Chapter 36 - Bab 36

Setelah percakapan dengan Tony itu berakhir, hatiku seketika merasa lebih tenang. Malam ini bisa jadi akan berubah menjadi malam yang penuh dengan fantasi, dimana saat itu otakku selalu membayangkan tentang apa yang dia katakan, serta bentuk cinta yang dia berikan kepadaku. Aku seolah-olah dibuat terkesan dengan tingkah laku pria itu.

Andai saja aku sudah menjadi istrinya, setidaknya kami akan selalu bersama, berdua dan tak akan ada alasan yang valid yang dapat membuat kami terpisah. Lagi pula aku juga enggan untuk jauh-jauh dengannya. Jarak yang jauh sungguh menyakitkan, bahkan melihat wajahnya dari handphoneku saja aku masih merasa rindu padanya.

Tapi bila kurasakan kondisi tubuhku saat ini, bisa dikatakan bahwa semuanya terasa lebih baik, kepalaku juga sudah tidak merasa pusing, serta badanku juga sudah tidak merasa lemas. Bermenit-menit yang lalu aku tiada henti untuk tersenyum dan tertawa, itu semua karenanya, karena atmosfer kehadiran Tony yang bagaikan obat penawar rasa sakitku.

Lalu tak lama itu pintu masuk kamar ini terketuk oleh seseorang, dan aku bisa mendengar suara ibu yang sedang berdiri di balik pintu itu sambil berkata.

"Amel! Sarapan dulu ya?" kata-nya.

"Iya bu, masuk saja." Balasku, dan ibuku rupanya sudah membawakanku sepiring makanan lengkap dengan segelas air putih yang dia bahwa menggunakan nampan. Dia masuk sambil tersenyum ke arahku. Sejenak diriku berdiri dari kondisiku yang berbaring di atas ranjang. Menerima makanan persembahan dari ibuku itu yang kurasa aku akan makan begitu lahap malam ini.

"Kamu tadi habis telpon sama siapa Mel?" Tanya ibuku yang duduk tepat di sampingku.

"Oh tadi? Temanku." Ucapku sambil tersenyum. Entah kenapa kurasa aku tak perlu menceritakan semua ini pada ibuku, cukup biar diriku saja yang merasakan moment yang bahagia ini.

"Hmm, temen atau pacar?" Ules ibuku, "rumah ini ukurannya kecil banget lho Mel, jadi suaramu itu kedengeran sampai luar." Imbunya, dan seketika itu aku menatap wajah ibuku. Mungkin aku tadi ngobrol dengan Tony terlalu bersemangat, sehingga tidak kepikiran soal ibuku, tapi biarlah, lagi pula kalaupun dia tau juga tak masalah.

"Iya bu, tadi yang nelpon Tony, hehe." Kataku sambil tertawa sedang.

"Ohh, kenapa kamu anggap Tony masih temanmu? Bukannya kamu sama dia udah pacaran?" Tanya ibu.

"Yang tadi salah bu, maksudku yang nelpon tadi pacarku." Jawabku, dan kemudian aku tersenyum. "aku cuman malu aja tadi kalau jujur." Imbuhku.

"Gak pa pa Mel gak usah malu, lagian ibu itu seneng banget kalau kalian makin deket dan saling komunikasi seperti tadi." Kata ibuku, dan rasanya membahas pria itu di malam ini bersama ibuku pasti akan menjadi topik yang menarik.

"Iya bu, maaf." Kataku, "sebenarnya kalau ibu ingin tau, Tony itu sering sih mengirimiku pesan bahkan telpon setiap hari, apalagi di saat diriku sakit seperti ini." Terangku, dan ibuku sejenak mengangkat alis.

"Oh-ya?" kejut ibuku dengan posisi duduk yang kini agak dekat ke diriku. "Dia ngomong apa aja Mel?" Tanya-nya.

"Emm, banyak deh, yang jelas dia selalu tanya soal keadaanku, serta selalu mengingatkanku terus kalau aku udah makan apa belum." Jawabku yang sejenak membuat ibuku tersenyum.

"Dia perhatian yah rupanya?" Kata ibuku.

