Diriku sungguh beruntung telah mengenal seseorang seperti Eny dan Andy. Mereka begitu berarti bagi kehidupanku, teman yang selalu ada di saat diriku rapuh dan bahagia. Tak ada alasan lain bagiku untuk tidak bisa mencintai mereka, itu sungguh sulit untuk kulakukan. Mereka lebih dari apapun yang telah kupunya, bahkan sebelum diriku mengenal Tony pun, kami seperti trio wanita yang mencari cinta dan masa depan. Kami telah mengalami banyak hal di dunia ini, bahkan Eny yang telah kukenal saat kami masih menduduki bangku SMA. Ohh Tuhan, aku tidak bisa menahan air mataku untuk menetes, ini sungguh terlalu berat, lebih berat dari rasa rinduku pada Tony, dan bodohnya diriku membandingkan mereka di saat-saat seperti ini.
"Yah, aku akan mempertahankannya, lagi pula pria itu seakan sudah tergila-gila denganku." Kataku sambil bersandar pada sepeda pancal yang berada di samping Jojo.
"Sudah kuduga hal semacam itu akan terjadi." Kata Eny. "Benar kan apa yang kukatakan dulu padamu? Kalau wanita secantik kamu pasti bisa dapat pria tampan seperti Tony." imbuh-nya, lalu diriku tersenyum sambil menyenggol pundaknya.
"Gak juga, aku tidak ingin terlalu percaya diri, biar waktu nanti yang menjawab semuanya." Kataku, kemudian aku menggenggam tangan Eny, dia begitu terlihat cantik siang ini, sangat berbeda dari yang biasanya. Mengenai status dan karir-nya saat ini, pasti itulah yang membuat dia bisa berubah menjadi lebih baik.
"Jujur saja En, aku benar-benar sedih banget kalau kamu tinggal, kamu kan tahu sendiri siapa yang menemaniku di saat-saat weekend kalau bukan kamu dan Andy?" Kataku sambil menatap wajah Eny.
"Astaga Mel, jangan ngomong gitu dong, aku tidak ingin semua ini menjadi drama, lagi pula kan ada Tony, kita hanya pergi untuk bekerja itu saja." Balas Eny.
"Iya sama saja, aku pasti bakal kesulitan mendapatkan informasi terupdate tentang diskonan kalau kamu tinggal pergi." Kataku, "dan yang lebih bikin aku greget, habis ini kamu gak bakal beli outfit KW lagi, iya kan?" Tanyaku, Eny dan Andy tertawa seketika.
"Tentunya dong, tapi entah kenapa aku lebih suka yang Kw kok Mel, biar lebih efisiensi, dan tabunganku jadi lebih banyak." Balas Eny.
"Kalau sudah banyak boleh ngutang nggak nih?" Siul diriku, lalu Andy menanggapi sindiranku.
"Boleh lah Mel, entar langsung di transfer sama Eny, aku saja dikasih, masa kamu teman spesialnya dari SMA di php begitu saja sih? Gak mungkin lah." Ucap-nya.
"Tenang saja, kalau soal itu udah gampang deh." Ungkap Eny, dan diriku tersenyum lebar sambil menggenggam kedua tangannya yang begitu lembut dan indah itu, kemudian entah kenapa diriku tiba-tiba teringat tentang Bastian.
"Jadi ceritanya ini kamu sudah sukses nih, anggap saja seperti itu lah ya, tapi kalau aku boleh Tanya, ngomong-ngomong kabar hubunganmu sama si dia gimana En?" Kataku, yang langsung membuat kedua bola mata Eny memutar ke atas seolah mengingat sesuatu. "Maksudku Bastian." Imbuh diriku, dan Eny menepis.
"Ahh ngapain bahas itu sih? Itu masa lalu An, udah gak usah diungkit-ungkit." Katanya, "yang jelas aku sudah gak sama dia lagi." imbuhnya, dan diriku mengangguk.
"Tapi kamu sudah punya yang baru kan?" Tanyaku.
