Chapter 50 - Bab 50

Diriku terbelenggu atas apa yang telah Jojo katakan. Andai dia mengetahui kebenaran di saat ini, bahwa banyak orang di luar sana menerima nasib yang sama, dan dia tidaklah sendirian. Selama ini diriku memang berusaha untuk menghindar dan tidak ingin bergantung pada bantuan orang lain. Tapi setidaknya di setiap moment ketika kami bersama Tony, kami selalu mendapatkan banyak hal yang luar biasa, hal yang dimana diriku belum pernah mendapatkannya.

Saat itu aku merangkul pundak Jojo, sambil membiarkan kepalanya bersandar pada pundakku. Berusaha untuk membuatnya nyaman, meskipun masa-masa karantina ini membuat kami berdua penuh dengan keterpurukan.

"Sudahlah, nanti kalau semuanya sudah kembali pulih, kamu pasti bakal sekolah lagi dan diantar sama kak Tony." Kataku, dan Jojo terdiam sambil cemberut. Kemudian tanganku menyelinap pada rambutnya, dan kuelus-elus kepalanya sambil merasakan nikmatnya hembusan angin di siang hari.

"Kakak pernah tidak merindukan ayah?" Tanya Jojo yang tiba-tiba membuat diriku meliriknya.

"Em, tidak." Balasku, "memangnya kenapa?" Tanyaku.

"Aku hanya bertanya saja, mengingat dulu waktu aku berbicara sama kak Tony lewat video call, dia memanggilku seolah kalau aku ini ialah anaknya." Kata Jojo yang berhasil membuatku tersenyum.

"Jangan di dengerin, orang itu memang dari dulu ingin punya anak, memangnya kamu mau jadi anaknya?" Tanyaku yang mengarah pada Jojo. Lantas adik kecil semata wayangku itu menatapku lekat-lekat seolah serius untuk hendak menanggapi pertanyaanku.

"Maksud kakak mengadopsi ku?" Tanya Jojo.

"Mungkin, kalau kamu mau sihh, nanti aku akan bilang ke Tony langsung." Jawabku yang berniat mejahili Jojo.

"Ehh ngapain? Jangan, kak Amel ada-ada saja." Kata Jojo.

"Kenapa? Yang ada nanti Tony pasti seneng banget, kamu bakal diajak jalan-jalan terus sama dia." Kataku, dan Jojo pun berpikir sejenak, lalu dia terdiam.

"Gini ya Jo aku kasih tahu," kataku sambil menatap bola matanya. Kedua tangan Jojo kugenggam dengan erat, dan dia tertunduk, lalu kembali menatapku.

"Sekarang sudah tidak sama lagi seperti dulu, kamu tahu sendiri mengapa dirimu sekarang tidak sekolah, dan mengapa kakak sudah tidak bekerja, namun semua itu tak membuat kita berpisah, kita masih tetap besama-sama, sampai kapan pun itu, jadi kamu tidak usah beranggapan bahwa kamu kehilangan sesuatu." Ungkap diriku pada Jojo, dan ekspresi anak itu berubah menjadi gusar.

"Aku tidak percaya itu, semua orang sudah tidak peduli, mereka terlalu memikirkan kepentingan mereka masing-masing." Katanya, dan diriku mengernyit menatapnya.

"Kamu tahu dari mana? Mungkin yang kamu anggap seperti itu ialah orang lain, bukan dari keluargamu sendiri bukan? Mana mungkin keluargamu seperti kakak, tante Anik, nenek, ibu, tidak memperdulikanmu. Mereka semua sayang sama kamu Jo." Kataku, lalu Jojo mengangguk.

"Iya, yang kumaksud itu ialah teman-temanku, mereka semua menyebalkan." Katanya, dan diriku menghembuskan nafas panjang.

