Tony menatapku di saat diriku muncul menemuinya. Tepat diambang pintu aku berusaha untuk tersenyum selebar yang kubisa. Dia terlihat begitu tampan siang ini dengan menggunakan kemeja merah kotak-kotak dan jaket kulit berwarna coklat yang membuatnya nampak lebih gagah.
Aku kembali sejenak untuk mengambil tas selempang-ku di dalam kamar, dan di saat itu nenek langsung memergoki diriku.
"Lho mau kemana kamu Mel?" kata Nenek saat beliau ada di depan pintu masuk kamarku.
"Kebetulan sekali Nek, aku pamit bentar ya nek, mau pergi diajak Tony." kataku, lalu nenekku pun mengernyit.
"Emang mau pergi kemana? Jalan-jalan? Kan diluar ada korona Mel." Kata nenek. Lalu seketika suara salam dari Tony mulai terdengar.
"Assalamualaikum." Ucapnya, dan nenekku seketika berpaling menatap pintu masuk rumah dan melihat Tony berdiri di ambang pintu itu.
"Waalaikumsalam," balas nenek.
"Rupanya Tony, Silahkan masuk dulu Ton, ayo!" Imbuhnya sambil menghampiri Tony, dan dia pun salim kepada nenekku di ruang tamu itu. Aku pun juga ikut beralih ke sana, dan aku melihat Tante Anik juga ikut keluar dari kamarnya.
"Wah mas Tony cakep banget siang-siang gini, mau kemana?" sambut tante Anik.
"Begini Nek, tante, ini saya mau ajak Amel bentar untuk maen kerumah saya, sekiranya boleh ya?" Kata-nya, dan aku diam seribu bahasa karena merasa amat malu sekali. Jujur ini dibilang seperti pengalaman pertama dijemput pacar untuk diajak kencan dengan penampilan yang sudah dianggap totalitas seperti ini.
"Ohh, ya gak pa pa lah," kata tante Anik, dan seketika beliau melirikku.
"Lah ini dia kebetulan anaknya sudah siap." Ucap tante Anik sambil melihatiku dari atas kepala sampai bawah ujung kaki.
"Wuihh cantik banget kamu Mel?" katanya, dan nenek-ku pun tertawa atas reaksi tante Anik tersebut.
"Aduh, makasih lho tante." Balasku dengan amat malu.
"Yaudah kalau kalian mau berpergian, pokoknya pesen nenek hati-hati ya, jangan sampai ada di tempat-tempat yang ramai." Katanya, dan saat itu tante Anik mengernyit ketika melihat sepatu yang kupakai ini.
"Mel! Apa-apaan sepatu-mu itu?" katanya.
"Gak ada lagi selain yang ini tante." Balasku sambil menepis tatapannya yang tersenyum masam ke arahku.
Tante Anik begitu sensitif akan segala jenis penampilanku. Terlebih apabila aku memakai pakaian yang serba tebuka dan slimfit.
Ketika aku berpergian bersama Eny dan Andy di acara-acara ramai seperti nonton konser dan menghadiri sebuah event. Aku kerap membawa baju ganti agar aku bisa memakai pakaian yang aku inginkan tanpa harus berdebat dengan tante Anik.
"Bisa-bisanya kamu alasan Mel," Singgungnya, sebenarnya aku juga tidak menyukai heels, lagi pula penampilanku kali ini sopan dan tertutup. Aku diam saja dan gak mau cari ribut di saat-saat seperti ini. Lalu aku menuju kearah Tony dan salim kepada nenekku.
"Ehh kalo bisa entar pulangnya bawain nenek oleh-oleh dong Mel," ucap nenek, dan Tony tersenyum lebar mendengarnya.
"Baik Nek, entar Tony bawain spesial buat nenek dan tante Anik juga." Ucap Tony, dan ekspresi tante Anik nampak bahagia bukan main. Kami berdua pun akhirnya meninggalkan rumah nenek dan menuju ke mobil Tony. Tanganku melambai kearah mereka berdua selagi mobil Tony berjalan meninggalkan rumah itu.
