Senin, 9 Maret 2020.
Senin yang kubenci, senin yang penuh dengan kesibukan, semuanya memasang wajah serius ketika jam kerja di kantor-ku sudah dimulai. Kulihat wajah Pak Hamid nampak gusar di tengah situasi genting akan seriusnya wabah virus korna ini.
Saat itu badan kesehatan dunia WHO telah mengumumkan secara resmi bahwa virus korona telah menjadi pandemik darurat kesehatan internasional. Baru-baru ini berita juga meliput kalau jumlah khasus positif akan paparan virus korona di Indonesia berjumlah 19 orang. Akan tetapi di negeri China jumlah kasus infeksi Sars-Cov-2 sendiri telah menurun.
Hal tersebut seakan berbanding terbalik dengan Negara-negara di luar China yang dikabarkan saat itu ada 9 Negara yang mengumumkan kasus infeksi pertamanya.
Total keseluruhan khasus positif di seluruh dunia mencapai 109.270 kasus, sedangkan korban meninggal mencapai 3.816 orang. Beberapa peraturan tegas diberlakukan di kantorku. Mulai dari menjaga jarak sosial, memakai APD lengkap, serta dilarang berpergian untuk membeli makanan dari luar.
Ketika itu Pak Hamid menyuruh diriku dan Amir untuk memberikan pembatas jarak di kursi-kursi tamu, toilet, serta di ruang tunggu klient. Peralatan yang digunakan saat itu hanyalah solasi lakban berwarna merah untuk di tempel membentuk hufuf X pada bagian tengah kursi sebagai jarak social distancing.
Pada washtafel portable di depan kantor-ku juga kuberi tulisan "Harap Cuci tangan sebelum memasuki Kantor." Dan itu harus terkontrol pada setiap pengunjung yang hendak datang ke sini.
Senin ialah waktu yang sibuk dan sering kedatangan pengunjung dalam jumlah banyak. Tak segan aku juga menghimbau mereka supaya duduk dan berdiri pada batas yang telah kuberi.
Sepertinya aku harus tetap konsisten mengamati stok perlengkapan di kantor ini. Terutama sabun, tisu, handsinitizer, sarung tangan, dan juga masker. Aku meniatkan diri untuk mengecek jumlah persediaan tersebut. Saat aku memasuki gudang, dan kubuka lemari brangkas tempat penyimpanan barang, dan betapa terkejutnya diriku melihat semua barang-barang yang ada di benakku tersebut semuanya kosong tak ada sama sekali.
"Mati aku, kok bisa habis semua sih?" gumamku dengan nada yang amat syok.
Kuingat dulu waktu aku baru membeli dari Bastian serta mama Firly semuanya masih utuh dan masih banyak, sekarang kenapa bisa habis total seperti ini? siapa yang telah mengambil semua barang-barang itu?
Aku berlari untuk menemui Amir, dan betapa terkejutnya aku rupanya dialah yang mengambil sekardus masker beserta sekardus sarung tangan, dan dia digeromboli banyak karyawan yang sedang rebutan untuk mendapatkan barang-barang itu, dan yang lebih membuatku panik yaitu, mereka ada yang mengambil lebih dari satu. Saat itu juga aku langsung berteriak.
"Heyy, apa-apa'an ini?" kataku, Amir langsung menatapku di tengah keramaian.
"Mel, bantu aku bagiin ini ke mereka dong." Katanya.
"Mas-mas dan mbak-mbak plis ngantri ya, jangan ada yang ambil lebih dari satu pliss, ini stoknya terbatas banget soalnya." Pintaku kepada merek semua. Diriku mengambil alih kardus masker dari tangan Amir.
"Eh mbak! kita juga perlu, kamu jangan pelit-pelit dong, kamu enak kerja dibalik layar, kita-kita kerja di luar ketemu banyak orang." Kata salah satu karyawan tersebut.
"Iya saya ngerti. Tapi kalau ngambil yah satu aja dong gak usah banyak-banyak." Kataku.
"Punyaku tadi hilang mbak." Kata seseorang yang di sana.