"Yausudah biarkan saja, lagian Nino selalu setia menemanimu di rumah kan? Meskipun dia sendikit resek, tapi dia itu asik lho kalau diajak main." Kataku, dan Jojo mulai terdiam. Mungkin dia merindukan Tony, aku yakin sekali. Pria itu sangat suka sekali dengan anak kecil, apalagi dengan adikku, sungguh kenapa saat melihat Jojo merenung, aku jadi teringat pada Almarhum ayahku, andai beliau masih ada sampai sekarang, yang dibutuhkan Jojo pasti momongan dari sosok seorang ayah, yang selama ini tak pernah dia rasakan.

"Besok kakak usahakan kamu untuk kuantar ke rumah ibu, tak peduli seberapa banyak orang yang positif di sana, kalau itu bisa membuatmu terhibur, kakak akan lakukan itu." Kataku, dan Jojo tersenyum sambil menatapku.

"Tapi kakak juga ikut tinggal di sana juga kan?" Tanya-nya, sejenak diriku berpikir, mana mungkin diriku bisa menetap di sana meninggalkan semua jenis daganganku, yang jelas itu tidak mungkin, usaha ini harus tetap berjalan supaya aku mendapatkan pemasukan.

"Tidak sayang, kakak tidak bisa, kamu saja yang tinggal di sana, biar kakak yang tinggal di rumah nenek untuk meneruskan jualan kakak." Kataku, kemudian pada saat itu juga ponselku seketika berdering.

Ditengah siang yang semakin terik, kurasa tante Anik bakal mengingatkan kami berdua untuk pulang ke rumah. Dengan cepat diriku mengambil ponselku di dalam tas, dan melihat bahwa Eny sedang menelponku. Sudah lama sekali kami tidak pernah berkomunikasi, ada apa siang-siang begini dia menelponku?

"Hallo, Mel." Ucap Eny.

"Iya En ada apa?" Tanyaku sambil melepaskan rangkulanku pada pundak Jojo.

"Kamu sekarang posisi dimana Mel? Kita ketemuan yuk? Ada yang perlu kubicarakan nih sama kamu." Katanya, dan diriku seketika kebingungan untuk hendak menjawab pertanyaan Eny.

"Em, aku lagi diluar sih En." Kataku dengan agak gugup.

"Diluar? Dimana itu?" Tanya Eny.

"Lagi jualan, emang kamu mau bicara apa sih?" dan diriku bisa mendengar suara kejut Eny dari ponselku.

"Ohh jualan dimana Mel? Ada dehh pokoknya, ini penting banget, kurasa kita perlu bicarakan secara face to face, bisa kan?" Kata Eny, dan diriku seketika merasa penasaran. Selalu apa yang ingin dia katakan kepadaku, bila itu ialah hal penting, dia selalu menginginkannya untuk berbicara secara langsung, yang terkadang itu membuatku bimbang untuk memilih ingin bertemuan atau tidak.

"Gini saja En. Aku share loc saja ya ke Wa-mu? Biar nanti kamu samperin aku, oke?" Kataku, lalu dengan penuh semangat Eny menjawab.

"Siip, boleh Mel, nanti aku dan Andy bakal ke sana, sekalian incip salad buahmu, hehe." Katanya, dan diriku tersenyum mendengar hal itu. Saat sambungan telepon itu telah usai, diriku membagikan keberadaan lokasiku di wa Eny, dan dengan cepat dia melihatnya, kemudian membalas.

"Oke, aku otw langsung Mel, tunggu'in ya?" Ketik pesannya kepada diriku. Akhirnya setelah kami berdua menanti kehadiran pembeli cukup lama di bawah pohon jambu yang rindang ini. Rupanya masih ada sebuah harapan untuk bisa menjual dagangan-dagangan itu yang sedang menanti untuk dinikmati.

Diriku kembali merangkul pundak Jojo, sambil menikmati sejuknya angin yang meniup di sepenjuru tempat ini. menghembuskan daun-daun kering, dan membuat rerumputan di sekitar kami menari-nari seperti rambut Jojo yang sedang kuelus-elus dengan lembut.

