Chapter 33 - Bab 33

Aku tak bisa menyembunyikan keadaanku, bahkan aku sendiri juga tak pandai dalam menutupi berbagai macam kepura-puraanku. Saat aku berada di ruang tamu, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tas ranselku jatuh di atas lantai dengan resleting yang terbuka lebar. Isinya jatuh berserakan bahkan aku sulit mengira-ngira bagaimana itu bisa terjadi?

Andy dan Eny mengikuti langkahku dari belakang, dan sesampai di sana mereka terkejut melihat isi tas-ku yang begitu banyak hingga diluar nalar mereka berdua.

"Itu apa saja yang kamu bawa Mel?" Tanya Eny saat aku membereskan barang-barangku. Aku terdiam dan tak tau harus menjawab apa.

"Maaf ya Mel, tadi tasmu jatuh disenggol sama Nauval." Ucap ayah Eny yang seketika itu turut membantu merapikan baju-bajuku.

"Ohh, gak pa pa Pak," ulesku. "Jadi ngerepotin nihh, aku beresin sendiri gak pa pa kok," imbuhku, lalu Eny dan Andy pun juga turut membantuku. Entah apa yang harus kukatakan pada mereka berdua soal apa yang aku alami pagi tadi di rumah nenek-ku, terutama soal pengusiran itu.

"Mel! Kamu mau nginep di sini?" Tanya Andy. Aku sejenak menyampingkan helai poniku ke samping belakang telingaku.

"Ohh, enggak kok, ini aku mau rencana nginep di rumah ibuku saja." Kataku.

"Ada apa Mel? Tumben! Biasanya-kan kamu ke sana cuma hari minggu saja kan?" kata Andy.

"Hehe, ya gak pa pa lah An, sekali-kali aku nginep di sana sebentar, masa nginep di rumah orang tua sendiri gak boleh?" Kataku. Lalu Eny tertawa saat mendengar ucapanku, dan dia mulai mengernyit saat mengambil salah satu barangku yang sedang tercecer itu.

"Mel! Ini obat apa? Kok banyak banget?" Katanya, dan seketika itu aku terkejut dan langsung menyahut obat-obatan itu yang terbungkus jadi satu di dalam kantung plastik.

"Cuma vitamin aja kok, buat daya tahan tubuh." Kataku.

"Biasa aja dong Mel gak usah panik gitu, multivitamin kok banyak banget sampe sekantong?" Kata Eny.

"Iya Mel! Emangnya kamu habis sakit ya?" Imbuh Andy. Sekali lagi aku merasa seperti seorang pembohong di hadapan mereka, dan jujur saja, aku ialah orang yang tak pandai mencari alasan-alasan. Aku sejenak terdiam sambil berpikir.

"Endak kok, itu pemberian dari kantor saja." Jawabku.

"Maksudmu itu punya kantor gitu?" Tanya Eny, dan aku mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Iya, kebetulan yang nyetok persediaan kantor kan aku." Kataku, dan mereka pun nampak percaya padaku sambil melanjutkan untuk menata barang-barangku. Lalu saat itu Andy menemukan sejaring kertas yang terbungkus oleh amplop kecil.

Aku melirik hal itu dan ingin untuk merampasnya juga, namun itu sudah terlanjur, dia membaca tulisan dalam amplop tersebut hingga aku merasa kebingungan akan responnya nanti.

"Surat ijin tidak masuk kerja!" kata Andy. "Mel? Kamu habis priksa di rumah sakit ya?" Imbuhnya, dan tepat seperti yang aku duga bahwa semua ini pasti akan ketahuan sama mereka semua. Lagi-lagi aku terdiam dan kembali berpikir.

"Mana coba aku lihat." Kata Eny sambil melihat isi kertas dalam amplop tersebut, aku pun pasrah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

"Yaampun Mel. Kamu ternyata sedang sakit anemia ya?" Tanya Eny, lalu aku pun memasang wajah murung sambil mengangguk.

