Aku benar-benar terkejut saat melihat Tony datang di luar jendelaku. Dia berdiri di luar sana menatapku dengan senyuman manisnya. Aku sampai tidak mengerti apa yang harus kukatakan kepadanya, yang bisa kulakukan hanya terdiam dan juga bingung lantaran kedatangannya begitu mendadak. Padahal semalam dia telah berjanji kepadaku kalau dia tidak akan keluar kemanapun.
"Apa yang kamu lakukan di sini Ton?" Kataku sambil mengangkat alis. Dia menatapku dan tersenyum dengan kedua tangannya yang dia sembunyikan di belakang tubuhnya, seolah-olah dia membawa sesuatu untukku.
"Kenapa kamu ada di sini?" Tanyaku dengan gugup, perasaan yang sungguh campur aduk, antara terkejut dan senang. "Apa kamu tidak kasihan dengan ibumu yang sekarang sedang berada di rumah sakit dan berjuang mati-matian untuk menangani pasien covid? Dan kamu dengan seenaknya telah melanggar aturan karantina hanya karena untuk ingin menemuiku? Kamu benar-benar gila Tony." Imbuhku yang hendak menutup jendela kamarku seketika.
Lalu Tony melihat ekspresi-ku sambil mengernyit dan langsung maju mendekatiku. Genggaman pada kedua tangannya menunjukkan bahwa dia membawa sebingkai bunga kepadaku.
"Mel, tenang dulu, kamu jangan emosi begitu dong, dengarkan aku dulu sebentar." Katanya, dan diriku menghela nafas panjang.
"Memangnya kamu mau ngomong apa sih? Kan kita bisa bicara lewat telpon, gak pelu sampai datang ke sini segalak." Kataku, lalu Tony dengan sergap mendekat sambil mencegah pintu jendelaku untuk kututup.
"Mel tunggu dulu." Ulesnya, dan aku menahan pintu itu sembari menuruti kemauannya.
"Aku kangen banget Mel sama kamu, aku tak tahan sendirian terus di rumah, lagian pagi ini pak Hamid memberiku tugas dadakan untuk merekap absensi pagi ini, dan aku heran kenapa sistem di kantor tidak terdapat namamu sama sekali? Apa kamu tidak mengisi absensi kesehatannya?" Tanya Tony, dan diriku seketika bingung untuk menjawab pertanyaannya itu. Mata Tony menatapku seakan ingin menunggu jawabanku.
"Saat aku memeriksa absensi keseluruhan karyawan, hanya namamu dan nama pak Amir yang tidak ada." Kata Tony. "Aku tahu soal pak Amir, tapi kalau dirimu? Aku jadi khawatir kalau kamu kenapa-napa karena belum mengisi absensi kesehatan Mel." Imbuh Tony, dan diriku seketika menggeleng.
"Aku gak kenapa-napa kok." Jawabku sambil merunduk.
"Lalu kenapa kamu tidak absen?" Tanya Tony, dan dirikku kembali menatapnya.
"Aku sudah mengundurkan diri dari perusahaan itu." Jawabku pada akhirnya, dan ekspresi Tony seketika itu terdiam dengan tatapan kosong mengarah ke diriku, menunjukkan wajahnya yang terkejut tanpa ada rasa panik sama sekali.
"Kenapa kamu mengundurkan diri?" Tanya Tony, dan aku terdiam menatapnya, merasa ragu apabila diriku mengungkapkan apa yang telah terjadi padaku saat ini.
"Sepertinya aku sudah tidak cocok lagi bekerja di sana, lagi pula kamu tahu sendiri kalau pak Hamid selalu menyuruhku untuk melakukan tugas yang sulit-sulit." Jawabku pada akhirnya. Kemudian Tony menghirup nafas panjang, lalu tersenyum menatapku, sungguh senyuman yang begitu menenangkan.
"Yasudah gak pa pa, kenapa kamu tidak bilang ke aku kalau kamu sudah resign? Memangnya kamu keluar sudah sejak kapan?" Tanya Tony, bola mataku melirik ke atas lalu kembali menatapnya.