"Banget," balasku. "Aku semenjak sakit ini aja udah dua kali dikirimi dia bingkisan buah-buahan. Sebenarnya sih baru-baru ini dia udah ngirimin aku buah lagi, tapi berhubung aku tingal di sini, mungkin buah-buhan itu sudah habis deh dimakan Jojo," Kataku.

"Yaudah biarin," kata ibu. "Tapi kenapa kamu gak minta dikirim ke sini aja sih?" Imbuhnya, lantas aku menggeleng.

"Endak bu, dia belum tau kalau aku udah lari dari rumah nenek perihal konflik itu, dia menganggapku bahwa aku masih tinggal di sana." Kataku, dan ibuku nampak mengernyit.

"Iya, kamu benar Mel, mending gak usah dikasih tau kasihan juga nanti Tony ikutan mikir." Kata ibuku, dan aku mengangguk.

"Tapi aku janji kok bu, setelah aku sembuh nanti, aku akan balik ke rumah nenek lagi, sekalian minta maaf sama orang-orang sana. Lagian setiap pagi Tony selalu menjemputku di rumah itu saat kami hendak berangkat bekerja." Kataku sambil mengunyah makanan masakan ibuku. Kemudian aku bisa melihat senyum simpul ibuku yang nampak lega di hatinya.

"Harus itu," balas ibu, dan aku terdiam sambil tersenyum menatapnya.

Makanku saat ini terasa begitu lahap, tak peduli meskipun ibu nampak heran di hadapanku. Aku sudah membuat komitmen kalau besok aku harus sembuh. Tak ada lagi gejala yang namanya pusing, lemas, dan sakit kepala. Maka dari itu makanku harus rutin dan lebih banyak lagi.

"Masakan ibu rasanya enak ya Mel?" Tanya-nya, dan aku mengangguk untuk merespon pertanyaan itu.

"Habisin Mel, kalau perlu nambah lagi satu piring, jangan takut gemuk, sakit anemia itu perlu makan yang banyak." Katanya.

"Iya gampang, entar aku ambil sendiri saja." Balasku, "aku menargetkan besok pokoknya aku harus sembuh, soalnya Tony bolak balik nagih terus supaya cepet-cepet bisa ketemu lagi." Imbuhku, dan ibuku tersenyum mendengar itu.

"Ibu yakin besok kamu pasti sembuh Kok Mel, pokoknya kamu istirahat aja di sini, makan sayur masakan ibu, minum obat dan teh panas, pasti sembuh kok." Katanya.

"Ngomong-ngomong nih ya bu! Tony itu sebenarnya kebelet ngajak aku nikah terus, itu gimana ya? aku sih ngerasanya kayak belum siap gitu, tapi kalau di pikir-pikir, aku sebenernya juga pingin cepet-cepet jadi istrinya dia," kataku pada akhirnya. "Menurut ibu gimana ya?" tanyaku. Sebenarnya ungkapan basa basi ini sudah lama ingin kupertanyakan pada ibuku sejak dulu. Bercerita soal masa depan, aku kerap selalu berdiskusi dengan ibuku sendiri.

"Yah sekarang di lihat dari kamunya aja Mel, asalkan Tony udah siap dan mampu jadi kepala rumah tangga ya menurut ibu gak pa pa sih." Jawab ibuku, dan itu menurutku terlalu simpel bila dijalani begitu saja.

"Ahh masa sih? Aku ini masih usia 19 tahun lho bu, dan sebenarnya aku itu bimbang, masa iya perempuan masih usia 19 tahun sudah menikah? Terus ditambah lagi aku pacaran sama Tony masih baru dapat 2 bulan kan? Kesan ku sih masih terlalu cepat gitu lho! Tapi di lain sisi aku juga pingin nikah, gak tau, rumit aja gitu, agak bimbang." Kataku, dan ibuku biasanya selalu memberikan saran-saran terbaiknya. Memahami atas apa keluh kesahku, serta masalahku, meskipun solusi dari ibuku kerap nihil. 

