Nafasku terengah-engah bercampur syok atas status whatsapp milik Andy. Aku berdiri sambil menunggu respon darinya untuk mengangkat telpon dariku. Tak lama kemudian Andy mengangkat telponku.
"An! aku lihat story wa mu, Eny kenapa? Ada apa dengannya?" tanyaku langsung pada Andy dengan nada panik.
"Mel, sekarang Eny ada di rumah sakit, kita habis jatuh dari motor pagi tadi." Kata Andy.
"Astaga, terus sekarang Eny dibawa ke rumah sakit mana?" Tanyaku. Aku bisa mendengar suara Andy yang sedikit merintih, mungkin dia juga ikut mengalami musibah itu bersama Eny.
"Di rumah sakit wiyung Mel," katanya. "Emangnya kamu mau ke sini?" Tanya Andy. Sejenak aku berpikir, mengingat kondisiku saat ini yang masih belum pulih, serta keadaan di luar sana yang rawan akan penyebaran virus, alasan itu seakan menumpuk di kepalaku.
"Kalau kamu mau ke sini, aku saranin mending jangan Mel, biar aku saja yang menemani Eny. Habis ini keluarga Eny juga bakal datang kok." Kata Andy. Seketika itu hatiku begitu hancur, aku tak tau harus berbuat apa di kala Eny yang saat ini tak berdaya.
Aku sangat merasa berdosa padanya, apalagi saat mengingat permintaannya untuk kutemani nongkrong di Royal dulu, itu seakan seperti tamparan bagiku.
"Enggak An, aku harus jenguk Eny, aku juga ingin tau keadaannya secara langsung." Kataku.
"Ngomong-ngomong letak kamarnya ada di mana An?" Tanyaku.
"Jangan Mel, udah, di rumah sakit itu bahaya lho, dan di sini juga dibatasi gak boleh banyak-banyak, habis ini keluarga Eny juga bakalan datang buat jenguk." Kata Andy, air mataku berlinang saat itu juga dan seakan tak bisa membendung untuk menetes jatuh ke bawah.
"Terus keadaannya Eny sekarang gimana? dia gak pa pa kan?" tanyaku.
"Eny masih belum sadar, tadi disuruh dokternya nunggu dulu di luar." Kata Andy, dan jantungku tiada henti untuk berdebar-debar.
"Kejadiannya gimana sih An? Kok bisa sampai kecelakaan?" Tanyaku, dan aku bisa mendengar isak tangis Andy yang seketika pecah pada saat itu juga. Aku mengernyit dan sangat khawatir dengan semua ini.
"Tadi itu aku sama dia berangkat kerja bareng Mel, tiap hari kan biasa kita berdua berangkat boncengan." Katanya, dadaku langsung sesak saat itu juga. "Terus pas di lampu merah dekat bonbin, Eny nge-rem dadakan waktu lampu masih kuning, dan dari belakang tiba-tiba saja sepeda motor Eny ditabrak sama pengendara motor sampai Eny dan aku jatuh gak karuan," kata Andy yang spontan membuat hatiku merasa geram dan marah. Rupanya kecelakaan itu diakibatkan oleh pengendara motor yang menabrak mereka berdua.
"Kurang ajar, berarti kalian beruda itu ditabrak pas mau lampu merah?" tanyaku.
"Iya Mel, dan pelakunya juga ikut pingsan kok," kata Andy.
"Terus kamu sendiri gimana An? Kamu gak pa pa kan?" tanyaku. Andy masih tetap menangis dengan nada yang merintih-merintih. Aku yakin sekali kalau Andy juga ikutan terluka.
"Lengan sama sikuku terluka Mel, tapi barusan tadi udah diperban kok sama susternya," kata Andy. "Kalau aku sih mikirin Eny, dia sekarang gak sadar dan aku sangat khawatir banget." Imbuh Andy.
Aku langsung menangis di saat itu juga, seperti luka yang ada pada mereka berdua juga turut ikut kurasakan juga.
