Chapter 55 - Bab 55

Suara tawa ibuku begitu kencang hingga nyaris membangunkan Jojo dan pak Irwan. Kudengar ayah tiriku bersiul menegur ibuku yang sedang berprilaku gila di ruang dapur. Jarak rumah ini dengan rumah Dio sangatlah dekat, oleh karena itu aku panik setengah mati apabila suara ibu sampai membuat pria itu mendengar ucapannya. Aku sejenak berjalan menuju ke ruang tamu, lalu membuka tirai jendela yang berada tepat di samping pintu masuk. Kulihat di depan sana rumah Dio nampak masih menyala terang, lagi pula mana ada pria muda sepertinya yang tidur pada pukul delapan malam?

"Ibu apa-apaan sih?" Sahutku saat aku kembali menuju ke ruang dapur. Dan dia masih tertawa-tawa seakan tak bisa berhenti.

"Kenapa? Biarin saja meskipun dia dengar, memangnya masalah?" Ucap ibuku dengan senyuman lebar mengarah ke diriku. "Katakan saja kalau kamu sedang kagum dengan lelaki itu, iya kan?" Imbuhnya, dan aku terdiam atas ucapan ibuku. Entah mengapa malam ini ibuku menjadi orang yang tak waras. Apakah karena diriku yang telah mengungkapkan isi hati Dio terhadapnya? Dan menganggap bahwa ibuku seperti ibu kandungnya. Sungguh menjengkelkan.

"Amel sayang, aku tahu kok perasaan kamu saat ini, mending jujur saja lha," katanya. "Lagian, kamu kan masih dalam masa karantina, dari pada kamu di rumah gak ngapa-ngapain mending ikut buat kue bareng sama Dio. Pasti hari-harimu di tempat ini jauh lebih asyik." Imbuh ibuku, kemudian diriku menatapnya sambil mengernyitkan kedua alisku. Berpikir bahwa membuat kue dengan Dio di toko rotinya itu ialah hal yang tak mungkin. Namun selama ini Tony tak pernah memberikan kabar tentang dirinya. Bisa jadi dia sibuk saat ini, atau apapun itu. Entah mengapa saat aku dihadapkan oleh keputusan untuk hendak mendekati Dio, aku selalu teringat pada Tony.

"Aku pikir dulu soal hal itu." Jawabku, lalu ibuku mendesah.

"Ahh kamu gak seru Mel. Kan cuma belajar bikin kue apa salahnya sih?" Desak ibuku.

"Gak ada yang salah sihh, cuma,___" kataku dengan nada bimbang, lalu ibuku mengangkat kedua alisnya.

"Cuma apa? Kebanyakan mikir kamu Mel." Katanya.

"Cuma aku takut jatuh cinta saja sama dia." Kataku pada akhirnya, dan seketika ibuku melotot menatapku. "Kurasa apa yang ibu katakan itu ada benarnya juga, dia tampan dan ahli dalam masalah pria, tapi masa iya ibu selalu mendesakku?" Tanyaku padanya, lalu ibuku memegang kedua tanganku.

"Mendesakmu? Kamu ini bicara apa? Ohh ayolah Mel, Dio anaknya baik sekali, bahkan dia sudah kuanggap seperti anak ibu sendiri." Katanya, dan aku berusaha untuk melepaskan genggaman tangan itu yang terasa begitu erat.

"Tapi aku sudah punya Tony bu." Kataku sambil mengernyitkan kedua mataku.

"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Tony kok. Apakah Tony pernah melarangmu untuk mempunyai teman laki-laki?" Kata ibuku, kemudian aku menghirup nasfas panjang sembari berpikir akan pertanyaan ibuku, sebab aku menyadari bahwa selama ini Tony tidak pernah berkata seperti itu kepadaku, bahkan ketika diriku berteman dengan Bastian mantan pacar Eny dulu, sikapnya sungguh netral dan biasa saja. Kuharap Tony bisa mengerti bahwa setidaknya diriku perlu belajar cara untuk membuat Roti atau kue, atau apapun itu.

"Baiklah deh," Jawabku dengan penuh rasa terpaksa. "Nanti aku akan bilang ke Dio sendiri." Imbuhku, dan ibuku tersenyum lebar dengan bentuk perkataanku. Kurasa malam ini ialah malam yang begitu rumit, aku tidur di atas ranjang kamar ibuku bersama Jojo, sedangkan ibu dan pak Irwan menggelar kasur di bawah ranjang kami berdua.

Saat itu aku melihat notifikasi pesan pada ponselku, yang memperlihatkan pesan masuk dari Tony. Di sana bertuliskan.

"Selamat malam Amel, maaf bila selama ini aku tidak pernah menghubungimu sama sekali sebab keadaanku akhir-akhir ini sungguh berat sekali. Ibuku terancam tidak bisa pulang ke rumah karena harus menjalankan pekerjaannya sebagai petugas medis. Selama masa karantina aku memikirkan kondisi ibuku, dan maafkan aku bila selama ini aku melupakanmu. Ngomong-ngomong bagaimana kabarmu saat ini?" Tulis pesan whatsapp dari Tony. Sebenarnya aku sudah mempunyai firasat akan adanya hal semacam itu. Kekhawatiranku terhadap mama Firly menjadi semakin kuat.

