Aku sangat penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Tony kepada pak Hamid. Dia telah melarangku tentang semua bentuk perintah dari beliau.
Aku khawatir kalau dia berkata yang tidak-tidak mengenai diriku. Dugaanku yang selama ini akan menjalani masa karantina dengan tenang di rumah nyatanya rapuh begitu saja.
Aku tak bisa menelak apa yang telah diperintahkannya. Mau tidak mau aku harus menurutinya. Meskipun hatiku diselimuti oleh rasa bimbang, lantaran pak Hamid menyuruhku mengambil APD untuk dibawa ke rumahnya.
Setahuku APD itu hanya untuk perusahaan saja, dan stoknya juga terbatas. Akan tetapi dia berkata kalau di dalam ruang kantornya juga ada barang-barang tersebut. Pikiranku sudah merambah kemana-mana saat ini.
"Baik Pak, saya tidak akan bilang ke siapa-siapa." Jawabku dengan amat terpaksa.
"Bagus, saya tunggu kedatanganmu yah?" Katanya, dan setelah itu sambungan telpon antara kami langsung diputus. Dalam hatiku berkata.
"Gila! Karantina macam apa ini?"
Ucapku dengan kesal. Akhir-akhir ini di rumahku saat malam hari terasa begitu dingin. Kecemasanku semakin bertambah saat menyadari kalau malam ini cuacanya sedang mendung. Angin yang meniup-niup di luar sana juga menambah rasa berat diriku untuk melangkah.
Aku kembali ke ruang makan sambil mengenakan jaket dan tas kerjaku hanya untuk berpamit kepada keluargaku. Mereka terlihat cemberut saat menatapku berdiri di tengah mereka yang sedang makan malam.
"Aku pamit pergi keluar sebentar yah?" Kataku pada mereka. Nenekku terdiam sambil mengernyit, lalu tante Anik mulai menatapku dengan wajah gusarnya.
"Kemana lagi malam-malam begini?" Tanya-nya.
"Aku ada tugas dari pimpinanku tante." Jawabku, "disuruh ke kantor sekarang buat ngirim barang." Imbuhku.
"Malam-malam begini?" Kejutnya, dan aku mengangguk.
"Udah biarin saja, toh itu demi kepentingan pekerjaannya." Ules paman Farid yang ditujukan pada istrinya.
"Terserah Mel, hati-hati," kata tante Anik, lalu aku langsung membalikkan badanku dan berjalan menuju ke pintu keluar untuk mengambil Shine.
"Kalau sudah selesai langsung pulang Mel!" Teriak tante Anik.
"Iya tante." Kataku sambil menutup pintu. Rupanya benar apa yang kuduga, bahwa langit di malam ini nampak mendung dengan corak warna merah yang amat lekat. Aku sangat tidak yakin kalau tugas ini akan berlangsung dengan mudah. Aku mengambil Shine pada saat itu juga, berkendara di jalan raya dengan angin malam yang dingin menusuk tulang rusukku.
Jauh di atas sana, awan tersebut meneteskan gerimis hujan, sungguh menyebalkan bila kuberhentikan lajuku saat ini. Aku memilih untuk tetap fokus hingga sampai ke kantor sialan itu.
Di sana kulihat kantor itu sangat sepi dan gelap, tak ada lampu penerangan yang menyala di luar gedung kantor itu. Padahal biasanya wilayah perkantoran yang ada di sini terang oleh lampu jalanan yang terbias di sekeliling depan bangunan kantor. Kurasa lampu penerangan tersebut sedang mati.
Aku sampai di sana dengan perasaan yang amat ragu, untungnya pagar yang sebagai akses satu-satunya untuk masuk di kantor ini tidak ditutup. Aku berjalan menuju ke pos security sambil berlari. Semakin lama hujan gerimis semakin deras. Di sana aku melihat pak Wanto, duduk di kursi depan ruangannya.
"Pak!" sapaku sambil terengah-engah. Pak wanto langsung berdiri, terkejut melihatku yang sudah datang menemuinya.