"Astaga Mel, kenapa kamu gak istirahat saja di rumah sih?" Kata Eny, lalu aku merunduk sambil merenung, menyadari bahwa aku ini idiot dan aneh. Mungkin tindakanku ini terlalu berlebihan, apa saja yang telah menjadi teguran dari tante Anik padaku tersebut semuanya benar adanya.

Aku yang egois dan bodoh, apakah semua ini ialah salahku? Tapi entah kenapa aku seperti tak punya pilihan untuk menuruti kemauanku. Semua ini demi mereka beruda, yaitu Eny dan Andy, sahabatku yang begitu berarti, dan kini aku merada di hadapan mereka seperti seorang pembohong dan pecundang.

"Maaf En, aku gak bisa stay di rumah, aku ingin jenguk kamu, itu aja." Kataku, lalu Eny dan Andy saling bertatapan.

"Tapi kamu gak pa pa kan?" kata Eny, "Jangan-jangan jamu masih sakit, lemas, atau apa lah itu?" Imbuh Eny. Dan diriku menggeleng.

Andy mencoba untuk memegang tanganku, dan aku tau niatnya itu pasti untuk memastikan keadaanku, dan dia mengernyit sambil berkata.

"Sebenarnya badan kamu masih hangat Mel," katanya. "Mending kamu pulang aja ya? Istirahat di rumah." Imbuhnya. Eny pun langsung panik dan berdiri beralih tepat di sampingku, kemudian helai tangannya menyentuh dahiku.

"Iya Mel, kamu masih hangat, lagian kenapa sih pake ke sini segala? Bawa barang-barang banyak gini lagi!" Kata Eny.

"Kok kamu ngomong gitu sih, aku ke sini kan demi jenguk kamu, demi kalian berdua." Kataku sambil menatap Eny dan Andy. Dan mereka berdua menghembuskan nafas panjang sambil berkata.

"Ya gak gitu juga Mel, ngorbanin keadaanmu demi kita-kita itu sama saja kita juga ikut khawatir." Kata Eny, lalu Andy mengangguk saat itu juga.

"Jadi ini kamu dalam keadaan cuti gak masuk kerja ya?" ucap Eny,

"Selama dua hari?" imbuhnya, lalu aku mengangguk.

"Yaudah, kalau gitu kamu istirahat aja Mel di rumah, aku antar kamu pulang ya?" Ucap Andy, dan aku seketika menolaknya.

"Ehh jangan An, kamu kan baru sembuh dari luka-mu, lagian aku bawa shine kok." Kataku, dan dia mengernyit menatapku.

"Kamu sih masih kondisi sakit kayak gini nekat keluyuran." Tegur Andy, dan aku merundukkan kepala merasa bersalah akan semua hal ini.

"Iya dehh maaf, aku pulang sendiri saja An." Kataku.

"Yaudah sampai sana langsung istirahat ya?" Kata Andy.

"Ngomong-ngomong kamu udah pamit ke nenek-mu kan Mel kalau kamu mau kesini? Kamu kan lagi sakit!" Tanya Andy.

"Udah, jangan kawatir," kataku.

"Aneh, kok nenek-mu kasih ijin ya? atau yang tadi pagi kamu bilang habis bentrok dengan tante-mu itu jangan-jangan perkara ini ya Mel?" Tanya Andy, dan diriku seketika mengangkat alis menatapnya.

"An, udah dong jangan diperbesar lagi, toh aku ke sini itu demi kalian, aku sayang sama kalian, ngerti gak sih kalian ini?" Ulesku dengan nada yang merintih.

"Udah-udah," sahut ayah Eny. "Amel, kalau gitu kamu pulang saat ini juga ya? lagi pula habis ini udah malam, kamu harus istirahat total kalau masih sakit." Terang ayah Eny.

"Iya pak," jawabku. Kemudian Eny dan Andy telah selesai merapikan barang-barang-ku itu, namun wajah mereka berdua masih tetap khawatir menatapku.

Memang aku ini layak diberi teguran keras, sebab aku sadar sendiri bahwa diriku sangatlah bandel dan sulit diatur, sama halnya seperti Jojo, lagi-lagi aku teringat anak itu.