"Aku bilangnya barusan kok ke pak Hamid." Ulesku.
"Ohh, memangnya pak Hamid menyuruh kamu apa lagi? Bersih-bersih?" Kemudian diriku membungkam mulut Tony dengan telunjuk tangan kananku.
"Huft, tidak usah dibahas deh Ton, lagian kamu pasti tahu sendiri seperti apa perintahnya, kurang lebih semacam itu." Jawabku, dan Tony sedikit menganggukan kepala
"Gara-gara teringat soal perkataanmu yang menyuruhku untuk menolak di setiap bentuk perintah pak Hamid di masa karantina ini, yang akhirnya membuatku niat untuk resign." Imbuhku, dan tangan Tony seketika menggenggam tanganku begitu erat, sorot mataku beralih pada bingkai bunga yang dia bawa itu.
"Maaf ya Mel, bukannya aku bermaksud untuk memojokkanmu, aku jadi merasa bersalah kamu resign dari pekerjaanmu." Kata Tony.
"Ngapain? Ini bukan salah kamu kok, ini juga bukan salah siapa-siapa, ini memang murni dari keinginanku sendiri Ton." Kataku, dan wajah Tony seketika berubah menjadi sedih, merenung sambil berpikir.
"Kalau kamu resign, kayaknya aku juga bakal nyusul Mel. Lagi pula ngapain diriku tetap bekerja di sana kalau tidak bisa bertemu kamu lagi?" Ungkap Tony yang membuat mataku terbelalak menatapnya.
"Hah? Janga Ton, ngapain kamu juga ikutan resign? Mencari pekerjaan di jaman sekarang itu susah banget. Pokoknya aku tidak mau kamu keluar dari sana hanya dengan alasan konyol seperti itu." Balasku, lalu kami sejenak terdiam, sunyi dan penuh dengan beban pikiran yang membelenggu kami berdua.
"Memangnya apa rencana kamu kedepannya? Aku jadi mikir soal hal itu." kata Tony.
"Tidak usah dipikir Ton, makanya aku membuka usaha salad buah, meskipun masih baru mulai, setidaknya itu bisa kubuat sebagai jalan penyambung hidupku." Jawabku.
"Kamu yang sabar ya Mel, kalau kamu merasa kesulitan dan perlu apa-apa, kamu katakan saja kepadaku, aku akan selalu membantumu." Katanya, dan diriku merasa terharu dengan apa yang telah diucapkan oleh Tony. Melihat ekspresinya yang nampak kebingungan hendak ingin mengambil sesuatu, lantas membuat diriku teringat perihal bunga yang dia genggam tepat di tangan sebelah kirinya tersebut.
"Ini bunga untukmu, aku tadi kebetulan lewat di toko bunga dan langsung teringat oleh-mu." Ujar Tony, mata sayunya langsung membuat hatiku menghangat.
"Ngomong-ngomong kamu suka kan dengan bunga ini? Mawar merah seperti warna bibirmu Mel." Imbuhnya, dan diriku tertawa sedang.
"Suka lah, sini aku ambil." Kataku, dan diriku mengambil bingkai bunga tersebut, baunya begitu harum dan memikat, entah kenapa kehadiran Tony saat ini begitu kubutuhkan.
"Pasti kondisi keluargamu saat ini sedang kebingungan ya? Dulu kamu pernah berkata kalau paman-mu sedang di PHK, dan sekarang ditambah dengan keputusanmu yang resign dari perusahaan itu. Apa kamu sekarang punya tabungan untuk menyambung hidupmu hingga hari-hari ke depan?" Ucap Tony, lalu diriku bingung untuk menjawab hal tersebut. Sebab pada kenyataannya saat ini diriku memang dalam keadaan tak punya uang. Semua tabunganku sudah menipis semenjak diriku membayar tanggungan ibuku.
Kemudian Tony saat itu juga melepaskan genggamannya pada tanganku, dan dia merogoh saku celana untuk mengeluarkan sebuah dompet. Sungguh saat-saat yang mendebarkan seperti yang kurasakan dulu ketika berada di dalam mobilnya. Ketika pria itu memelukku, dan tanpa pikir panjang memberiku uang untuk biaya hidupku. Hal itu seakan terulang kembali, aku tak bisa menerima pemberian darinya, menurutku ini terlalu berlebihan. Namun apa yang sekarang terjadi, pria itu seketika menyodorkan uang kepadaku sambil berkata.
