Rabu, 01 April 2020.
Bunyi tumis masakan tante Anik terdengar di sepenjuru ruangan. Di atas meja makan tersedia banyak sekali jajanan yang siap untuk kami jual. Diriku sedang menata semua makanan itu di dalam keranjang kecil, serta tak ketinggalan kubawa salad buah segar buatanku.
"Kamu sudah siap untuk berangkat pagi ini?" Tanya tante Anik. "Ini giliranmu Mel, kapan lagi coba?" Imbuhnya. Semenjak diriku sudah tidak bekerja lagi, mau tidak mau aku memutuskan untuk berjualan membantu perekonomian keluargaku. Kami berdua telah bekerja sama untuk mengembangkan usaha tersebut, dan baru-baru ini kami memutuskan untuk menambahkan varian jajan pasar sebagai tambahannya.
Hari ini merupakan waktu pertamaku untuk berjualan keluar rumah. Di tengah situasi yang masih tidak kondusif seperti ini, tak membuat semangatku luntur begitu saja. Meskipun larangan dari pemerintah selalu bergeming akan pentingnya untuk tetap tinggal di dalam rumah. Namun tetap saja, kami tak punya pilihan lain kecuali untuk ingin mencari nafkah.
Uang pemberian dari Tony seminggu yang lalu mampu membuatku untuk tetap hidup. Berbagai upaya diriku untuk menjaga kesehatan selalu kutunjukkan kepada pria itu. Hanya untuk membuatnya yakin dan tidak cemas. Entah kenapa akhir-akhir ini kami memang sedikit jarang berkomunikasi. Hanya ketika pada jam-jam istirahat saja, itu pun tak lebih dari dua jam. Tony lebih berfokus pada kondisi mama Firly.
Setiap hari saat aku dan dia saling terhubung, diriku tiada henti untuk selalu memberinya semangat dan dukungan. Andaikan aku bisa datang ke rumahnya untuk sekedar berkunjung, aku akan setia menemani Tony sampai dia merasa tak kesepian lagi. Akan tetapi hal itu seperti mustakhil. Kami hanya bisa bertemu paling tidak lewat video call.
Pagi ini tante Anik repot menyiapkan semua kebutuhan keluargaku. Setidaknya selama seminggu terakhir ini menu sarapan kami sangat tidak berbobot. Nasi yang terbatas, dengan lauk tempe, sambal, dan kerupuk. Semua itu akibat dari kami yang sudah tidak lagi memiliki penghasilan tetap. Paman Farid sendiri masih menggantungkan uang pesangonnya untuk bertahan hidup dan modal usaha jajanan yang dikelola oleh tante Anik. Lagi pula hasil dari usaha tersebut sangatlah memprihatinkan, mengharapkan untuk bisa balik modal saja itu sudah lebih dari cukup.
"Aku berharap jajanan kita bisa terjual habis hari ini." Kataku saat usai merapikan barang dagangan.
"Tante harap juga begitu, tapi kalau lewat dari pukul sebelas siang, lebih baik kamu langsung pulang saja Mel, tak peduli berapapun hasilnya." Ujar tante Anik.
"Lho kok begitu? Cepet banget." Tanyaku.
"Pasar akan bubar kalau sudah kesiangan, berbeda sepeti dulu, memangnya kamu mau jualan dimana?" Tanya tante Anik.
"Kalau pagi rencanaku di pasar, lalu siangnya keliling kampung, dan jika ada sisa, aku akan menitipkannya di warung-warung saja." Kataku, dan tante Anik menggeleng.
"Warung sudah tidak ada yang mau lagi menerima. Mereka takut sama korona. Mungkin itu juga bagian dari aturannya supaya barang-barang mereka sendiri laku." Ucap tante Anik. Penyebaran virus korona sendiri saat ini sudah kian semakin mengkhawatirkan. Data dari kementerian kesehatan mencatat bahwa total jumlah khasus positif covid 19 di Indonesia sudah mencapai angka 1677 khasus dengan kematian sebanyak 157 orang. Berbagai macam prediksi terburuk pun sudah dicanangkan bahwa korban khasus bertambahnya virus korona akan tetap selalu meningkat.