"Aku mau ambil 2 sama temanku juga di luar, soalnya nanti mau ketemuan sama klient." Kata mereka.
"Eh gak bisa gitu aja dong, bagi yang hilang resiko ditanggung sendiri yah, satu masker buat satu hari." Ucapku.
"Lho gak bisa gitu mbak, itu kan masker perusahaan." Katanya, dan suasana semakin bertambah ramai seiring banyaknya karyawan yang meminta masker di hari ini. Aku pasrah dan tak tau lagi untuk mengasih tau mereka semua. Andai saja mereka juga tau posisiku, dimana semua barang-barang yang mereka ambil itu dirikulah yang menyetok dan mencari persediannya.
Saat ini barang tersebut harganya sangat mahal dan sangat langkah, kantor ini juga tidak mau tau soal harga di pasaran, yang ada di benak mereka hanyalah harga yang murah yang standar, yang tak fokus pada segi kwalitas.
Tak dipungkiri atas kejadian itu, cukup dalam waktu 10 menit saja masker dan sarung tangan tersebut akhirnya ludes oleh mereka. Aku sampai kebingungan bila Pak Hamid nanti bertanya lagi soal ini, mungkin sebentar lagi aku akan langsung menuju ke kantor-nya untuk mengadu pada beliau.
"Udah Mir, buang saja kardusnya, mereka semua sangat egois dan semaunya sendiri." Kataku pada Amir.
"Terus ini gimana dong Mel? lihat! kita sendiri saja sampai gak kebagian sarung tangan." Katanya, aku menganggukkan bahu seraya tak mengerti. Petugas kebersihan sendiri saja sampai tak kebagian sarung tangan. Lalu dari luar aku mendengar suara pintu terbuka, "Siapa lagi itu?" bisikku.
Namun saat aku melihat, ternyata Tony yang masuk di gudang ini untuk menemuiku.
"Ada apa Mel?" Tanya-nya saat melihat ekspresiku yang mengernyit gelisah, kulihat Tony masuk ke sini tanpa masker dan sarung tangan.
"Aduh Ton, kamu ke sini mau minta masker sama sarung tangan yah?" tanyaku.
"Iya nih Mel, masih ada kan?" Tanya Tony, dan perasaanku teriris dengan kondisi saat ini.
"Udah abis Ton, gimana nih?" kataku dengan lesu, Tony pun juga sempat kebingungan saat itu, sebentar lagi dia juga pastinya mulai untuk bekerja, dimana pekerjaan saat ini harus wajib menggunakan masker serta sarung tangan.
"Bentar deh, aku mau ke ruangannya Pak Hamid dulu." Kataku, mereka berdua pun terdiam menatapku, dan diriku langsung beranjak untuk pergi dari ruangan ini.
Niatku sebenarnya begitu bimbang untuk hendak menemui ruangan beliau, tapi ini begitu penting dan mendesak. Saat aku berada pada ambang pintu ruangan Pak Hamid, jemari tanganku begitu ragu untuk hendak mulai mengetuk pintu itu.
Bayanganku terhadap Tony akan dirinya yang tidak kebagian APD membuat jemariku melantun mengetuk puintu itu.
"Masuk." Ucap beliau dari dalam.
"Permisi Pak, maaf ganggu waktunya sebentar," kataku sambil masuk ke ruangannya, Pak Hamid langsung menatapku.
"Iya, ada apa Mel?" Tanya beliau.
"Gini Pak, saya mau just info saja, kalau tepat pada pagi hari ini stok masker dan sarung tangan di kantor sudah habis Pak." Kataku, dan seketika beliau menaruh pena-nya dengan kedua sorot mata yang menatapku lekat-lekat .
"Kok cepet banget! Perasaan barang itu baru kamu beli kemaren kan? Dan itu masih belum dapat satu minggu lho Mel!" Ucap beliau, dan aku merespon ucapan itu dengan senyum yang kupaksakan.
"Iya pak, tapi kebetulan banget pas tadi dibagi-bagikan ke anak-anak barangnya langsung habis." Kataku.