Siang yang cerah dengan awan biru yang terik akan sinar matahari. Sungguh siang ini Tony terlihat sangat tampan bagiku. Tiada henti aku untuk tidak menepis tatapannya yang sesekali mencuri-curi pandangan ke diriku.
Dari tadi hingga sekarang senyum Tony nampak awet membekas di wajahnya. Dia pasti merasa bahagia hari ini.
"Emangnya beneran nih aku bakal kamu ajak ke rumah kamu?" tanyaku.
"Entar kamu juga tau sendiri." Katanya, dan Tony saat itu menyalakan radio sambil tangannya memutar toner, di sana rupanya ada lagu kesukaanku dulu.
"Stop, lagu ini aja Ton." Kataku, dan dia berhenti di lagu itu juga. Aku tersenyum saat lagu Joan Baez berjudul the night drove old Dixie down berputar. Aku seperti ditarik kembali di era tahun 90'an.
"Kamu suka lagu ini?" Tanya Tony.
"Hahahaa, suka banget. Emangnya kamu tau juga?" tanyaku sambil tertawa lantang.
"Tau lah." Katanya, aku tersenyum sambil menatap pemandangan kota siang ini. Jalanan lengang tanpa hambatan sama sekali. Lancar dan menenangkan, mungkin akibat wabah covid ini membuat banyak aktivitas sebagian orang menjadi terhenti. Tanda-tanda adanya kebijakan baru oleh pemerintah mungkin akan terasa bagi sebagian banyak orang.
Saat mobil ini hendak melaju menuju ke arah tol, aku memasangkan masker tepat di wajah Tony. Begitu pula dengan diriku. Aku tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan meskipun kami sekarang sedang berada di dalam mobil.
Sesampai kami di tujuan yang Tony maksud, aku melihat pada sekeliling jalanan ini nampak rindang oleh pepohonan. Kami telah menghabiskan waktu setidaknya satu setengah jam di dalam mobil untuk menuju ke kota Jombang. Di sana terdapat sebuah rumah dengan halaman yang sangat luas. Aku langsung menatap Tony.
"Rumah siapa itu Ton?" tanyaku.
"Ini rumah dinas papaku." Katanya, dan seketika aku mengernyit menatapnya.
"Apa? Jadi aku mau kamu pertemukan sama papamu?" tanyaku, dan Tony pun tersenyum.
"Iya Mel, pasti kamu penasaran kan sama papaku?" Tanya-nya. "Dia pasti juga menyukaimu kok Mel." Imbuh Tony, dan akhirnya mobil Tony sudah sampai tepat di depan rumah tersebut. Perasaanku mulai grogi saat mau menuruni mobil ini, dan kulihat di sekeliling rumah ini terasa begitu asri. Halaman rumah yang luas dengan rerumputan hijau membentang. Dari sini aku mencium bau tanah dan kayu bakar khas seperti aroma yang ada di pedesaan.
"Dah, yuk kita masuk." Kata Tony saat helai tangan kirinya menggandengku. Lalu kami berdua memasuki rumah tersebut, dan di sana sudah berdiri seorang pria dan wanita, sama-sama memakai setelan kemeja putih, mereka berdua sedang asyik bercengkrama sambil menyeruput secangkir minuman.
"Tony, jagoan papa yang papa tunggu-tunggu sudah datang rupanya." Sambut pria tersebut, yang kurasa mungkin beliaulah papa-nya Tony. Saat beliau mendekat, kulihat wajahnya persis seperti yang ada di foto dulu, kalau beliau sangat mirip seperti Tony.
"Jadi ini si putri cantik yang namanya Amel itu?" Tanya papa Tony selagi beliau menghampiri kami, dan Tony mulai salim sama papa-nya, aku sampai malu dan tersenyum sedang.
"Iya Pa, yang selama ini Tony ceritakan ke Papa itu lho." Kata Tony, aku hanya bisa tersenyum, lalu juga salim ke tangan beliau.