Seperti yang kutahu bahwa masih banyak orang-orang di luar sana yang masih melanggar protokol kesehatan. Diriku sebenarnya tidak ingin menjadi salah satu bagian dari mereka yang melanggar. Namun aku sudah tidak punya cara lain lagi untuk tidak keluar rumah. Apabila tetap berdiam di dalam sini bisa saja kami mati karena kelaparan, namun jika keluar bisa saja kami mati karena korona. Kedua-duanya seakan memiliki hukum yang sama, dan itu berlaku untuk keluargaku yang berada di bawah garis kemiskinan.
Harapan akan datangnya bantuan, serta keringanan biaya seperti tagihan listrik dan air sangat kami tunggu-tunggu. Tapi mau bagaimana lagi? saat ini aku sudah tidak punya pekerjaan lain selain berjualan seperti ini. Sampai kapanpun harapan dan resolusiku di tahun ini harus bisa kuraih.
"Aku akan mencobanya sendiri, tenang saja." Kataku, dan wajah tante Anik nampak ragu terhadap diriku.
"Yasudah, kamu hati-hati ya Mel." Katanya, aku tersenyum dan menganguk. Kemudian Jojo berlari keluar dari kamar tidurnya dan menuju ke diriku. Anak kecil pemalas itu seketika memelukku, kurasa kesehari-hariannya selama di rumah begitu nyaris membuatnya gila.
"Kak, paketanku habis, tolong belikan ya?" Katanya, dan aku teringat kalau sekarang ialah awal bulan. Dimana seluruh tagihan-tagihan akan bergeming disepanjang kehidupanku, dan tak terkecuali ialah paket internet milik Jojo.
"Aduh, gimana ya? entar dulu ya Jo! Kakak masih belum punya uang, kamu tahu sendiri kan kalau kakak sekarang sudah tidak bekerja lagi?" Kataku dengan lesu.
"Jo, kamu kan bisa pakai Hp-nya Nino," ujar tante Anik.
"Bukan gitu tante, dia soalnya ada kelas online selama pandemik korona ini." Balasku pada tante Anik. Lalu sorot mata Jojo nampak melirik ke segala macam makanan yang kubawa, dan dia melepaskan pelukannya dariku untuk mengambil salah satu jajan tersebut dengan begitu cepat.
"Kak aku minta satu ya?" Tanya Jojo.
"Jangan, itu untuk kakak jual." Tepisku.
"Dijual dimana?"
"Di pasar, udah kamu jangan ganggu deh, mending kamu balik aja di kamar sana." Ujarku.
"Aku ikut boleh ya?" Tanya Jojo, kemudian tante Anik langsung merespon.
"Gak usah, diluar banyak korona."
"Lagian kamu juga kalau disuruh pakai masker susahnya minta ampun," kataku. "Kalau kamu ikut dengan kakak, bisa-bisa kakak kena denda sejuta dan kamu tidak akan pernah kakak belikan paketan internet selamanya." Imbuhku, kemudian Jojo menarik-narik bajuku sambil memohon.
"Aku mau pakai masker kok, tapi aku boleh ikut ya? Boleh ya kak?" Desak Jojo dengan penuh semangat, kemudian sorot mataku beralih menatap tante Anik, sambil berbisik.
"Gimana nih tante?" Dan tante Anik menghirup nafas panjang, lalu mengangguk seakan mensetujui Jojo untuk ikut denganku.
"Oke deh kalau kamu mau ikut, ketimbang di rumah terus bikin stress, tapi kamu harus nurut sama kak Amel ya? Kalau disuruh pakai masker, maskernya di pakai, jangan nakal-nakal." Ujar tante Anik, lalu dengan gembiranya Jojo meloncat-loncat merasa senang untuk kuajak pergi keluar.
Dia langsung kusuruh untuk membawakan keranjang berisi jajanan yang akan kujual. Kami pergi ke pasar dengan menggunakan sepeda pancal milik tante Anik, dan kali ini Jojo ikut denganku, berboncengan menggunakan sepeda pancal itu.