"Kamu baginya satu kali apa berkali-kali Mel ke mereka semua? Padahal kalau dihitung-hitung dari jumlah karyawan di tempat ini itu, stok tersebut muat sampe seminggu lho Mel!" kata Pak Hamid, jujur saja ini ialah waktu-waku perdebatan yang bagiku sangat menguras emosi.
"Iya Pak maaf, sebagian banyak anak-anak juga kadang suka menghilangkan masker dan sarung tangan tersebut Pak, sehingga mau gak mau mereka minta lagi." Kataku pada akhirnya.
"Wah gak bener, dulu barangnya itu kamu belinya dimana?" Tanya Pak Hamid. Aku lantas berpikir sejenak.
"Emm, di apotik K24." Jawabku.
"Emang sekarang stok-nya masih ada?" Tanya beliau.
"Semoga saja masih Pak." Gumam diriku, sungguh berada di hadapan beliau rasanya pada ujung kepalaku begitu pening.
"Gini ya Mel, kamu sendiri kalau bagi-bagi ke mereka itu juga yang cerdas dong! bikin ketentuanmu sendiri supaya satu orang hanya dapat satu barang saja, jangan sampai ada yang ambil terus menerus tanpa memikirkan teman-temannya yang belum kebagian." Kata beliau, yang sejenak menyoroti kedua telapak tanganku dalam kondisi tak pakai sarung tangan. Aku pasrah dan hanya diam saja.
"Itu kamu sendiri kok gak pakai sarung tangan? Jangan bilang kalau kamu juga gak kebagian!" Tanya beliau dengan tatapan mata tajam. Aku hanya mengangguk.
"Astaga Mel-Mel, pokoknya gini ya Mel, saya kasih tau ke kamu." Kata beliau sambil berdiri dan mulai mendekatiku. Jantungku berdetak kencang sesuai dengan kondisi saat ini.
"Kantor kita itu sekarang dalam keadaan tak stabil, baik dalam segi dana, pendapatan, serta kondisi kesehatan kami pun juga ikut dipertaruhkan." Kata beliau. "Kamu tau mengapa saya menerimamu bekerja di sini? Itu hanya karena saya butuh orang yang bisa menyeimbangkan dan menstabilkan apapun itu yang berhubungan dengan finansial perusahaan. Intinya saya tidak butuh orang yang boros, saya butuh orang yang efisiensi," imbuh beliau di hadapanku tepat.
Aku tak tau harus menjawab perkataan tersebut, yang bisa kulakukan hanya diam dan merunduk saja.
"Jadi pokoknya saya minta kamu cari barang tersebut dimanapun dan dengan cara apapun itu, saya kasih kamu uang pas dengan jumlah sesuai pada nota yang kamu berikan kemaren kepada saya, dan saya tidak mau tau kalau stok barang tersebut harus bisa digunakan sampai 1 minggu ke depan. Kalau habis sebelum waktu itu, saya akan suruh kamu untuk ganti rugi, mengerti kamu?" Kata beliau dengan nada kasar dan serius kepadaku.
Mendengar semua itu aku sampai tidak berani menatap matanya. Perasaanku begitu campur aduk dan tidak bisa dikondisikan lagi.
"Lebih baik sekarang kamu cari barang itu lagi sampai dapet, karena besok saya gak mau APD di kantor ini kosong, dan saya juga gak mau satu saja karyawan di kantor ini tak memakai APD yang lengkap." Kata beliau.
"Baik Pak," kataku, dan diriku langsung pergi meninggalkan kantor Pak Hamid dengan bentuk perasaan yang tak karuan. Sungguh aku bingung untuk melakukan apa. Diriku bergegas ke dalam pantry untuk menuju ke loker dan mengambil tas beserta jaketku.
Kurasa aku harus pergi saat ini untuk mencari barang tersebut. Sesampai di pantry rupanya Tony dan Amir berada di sana sambil sarapan pagi.
