Chapter 44 - Bab 44

Selasa, 24 Maret 2020.

Mataku terbuka lebar saat bias sinar matahari menerangi wajahku. Pagi yang sungguh melelahkan, rasanya diriku tak kuat untuk bangun di atas ranjang. Apa yang telah kualami semalam sangat membuatku terluka. Diriku sampai di rumah nenek tepat pada pukul dua belas malam dengan kondisi basah kuyup yang membuat seluruh keluargaku panik bukan main. Aku sadar kalau mulai detik ini diriku sudah pengangguran, aku tak punya jalan dan rencana apapun dalam kehidupanku.

Aku membalikkan tubuhku yang dalam keadaan tengkurap untuk berbaring memandang atap ruangan kamarku, dan di pojok sana aku melihat jam dinding analog yang menggantung menunjukkan pukul sembilan pagi. Sungguh liar dan keterlaluan, aku sama sekali tak pernah bangun sampai sesiang ini. Lantas dimanakah Jojo? Kenapa anak itu tidak membangunkanku saja?

Rumah ini akan semakin ramai bila semuanya tak ada yang keluar untuk beraktivitas. Kami semua sudah tak punya urusan apa-apa lagi, baik itu pekerjaan atau apapun itu, kami seakan dibuat untuk berhenti sejenak, diam di dalam rumah, dan menghabiskan waktu bersama keluarga, baik dalam keadaan kenyang maupun lapar, itu semua seakan tak penting, semua itu seakan seperti parody di mata banyak orang yang tak mengerti keadaan ekonomi rakyat kecil sepertiku.

Uang lima ratus ribu yang diberikan Tony kepadaku dulu kini telah lenyap tak tersisa, dan aku sudah tidak punya cara lain lagi untuk berbelanja makanan apa di hari ini. Berita soal diriku yang telah mengundurkan diri dari pekerjaan keparat itu masih belum kuinformasikan kepada keluargaku. Aku sangat tidak tega melihat ekspresi mereka, bahkan bentuk belas kasih pada diriku sendiri pasti tidak akan mampu untuk kubendung. Yang kutahu di awal bulan April ke depan pastinya banyak tagihan-tagihan yang perlu ku-bayar.

Semua itu mencakup biaya listrik rumah ini, yang sepenuhnya telah dipasrahkan kepadaku, kemudian biaya kontrakan bulanan ibuku, yang jumlahnya juga tak kalah fantastis hingga nyaris memangkas seperempat dari gaji bulananku. Itu semua belum termasuk biaya hidupku selama sebulan kedepan. Aku hidup di rumah ini bersama adik semata wayangku, dimana dia sudah kuibaratkan seperti anak-ku sendiri yang harus kutanggung seluruh biaya hidupnya. Oh tuhan, aku benar-benar sudah tak bisa berpikir lagi. Hanya satu cara yang bisa kulakukan supaya diriku bisa bertahan hidup hingga satu bulan ke depan,   yaitu  menggunakan kartu kreditku

Saat itu juga diriku mulai bangkit dari ranjang kamarku, dan mendengar suara Jojo yang berteriak-teriak sedang asyik bermain bersama Nino dan ayahnya. Kakiku berjalan untuk menemui mereka, dan sesampai diriku di ruang tamu, rupanya di sana juga ada tante Anik yang kelihatannya baru pulang dari pasar. Aku mendekatinya, dan merasa terkejut bahwa tante Anik berbelanja buah-buahan yang cukup banyak. Disana aku melihat Dia membeli anggur, apel, pepaya, melon, dan juga semangka.

"Amel?" Kejut tante Anik saat melihat kedatanganku.

"Tumben tante belanja buah-buahan?" Tanyaku sambil mengernyit, lalu berpikir akan kondisi keuangannya yang kusinyalir sedang dalam keadaan krisis karena suaminya yang telah terkena PHK. Otak ini masih tetap berusaha menebak-nebak kondisinya, sebab uang dari mana dia bisa membeli belanjaan sebanyak itu?