Sungguh pagi yang sejuk dan dingin, kami menyusuri perkampungan untuk menuju ke pasar. Kulihat ibu-ibu di sepanjang jalan nampak keluar rumah untuk sekedar pergi berbelanja. Tak kusia-siakan Jojo yang duduk tepat di belakangku untuk kumanfaatkan.
"Jajan, jajaaaann, ibu, ibu, jajannya buuu~~~" Seru diriku dengan begitu kencang bagaikan shirine yang memperingatkan kalau kami sedang lewat menjualkan jajanan yang enak untuk dinikmati pagi hari. Senyum Jojo terukir dengan begitu lebar saat dia melepas maskernya, dan saat diriku menoleh ke belakang, aku berkata.
"Bantu kakak teriak seperti tadi ya? Yang kencang, gak usah malu-malu." Kataku, dan nampaknya anak itu sangat antusias untuk melakukan hal semacam ini. Dengan suara kencang dan lantang, Jojo berteriak menirukan suaraku, berkali-kali dengan penuh semangat dan gembira.
Hembus angin pagi menghempaskan ranting-ranting pepohonan, membuat dedaunan kering jatuh menghujani kami. Diriku terus melaju menyusuri setiap gang, menyapa mereka yang berada di tepi jalan, hingga mengundang banyak perhatian ibu-ibu yang sedang melintas, lalu mereka berteriak memanggil kami berdua.
"Jajan nak." Teriak mereka, dan saat itulah kami mendapatkan pelanggan pertama. Mereka menyambut kami dengan begitu hangat, memintaiku untuk memperlihatkan makanan yang kubawa, dan mereka tertarik, membeli beberapa potong kue lapis, sate klanting, kue pastel, serta salad buah-ku.
Jojo dengan pintarnya turut ikut membantu membungkus segala macam jajanan itu ke dalam kantung plastik, dan saat itulah aku merasa bahwa Jojo amatlah berguna.
Saat kami telah sampai di pasar, di sana sudah terdapat petugas patroli yang memantau kondisi pasar. Mereka menekankan dengan begitu tegas untuk tetap jaga jarak dan memakai masker. Pada setiap jalan diberi penanda dengan menggunakan cat sebagai bentuk social distancing.
Keadaannya sudah tidak sama seperti dulu, kami seakan dipantau dan diawasi. Para pengunjung juga tidak diperbolehkan untuk berdusel-dusel, atau sekedar untuk menunggu berjaga-jaga di sekitar lokasi tersebut. Apabila sudah selesai melakukan kegiatan berbelanja, mereka disarankan untuk langsung pulang meninggalkan pasar.
Saat itu juga diriku melihat seorang penjual nasi jagung yang sedang melayani pembeli, dan pembeli itu rupanya ingin makan di tempat tesebut. Namun salah satu petugas menyuruh pembeli itu supaya makanannya dibungkus dan dimakan di rumahnya. Hal semacam itu seakan berlaku bagi semua orang yang memiliki usaha makanan. Mengingat bentuk penularan virus yang semakin masif, tak mudah membuat setiap orang percaya begitu saja bahwa berada di lingkungan ramai ialah tempat yang masih aman.
Diriku hanya bisa terdiam, menunggu datanganya pembeli untuk sekedar mencicipi daganganku. Hingga waktu telah menunjuk pada pukul delapan pagi, para petugas kebersihan ramai memungut kotoran-kotoran sampah organik yang menumpuk di sepanjang jalanan. Seragam mereka nampak lengkap dengan APD yang mereka kenakan. Mungkin saat inilah waktuku di sini telah berakhir.
Kulihat petugas polisi pramong praja mulai berdatangan, menghalau para pedagang untuk bubar. Kulihat di sana juga ada pedagang yang sedang cekcok karena tidak memakai masker.
"Jojo, pakai maskermu." Bisik diriku pada Jojo, dan dia pun memasang maskernya kembali.