"Gimana Mel pas kamu nemuin Pak Hamid?" Tanya Tony, dan diriku tersenyum sambil merasa tak ada masalah apa-apa di hadapan Tony. Lagi pula aku tidak mau merepotinya lagi, jujur aku sangat merasa bersalah, orang yang telah menolongku untuk mencarikan barang tersebut saja sampai tak ikut kebagian APD. Karyawan macam apa aku ini?
"Gak pa pa kok, tadi Pak Hamid nyuruh aku untuk beli lagi, dan ini aku mau berangkat untuk nyari barangnya." Kataku.
"Kamu gak makan dulu Mel?" Tanya Tony, lantas aku berpikir, "Sarapan dulu gih, jangan sampai kamu telat makan di kondisi pandemik seperti ini." Imbuh Tony, sebenarnya pagi ini seleraku sungguh buruk untuk dibuat sarapan pagi. Ingin aku untuk menghindar, tapi ucapan Tony tersebut juga ada benarnya.
Seketika itu helai tangan Tony menggenggam tanganku, dan dia menyuruhku untuk duduk di sampingnya.
"Apa perlu aku suapin supaya kamu mau sarapan pagi?" Tanya Tony, dan seketika Amir bersiul di hadapan kami berdua.
"Hmm, so sweet kan pagi-pagi." Katanya, lantas aku tersenyum malu, dan tak punya pilihan lain untuk menuruti permintaan Tony tersebut.
Aku tak jadi mengambil tas dan jaketku, aku hanya mengambil tepak makan dan botol minum untuk sarapan pagi terlebih dahulu di samping Tony.
"Yaudah deh, aku mau disuapin." Kataku saat aku usai mengambil tepak makanku. Lalu Tony saat itu juga menyuapiku sesendok demi sesendok makanan ke mulutku. Menatap wajahnya saja seperti semua gejolak bingung dan emosi di dalam benakku hilang seketika.
"Kamu gak usah mikir, habis ini aku kasih kamu alamatnya tempat apotik yang jual masker itu." Kata Tony.
"Boleh." Jawabku sambil mengunyah makanan.
"Temui saja bu Stefany, beliau pemilik apotik tersebut dan sekaligus temannya mama-ku." katanya.
"Tapi beliau bakal tau diriku juga gak ya kalau aku ke sana?" tanyaku.
"Habis ini bu Stefany bakal aku telfon, biar aku yang mesenin supaya kamu tinggal ngambil saja." Kata Tony, dan sungguh diriku merasa lega pada saat itu. Ingin rasanya aku untuk memeluk Tony pagi ini.
Dia begitu sering membantuku banyak hal, dan aku tak tau sampai kapan dia akan tetap selalau membuat hidupku seakan seperti tanpa masalah.
"Makasi ya Ton." Kataku.
"Hati-hati ya kalau kamu pergi ke sana, jangan lupa pakai masker." Kata Tony.
"Terus Ton, kamu sekarang pakai apa? Tunggu aku sampai datang dulu ya!" kataku.
"Aku ada masker kain kok di tas, sementara pakai itu aja dulu gak pa pa Mel." Katanya, dan aku tersenyum menatapnya.
"Oh-iya, aku sampai lupa untuk beliin tante Anik." Ucap Tony, dan seketika aku mengernyitkan dahi.
"Halah gak usah diladenin, entar kalau nanya lagi aku bilangin kalau maskernya udah habis." Kataku, dan kami berdua pun tersenyum. Aku bisa merasakan senyum yang bener-bener plong dari lubuk perasaanku.
Berada di samping Tony memang dapat mengubah energi negatif yang membelenggu diriku. Begitu pula dengan permasalahan yang seolah menjadi ringan karena uluran bantuannya
Coba saja kalau dia tidak ada di sampingku, atau kita tidak pernah jadian sama sekali, pasti hidupku bakal tak semudah ini. Tony yang begitu perhatian, penolong, dan peka terhadap kondisiku. Dia melebih dari siapapun seseorang yang menyayangiku di dunia ini, bahkan ibu dan sahabat baikku Eny. Diantara mereka saja kurasa Tony yang jauh lebih menyayangiku.
Bersambung..
Berlanjut ke Chapter 25..