"Aduh Mel, jangan pura-pura bodoh deh." Jawabnya, "kan kamu sendiri yang menyarankan tante untuk buka usaha salad buah?" Imbuhnya, sontak saja diriku semringah atas jawaban itu.

"Oh-ya? Jadi ini tante baneran serius mulai buka usaha?" Tanyaku, dan tante Anik langsung tersenyum lebar.

"Ya-iyalah, gimana nih kelanjutannya? Katanya kamu bisa buat saladnya? Ajarin tante ya Mel?" Ujarnya.

"Tentu aku ajarin lah tante." Jawabku sambil tersenyum.

"Sip, mumpung tante lagi dapat uang pesangon dari pamanmu Mel, lumayan bisa dibuat untuk membeli persediaan makanan hingga bulan depan, sama sekalian nurutin usul kamu yang mau buka usaha ini." ungkap tante Anik.

"Syukurlah, aku jadi senang dengarnya, tapi maaf sekali kalau aku tidak bisa membantu menambah biaya dalam modal usaha tante." Kataku yang membuat tante Anik mengernyit..

"Maksudmu Mel? Kamu tidak usah ikut beli apa-apa, ini semua bahannya sudah tante belikan kok." Singgungnya sambil mengeluarkan daftar belanjaannya yang telah dia beli.

"Iya, maksudku aku tidak bisa membantu dalam segi finansial di bulan April mendatang." Kataku sambil merunduk, dan saat itu tante Anik, paman Farid, dan nenek terlihat nampak menatapiku. Kurasa mereka mulai merasakan ada sesuatu permasalahan dalam diriku. Kemudian aku memberanikan diri untuk mengungakapkan apa saja yang telah terjadi semalam.

"Aku sekarang sudah kehilangan pekerjaanku." Kataku, "Kemarin malam saat diriku pulang itu ialah saat terakhir kalinya aku menjalankan tugas." Imbuhku, dan seketika saja mereka yang ada di ruang tamu ini terdiam, terperangah menatap diriku, tak tahu harus mengucapkan kata-kata apa atas kondisi yang kualami.

"Ada apa memangnya Mel? Apa gara-gara perusahaan di tempatmu itu ada yang positif?" Tanya paman Farid, dan diriku sejenak mengangkat bahu seolah pura-pura tak mengetahui.

"Entahlah, yang jelas perusahaan sedang dalam masa krisis, sehingga mengurangi jumlah karyawan mereka." Bujukku, padahal semunya tidaklah seperti itu. Bisa saja saat ini diriku memegang uang yang cukup apabila diriku segan menuruti perintah pak Hamid, namun hanya saja diriku tidak ingin berada pada lingkarang bisnis hitamnya tersebut. Serta mereka juga tak seperlunya mengetahui tentang alasan diriku keluar dari pekerjaan itu yang sebenarnya.

"Memang saat ini  sangat sering terjadi hal seperti itu, tapi mau bagaimana lagi? Kamu hanya karyawan biasa yang dibutuhkan bila perlu, namun dibuang mentah-mentah begitu saja ketika perusahaan sudah merasa tidak perlu." Kata tante Anik yang membuat diriku begitu sedih. "Kamu yang sabar ya Mel?" imbuhnya.

"Kemungkinan untuk listrik bulan depan akan aku usahakan kok, yang terpenting aku sudah ngomong  perihal kondisiku saat ini pada kalian semua." Kataku, dan aku bisa melihat senyum tulus mereka yang terukir manis diwajahnya.

"Iya Mel, tenang saja, nenek ngerti." Ucap nenek.

"Lagi pula nanti juga bakal ada kebijakan dari pemerintah untuk meringankan biaya listrik bagi warga yang terkena dampak korona." Sahut paman Farid.

"Oh ya?" Kejutku.

"Entahlah, kita lihat saja nanti semoga saja hal itu benar." Balas paman Farid dengan penuh harapan.

Pada kesehari-harianku berada di rumah nenek, diriku menghabiskan waktuku bersama tante Anik untuk membuat salad buah di dapur. Saat diriku bersamanya, entah kenapa aku menjadi kangen pada ibuku sendiri. Sepertinya sudah lama diriku tidak masak bareng dengan ibuku semenjak diriku menderita anemia.

