Kami berdua menatap satu sama lain dengan senyuman lebar. Kurasa apa yang telah kuucapkan telah membuat Sandro begitu penasaran. Memang hidup kami bisa dikatakan tak sering terjalin begitu erat. Sandro hanyalah teman figuran yang selalu terpampang di sekitar area luar rumah nenekku.
Di sini kami bertemu dan telah mengatakan padanya mengenai hal yang telah kupikirkan. Kami rupanya tak jauh berbeda, bagiku kami seperti sepasang burung merpati yang mencari sangkar. Sangkar yang nyaman dan penuh dengan kebahagiaan. Menepi dalam kesendirian di atas sini sambil menikmati cahaya senja yang redup dan menenangkan.
Andaikan Tony ada di sini, namun entah kenapa melihat Sandro membuat diriku melupakan hal itu sejenak, hal yang justru membebaniku. Entah ada apa denganku ini?
"Apa alasannya kamu membedakan mereka? Apa kamu tidak pernah merasa bahwa hubungan percintaanmu itu sama-sama spesial?" Tanya Sandro.
"Oh maaf, aku tidak bermaksud untuk membandingkannya, kurasa mereka semua baik. Hanya entah kenapa berjalan dengan kedua temanku membuat kami memiliki kenangan indah." Jawabku, lalu Sandro mengangkat bahunya.
"Oke, entah seperti apa itu rasanya, aku tidak pernah kehilangan seorang teman, karena memang aku tidak mempunyai teman." Katanya, diriku langsung menyahutinya.
"Aku temanmu," balasku. "Lantas aku ini kamu anggap apa San?" imbuhku, dia menggeleng.
"Bukan, kamu bukan temanku." Katanya, lantas aku mengernyit.
"Teman yang sesungguhnya selalu ada di setiap keterpurukanku, memberiku semangat dan dukungan, saling mengerti satu sama lain, dan setidaknya selalu ada paling tidak seminggu sekali, atau lebih bagus lagi setiap hari. Dan kita saling merasa nyaman dan membutuhkan." Ungkapnya, membuat kedua pipiku seketika memerah. Sandro benar-benar mengatakan apa yang selama ini kurasakan pada Eny dan Andy. Dia tahu mengenai makna persahabatan, hingga tak ingin melepaskannya. Aku berusaha untuk mengerti mengenai kondisi dan ucapan anak itu.
"Ohh Sandro, aku mau kok jadi teman baikmu. Bukannya selama ini kita seperti itu?" Kataku, dan Sandro menatapku sambil tersenyum. "Kamu ialah teman SMP-ku dulu, seingatku dulu kita sering berangkat sekolah bareng, pulang sekolah bareng, bermain di lapangan giras sambil menemanimu bermain layang-layang, kamu pikir semua itu tidak cukup?" Imbuhku, dan Sandro pun tertawa.
"HAHA, kamu masih ingat rupanya soal kenangan itu, dan yahh, semacam itulah yang kumaksud persahabatan yang sesungguhnya." Katanya, kemudian diriku merunduk.
"Untuk saat ini berarti diriku tidak termasuk ya?" Tanyaku.
"Lupakan saja Mel, seperti apa yang kukatakan tadi, kita hanya orang lain yang sama-sama mencari sisi ternyaman dalam hidup ini, dan kamu pasti sudah mengharapkannya , bahkan sudah merencanakan semua harapan itu, seperti sebuah resolusi. Teman baik pasti tahu apa saja resolusimu." Katanya.
"Aku tahu resolusimu San." Ujarku sambil tersenyum, dan dia mengangkat alis sebelah kanannya.
"Oh ya? Apa coba?" Tanya pria itu.
"Ingin mendapatkan pekerjaan kan?" Jawabku sambil tertawa sedang.
"Yah, salah satunya itu, tapi sebenarnya masih banyak lagi, namun kurasa itu tidak penting untuk kau hapalkan." Katanya, senyumku terurai lebar menatapnya.