"Wah wah wah, kamu bener-bener pinter ya Ton kalau milih perempuan. Papa lihat kamu sangat cantik sekali Mel hari ini." kata beliau, lantas aku mengangguk saja, ingin aku membalas pujiannya, tapi aku sangat merasa malu.
"Nama saya Anthony, panggil saja saya Papa, saya sangat senang melihatmu Mel, anggaplah saya ini papa-mu sendiri ya Mel?" Kata beliau, dan betapa senangnya aku mendengar nada suara kalemnya, persis seperti nada suara Tony.
"Baik Pa, Amel juga senang banget bisa diperkenalkan sama Papa." Kataku, dan seorang perempuan yang tadi berada di dekat papa Anthony mulai datang menghampiri, lantas aku mengernyit penasaran.
"Ini kenalin juga Mel, mama Merlyn," ucap beliau. "Emm, mama kedua Tony." Imbuhnya sambil sedikit tersenyum tipis. Kulihat wajah mama Merlyn nampak terlihat masih mudah, rambutnya tergerai rapi melintasi pundaknya, matanya lebar dan bibir yang sangat manis.
"Saya Amel bu." Kataku dengan amat kikuk saat salim ke tangan beliau.
"Cantik sekali kamu Mel, makanya Tony cerita terus soal kamu ke kita berdua." Katanya. aku tertawa sedang saat itu.
"Ayo masuk dulu ke dalam, kebetulan sekali mama buatin pen cake yang barusan matang pagi tadi, cobain yahh, mama buatin spesial buat kalian." Kata mama Merlyn. Kami berempat akhirnya masuk ke rumah dinas papa Anthony yang ukurannya sangat luas sekali bagiku.
Di dalam ruang tamunya terdapat foto-foto papa Anthony yang menggunakan seragam lengkap angkatan laut, beserta piala penghargaan dan symbol pangkat-pangkat beliau yang pastinya tidak kuketahui. Ayah Tony sepertinya seorang jendral yang memiliki jabatan tinggi, dan itu membuatku super grogi di hadapan mereka semua.
Aku dan Tony duduk di kursi sofa, sedangkan mama Merlyn mengambil kue-kue buatannya itu diatas meja. Papa Anthony datang sambil membawa minuman kaleng segar dari lemari es, dan kami semua berkumpul di sini.
"Gimana? sekarang kamu sudah tau kan Mel rumah papa?" Tanya papa Anthony.
"Iya, sepanjang perjalanan tadi Amel sudah mengamatinya kok pa." Kataku.
"Kalau ada waktu luang, maen-maen kesini aja Mel, anggap saja rumah ini kayak rumah sendiri." Kata mama Merlyn. Mereka berdua terlihat begitu mesra di mataku, entah apa alasan yang konkrit yang membuat mama Firly dan papa Anthony bercerai? Aku masih menganggap itu seperti suatu misteri.
"Iya Ma, Tony sama Amel nanti juga bakal sering-sering ke sini kok." Kata Tony.
"Oh-iya, Amel ini pinter masak ya?" kata papa Anthony.
"Gak pinter-pinter amat kok Pa, Cuma sekedar bisa aja." Jawabku kalem.
"Masakan apa aja Mel yang sering kamu buat?" Tanya mama Merlyn. Seketika Tony tersenyum menatapiku.
"Banyak si, yang sering itu kerengsengan, sup, penyetan, gitu-gitu ajah sih Ma." Jawabku, aku berusaha untuk bisa percaya diri di hadapan mereka.
"Ndah itu tuh yang papa suka, yaitu penyetan, pasti sambal buatanmu super pedas ya Mel?" Tanya Papa Anthony.
"Wuihh pedas banget pa, dijamin bikin nambah dua piring." Sahut Tony, papa Anthony tersenyum melihatiku.
"Yukk kapan-kapan ya kalau ke sini lagi, mama pingin masak bareng sama kamu Mel." Kata mama Merlyn, lantas aku mengangguk.