"Oke, aku akan ke sana An sekarang ya? Tunggu aku ya An?" Kataku yang seketika itu dicegah oleh Andy.
"Jangan Mel, pliss, aku tadi dikasih info sama pihak dokternya kalau yang boleh ke sini cuma keluarga saja, pliss ya Mel? kamu bantu doa saja ya? Semoga Eny cepet sembuh." Katanya. Diriku melangkah menuju ke lemari mencoba untuk mengambil jaket dan celana panjang.
"Jangan gitu An, bagaimanapun juga aku harus jenguk Eny, aku syok dan ingin tau kodisinya sekarang, kamu tunggu aku ya?" Kataku sambil memasang jaket.
"Duhh jangan dong Mel, aku mohon, entar yang ada malah dimarahin sama pihak rumah sakitnya. Ini bukan saat yang tepat Mel buat jenguk orang, plis ya Mel, kamu bantu doa saja yah?" Kata Andy, dan seketika itu aku memberhentikan langkahku untuk bergegas menuju ke sana.
"Yaampun, yaudah deh, aku bener-bener khawatir banget padahal, aku gak bisa tenang An." Kataku.
"Udah gak pa pa, doain yang terbaik saja, semoga Eny gak kenapa-napa." Kata Andy.
"Kamu janji ya An bakal ngabarin aku kalau Eny udah siuman?" Kataku.
"Janji ya? Aku bener-bener khawatir sama kalian berdua, khawatir banget." Imbuhku.
"Iya, aku janji," katanya.
"Yaudah An, hati-hati, aku sayang kalian berdua." Kataku, dan sambungan telpon kami pun berakhir.
Tangisku pecah di pagi ini, dimana pagi yang biasanya penuh dengan rasa semangat dan bahagia seketika saja berubah menjadi dilema.
Berkali-kali aku beranggapan bahwa semua ini ialah ulahku, semua ini ialah salahku, aku yang telah terlanjur larut pada duniaku sendiri, sampai tak pernah berpikir akan keberadaan mereka sama sekali. Dan saat ini mereka dalam musibah, dimana aku tidak bisa ada di samping mereka.
Niat-ku untuk memakan buah pemberian dari Tony seketika hilang. Aku sama sekali tak ingin memakan buah-buahan itu, kurasa badanku kembali menghangat. Mungkin reaksi syok dan panik berpengaruh pada kesetabilan tubuhku. Aku mencoba mengambil air minum di dapur, dan sesampai di sana entah kenapa perutku tiba-tiba mual, terasa sangat sakit seperti dipelintir dari dalam, hingga aku terjatuh terkapar di atas lantai sampai ketahuan oleh nenekku.
"Astaga Amel! Kamu kenapa?" Teriak nenek saat menghampiriku dan mencoba menolongku. Tubuhku melingkup menahan rasa sakit yang ada di perutku, dan seketika itu juga aku muntah di lantai. Nenekku langsung ketakutan.
"Aduhh Mel, kamu gak pa pa?" Tanya Nenek yang berlari mengambil lap dan tisu.
"Nek, ambilkan aku air putih dong." Rintihku, dan kemudian nenek berlari lagi mengambil segelas air minum di dispenser.
"Ini, minum dulu, pelan-pelan," kata nenek, kemudian kuminum segelas air putih itu sampai habis.
"Kamu kemaren malam belum makan ya?" Tanya nenek sambil mengepel air muntahanku yang berceceran di lantai.
"Makan kok nek," jawabku, "gak tau kenapa tiba-tiba saja perutku sakit banget nek." Imbuhku.
"Yaudah kamu balik aja ke kamarmu, biar nenek belikan obat sakit perut." Katanya. "Pagi ini nenek belikan nasi pecel mau ya? Buat sarapan pagi." Tanya Nenek.
"Iya nek gak pa pa," jawabku sambil menganguk.
"Kamu istirahat saja di kamar biar nenek belikan." Katanya, lalu dia bergegas keluar untuk mencari obat beserta nasi pecel.