"Mel, ambilah uang dariku, aku yakin sekali kamu pasti membutuhkannya, ambilah." Kata Tony dengan nada memohon kepadaku. Pada saat itu juga diriku seakan hendak meneteskan air mata. Dia begitu baik dan selalu mengerti di setiap kondisiku tanpa harus berkata padanya secara langsung. Entah kenapa Tony menjadi seperti ini? Menjadi pria yang sangat peduli.
"Jangan Ton, simpanlah saja." Ujarku padanya, dia langsung menyelundupkan uang itu pada genggamanku, lalu dia genggam kembali tanganku dengan lembutnya.
"Ahh, ambil saja, aku tidak mau kamu sampai tidak pegangan uang sama sekali. Tidak usah khawatir, ambil saja." Desaknya, lalu diriku merunduk tak kuasa melihat mata sayunya yang begitu lembut itu.
"Kamu adalah tanggung jawab-ku Mel, meskipun kita masih belum menikah, kamu tetap sangat berarti untukku, aku tidak mau dirimu kesusahan pasca kamu keluar dari pekerjaanmu." Imbuhnya.
"Tapi Ton, kemarin kamu baru memberiku hal semacam ini, dan masa iya diriku menerima pemberian darimu lagi? Tidak Ton, aku tidak mau." Kataku sambil berusaha membuka genggamanku, tapi dia cegah pada saat itu juga.
"Tidak, jangan, terimalah, aku mohon." Ucap Tony, dan diriku menatap matanya. "Aku mohon ya? aku ingin melihatmu merasa lebih mudah. Membiarkanmu di tengah situasi seperti ini tanpa pekerjaan, pasti akan membuatku kepikiran. Kamu harus bisa tenang Mel, kamu harus bisa jaga kesehatanmu, dan aku ingin kamu tidak kesulitan, karena kamu masih ada aku." Imbuh Tony, dan kedua mataku langsung berlinang oleh air mata.
Entah kenapa hatiku sangat merasa terharu, dan itu membuatku ingin untuk memeluk Tony. Di pagi yang masih surut ini, aku memeluknya dengan erat, hangat dari tubuhnya seketika menyembuhkan segala macam luka dan beban dalam hidupku.
"Terima kasih Ton, terima kasih sekali, kamu benar-benar pria yang baik, aku tidak tahu harus melakukan apa untuk membalas semua kebaikanmu." Kataku saat diriku bersandar pada bahunya.
"Tidak usah bicara seperti itu, aku hanya ingin kamu tetap mencintaiku, sampai kapanpun, itu saja Mel." Kata Tony, dan diriku tersenyum lebar, senyum yang penuh dengan kebahagiaan. Angin pada pagi hari ini seketika terhembus, dingin memecah kehangatanku. Membuat dedaunan pada pohon yang kering seketika rontok jatuh menghujani kami berdua.
"Tentu Ton, aku akan selalu mencintaimu sampai kapanpun, selalu, dalam kondisi apapun, aku akan selalu tetap mencintaimu." Kataku dengan nada merintih. Lalu Tony seketika melepaskan pelukanku, dan beralih untuk mengecup bibirku dengan begitu lembut. Nikmat dan penuh kasih sayang, Tony menciumku nyaris pada seluruh wajahku, seakan diriku seperti seorang bayi yang baru lahir dan mendapatkan banyak ribuan ciuman, itulah yang dilakukan Tony saat ini.
"Ayo Mel, aku ingin mengajakmu keluar pagi ini." Katanya dengan nafas yang masih belum stabil. Diriku sampai enggan mengusap di setiap bekas kecupan dari pria itu. Sungguh moment yang begitu luar biasa.
"Keluar? Kemana?" Tanyaku.