"Semoga mimpimu untuk mendapatkan pekerjaan akan segera terwujud, tetapi bila kamu punya bakat di bidang melukis, kurasa hal itu sudah termasuk sebagai pekerjaan, tinggal dikembangkan saja." Kataku, lalu Sandro mengangguk sambil tersenyum.
"Iya Mel, aku tunggu yahh fotomu sama teman-teman mu." Katanya, kemudian Sandro melambaikan tangan, menutup tirai jendelanya, dan diriku membalasnya serupa. Kulihat langit sudah tak menunjukkan sinar matahari lagi. Lampu jalanan mulai dinyalakan dan menyinari seluruh perkampungan.
Diriku masih menetap di sini, menunggu sampai datangnya bintang-bintang yang berkedip-kedip. Di dalam otakku masih terpikir tentang keadaan Tony, pria itu begitu membuatku tak bisa tenang, namun jika dia memang benar-benar sibuk di luar sana untuk mengurusi keadaan ibunya. Diriku hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik, semoga mama Firly tetap berada pada kondisi yang sehat.
Di dalam dinding kamarku terpampang sebuah poster kecil menempel di dekat lemari pakaian. Tiap kali diriku masuk ke dalam sini selalu menatap ke arah poster tersebut, poster yang dimana terisi berbagai macam resolusiku di tahun dua ribu dua puluh ini. Dengan sedih akhirnya aku mencoret bagian yang ada kaitannya dengan Eny dan Andy, yaitu berlibur di saat-saat kami memiliki waktu luang, hal semacam itu pastinya tidak akan kami dapatkan lagi. Kuanggap itu ialah impian yang gagal untuk bisa kuraih di tahun ini. Namun saat diriku memandang pada urutan yang ke atas. Mengenai kekasih, rumah, dan menikah, kurasa semua itu selalu tertuju pada Tony, sungguh aku benar-benar merindukan pria itu.
Bahkan ketika malam telah bergulir, diriku mulai tidur bersama Jojo yang berada tepat di sampingku.
Bayanganku terlintas bahwa sosok Tony berada di dalam sini. Dimana diriku berada pada pelukannya, dan kepalaku bersandar pada bahunya, lalu tertidur dengan nyenyak di sana, seperti di temani oleh Almarhum ayahku. Aura Tony selalu kental akan perwakilan sosok ayahku. Kenapa pria itu sampai begitu berarti bagi hidupku? Sampai aku tak bisa melupakannya.
Ketika pagi sudah bergulir, diriku bangun di jam subuh yang masih petang dan larut, demi untuk memulai menyiapkan peralatan yang akan kubawa ke rumah Ibuku. Aku ingin menempati janjiku pada Jojo, bahwa dia perlu teman supaya masa karantinanya tidak stress. Kurasa Ibuku memang sosok teman yang spesial baginya. Dengan teliti diriku menata buku-buku pelajaran Jojo supaya muat dibawa ke rumah ibuku.
Selama masa karantina sekolah, proses belajar mengajar kini dilakukan secara online. Sehingga setidaknya ibuku mampu menemani Jojo selama proses belajar mengajar tersebut. Dengan antusias adikku memasang ransel di pundaknya, kemudian berlari menghampiri nenek untuk berpamit, dan kami berdua pun pergi menuju ke sana.
Saat kami telah sampai, ibuku menyambutku dengan penuh keterkejutan. Seperti yang kuduga sejak awal, bahwa anak itu pasti dipeluk sangat erat dan di beri kecupan berkali-kali oleh ibuku. Kemudian setelah itu ibu kembali mengernyit menatapku.
"Lho kamu kok tidak bekerja?" Tanya Ibuku dengah raut wajah heran.
"Lockdown, perusahaan tutup." Kataku sambil masuk ke dalam ruang tamu, melepas jaket dan tas-ku.
"Sampai kapan?" Tanya ibu yang sedang pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.