"Enggak, aku masih belum terlalu serius memikirkan hal itu, biarkan saja waktu yang menjawabnya, seperti dirimu saat ini." Jawab Eny sambil tersenyum manis menatapku.
"Kamu percaya An? Perempuan secantik Eny masih single?" Singgung Andy, lalu Eny menatapnya.
"Emang iya kok," ules Eny.
"Oh ya? Masa sih? Gimana kalau cowok yang,"
"An udah deh pliss." Tepis Eny, dan aku pun tertawa dengan ekspresinya itu.
"Jangan dulu An, biarin saja, entar spoiler gak seru, tapi kita tetap janji selalu terhubung di WA dan sosmed, oke? Gak ada alasan pokoknya, dan hukumnya wajib." Kataku, Eny dan Andy mengangguk sambil terenyum, dan genggaman tanganku melepas kedua tangan Eny. Teman-teman mereka nampaknya sudah menghabiskan jajanan daganganku, sungguh betapa bahagianya diriku.
"Oke deh, mungkin inilah saatnya kita berdua untuk pergi ya Mel?" Kata Eny sambil memberiku uang sebanyak tiga ratus ribu rupiah.
"En, uang pas gak ada apa?" Tanyaku sambil menggeledah kantung-ku untuk mencari uang kembalian.
"Halah gak usah, buat jajan Jojo saja." Ules Eny, dan entah kenapa aku merasa seperti seseorang yang memerlukan sebuah bantuan ekonomi. Memang keadaanku saat ini sangat tidak stabil. Mengandalkan hasil dari penjualan makanan ini masih belum bisa menjamin semuanya. Kehadiran Eny dan Andy saat ini bagaikan sebuah keajaiban bagiku, namun dia datang untuk berpamit pada diriku, membuat kami tidak bisa bertemu lagi untuk mejalani hari-hari libur yang kami miliki. Sejenak kuintip keranjang makananku, dan seperti apa yang kuduga, rupanya mereka menghabiskan semuanya.
"Oke deh, mungkin inilah saatnya kita berdua untuk pergi, tapi bukan berarti kita akan berpisah." Ujar Eny, dan diriku terdiam sambil merunduk, menatap pada sepatu usang milikku yang seakan rapuh tanpa harapan.
"Ingatlah, persahabatan kita tidak memandang jarak dimanapun kita berada, di dalam hatiku selalu ada tempat yang istimewa untukmu, dan aku tidak akan pernah merubah semua itu." Imbuhnya, dan aku tersenyum akan buah ucapan itu, tentu diriku akan melakukan hal yang serupa. Memberikan ruang kepada mereka di dalam hatiku, dan tak kan pernah terlupakan sampai kapanpun. Kemudian di siang hari yang semakin terik ini, semua kawan-mawan Eny dan Andy berpamit. Kulihat mereka menjadi lebih bersemangat setelah kenyang menghabiskan semua daganganku. Sungguh keberuntungan yang nyata, aku akan pulang ke rumah nenek saat ini. Tangan Andy dan Eny melambai-lambai ke arahku, dan saat itu seperti tak ada alasan lain untuk bisa menahan rasa sedihku.
Dalam benakku selalu mengira kalau kami tidak akan lagi bertemu, mungkin suatu hari nanti, namun suatu hari yang begitu lama. Akhirnya diriku telah sampai di rumah nenek, enyah sudah perjalanan kami menyusuri perkampungan dan pasar. Tante Anik terkejut dengan hasil perolehanku hari ini. Dia begitu tanggap sampai diriku dibuatkan teh hangat olehnya. Lagi pula semua itu tidak akan terjadi bila tanpa kedua teman baikku, dimana dulu tante Anik sempat menganggap enteng ketika mereka beruda mengalami kecelakaan. Mereka sangat berarti, kalau tidak begitu semua jajanan ini tidak akan habis oleh siapapun.
Saat senja mulai bergulir, diriku duduk di teras balkon rumah nenek, kami semua sudah selesai makan malam. Ini merupakan waktu yang lebih awal dari yang sebelumnya. Diriku menatap ponselku, bersandar pada pilar dan menunggu pesan dari Tony. Sungguh seharian ini dia sama sekali tidak mengabariku apapun, bahkan hanya sekedar chat-pun dia tidak melakukannya.