"Kamu rupanya? Kupikir yang ke sini bakal orang lain." Kata pak Wanto. Lantas aku menggeleng.
"Bukan Pak, sebelumnya sudah di kasih tau pak Hamid kan?" Tanyaku.
"Sudah," jawabnya. "Kamu mau masuk sekarang?" Imbuhnya, dan aku mengangguk. Ketika itu aku dan pak Wanto berjalan menuju ke pintu gerbang masuk. Gerbang tersebut begitu besar dengan gembok dan tantai yang terkunci sangat rapat. Jika aku membukanya sendirian, aku pasti tidak akan sanggup. Setelah itu pak Wanto mendorong gerbang itu untuk bisa terbuka. Lalu di dalamnya juga masih ada pintu kaca yang sama-sama dalam keadaan terkunci. Dia membuka gembok itu kembali, dan akhirnya diriku pun bisa masuk ke dalam kantor tersebut.
"Mel! Kamu jangan nyalain lampu ya?" Kata pak Wanto.
"Kenapa pak?" Tanyaku sambil mengernyit.
"Nanti alarm-nya menyala, kamu gunakan senter bapak ini saja, pakailah." Ucapnya, dan aku mengangguk sambil menerima senter pemberiannya itu. Pak Wanto seketika meninggalkanku, kembali ke ruang pos-nya demi untuk menyeruput secangkir kopi miliknya kembali.
Aku di dalam sini sendirian, gelap, dan lembab. Bau sabun yang kusinyalir sebagai disinfektan itu tercium pekat di hidungku. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju ke ruang kantor pak Hamid. Mengingat bahwa kunci pintu ruangannya terletak di dalam lemari samping dispenser tepat di dalam laci yang paling atas. Kunci dengan gantungan doraemon, aku masih mengingatnya, dan aku harus menemukannya.
Kubuka laci tersebut, dan aku seketika merasakan cairan lengket menempel pada telapak tanganku. Tiada henti diriku diselimuti oleh rasa was-was dan juga takut. Lalu sejenak kucium telapak tanganku, dan yang kurasakan ialah bau sabun serta alkohol yang amat menusuk pernafasanku. Aku langsung mengusapnya dengan kain taplak yang tergerai di atas almari itu.
Seharusnya aku juga memakai APD yang lengkap saat memasuki ruangan ini, namun aku hanya memakai masker saja, tak lebih dari itu. Aku langsung mengambil kunci ruang kantor pak Hamid, dan tanpa pikir panjang kubuka ruangan itu dan diriku langsung masuk ke dalam ruangannya.
Sungguh, berada di dalam ruangan ini sendirian begitu membuatku takut. Lantas mana barang APD yang akan aku bawa ke rumah beliau? Aku melihat di dalam ruangannya nampak kosong dan tak ada sesuatu yang kulihat selain meja, sofa, serta almari etalase yang menyimpan hiasan-hiasan gelas. Aku tak mau bertanya pada pak Hamid lagi, saat itu juga aku mencarinya sendiri.
Ku-geledah isi laci-lacinya beserta meja-mejanya, dan saat aku membuka lemari etalase yang berada tepat di samping kursi sofa itu. Aku terkejut bukan main, sebab aku menemukan sekardus penuh dengan masker serta sarung tangan.
Jantungku gemetaran dan kuacak-acak isi dari lemari entalase itu, dan rupanya di dalamnya masih ada lagi, yaitu berupa baju APD tenaga medis lengkap terbungkus jadi satu di dalam kardus.
Aku sampai mengernyit tak habis pikir, bagaimana bisa barang-barang itu ada di dalam ruangan beliau? Dengan jumlah sebanyak itu dan selengkap itu?
Pikiranku sudah merambah kemana-mana, mengingat saat ini stok masker dan sarung tangan serta APD lainnya sangatlah langkah, bahkan kalaupun itu ada, sudah pasti akan dijual dengan harga yang fantastis. Aku melihat barang-barang tersebut saja seperti melihat sebuah harta karun. Benakku tak habis pikir untuk mengingat kenjadianku dulu saat beliau memarahiku perihal habisnya stok APD di kantor ini.