"Entahlah." Ulesku, memang diriku sengaja untuk berbohong, menutupi keterpurukan yang ada saat ini. Kuanggap ibuku pasti akan tahu tentang beritaku yang sudah tidak bekerja. Aku berharap ibuku akan tahu dengan sendirinya. Lagi pula aku tidak ingin membuat perasaannya sedih, sudah cukup diriku saja yang mengalaminya.
"Ibu tidak menyangka bahwa kalian akan datang ke sini, ditengah wabah yang membabi buta, siapa yang menyuruh kalian?" Tanya ibuku sambil membawakan minuman dan dia letakkan di atas meja ruang tamu.
"Tidak ada, ini semua murni keinginan Jojo." Kataku sambil menelan minuman buatan ibuku. Tentu saja dia menerima hal itu asalkan sesuai dengan keinginan anak kesayangannya.
"Ohh baiklah, lagi pula ibu sudah lama tidak memeluk adikmu, sekarang semuanya tidak ada yang tidak lockdown, hampir semuanya jenis usaha ditutup untuk sementara. Kemarin saja seluruh kampung di daerah sini disemprot dengan disinfektan, hal itu dikarenakan ada satu orang yang positif di gang sebelah." Kata ibuku.
"Oh ya?" Kejutku.
"Makanya mulai saat ini gang sebelah tak bisa dilalui oleh siapapun, tempat itu ditutup hingga tak tahu sampai kapan." Ujar Ibu, diriku merunduk.
"Dio saja juga sama sepertimu Mel, anak yang tinggal di depan rumah ini. Dia juga menjalani masa karantina sebab kampusnya diliburkan. Tapi ngomong-ngomong Dio rupanya orang pintar." Lantas aku terdiam ketika Ibu beralih berbicara membahas tentang pria itu. Aku menganggap hal tersebut ialah hal yang wajar, sebab mau tidak mau Dio merupakan tetangga dekat Ibuku, yang sama-sama mengontrak di wilayah ini.
"Anak itu memiliki usaha sendiri yang mampu memperkerjakan teman-temannya yang kurang mampu. Sehingga dia tidak menginginkan tokonya untuk ditutup, agar dia mendapatkan sumber pendapatan lain." Ungkap ibuku, aku meliriknya, dan tak terkecuali penasaran untuk bertanya.
"Memangnya, Dio punya usaha apa bu?" Tanyaku.
"Toko roti katanya, hebat bukan?" Aku tersenyum sedang, menganggukkan kepala seolah kagum.
"Nanti siang sih rencananya anak itu bakal ke rumah ibu, sebab kemarin ibu sudah meminta tolong pada anak itu untuk memperbaiki sepeda pancal ibu yang rusak." Katanya, sepintas aku merasa heran.
"Apa? Maksudku, rusak kenapa bu?" Tanyaku agak gugup.
"Hmm, mana kamu tahu? Entah kenapa rantainya putus, pedalnya juga bengkok, tak sinkron sama sekali, dan mungkin waktunya untuk minta ganti. Tapi jangan khawatir, ibu sudah minta tolong sama anak itu, dan katanya dia akan memperbaikinya siang ini."
"Memangnya ibu yakin Dio bisa memperbaikinya?" Tanyaku, ibuku pun seketika tertawa.
"HAHA, kamu tidak usah khawatir Mel, dia sangat handal dalam hal-hal teknis semacam itu, lagi pula jika ibu ditinggal sama ayah tirimu, siapa lagi pria yang bisa membantu ibu di saat-saat rantai sepeda putus, pipa paralon belakang pecah, lalu kapan hari sempat mati lampu karena konsleting listrik. Kalau tidak ada ayah tirimu, Dio-lah yang selalu membantu ibu, dan pria itu selalu bisa diandalkan." Katanya dengan penuh semangat. Entah kenapa mendengar ucapan ibuku seperti ada bentuk rasa provokasi antara diriku yang akan dikaitkan dengan pria itu, namun entahlah, setahuku Dio ialah pria yang baik, sopan, dan juga ramah. Aku juga pernah berkomunikasi dengannya, anaknya memang suka menolong, dan diriku juga bersyukur karena masih ada orang baik yang segan menolong ibuku.