"Yaudah Mel, kalau bimbang pacaran dulu ajah." Katanya yang terdengar menggantung. Memang ibuku ialah tipikal orang yang tak mau ambil pusing. Meskipun berbicara dengan ibuku ialah saat yang enak dan menghibur, dimana di situ aku bisa menjadi diriku sendiri dan meluapkan apa saja yang ingin kubicarakan pada seseorang. Tapi ibuku hanya bisa medengar dan merasakan, namun sulit baginya untuk memberikan jalan keluar, kalaupun itu ada, mungkin hanya saran.

"Iya, makanya itu aku selalu nekan kehendak Tony, aku suruh dia untuk nunggu dulu, lebih baik kita pacaran dulu aja." Kataku sambil tersenyum.

"Haha, kasihan juga sih ya dia, tapi gak masalah sih Mel, ibu lihat-lihat tuh ya, Tony itu cowok yang wajahnya kalem banget, persis seperti sifat dan kata-katanya, biasanya cowok yang seperti itu sifatnya setia." Kata ibuku, lalu aku mengangkat alis.

"Oh-ya? Mmm bener juga sih," balasku dengan nada yang bahagia bukan main.

"Duhh pokoknya nih ya, kalau sampai suatu saat hari nanti aku dan dia udah menikah, kita gak usah khawatir lagi soal rumah bu, karena kita pasti akan tinggal di rumah baru yang besar, yang muat buat ibu dan Jojo di sana juga." Kataku, ibuku seketika tersenyum lebar mendengar hal itu.

"Amin, kamu ini rupanya pintar cari jodoh ya Mel." Kata ibuku, dan aku menggeleng.

"Enggak juga, saat kita pertama kenalan tiba-tiba terjadi begitu saja, tanpa rencana dan missi sama sekali, yah mungkin ini lah yang disebut jodoh beneran, hehe." Kataku, lalu ibuku tertawa mendengar perkataanku.

Saat pada pagi harinya, diriku terbangun agak lumayan siang, seperti apa yang kuharapkan, bahwa kondisi tubuhku kian lama kian membaik. Semalam aku tidur begitu nyenyak tanpa ada masalah satupun yang kupikirkan. Sepertinya aku harus merubah sikapku saat ini, bahwa aku tak perlu berpikir soal pekerjaan terlalu berlebihan, cukup fokus kepada kesehatan dengan menjaga pola makanku  supaya teratur.

Aku mebereskan barang-barangku saat itu juga, dan obat dari puskesmas dulu sudah habis kuminum semua. Alhasil kondisiku sekarang sudah membaik. Ini waktunya aku untuk pulang ke rumah nenek dan mengakhiri konflik tersebut.

Rasanya aku pasti akan grogi untuk bisa masuk dan berhadapan dengan mereka, dimana mereka pada sebelumnya telah marah dan jengkel terhadap sikap-sikapku. Tapi ungkapan ibuku seperti pendorong bagiku untuk bisa tetap tinggal di sana lagi, menemani Jojo serta tidak membuat Tony tau dan khawatir.

Aku berpamit pada ibuku saat aku sudah merapikan semuanya. Dia tersenyum dan begitu bahagia melihatku sehat kembali. Wajahku yang nampak segar membuatnya yakin untuk berpelukan denganku tanpa memakai maskernya.

"Jadi besok kamu udah kerja lagi dong?" Tanya ibu.

"Iya, tapi Jojo masih libur sekolah lho ya? jadi aku gak perlu mampir ke sini." Kataku, dan ibuku mengangguk. Aku mengambil Shine tepat di depan rumah, kemudian menuntunnya hingga sampai di depan gapura gang rumah kontrakan ibuku.

Kulihat saat ini jalanan nampak lengang sekali, dengan aktivitas penduduk yang terlihat agak berbeda dari yang biasanya. Di sepanjang trotoar selalu terpasang washtafel portable, banyak penduduk yang berjalan keluar rumah menggunakan masker, serta tata letak pedagang yang kini menjajarkan dagangannya dengan jarak yang cukup berjauhan dari lapak jualan yang lain. Hal itu sangat kontras sekali saat wabah korona ini masih belum menyerang Negara ini.

Dulu di sepanjang trotoar itu ramai akan pedagang, serta pengendara gojek, grab, bahkan becak pun juga ikut stand by sekedar menunggu penumpang di sekitar area itu. Namun sekarang sepi dan hanya ada beberapa orang saja yang cuma sekedar lewat.

