah apapun itu, kamu omongin ke aku yah?" kataku, jujur aku tak tega melihat orang yang kusayangi merasa terluka. Aku berani taruhan kalau luka lebam pada Tony itu pasti dari hasil permasalahan keluarganya.

Dulu yang kulihat pada hidung Tony tersebut, diungkapkan olehnya sebagai bentuk perlakuan dari ayah-nya. Padahal pada waktu kuobati dulu, dia masih merasa kesakitan dan agak merintih. Aku sampai tak habis pikir dan juga penasaran, seperti apa sih ayah Tony itu? Aku sejenak terdiam, begitu pula dengan Tony, jalanan ini masih macet total tak karuan.

"Yaudah pake lagi kemejanya." Kataku.

"Gini aja deh, balsamnya masih panas." Balasnya, sesekali aku menatap Jojo lewat kaca spion itu, dan dia masih tertidur.

"Adikmu gak bangun-bangun Mel." Katanya.

"Iya biarin aja," kataku, dan aku tak sengaja memegang kemeja Tony yang terkapar di sampingku, dan sejenak aku menyentuhnya, berharap kalau aku bisa mencuci baju-bajunya dan menyetrikanya supaya dia nampak lebih rapi. Tapi bayangan itu kusampingkan, aku hanya tak ingin terlihat terlalu berlebihan di hadapannya.

"Kamu kalau mau tidur, tidur saja Mel, entar kalo udah sampe aku bangunin." Katanya.

"Nggak ngantuk, jam segini bukan waktuku buat tiduran." Kataku.

"Kamu masih mikir soal lukaku yah?" Tanya Tony.

"Enggak,.." Jawabku.

"Kok diem aja? Tumben." Katanya.

"Luka itu udah lama banget kok, lagian juga sudah gak sakit lagi." Imbuh Tony. lalu aku sejenak menatapnya. Andaikan dia tau, kalau bentuk luka yang dia terima juga ikut serta melukaiku.

"Aku cuman gak habis pikir, seumur aku tinggal bersama keluargaku, ayah serta ibuku, mereka sama sekali tak pernah melakukan kekerasan terhadapku meskipun sebenci apapun itu mereka kepadaku." Kataku. Tony langsung menatapku.

"Bagus kalo gitu, aku ikut senang mendengarnya," katanya, Tony tersenyum simpul saat menatapku.

"Kamu pasti sering dilukai ya Ton? tapi kamu gak mau bicara dan gak mau berontak karena sikapmu yang pendiam itu." Kataku pada akhirnya, dan Tony sedikit merunduk.

"Tau dari mana kalau aku pendiam?" Tanya Tony.

"Aku bisa melihat dari mata sayumu itu, entah itu salah atau benar, aku hanya ingin mengatakan apa yang ingin kukatakan." Kataku. dan Tony sejenak memegang tanganku, spontan aku menatapnya.

"Aku gak bisa berontak begitu saja, yang bisa kulakukan hanya menunggu akan keputusan mereka, yang mungkin itu untuk kebaikanku juga." Katanya, dan aku mendesah.

"Orang tuamu egois." Ulesku. Tony diam saja, dan genggaman dari tangannya terasa begitu erat di tanganku.

"Gak tau kenapa kalau melihat ada luka di dirimu itu seperti ada luka di diriku juga," kataku, "dan ujungnya aku merasa gak tega." Imbuhku.

Sampai pada akhirnya Tony mendekatiku, memegang pipiku, dan seketika dia mengecup bibirku hingga bunyi klakson dari belakang mengagetkan kami bertiga.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 21..