Tak butuh waktu lama, hanya beberapa menit saja, diriku melihat di ujung jalan sana terdapat segerombol pengendara motor yang berkendara hendak menghampiriku. Mataku terbuka lebar, menatap kearah sana, dan seperti apa yang telah kuduga, bahwa Eny dan Andy berada di sana, mereka seperti membawa teman-temannya, mungkin mereka ialah teman kerjanya. Kulihat baju seragam yang mereka kenakan sama semua.

Motor-motor mereka sejenak terparkir di depanku, wajah Eny dan Andy langsung mengernyit. Kemudian mereka berdua langsung memelukku dengan begitu erat, sungguh hangat dan menenangkan, diriku sampai grogi di lihati oleh banyak orang.

"Astaga Mel, lama gak bertemu ternyata kamu sudah berjualan seperti ini." kata Eny. "Apa saja memangnya isi di dalam keranjangmu?" Imbuhnya, dan diriku garuk-garuk kepala merasa malu dihadapan Eny, Andy, dan teman-temannya.

"Jajan pasar, buka saja tidak pa pa." kataku, lalu mereka semua membuka isi makanan dalam keranjang sepedaku, dan mereka mengambil makanan-makanan itu satu per satu, sungguh betapa bahagianya diriku melihat hal itu.

"Enak Mel jajan-mu." Kata Andy, lalu diriku tersenyum membalas pujiannya.

"Ngomong-ngomong kalian ke sini mau ngomong apa sih? Pake datang ke sini rame-rame." Kataku.

"Mau main sebentar mbak, hehe." Ujar salah satu teman cowok Eny.

"Ohh, kamu pacar barunya ya?" Siulku.

"Pacar apaan sih Mel? Mereka semua ini temen aku, kebetulan aja aku perlu bertemu sama kamu, sekalian deh mereka ngikut." Kata Eny, dan diriku mengangguk. Jojo yang berada di sampingku kemudian kusuruh untuk bersalaman dengan Eny dan Andy.

"Ehh ini Jojo ya? yaampun Mel, kenapa kamu ajak juga sih untuk berjualan panas-panas gini?" Kata Andy.

"An, adikku sendiri yang maksa mau ikut kok." Ulesku, dan Jojo tersenyum tipis.

"Sekolah kamu libur ya Jo?" Tanya Eny, dan Jojo pun mengangguk.

"Iya kak, libur dua minggu, itu pun masih belum pasti." Jawab Jojo.

"Sama Jo, Nouval sama Apan juga persis seperti kamu, di rumah bawaannya mainan gadget mulu. Kamu juga gitu ya?" Tanya Eny, dan dengan gugup Jojo menggelengkan kepala.

"Emangnya kamu mau ngobrol apa En?" Tanyaku, dan Eny seketika terdiam, merundukkan kepala dengan ekspresi murung, lalu kembali menatapku.

"Aku kangen sama kamu Mel." Katanya sambil tersenyum, hembus nafasnya terasa begitu lega, mereka berdua terlihat senang telah berjumpa denganku. "Sekalian juga bawa temen-temen buat borong makananmu." Imbuhnya.

"Makasih lho En, jujur aku juga kangen sama kalian berdua." Balasku.

"Memangnya ada apa sih Mel sama pekerjaanmu?" Tanya Eny, dan diriku menggeleng menepis soal petanyaan itu.

"Sudahlah, malas aku membahas hal itu, kamu pasti tahu, dari awal kan aku sudah tidak cocok bekerja menjadi cleaning service." Kataku, Andy dan Eny pun mengangguk berusaha untuk mengerti akan keputusanku.

"Yaampun Mel, aku harap keputusanmu ini tidak salah ya? Takutnya kamu menyesal lho, soalnya jaman sekarang cari kerja susah banget Mel." Kata Eny.

"Siapa yang menyesal? Keputusanku untuk mengundurkan diri dari pekerjaan itu sudah bulat sekali, dan aku yakin dengan berjualan seperti ini hidupku pasti lebih tenang." Balasku, dan kulihat mereka berdua nampak tersenyum tipis.