Biasanya jarang sekali nenekku seperhatian ini kepadaku. Akibat kejadian tadi pastinya membuat dia merasa ketakutan, dan lagi-lagi badanku menggigil kembali, kepala langsung terasa pusing, badanku pun juga terasa lemas. Sungguh ada apa dengan tubuhku ini? Apakah ini reaksi syok dan panik akibat berita Eny yang masuk rumah sakit tadi?
Sudah cukup, aku harus benar-benar sadar dan tidak syok. Dalam kondisi seperti ini seharusnya aku jauh lebih tenang dan fokus pada proses penyembuhanku. Kemudian sesampai diriku di kamar, aku melihat buah-buahan itu kembali, hingga diriku tak punya pilihan lain.
Mau tak mau akhirnya kumakan buah-buahan itu sampai menunggu nenekku datang membawakan obat sakit perut beserta nasi pecel.
Sepanjang hari ini aku menghabiskan waktuku di kamar tidur, tak ada sama sekali aktifitas yang kukerjakan selain makan, mandi, dan minum obat.
Seharian ini pula Jojo sama sekali tak menemaniku, dia masih trauma dengan perlakuanku yang memaksanya memakai masker. Apalagi siang ini di ruang tamu sekarang ditemani oleh paman Farid. Beliau sangat suka bergabung untuk bermain dengan Nino dan Jojo.
Aku sangat senang saat mengetahui mereka kini tak bermain gadget, tapi melainkan bermain monopoli. Kulihat tante Anik memasakkan camilan untuk mereka bertiga. Nampaknya itu ialah camilan yang biasa ibuku buat saat aku berkunjung ke rumah kontrakannya, yaitu Ote-ote.
Sebenarnya ingin diriku untuk bergabung bermain bersama mereka, tapi kondisiku sekarang sangat tak meyakinkan. Aku hanya bisa berdiri bersandar di samping etalase sambil melihat mereka bermain di ruang tamu. Nampak seru dan asyik.
"Amel sudah makan siang?" tiba-tiba Tanya tante Anik.
"Belum tante, habis ini aku bakal makan kok." Kataku.
"Jangan nunda-nunda, ini udah siang lho, entar muntah lagi." Katanya, dan aku tersenyum sambil mengangguk.
Sebenarnya aku bingung untuk sarapan apa siang ini. Semenjak aku sakit, aku sama sekali tak masak masakan apapun. Mengambil makanan dari masakan tante Anik membuatku merasa gak enak. Sebab selama ini aku tak pernah meminta atau bahkan makan dari makanan masakannya. Namun saat dirikiku membuka lemari dapur, tante Anik berkata.
"Mel! tante masak sayur sup, kalau mau ambil, ambil saja, udah tante panasin. Enak dimakan hangat-hangat." Katanya, lantas diriku terenyuh mendengar ucapan itu.
Selama ini kami yang tinggal di rumah ini kerap berseteru dan berdebat. Rupanya pada kondisi sulit saat ini kami masih bisa saling mengerti dan memahami.
"Baik tante, makasih ya." Kataku, dan diriku mengambil sepiring nasi beserta sayur sup milik tante Anik itu. Dan saat siriku makan di meja makan, lagi-lagi aku teringat oleh keadaan Eny, dan hal itu membuatku tak nafsu lagi.
Kutekankan berkali-kali bahwa aku harus sadar, aku harus niat untuk bisa sembuh. Percuma saja Pak Hamid memberikan izin untuk tidak masuk selama 2 hari kalu selama itu kubuat untuk mikir dan stress. Setidaknya aku bisa makan dan minum obat secara teratur, aku yakin hal itu dapat menyembuhkanku.
Saat malam hari, aku mengecek hp-ku. Kulihat bahwa siang tadi rupanya Tony sedang menghubungiku. Entah kenapa aku selalu melewatkan pesan dan telpon darinya. Saat kulihat pesannya yang telah dia kirim siang tadi, dia berkata.
"Mel, nanti malam aku ke rumahmu ya? Aku mau jenguk kamu, kangen." Tulis pesannya.