"Kamu hati-hati ya Mel di jalan," kata Eny saat kami berada di depan teras rumahnya. Shine kuparkirkan tepat di depan sana, dan mungkin inilah saat yang tepat bagiku untuk pulang ke rumah ibu.

Jam sudah semakin sore dan hendak mau maghrib. Aku memandang wajah Eny di saat dia tiada hentinya untuk mengernyit menatapku.

"Kamu jadi bikin aku kepikiran aja Mel." Katanya, aku tersenyum tipis.

"Maaf En." Kataku. "Aku pulang dulu ya?" Lalu aku meninggalkan mereka, berkendara menuju ke rumah Ibuku tentunya akan memakan waktu lama, sebab rumah Eny sendiri berada di jalan wiyung, sedangkan kontrakan ibuku tepat di daerah krampung, pastinya cukup jauh dan banyak jalanan yang macet.

Kemudian sesampai di sana, badanku mulai terasa meriang. Angin malam yang begitu dingin di luar sana mampu membuat kondisi badanku semakin memburuk. Perutku mulai terasa mual dan sepertinya aku mau muntah.

Pikiranku sudah merambah kemana-mana, terutama dalam hal penularan virus covid-19. Aku mengingat di berita-berita bahwa salah satu tanda-tanda tertularnya virus tersebut yaitu mengalami gejala demam, dan sampai saat ini tubuhku masih dalam keadaan demam. Bahkan menuntun Shine di gang perkampungan ini saja rasanya begitu berat, padahal saat sebelum-sebelumnya aku tak pernah merasakan bahwa Shine ialah penghalang bagiku. Tapi untuk saat ini, dia begitu terasa berbobot dan berpotensi membuatku pingsan di penghujung gang sempit ini.

Andaikan jalanan ini tidak tertulis "Harap Turun." Sudah pasti aku akan mengendarainya agar aku bisa sampai di depan rumah kontrakan ibuku.  Ini adalah saat-saat yang rumit, apalagi menjelaskan pada ibuku soal kehendakku yang akan tinggal di kontrakannya selamanya.

"Asamuallaikum." Kataku saat berada di depan pintu rumahnya yang terbuka. Pak Irwan pasti barusan pulang dari pekerjaannya, kulihat spatu pantofel-nya terpasang di rak spatu depan, serta speda motornya yang sudah terparkir di teras rumah.

"Walaikumsalam Amel, lho kamu kenapa ke sini? Katanya Jojo libur dua minggu?" Katanya. Sungguh di momen-momen seperti ini masih saja dia membahas Jojo, anak kesayangan-nya yang tak pernah lepas dari perhatian-nya.

"Iya, emangnya kalau aku sendiri yang datang ke sini kenapa? Gak boleh?" tanyaku.

"Ya boleh lah Mel, itu tas se-gede gitu isinya apa aja? Kamu habis pulang kerja ya? kok gak pake seragam?" Tanya Ibuku sambil membantuku membawakan tas bawaanku ini ke dalam rumahnya.

"Aku gak kerja bu, ijin dua hari gak masuk." Kataku, dan aku masuk ke dalam rumahnya.

"Ini tasnya berat banget Mel!" ucap ibuku, "isinya apa aja?" Tanya-nya.

"Bu, aku tinggal nginep di sini boleh ya?" Tanyaku, dan ibuku seketika menatapku.

"Boleh, ada apa emangnya Mel? Tumben lho kamu mau nginep di rumah ibu." Kata ibu.

"Aku sakit bu, makanya itu aku ijin gak masuk kerja, kalau aku di rumah nenek gak ada yang merawatku." Kataku, seketika itu juga ibuku langsung memasang wajah panik bukan main.

"Apa? Kamu sakit?" Kejutnya, dan dia langsung mengambil masker ke dalam rumah dengan langkah yang begitu cepat, tak hanya itu, dia juga memakai sarung tangan plastik yang biasa dibuat untuk mengaduk adonan kue. Hatiku seketika hancur saat menyadari bahwa respon keluargaku sampai se-phobia itu.