Akhir-akhir ini banyak sekali kelonggaran yang kosong antara kami berdua. Andaikan saja aku berniat untuk menghubunginya, namun diriku tidak mau bila kalau bukan Tony dulu yang menghubungiku, selalu seperti itu, entah kenapa, yang terkadang hal semacam itu sangat kubenci, tapi memang itu ialah sifat dasarku yang mewajibkan Tony untuk menghubungiku terlebih dahulu. Mungkin itu terlalu kejam, bisa saja dia di sana sedang kerepotan untuk mengerjakan sesuatu, atau lebih fokus pada kondisi ibunya. Tentu saja, dan diriku tidak bisa menahan hal itu, maka dengan niat tulusku kutelpon Tony pada saat itu juga, demi mengetahui tentang kondisinya bahwa aku sangat memikirkannya.
Sayangnya nomor Tony pada saat itu tidak aktif, aku berusaha agar tidak panik, aku justru memilih untuk diam, menyimpan ponselku sebentar di dalam saku, hingga diriku tak lagi memiliki kegelisahan. Di atas balkon ini aku menatap langit senja, berjalan dan bersandar pada pagar pembatas. Rasanya cukup nyaman, warna ungu, biru, dan orange bercampur di atas sana, menjadi background burung-burung yang hendak ke rumahnya. Dalam benakku berpikir pasti Tony menyukai pemandangan seperti ini, warna langit senja yang menjadi tempat para bintang-bintang berkumpul. Aku sangat berharap dia berada di sini, memelukku dan memberikanku kehangatan.
"Lagi mikirin apa? Kok bengong saja?" Tiba-tiba kata seseorang yang berhasil mengagetkanku.
Saat kulihat di seberang sana, tepat di depan balkon rumah nenekku ialah rumah Sandro. Rumah dengan dua lantai yang dipasang sebuah jendela ventilasi di bagian kamar atas. Rupanya dia sedang berada di sana, sambil duduk di tepi jendela, dan menatapku.
"Hei, kamu membuatku kaget." Kataku, dan dia tertawa.
"Maaf, kamu ngapain bengong saja? Lagi mikir sesuatu ya?" Tanya Sandro, lantas diriku terdiam sambil berpikir. Pria sepantaranku itu selalu memergokiku bila diriku menyendiri di area luar rumah nenek. Tak terkecuali saat diriku berdebat dengan tante Anik. Terkadang suara kami terdengar sampai ke dalam rumahnya. Sebab rumah kami memiliki jarak yang dekat, bahkan nyaris berdempetan.
"Endak, aku tidak mikir apa-apa, hanya ingin melihat langit senja saja. Sungguh betapa beruntungnya balkon-ku menghadap ke-arah barat." Kataku, dan Sandro tersenyum.
"Masa sih? Kelihatan tau dari wajahmu." Ules Sandro.
"Hmm, sebenarnya kamu benar San." Balasku pada akhirnya. Lalu Sandro menekuk lutut, bersantai pada sisi jendela, seakan mencari sisi ternyaman untuk siap mendengarkan ceritaku.
"Apa itu? Katakan saja." Ucap Sandro. Diriku beralih untuk menatap senja yang begitu indah di atas sana, dan aku merasa bahwa tak seharusnya masalah ini disembunyikan.
"Aku rindu dengan seseorang." Kataku, "kamu pasti tahu lah." Imbuhku, dan wajah Sandro mengernyit.
"Pacarmu itu kan? Emangnya kamu ada masalah sama dia?" Tanya Sandro.
"Tidak, kita hanya berpisah karena menjalani masa karantina saja, dan kamu tahu? Aku sekarang sudah tidak bekerja lagi, boleh dikatakan kalau saat ini aku pengangguran." Ujarku sambil tersenyum.