"Iya Mel, aku ngerti kok," kata Eny. "Sebenarnya kita di sini mau ngomong ke kamu Mel, soal___" kata Eny.

"Soal apa?" Tanyaku.

"Soal pekerjaan kami, yang sebentar lagi bakal dialih tugaskan di kota Medan." Kata Eny.

"Iya Mel, jadi beberapa minggu ke depan, kita berdua akan berangkat pergi ke kota Medan, dan kamu tahu? Eny sudah naik jabatan jadi manager marketing lho, dan aku jadi supervisornya." Kata Andy, dan diriku seketika berlinang oleh air mata, merasa senang dan juga sedih. Mana bisa diriku menahan mereka untuk tidak pergi ke kota itu, mengingat kami ialah teman dekat yang begitu akrab, tak ada sosok teman lain lagi dalam hidupku yang sebaik Eny dan Andy. Sungguh hati dan perasaanku terasa begitu berat.

"Oh ya? Selamat ya En, An, aku seneng dengernya, tapi__" Kataku dengan nada yang agak merintih, dan aku membenci nada suaraku ini.

"Tapi emang gak kejauhan? Kenapa tidak di sekitar Surabaya saja?" Imbuhku. Wajah Eny pun juga nampak berubah, berangsur-angsur kedua matanya seketika memerah, mungkin dia juga merasa berat atas semua kenyataan ini.

"Iya Mel, mau bagaimana lagi? Soalnya sudah keputusan dari kantor pusat. Jadi kita berdua hanya menjalankan saja." Kata Eny, lalu diriku menghembuskan nafas panjang.

"Yahh, jadi kita gak bisa bertemu lagi dong?" Tanyaku, yang entah kenapa seketika air mataku menetes sambil menguraikan senyum antara sedih dan bahagia. Sungguh, perasaanku begitu campur aduk.

"Dan kita gak bisa nge-mall bareng lagi Mel," Sahut Andy, dia langsung memegang kedua tanganku.

"Kami berdua pasti akan merindukanmu Mel, kamu yang baik-baik ya di sini? Jaga kesehatanmu, gak usah nangis ahh, kita jadi ikutan nangis nihh." Kata Andy, dan wajah Eny kulihat nampak memerah, dan dia mengeluarkan tisu, lalu memberikannya kepadaku.

"Yampun, kalian ini sudah aku anggap seperti saudara sendiri lho, bukan hanya sekedar teman lagi, mana bisa aku dengan entengnya menerima kabar kalian yang mau pindah. Tentu aku sedih lah, tapi juga senang karena kalian berdua sukses dengan karir pekerjaan kalian berdua, selamat ya." Kataku, Eny pun tersenyum lebar, dan langsung memelukku untuk yang kesekian kalinya.

"Kami pasti akan merindukanmu Mel, pokoknya kita tetap terhubung ya via medsos dan Wa?" Tanya Eny saat melepaskan pelukannya dariku.

"So pasti lah." Balasku sambil mengangguk.

"Oh iya Mel, hubunganmu sama Tony gimana? lancar kan?" Tanya Andy, lalu diriku mengangguk.

"Masih, kami masih tetap berkomunikasi kok," jawabku.

"Bagus, kamu harus pertahankan dia Mel, Tony ialah orang yang baik, dan juga ngerti banget sama keadaanmu. Kalau sudah nikahan, jangan lupa kabari kita berdua ya Mel?" Singgung Andy, diriku tersenyum begitu alot, sungguh sesuatu yang bagiku masih belum bisa kujawab, yang jelas hubunganku dengan Tony hanyalah sebuah keterikatan dimana kami hanya bisa saling melengkapi, serta saling membutuhkan satu sama lain. Lagi pula diriku masih belum siap menjalani kehidupan rumah tangga dan menjadi seorang ibu. Aku masih merasa terlalu awam mengenai semua hal itu. Namun dalam lubuk hatiku paling dalam, aku sangat mencintai Tony, mencintainya lebih dari apapun.

Bersambung...

Berlanjut ke Chapter 51...