"Apakah kamu sudah makan Mel?" Tanya ibu, aku menggeleng.
"Belum, mungkin bisa kubantu bila ibu belum buat apa-apa." Kataku padanya saat kami hendak menuju ke dapur.
"Ayo." Sahut ibu. Kami pun berada di dapur, mengiris bumbu-bumbu dan memotong daun seledri, kentang, serta wortel. Hari ini kami membuat sup daging, sampai pada beberapa jam kemudian, makanan itu akhirnya sudah selesai. Lama diriku menjalani masa karantina membuat skill memasakku semakin terlatih. Ibuku mencicipi kuah sup yang kubuat, dan dia rupanya menyukainya.
Waktu terasa amat cepat bagiku, kulihat jam sudah menunjuk pada pukul satu siang. Saat-saat dimana lelaki itu akan datang, lalu pintu masuk rumah ibuku terketuk oleh seseorang, dan ibuku menyuruhku untuk membuka pintunya.
"Hei. Maaf, Emm, ibumu ada?"
"Dio!" Kejutku, "ada, silahkan masuk." Sungguh aku terkejut bukan main saat melihat pria itu datang di depan pintu rumah ibuku secara tiba-tiba. Kurasa kami baru bertemuan beberapa bulan yang lalu, dan saat ini aku melihat waja dari pria itu kembali, rasanya berbeda dari yang biasanya. Dimana aku memiliki sebuah kesimpulan yang mungkin tak bisa dipungkiri oleh sebagian banyak wanita. Dia begitu tampan dan rapi, sungguh kehadirannya membuatku teringat oleh Tony.
"Terima kasih, kamu Amel kan?" Tanya Dio, dan aku pun tersenyum.
"Iya, silahkan duduk Dio." Kataku, aku masuk kedalam untuk memanggil ibuku, mengajaknya keluar untuk menemui tamu yang dia tunggu-tunggu. Mereka beruda terlihat begitu akrab, seperti melihat Dio ialah satu anggota keluarga kami. Kemudian satu gelas minuman es syrup buatanku kuberikan kepada pria itu, persis seperti yang kulakuan saat Dio mengantar adikku pulang ke rumah nenek. Aku masih mengingat moment itu.
"Hei akhirnya jagoan ibu datang juga." Kata ibuku. "Habis dari mana kok kelihatan rapi banget?"
"Iya bu, barusan mampir dari toko tadi." Jawab Dio.
"Gimana Dio? ngomong-ngomong usaha kamu lancar kan? Soalnya ibu khawatir sekali di tengah pandemi seperti ini, takutnya___" Ujar ibu dengan nada cemas, namun Dio pun membalasnya dengan santai.
"Alhamdulilah tidak bu, semuanya masih lancar kok, barusan saya menerima pesanan dari pelanggan. Jumlahnya bisa dikatakan lumayan." Kata Dio, kedua mata ibuku langsung terbelalak kagun, dan aku pun merasa senang mendengarnya.
"Memangnya mana sepeda ibu yang mau saya benerin? Kebetulan saya bawa semua alat-alatnya." Kata Dio sambil melihat ku yang menaruh secangkir es di atas meja.
"Jadi ngerepotin nih." Ulesnya padaku.
"Ahh bisa aja, sama sekali gak ngerepotin kok." Kataku, "justru kami yang sering ngerepotin kamu terus, iya kan?" Imbuhku, sedikit melirik ibu, dia nampak tersenyum, begitu pula dengan Dio. Kurasa berdiri berada di antara mereka sungguh membuatku canggung. Ibu dan Dio nampaknya begitu akrab sekali, nyaris terlihat seperti anak sendiri. Untuk menutupi rasa canggungku, aku seketika beralih dan masuk ke dalam kamar, menemani Jojo yang sedang sekolah online. Meskipun langkahku ini bisa dinilai acuh terhadap kedatangan seorang tamu, tapi mau bagaimana lagi?
Bersambung...
Berlanjut ke Chapter 53...