"Kamu tidak sendirian Mel, diriku malah enam bulan tidak bekerja, tidak keluar rumah, bahkan tidak mempunyai teman untuk diajak berbicara." Kata Sandro sambil merenung. "Pandemi ini membuatku menjadi semakin introvert." Imbuhnya. Aku menatap wajah anak itu yang tiba-tiba saja membuat hatiku menjadi simpati padanya.
"Jangan begitu San, kalau kamu butuh teman untuk diajak berbicara, hubungi saja aku, atau chat diriku, bukannya kamu punya nomor telponku?" Kataku, "Ini sebenarnya yang sedang galau siapa ya? kayaknya kita berdua sama-sama galau deh San." Imbuh diriku yang membuat Sandro seketika tertawa sedang. Lalu kedua kakinya turun dari pembatas jendela kamarnya dan masuk ke dalam ruangannya.
"Kayaknya, tapi untuk mengatasi semua hal itu, lihatlah, aku melakukan hal ini untuk menghibur diriku." Kata Sandro sambil mengambil sebuah easel yang telah terpasang oleh kain kanvas. Dan betapa terkejutnya diriku saat melihat lukisannya.
"Wow, bagus sekali, itu kamu yang melukis gambarnya?" Tanyaku padanya. Lukisan itu bergambar sketsa wajah seorang perempuang yang nampak begitu cantik, namun entah siapa perempuan tersebut, diriku sama sekali tidak mengenalinya.
"Terima kasih Mel, ngomong-ngomong kalau kamu juga mau kulukis bilang saja yah?" Katanya.
"Itu wajah siapa San? Pacarmu?" Tanyaku.
"Customer lah." Jawabnya dengan percaya diri.
"Hebat, berarti kamu sekarang sudah punya profesi yah?" Tanyaku, lalu Sandro sejenak garuk-garuk kepala.
"Bisa dibilang seperti itu, tapi aku tidak berani untuk terlalu yakin, sebab di luar sana yang jauh lebih bagus dariku sangat banyak." Ujar Sandro.
"Kamu salah satu yang terbaik diantara mereka, aku suka dengan lukisanmu, setelah itu selesai, kamu lukis aku ya?" Tanyaku.
"Melukis fotomu sama foto pacarmu?" Tanya Sandro, dan diriku terdiam, menyadari bahwa selama diriku mengenal Tony, kami berdua jarang mengabadikan foto bersama, lalu saat itu juga aku menatap Sandro.
"Foto-ku sama temanku saja deh, entar aku kasih tips." Kataku, kemudian Sandro mengangguk dan meletakkan easel-nya kembali ke tempat seperti semula.
"Kenapa tidak sama cowok-mu saja Mel?" Tanya-nya.
"Kita jarang foto, sebenarnya diriku tidak hanya memikirkannya saja sih, aku juga memikirkan temanku juga." Imbuh diriku.
"Banyak sekali sih yang kamu pikirkan, kayak diriku dong, santai." Ules Sandro yang membuatku tersenyum.
"Aku gak bisa kayak gitu, entah kenapa. Semuanya terasa begitu berat." Kataku sambil menatap langit kembali. "Kamu tahu? Hari ini ialah hari perpisahanku dengan teman terbaikku itu. Dia adalah teman SMA-ku dulu, kami sering menghabiskan waktu bersama saat liburan, dan selalu ada di-setiap diriku membutuhkan seseorang. Mereka bagaikan pelengkap hidupku." Ujarku, dan Sandro menatapku untuk berusaha mengerti tentang kondisiku.
"Hari ini, dia akan dialih tugaskan di kota Medan, dan tentunya kami tidak akan bertemu lagi dalam jangka waktu yang lama." Terang diriku, kulihat di atas sana langit semakin begitu indah, cahaya mulai redup, dan warna biru itu semakin memudar, dimana biru ialah warna kesukaan Tony.
"Tapi entah kenapa keyakinanku begitu kuat, kalau hubungan pertemanan itu sangat menyenangkan, hingga melebihi dari hubungan percintaanku." Imbuhku.
"Lho kok bisa gitu?" Tanya Sandro.
"Karena mudah sekali untuk mencintai mereka." Jawabku.
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 52...