Dia masih belum mengetahui kabarku saat ini, membayangkan apabila dia menagih uang kontrakannya kepadaku, dan aku menjawab bahwa aku tidak punya uang untuk menolongnya, itu lebih menyeramkan dari pada diriku menonton film horror sekalipun.

Ngomong-ngomong salad buah yang telah kubuat bersama tante Anik akan kami jual ke toko-toko kampung terdekat, hanya sekedar untuk menitipkannya saja, lalu kami tinggal hingga beberapa hari kedepan. Kebetulan saja tetangga-tetangga kami banyak yang memiliki toko serba gunanya masih-masing, bahkan sebelum pada jarak lima ratus meter dari arah menuju ke pasar, di sana banyak terdapat warung-warung depot yang tentunya memiliki kulkas untuk barang produk minuman mereka, dan itu sangat cocok untuk salad buah-ku yang hendak kutitipkan di tepat itu. Dengan harga yang terjangkau serta kemasan produk yang menarik, aku yakin sekali kalau salad buatanku pasti laku terjual.

Selain memanfaatkan toko-toko di sekitar rumah, aku mencoba untuk memasarkannya di akun media sosial milikku, meskipun diriku begitu canggung dan tak pernah melakukan hal seperti itu pada sebelumnya. Ku-potret susunan cup salad tersebut semenarik mungkin, lalu kuposting ke status whatsapp serta status Instagram. Langsung saat itu juga respon dari Eny dan Andy berdering di ponselku.

"Wahh, enak banget tuhh kayaknya." Ketik pesan Andy.

"Haha, iya nih, dua puluh ribu fix gratis ongkir An," ketik pesanku untuknya.

"Cocok banget buat nambah imun di tengah wabah korona seperti ini." imbuku.

"Iya Mel, aku mau deh saladnya, aku pesan dua ya? Sama Eny juga, ngomong-ngomong hari ini kamu gak kerja ya Mel? Kok di fotomu sedang berada di rumah nenekmu?" Ketik Andy pada saat itu juga, dan diriku meresponnya dengan hati yang gembira seakan tanpa beban sama sekali.

"HAHA, benar sekali, aku sudah free nih An. Alias resign pingin jadi juragan salad." Jawabku padanya, dan Andy langsung mengirimiku emotikon terkejut sebanyak lima kali. Aku yakin dia pasti kaget setelah tahu diriku sudah benar-benar keluar dari pekerjaanku.

"Kamu serius Mel? Ada apa memangnya? Kamu ini sedang bercanda kan?" Ketik pesan Andy.

"Aku serius An, ceritanya panjang banget, kapan-kapan kalau kita hangout aku ceritain semua deh." Jawabku.

"Omg, hangout katamu? Corona menangis gak ada harga dirinya Mel melihat ucapanmu ini." Balas Andy, dan kujawab dengan emotikon ngakak padanya.

Dua cup salad akhirnya laku terjual oleh teman baikku sendiri. Mereka sangat pro terhadap apa saja yang kukerjakan. Sosok teman baik yang selalu melekat di hatiku dan tak akan pernah ada sosok penggantinya di dunia ini. Entah kenapa aku begitu yakin sekali, dan atas kehadiran mereka, diriku tidak pernah merasa kesepian, atau bahkan di saat diriku belum mengenal Tony sekalipun. Sampai kapanpun aku akan selalu tetap menganggap mereka seperti saudaraku sendiri, tak cukup rasanya bila hanya sekedar teman baik.

Ketika saat waktu senggang membelenggu jiwaku, aku terpaku diam membisu di atas kursi sofa memandang permainan antara Jojo, Nino dan paman Farid. Sikap kompetitif yang dilakukan Jojo saat bermain monopoly sungguh membuatku merasa gemas padanya. Jika saja dia berada di kamar saat ini dan tidur bersamaku, bisa jadi adik semata wayang yang kini sudah ibarat anak kandungku itu akan kuciumi sampai ribuan kali sepeti hal-nya saat Tony mengancamku untuk melakukan hal tersebut.