Di kotaku telah menerapkan sistem denda bagi seseorang yang tidak menggunakan masker, oleh karena itu diriku sangat mengkhawatirkan Jojo apabila dia melanggar perintahku.
Kami akhirnya beranjak untuk meninggalkan pasar sebelum petugas satpol PP menggertak diriku. Aku sudah tidak punya rencana lain lagi untuk beralih ke tempat lain. Kulihat Jojo sudah nampak letih, aku sampai tidak tega melihat kondisinya saat ini.
Menyadari bahwa daganganku masih banyak, aku menjadi frustasi dan seakan hilang arah. Aku menghalau Jojo untuk naik ke pangkuanku. Menyusuri perkampungan kembali dimana pada saat itu keadaannya sudah mulai sepi. Cahaya sinar matahari mulai menyengat kulit, membakar jalanan aspal yang kami lewati. Diriku mulai kehausan dan dehidrasi, dan rasanya sudah tak kuat lagi untuk kupancal pedal sepedaku. Jojo seketika mendesah, dia juga merasakan hal yang sama sepertiku.
"Kak, kita berhenti dulu yuk, kepalaku pusing nih." Katanya, dan diriku berhenti di pinggir jalan, tepat pada rerumputan dimana di sana terdapat pohon jambu air yang rindang di sepanjang lahan kosong yang hendak dibangun pemukiman perumahan. Aku memarkirkan sepeda pancalku, dan kuturunkan Jojo pada saat itu juga.
"Kamu haus ya Jo?" Tanyaku, dan dia mengangguk. Lalu kuberikan dia sebotol air minum yang telah kubawa dari rumah.
"Ini minumlah." Kataku sambil memberikan sebotol air mineral kepada adikku, lalu Jojo meminum semua air itu hingga habis, dan akhirnya diriku tidak kebagian apapun.
"Kak, kenapa sih kakak sudah tidak bekerja lagi sama kak Tony? Emangnya gara-gara korona ini juga ya?" Tanya Jojo, dan dia mulai duduk di sampingku tepat di atas rerumputan ini, bersandar pada pohon jambu.
"Iya Jo, semua karena korona, lagi pula kamu sudah tidak sekolah lagi juga karena korona kan?" Tanyaku balik, dan dia tersenyum.
"Kira-kira kapan kita bisa ketemu lagi sama kak Tony?" Tanya Jojo, dan diriku meliriknya.
"Mungkin saat semuanya sudah kembali normal." Balasku, lalu Jojo menghirup nafas panjang.
"Aku benci dengan semua ini, semenjak aku tidak sekolah, tugasku jadi semakin banyak, jadi gak bisa main diluar." Kata Jojo. "Aku jadi ingin di rumah Ibu." Imbuhnya.
"Besok kamu akan kakak antarkan ke sana." Jawabku, kemudian Jojo mengangguk, dan kami terdiam beberapa saat, sambil menikmati rindangnya pepohonan jambu ini.
Seperti sudah tak ada jalan lain, aku menjadi rindu pada Tony, serta ingin mengungkapkan segala macam keluh kesahku selama seminggu ini, namun rasanya itu begitu memalukan. Tony sudah banyak membantuku, mana mungkin diriku menerima bantuannya lagi secara terus menerus? Yang kutahu saat ini dia sedang memikirkan keadaan ibunya. Dimana pada setiap saat diriku juga memikirkan hal itu.
"Kak?" Sapa Jojo, memecah keheningan diantara kami. "Virus korona ini ulah siapa sih? Siapa yang sudah membuat semuanya menjadi seperti ini?" Ujarnya sambil mengernyit.
"Jangan bilang seperti itu sayang, semua ini Tuhan yang mengatur, kita sebagai manusia hanya bisa melaluinya, lagi pula sebelum korona beredar, kamu juga anaknya malas sekolah kan? makanya Allah turunkan korona supaya kamu gak malas sekolah lagi." Kataku, dan Jojo terdiam sambil cemberut.
"Siapa yang malas? Aku tidak pernah malas pergi ke sekolah, apalagi saat ditemani sama kakak Tony." Kata-nya.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 50...