"Ibu kok gitu sih sama aku? Aku ini sakit anemia, takut banget kalau aku kena korona." Kataku dengan nada suara yang lemas. Ibuku seketika datang dan memberitahu pak Irwan dengan bisik-bisik, namun aku pun tentu saja mendengar perkataan mereka berdua.

"Yank, sini, dengerin aku yah, ini Amel datang ke sini dan nginep di rumah ini, dan dia lagi sakit sekarang." Bisiknya pada pak Irwan. Lalu ibuku datang menemuiku.

"Gak gitu Mel, kamu tau sendiri kan kalau sekarang musimnya orang sakit, semua orang kalau ada yang sakit pastinya mengantisipasi supaya kita tidak ada yang ketularan." kata ibuku, dan hal itu seketika membuatku nyaris meneteskan air mata. Aku tak punya cara lain lagi untuk memastikan kepada mereka bahwa aku ini tidak terkena penyakit itu. Aku hanya anemia, sudah itu saja.

Lantas ibuku mencoba untuk mendekatiku dengan jarak yang masih dia pertimbangkan, dan tangannya menjulur sambil menjaga jaraknya dariku untuk memegang dahiku.

"Iya Mel, kamu panas banget." Katanya. "Aduhh gimana ya ini?" ucapnya dengan nada bingung.

"Tapi kamu gak batuk kan? Pilek? Bersin? Enggak kan?" Tanya-nya, aku menangis di saat itu juga.

"Enggak bu," jawabku, dan ibuku menatapku sambil bingung tak tau harus bagaimana. Selagi diriku saat itu menangis hancur tak karuan. Entahlah, hari ini terasa sangat suram bagiku, dan hal itu membuat kondisi tubuh ini semakin tak terkontrol. Lalu tiba-tiba perutku mulai mual, dan aku hendak mau muntah saat itu juga. Sontak ibuku teriak melihat diriku dan memanggil Pak Irwan untuk segera datang menghampiriku.

"Yaampun Mel! Jangan muntah dulu." Teriaknya, "yank, sinii bawain bak, Amel mau muntah." Teriak ibu pada pak Irwan. Seketika itu juga Pak Irwan datang sambil membawakan bak dan di letakkan tepat di depanku. Langsung saja seketika itu aku muntah tepat pada bak tersebut, sampai tatapanku berkunang-kunang seperti hendak mau pinsan.

"Gimana ini yank? Apa kita bawa ke dokter saja ya?" Usul ibuku pada Pak Irwan.

"Jangan dulu, tau sendiri kan kalau di rumah sakit sekarang malah bahaya, banyak orang yang tadinya gak kena korona malah kena korona akibat berada di rumah sakit." Kata Pak Irwan. Ibuku memegangi kepalanya merasa bingung bukan main.

"Terus ini gimana dong? Masa dibiarin saja?" ules ibuku.

"Udah gak pa pa, lagian aku udah priksa, dan kata dokternya aku ini anemia, sering telat makan, udah itu aja." Kataku, dan ekspresi ibuku tetap mengernyit seperti tidak yakin dengan ucapanku.

Lalu saat kondisiku mulai sedikit terasa stabil, ibu dan pak Irwan menuntunku untuk sampai ke dalam kamar tidur, dimana kamar itu biasanya dibuat tidur mereka berdua, namun kali ini kamar itu dibuat tidur untukku, sedang ibu dan Pak Irwan akan tidur di ruang tamu dan memasang gelaran karpet di sana.

Mereka tetap ambigu dan sangat menjaga jarak denganku. Di saat aku berbaring di atas ranjang-nya, suara bisik dan diskusi mereka terdengar di telingaku. Bahwa ibuku sangat khawatir dengan Jojo, tiap kali ibuku membahas soal Jojo, soal keadaan adikku yang selama ini tinggal sekamar denganku.

Dia juga pusing memikirkan proses penyembuhanku, serta keadaanku kelak pada hari-hari kedepannya. Yang bisa kulakukan hanya pasrah, bernafas di ruang kamar ini sambil memastikan bahwa nafasku tidak sesak.

Bersambung..

Berlanjut ke Chapter 34..