Sungguh konyol sekali, namun entah kenapa diriku justru ingin mengalami saat-saat seperti itu bersamanya. Tanganku masih menggenggam ponselku, dan kulihat satus whatsapp-ku yang memuat soal promo salad buah tersebut. Di sana rupanya tidak ada Tony sama sekali, dia tidak melihat statusku, bahkan dia juga tidak memberiku kabar sama sekali di hari selasa ini. Sungguh moment yang jarang dia lakukan untuk melewatkan tiap jam antara pagi, siang, sore, dan malam untuk sekedar menanyaiku banyak hal.

Namun di hari ini dia seakan tak nampak sama sekali di ponselku, bahkan chat antara kami pun mulai bergeser seiring banyaknya pesan masuk dari grub-grub whatsapp yang kupunya.

"Ada apa dengan Tony? tumben pria itu tidak menghubungiku." Ucapku dalam hati.

Saat malam telah tiba, diriku sudah selesai makan dengan sayur buatan tante Anik. Entah berapa banyak jumlah pesangon yang diterima oleh paman Farid hari ini? Dimana itu jelas membuat sifat tante Anik nampak begitu gembira sekali, bahkan stok persediaan bahan-bahan pokok terisi penuh di dalam dapur.

Sungguh aku merasa bersyukur akan hal itu, setidaknya salah satu dari kami ada yang mendapat rezeki dimana itu berguna untuk semua orang yang ada di rumah ini.

Seiring berjalannya waktu dan tak ada aktifitas berarti yang kulakukan membuat hati ini penasaran dengan isi status whatsapp-ku, berharap bila pada list daftar orang yang melihat status itu ada nama Tony. Namun saat diriku mengeceknya, rupanya dia tidak ada di sana. Sungguh, kenapa pria itu tidak aktif sama sekali? Ini sungguh aneh, dia tak pernah menghilang sebelumnya

Aku menjadi penasaran akan kondisi dan kabar darinya. Kemudian saat itu juga kulihat isi kontak percakapan kami, dan dalam keterangan di bawah namanya, dia baru aktif terakhir kali pada hari senin kemarin, tepat pada malam dia menelponku saat diriku berada di ruang kantor pak Hamid. 

"Kenapa dia jadi seperti ini?" Ucapku dalam hati.

"Apakah dia ngambek kepadaku karena diriku yang beralasan sedang masak tepat pada pukul sepuluh malam? Dimana itu membuatnya jengkel sebab diriku seakan tak menurut padanya?" Entahlah, sungguh itu ialah alasan konyol yang membuatku spontan untuk membenci diriku sendiri.  Namun jujur saja, sejengkel-jengekelnya Tony kepadaku, dia tidak pernah ngambek atau bahkan marah kepadaku, apa lagi sampai menghindariku dan tidak mengabariku sama sekali seperti ini. Jujur ini ialah yang pertama kalinya, dan ini sangat membuatku penasaran, cemas, dan juga rindu.

Entah kenapa bila dia menghilang seperti ini rasanya ada sesuatu yang berat membebani diriku, dan itu mampu membuat dadaku terasa sesak.

Ujung jemari jempolku berada tepat di atas tombol call pada layar kontak whatsapp Tony, aku berniat untuk menghubunginya, namun rasanya diriku begitu bimbang, aku tak pernah melakukan hal seperti ini. Biasanya dia yang selalu menghubungiku. Pikiranku seketika merambah kemana-mana. Soal pak Hamid dan pekerjaanku, apakah jangan-jangan dia sudah mengetahuinya?

"Amel? Kamu kenapa kok bengong begitu?" Tanya tante Anik saat menegurku di meja makan. Lantas mereka semua nampak melihatiku.

"Gak pa pa tante." Jawabku sambil tersenyum tipis, dan saat itu juga seperti ada sebuah surprise yang datang secara tiba-tiba. Ponselku seketika berbunyi, memecahkan kesunyian diatara kami yang sedang menikmati makan malam. Hatiku semakin lega saat mengetahui bahwa seseorang yang menelponku ialah Tony, pria yang begitu kurindukan selama ini.

Bersambung…

Berlanjut ke Chapter 45...