Pada perjalananku menuju ke rumah nenek, entah kenapa aku begitu sering melihat mobil ambulance yang kerap kali lewat simpang siur di sepanjang jalan ruteku berkendara. Hal itu menyebabkan hilangnya kesadaran pengendara motor yang hendak ingin menerobos lampu merah hanya karena ada mobil ambulance di depan mereka.

Sekitar satu jam kemudian, Shine telah sampai tepat di halaman rumah nenekku. Aku memarkirkannya di sana dan langsung masuk ke dalam rumah nenek. Pagi hari di rumah ini nampak lengkap tak ada satu orang pun yang sedang keluar rumah.

Paman Farid yang sudah tak bekerja, Jojo yang libur sekolah, serta tante Anik, nenek, dan Nino yang tak pernah pergi ke mana-mana. Kedatanganku seketika di sambut oleh mereka semua yang sekarang sedang berkumpul di ruang tamu.

"Amel! Kamu ke sini rupanya! Ayo masuk nak." Sambut nenek kepada diriku. Aku pun tersenyum lebar dan langsung masuk ke rumah itu sambil memeluk nenekku.

"Maaf ya nek atas kejadian kemaren." Kataku dengan nafas yang sungguh lega.

"iya gak pa pa Mel, yang lalu biarlah berlalu yah." Katanya. lalu aku menatap kearah tante Anik, yang saat itu dia nampak tersenyum ke arahku, sehingga mau tak mau aku membalas senyum darinya.

"Sini Mel," katanya, dan setelah aku memeluk nenek, aku beralih memeluk tante Anik saat itu juga. Dan kami berdua langsung melepas rasa benci yang selama ini membelenggu hati kami berdua.

"Maafin tante juga yahh soal kejadian kemaren." Ujarya dengan nada yang kalem.

"Seharusnya aku yang minta maaf sama tante, aku yang selalu bandel sama nasehat tante." Kataku, dan saat pelukan kami itu telah usai, spontan saja hatiku sangat merasa tenang.

"Ngomong-ngomong kamu sudah sembuh ya Mel?" Tanya paman Farid, lalu aku mengangguk.

"Sudah kok Paman, pokoknya sekarang aku gak bakal telat makan lagi." Kataku sambil tersenyum.

"Syukurlah kalau begitu Mel, tante sangat merasa bersalah dan kecewa banget karena sudah mengusirmu, seharusnya tante gak bilang kayak gitu ke kamu." Kata tante Anik, yang saat itu kurespon dengan senyuman lebar.

"Udah, gak pa pa kok tante, lebih baik kita mulai semuanya dari awal saja ya? Aku juga akan berusaha untuk bersikap lebih baik lagi pada kalian semua." Kataku, dan semuanya nampak senang mendengar apa yang aku ucapkan.

"Yaudah, kalau gitu kamu makan dulu aja Mel, selama gak ada kamu, yang masakin nenek ya tante mu itu." Kata nenek. Kemudian aku sejenak meletakkan tasku di kursi sofa.

"Oh-ya? hehe, berarti pekerjaan tante Anik tambah banyak dong ya?" gurau diriku.

"Iya Mel, lagian gak ada kamu sih. Makanya kamu di sini aja biar bisa masakin Nenek sama Jojo juga." Kata tante Anik.

"Hehe, iya tante." Jawabku.

"Ehh ngomong-ngomong besok kamu sudah mulai kerja kan Ya?" Tanya tante Anik.

"Iya, berangkat pagi seperti biasa." Jawabku. Dan aku mencoba untuk beralih masuk menuju ke kamarku.

"Masih tetap dianterin Tony juga?" Tanya tante Anik.

"Iya tante." Kataku, dan saat aku masuk ke dalam kamarku. Rupanya aku melihat bingkisan buah tersebut. Betapa terkejutnya aku kalau bingkisan buah tersebut ternyata masih utuh dan tak ada satu orangpun yang menjamahnya.

"Jojo? kalau mau ambil buah ambil saja sayang." Kataku pada Jojo, dan adikku itu langsung mengambil buah-buahan itu.

Bersambung..

Berlanjut ke Chapter 37..