"Iya, maaf ya Ton aku baru balas." Ketik-ku. dan tak lama itu juga tiba-tiba pintu masuk rumah nenek-ku terketuk oleh seseorang.
Dengan cepat aku langsung beranjak dari ranjangku untuk menuju ke ruang tamu. Namun rupanya tante Anik telah menyambut kedatangannya terlebih dahulu.
"Assalamualaikum." Ucap seoarang pria dari luar sana.
"Waalaikumsalam, Ehh rupanya Tony, ada apa malam-malam kesini? Pasti mau nemuin Amel yah?" Sambut tante Anik. Dan diriku pun keluar menghampiri mereka.
"Emm, iya tante, mau jenguk Amel." Katanya.
"Boleh, ayo silahkan duduk dulu Ton," kata Tante Anik, dan diriku datang di sana melihat Tony yang duduk di kursi sofa.
"Tante bikinin kopi dulu yah?" Kata tante Anik.
"Gak usah repot-repot tante." Ules Tony.
"Repot apasih? enggak sama sekali kok." Katanya sambil bergegas menuju ke dapur. Aku telah berada di ruang tamu, dan melihat Tony di malam ini membuat rasa rinduku seketika sirna begitu saja.
"Ngapain sih malam-malam pake kesini segala?" Kataku sambil duduk di kursi sofa dan menatapnya.
"Mau liat keadaanmu lah Mel, ngomong-ngomong gimana? sekarang udah baik kan?" Tanya Tony, dan aku mengangguk.
"Yah, lumayan," jawabku sambil tersenyum tipis. "Makasih ya buahnya." Imbuhku, dan Tony tersenyum.
Sejenak aku teringat akan kehadiran Tony disini yang habis pulang kerja dari luar, pikirku di dalam rumah ini setidaknya harus steril.
"Ton! aku pingin kita ngobrol di luar saja ya?" kataku sambil berdiri. Kulihat ekspresinya nampak mengernyit dan mengikuti perintahku. Akhirnya kami pun berada di luar teras rumah nenek, di sana ada dua kursi yang biasa kami gunakan untuk bersantai.
"Lho! Tony mau pulang? Ini udah tante bikinkan kopi lho." Kata tante Anik.
"Ohh taruh situ saja tante, aku sama Tony ngobrol di luar kok." Kataku, dan tante Anik meletakkan kopi itu di atas meja.
"Ngapain kita ngobrol di luar segala sih Mel?" Tanya-nya.
"Kamu habis pulang kerja kan? Masih kotor dan bau, makanya kita ngobrol di sini saja, sekalian buat antisipasi korona." Kataku sambil tersenyum, dan saat itu juga dia menyenggol pundakku.
"Dasar lebay kamu Mel." Ules-nya.
"Ton, aku punya kabar buruk nih." Kataku pada akhirnya.
"Kabar apa?" Tanya Tony.
"Kamu tau Eny dan Andy sahabatku itu kan?" Kataku, lantas Tony mengangguk. "Pagi tadi mereka berdua kecelakaan." Imbuhku, dan Tony nampak terkejut.
"Astaga, terus keadaan mereka gimana?" Tanya Tony.
"Eny gak sadar, sedangkan Andy lengannya terluka, kamu tau gak si? seharian ini aku mikirin kondisi mereka terus," kataku.
"Jangan terlalu dipikirin, ingat kamu masih sakit." Katanya, dan seketika itu aku mengernyit ke arahnya.
"Apa? Gak dipikir gimana? mereka itu sahabat aku, mereka itu sangat berarti banget buat aku, yah jelas aku mikir lah, apalagi di saat temanku membutuhkanku, aku sama sekali tak pernah memperdulikan mereka semenjak aku kenal kamu." Kataku yang agak emosional. Lalu Tony pun terdiam, seolah kebingungan untuk menjawab perkataanku.
"Tapi ini bukan salahmu kok Ton, maaf, ini semua salahku, justru aku yang aneh, yang gak peduli, sungguh teman macam apa aku ini?" kataku dengan mata berlinang.
Bersambung..
Berlanjut ke Chapter 30..