"Kita jalan-jalan sebentar saja, merasakan sinar matahari pagi." Kata-nya. "Ambil jaketmu dulu, di luar masih dingin rupanya." Imbuhnya.
"Ton, jangan konyol, kita kan sedang karantina, kamu yakin mengajakku untuk keluyuran?" Tanyaku.
"Kita tidak melanggar kok, sudahlah, itu berlaku kalau kita berada pada keramaian, sedangkan kita kan hanya ingin bercinta saja, lagi pula siapa yang melarang orang yang sedang bercinta? Adakah laporan berita seperti itu?" Kata Tony, lalu tubuhku langsung merasa gemetaran merespon keinginan Tony tersebut. Dia benar, kita tidak akan melanggar aturan karantina hanya untuk melihat sinar matahari pagi. Konyol sekali.
"Baiklah, tunggu sebentar, aku ambil jaketku dulu." Kataku sambil beralih ke dalam untuk mengambil jaket.
"Tapi, bagaimana dengan nenek? Bagaimana dengan tante Anik? Aku harus berpamit kepada mereka berdua Ton." Ulesku saat kembali menemuinya di depan jendela kamarku.
"Astaga Mel, kamu polos sekali orangnya, WA saja Jojo, kan anak kita sudah dibelikan ayahnya handphone, bilang ke anak kita kalau mama sedang belanja dulu ke pasar. Nanti kalau ada yang mencarimu dia bisa bilang begitu ke mereka." kata Tony, lantas diriku langsung tertawa mendengarnya.
"Oke deh, memangnya kamu ingin banget ya punya anak?" Tanyaku, dan pria itu tersenyum.
"Iya, kamu sih kuajak menikah mikirnya lama." Ules Tony.
"Kan kita masih muda Ton, masih banyak hal yang perlu kita selesaikan, lagian kamu tidak punya cita-cita untuk mewujudkan keinginanmu terlebih dahulu?" Tanyaku.
"Cita-citaku hanya menikahimu Mel, udah itu saja." Kata Tony, dan diriku beralih untuk munuju ke pintu depan rumah, namun Tony langsung melarangku.
"Hei? Kamu mau keluar lewat mana?" Tanya Tony.
"Lewat depan lah." Jawabku dengan polosnya.
"Duhh, loncat dari jendela sini saja, entar malah ketahuan lagi." kata Tony, "Jangan takut jatuh, aku gendong sini." Imbuhnya, lalu diriku mengarah ke jendela kamarku, dan kupanjat jendela tersebut. Helai tangan Tony langsung membantuku turun ke luar jendela. Kemudian kami berduapun sudah berada tepat di luar halaman rumah nenek-ku.
Tony tersenyum lebar, sambil helai tangan kirinya merangkulku selagi kami berdua berjalan menuju ke kendaraannya.
"Kamu bawa motor Honda Gl itu lagi?" Tanyaku.
"Iya, aku mau mengajakmu di taman, dan menyaksikan sinar matahari pagi." Kata Tony.
"Terserah kamu, pokoknya jangan lama-lama ya?" Tanyaku.
"Tidak lama kok, aku ingin kamu bisa refreshing, dari pada pikiranmu mentok di rumah terus, iya kan?" Ujarnya, dan diriku menyampingkan pony rambutku ke belakang telingaku sambil tersenyum. Kemudian diriku menaiki motor jadulnya itu, dan tanpa ragu kurangkul tubuh Tony selagi dia mengendarai motornya.
Mataku terpejam seperti dulu, seperti saat-saat dia pertama kali mengantarkanku berangkat bekerja, dan dia menyatakan bentuk cintanya kepada diriku. Moment yang masih tergambar jelas pada ingatanku, dan sampai kapanpun aku ingin tetap memilikinya, berada pada pelukannya, dan tak akan pernah terpisah darinya, meski dalam kondisi seburuk apapun itu. Tony tetaplah pria terbaik yang kukenal selama ini, pria yang tak pernah berhenti untuk mencintaiku, mengerti soal keadaanku, dan diriku ada dalam harapannya, sepertihalnya aku. Sinar matahari pagi mulai terlihat di atas langit sana, membias menyinari perjalanan kami berdua.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 48...