Kalapun beliau mempunyai stok yang begitu banyak, kenapa dia bisa memarahiku seperti itu? Dan menyuruhku untuk membeli APD dengan harga yang lebih murah.
Entahlah, yang perlu kupikirkan saat ini ialah, apakah aku bisa membawa barang-barang sebanyak itu hingga sampai ke rumahnya?
Setahuku menggunakan Shine pasti tak akan muat membawa barang sebanyak itu. Aku menghirup nafas panjang sejenak, berusaha membuat diriku tetap rileks, namun itu tidak bisa, sebab saat itu juga aku mendengar suara reruntuhan barang tepat di belakang sana.
Aku terkaget, hingga nyaris berteriak. Senterku langsung mengarah pada pintu masuk ruangan ini, nampak kosong tak ada seseorang sama sekali. Sudah cukup, aku sudah muak dengan kekonyolan yang dibuat olehnya.
Aku memberanikan diri untuk menghampiri sumber suara itu. Berjalan memasuki ke ruang belakang, melewati ruang pantry, lalu melewati ruang backoffice, nyaris diriku sampai ke ujung ruang kantor ini, yaitu tepat di ruang gudang.
Aku melihat pintu belakang terbuka dengan begitu lebar, jantungku seketika berdetak tak karuan saat menyadari bahwa pintu tersebut terbuka. Seharusnya bila dipikir secara logika, pintu tersebut harusnya tertutup rapat sebab gedung ini menjalani masa lockdown.
Mengingat ucapan dari Pak Hamid kalau akses masuk ke dalam kantor ini hanya ada satu, yaitu melewati pintu depan dengan bantuan pihak security, selain itu sudah tidak ada lagi. Akan tetapi yang kudapati sekarang justru pintu belakang sedang terbuka, pastinya secara logika ada orang luar yang telah memasuki kantor ini. Namun biarlah, barang kali pak Siswanto sedang mengecek area belakang.
"Kurang ajar! Dia sudah bikin aku kaget, apa yang sedang dia lakukan?" Gumamku.
Aku langsung membuka pintu gudang, dan betapa terkejutnya aku melihat beberapa orang sedang bertengger di dalam sana, dengan pakaiannya yang sudah basah kuyup, merintih, lusuh, sambil salah satu dari mereka menggendong bayi dan bayi itu menangis merintih-rintih.
Mataku terbelalak, syok, dan juga kaget, aku seketika dibawa pada rasa kepanikan mereka sebab yang kutahu dia adalah temanku sendiri.
"Astaga AMIR?"
Aku berteriak memanggil namanya dengan penuh keterkejutan akan kehadirannya di dalam ruang gudang ini. Aku langsung menghampirinya, menyampingkan kardus-kardus serta tiang penyangga yang telah runtuh karenanya. Amir seketika bersujud sambil tangannya yang memohon kepadaku.
"Mel, jangan bilang ke siapa-siapa ya? Tolong aku Mel!" Ucapnya, dia nampak basah kuyup dengan baju yang kotor oleh bercak tanah. Aku ketakutan bukan main, apalagi aku menyadari bahwa dia membawa istri beserta anaknya yang masih bayi ke dalam gudang ini.
"Mir! Kenapa ka- kamu bisa ada di sini? Apa yang terjadi?" Tanyaku dengan terengah-engah. Wajah Amir memerah penuh dengan tangisannya.
"Tolong aku Mel," katanya. "Aku gak punya cara dan pilihan lain lagi, aku sekarang kehabisan uang Mel." Katanya, sejenak aku menengok kanan kiri barang kali ada seseorang yang memergoki kami, jika saja itu terjadi, gawatlah sudah.
"Aku ingin mengambil barang-barang bekas yang selama ini aku kumpulkan untuk kujual Mel, aku tidak sempat menjual kardus-kardus itu, aku sudah tidak punya cara lain lagi selain ini Mel," katanya sambil memegangi lututku.