"Nanti nih ya kalau mereka masak bareng berdua, pastinya papa akan incipi masakanmu dulu Mel, papa yakin kalau masakanmu pasti yang paling enak." Kata papa Anthony, dan sejenak aku mencicipi kue pen cake buatan mama Merlyn tersebut.
"Ahh Papa bisa aja," ulesku, "Hmm ini pen cake nya juga enak kok pa." Kataku saat mengunyah kue tersebut.
"Habisin Mel kalau kamu suka." Kata mama Merlyn.
"Ehh entar bungkusin ya mah buat oleh-oleh nenek Amel di rumah, bilang aja yah mel, ini spesial bikinan mamaku untuk nenek sama tante Anik." Kata Tony, aku tersenyum bahagia mendengar usulan itu.
"Boleh, entar mama yang siapin semuanya yahh?"
Keluarga Tony sebenarnya begitu baik sekali di mataku, aku sendiri sampai tak habis pikir kalau Tony begitu akrab sama ayah dan juga mama tirinya. Aku merasa kehidupan Tony seakan nyaris sama sepertiku, dimana aku yang ditinggal mati oleh ayah kandungku, dan memiliki ayah tiri, sedang Tony orang tuanya bercerai dan memiliki ibu tiri.
Aku menjadi tau betul bagaimana perasaan Tony menjalani semua ini, hanya saja aku heran atas bentuk luka lebam yang ada di tubuh Tony. Kenapa itu bisa terjadi?
Saat waktu menunjuk pukul 11 siang, Tony dan ayahnya bermain voly di depan halaman rumah ini, dan kurasa mereka berdua memiliki hobby yang serupa. Aku melihat dari kejauhan sambil duduk di kursi teras rumah bersama mama Merlyn. Beliau ada di sampingku dan memberikan secangkir teh hangat untukku.
"Mereka sangat aktif sekali bukan?" kata mama Merlyn.
"Hm iya, dan mereka juga sangat mirip." Kataku.
"Kamu menjalani pacaran sama Tony sudah dapat berapa lama Mel?" Tanya mama Merlyn.
"Barusan kok Ma, mungkin sebulan." Kataku.
"Terus gimana? apa yang kamu rasain semenjak pacaran sama dia?" Tanya mama Merlyn, yang sejenak aku menatapnya.
"Hmm, ya saya merasa bahagia, sebab Tony anak yang baik, perhatian, dan juga peduli, meskipun dia anaknya agak pendiam dan ceroboh." Kataku, dan mama Merlyn tersenyum.
"Yah, kamu benar, dia meniru sifat dari ibunya." Kata mama Merlyn yang membuat diriku menatapnya.
"Emangnya mama Merlyn juga akrab sama mama Firly?" tanyaku sambil mengernyit.
"Iya Mel, dia orangnya baik kok, dan kamu tau? Bu Firly lah yang meminta perceraian itu, menganggap bahwa papa-mu tidak pernah punya waktu untuk bersama lagi." Kata mama Merlyn. "Mama juga tidak ingin berada dalam permasalahan mereka, tapi papa-mu mencintai mama, meskipun____" kata mama Merlyn yang tersendat-sendat.
"Meskipun apa ma?" tanyaku dengan rasa yang penasaran.
"Meskipun papa-mu itu sebenarnya alkoholik," ucapnya sambil menarik nafas dalam-dalam.
"Dia kecanduan alkohol dan obat-obatan, tak ada yang tau soal ini, tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya Mel?" Kata mama Merlyn. Dan sesuai dugaanku dulu, tentang luka-luka lebam yang terdapat di tubuh Tony itu. Apakah itu juga perbuatan dari ayahnya sendiri yang seperti itu? Entahlah, aku hanya bisa menatap keakraban mereka berdua dari teras rumah ini, dan kudengar dari sorak suara mereka bahwa Tony lah yang memenangkan permainan Voly itu bersama papa-nya.
"Baik Ma, Amel gak akan cerita ke siapa-siapa kok." Jawabku.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 23..