"Sudah Mir, jangan kayak gini, kamu berdiri yahh." Kataku, sambil merunduk memegang kedua pundaknya. "Apa yang terjadi? Katakan pelan-pelan saja Mir, aku akan bantu kamu oke? Ada apa?" Imbuhku dengan nada bicara sehalus dan sejelas mungkin, sampai jantung ini mau copot.
"Kamu tahu sendiri kan kalau aku sekarang sudah dipecat?" Tanya-nya, dan aku mengangguk. "Aku sudah dua hari gak makan Mel, aku gak ada uang untuk ngasih istriku buat belanja, anakku sendiri juga sudah seminggu gak kubelikan susu," katanya pelan, namun memukul hati dan perasaanku.
"Di luar sana kami juga ditagih utang sana-sini sama depkolektor, sampai kami gak berani pulang ke rumah dan diburu oleh banyak tetangga. Tolong Mel," kata Amir. Aku tak bisa membendung perasaanku, spontan saja aku bingung, takut, dan juga miris. Aku kenal dan menjalani pekerjaan bersamanya di kantor ini kurang lebih selama dua bulan, dan aku sama sekali tak mengetahui bahwa Amir rupanya memiliki kondisi ekonomi yang begitu susah.
"Mel," panggilnya, dan suara tangis dari anaknya berbunyi kembali, kurasa anak itu ingin menangis sekencang mungkin, namun suaranya terdengar begitu berat, seperti anak kecil yang kehausan dan tak pernah minum.
"Aku cuma ingin bawa kardus-kardus ini saja kok Mel." Katanya, air mataku menetes seketika.
"Lagi pula kardus ini sudah tak terpakai, niatku memang untuk ku-jual Mel, buat susu anakku." Imbuhnya, dan aku menelan ludah dengan amat susah payah.
"Mir? Kenapa dari dulu kamu gak cerita? Kalau tahunya gini untung dari hasil beginian gak usah dibagi dua denganku." Kataku. "Jujur Mir, ruangan kantor ini itu diawasi banyak kamera cctv, kamu bisa sampai ke sini bagaimana caranya?" Tanyaku, nada suaraku sampai habis karena menahan tangisku.
Lalu dia menunjukkan sebuah kunci, yang kulihat mirip dengan kunci belakang gedung kantor ini.
"Aku telah menduplikat kunci pintu belakang, aku punya ini sudah lama Mel." Katanya.
"Lebih baik jangan kamu ambil deh Mir, bahaya." Tukasku. Lalu seketika itu istrinya langsung merunduk, memegang lututku dengan amat erat. Anaknya sampai meringkup pada gendongannya, dan saat itulah aku bisa melihat wajah bayi itu yang sungguh nampak kurus.
"Tolong mbak, hanya kardus saja mbak, gak banyak, tolong ya mbak?" Katanya dengan wajah murung yang menatapku penuh tangis. Aku tak tega melihat mereka, istrinya nampak begitu kebingungan, dengan rambut basah berantakan. Aku langsung memegang pundaknya.
"Gini saja, aku punya uang Mir, gak banyak, cuma empat ratus ribu, kamu ambil saja yah?" Ucapku, dan sisa uang pemberian dari Tony pagi tadi kuambil dari dompetku, lalu kuberikan padanya. Diriku rela mengasihkan uang itu dengan penuh ikhlas dan rasa belas kasihanku pada Amir. Respon mereka berdua pun langsung lega bukan main.
"Terima kasih Mel," ucap Amir sambil memegangi tanganku. "Aku gak tau harus bilang seperti apa kepadamu." Ucapnya, dan saat itu aku bisa merasakan nafas lega mereka. Senyum yang terukir pada wajah istrinya begitu mengharuhkanku. Namun itu seketika berubah begitu saja saat kami mendengar bunyi langkah kaki seseorang, menggebu seakan hendak menghampiri ruang gudang ini.
"Mel? Sudah selesai kah? Jangan lama-lama." Teriak pak Wanto yang sontak membuat kami semua panik.
Bersambung…
Berlanjut ke Chapter 41...