"Baik, kamu sendiri gimana kabarnya?" Tanyaku.

"Yahh beginilah, aku berusaha untuk tetap kuat." Balasnya, dan diriku tak memiliki kata-kata lagi untuk membalas pesan dari Tony, sungguh ini moment dadakan yang tak terduga. Di saat diriku yang mempunyai jadwal untuk belajar membuat kue bersama Dio, sungguh konyol sekali bila hal semacam itu kuceritakan padanya.

"Semoga mama Firly selalu baik-baik saja yah, dan tentunya kamu harus tetap menjaga kesehatan, jangan telat makan, dan juga jangan stress. Ingat pesanku itu, oke?" Ketik balasanku kepada Tony. Aku tahu betul bagaimana perasaannya saat ini, andaikan saja aku berada di sisinya mungkin diriku bisa membuatnya jauh lebih tenang, namun sekarang diriku berada jauh darinya, dan menginap di rumah ibuku dimana diriku terpojok oleh seorang laki-laki yang kini berada dalam ambang-ambang hatiku. Aku sangat merasa berdosa atas segala hal yang telah terjadi akhir-akhir ini.

"Amin, terima kasih ya Mel." Ketiknya, dan sesingkat itu saja, kemudian kubalas dia dengan emotikon hati, dimana emotikon itu hanya tercentang begitu saja, hingga diriku menunggunya beberapa menit namun tak kunjung berubah menjadi biru. Lalu kuputuskan untuk menutup ponselku sambil membalikkan arah ke belakang tubuh Jojo. Menyelipkan tanganku diatas kepalanya, kemudian mengelus-elus tiap helai rambutnya. Berpikir tentang esok hari, dimana diriku akan membuat Korean Garlic bersama Dio, aku tak berani jamin kalau itu akan menjadi moment yang mengasyikkan.

Ketika pagi mulai bergulir, aku mendengar suara tawa ibuku yang sedang mencoba sepedanya di taman belakang rumah. Hari ini aku bangun cukup siang, dan entah kenapa ibuku tidak membangunkanku lebih awal untuk sekedar membantunya. Kulihat Jojo sedang bermain di sana, bergabung dengan ibuku sehingga tawa mereka berdua semakin kencang hingga terdengar sampai ruang tamu. Saat diriku membuka tirai jendela rumah, tiba-tiba saja aku melihat Dio dengan pakaian amat rapi sedang duduk memasang sepatu di depan teras rumah-nya. Lantas jantungku langsung berdebar-debar dan berniat untuk menutup tirai jendala ibuku. Namun tak sampai di situ pria itu seketika melihatku, dan tak jadilah aku menutup tirai sialan tersebut.

"Pagi," katanya sambil tersenyum, dan akhirnya mau tak mau kubalas dia dengan senyuman.

"Pagi." Kataku dengan amat grogi, kemudian kubuka seluruh tirai jendela rumah ini, membuat cahaya matahari menyinari seisi ruang tamu ibuku, dan Dio nampaknya sudah selesai memasang sepatunya.

"Baru bangun tidur yah?" Tanya Dio sambil berdiri tegap di luar sana, hingga diriku tak berani menatap mata bulat pria itu terlalu lama.

"Hmm iya nihh." Kataku, "Pagi ini kamu rapi sekali, mau kemana?" Tanyaku yang seketika saja terceplos begitu saja karena begitu groginya diriku di hadapannya.

"Biasa, mau ke toko." Jawab Dio dengan senyuman manis yang sungguh tak ingin kutepis.

"Ohh pantesan." Ulesku, tersenyum dan menyampingkan helai poni rambutku ke arah samping.

"Ngomong-ngomong gimana? Jadi belajar bikin Korean Garlic kah?" Tanya Dio. Nada suara itu begitu lembut nan menggoda. Aku hanya bisa tersenyum, tapi di dalam otakku masih berpikir dan terus berpikir, dan itu sungguh berat sekali untuk memutuskannya.

"Gimana yahh? Aku masih belum siap apa-apa nihh, baru bangun tidur soalnya." Kataku yang berusaha untuk menepis tawaran itu.

"Tidak masalah kalau kamu mau bersiap-siap dahulu, aku tungguin di sini kok." Kata Dio, dan saat itu aku sudah tidak punya alasan lain. Dari dulu aku memang bodoh dalam hal mencari alasan, itulah sebabnya aku selalu menurut apa saja yang diinginkan oleh seseorang, tak terkecuali juga pada Tony.

"Hm, oke dehh, tapi aku bakal lama, gak pa pa yah?." Kataku, dan pria itu mengangguk dengan senyum lebarnya.

"Ahh, tetap tidak masalah kok." Balas Dio dengan nada suara yang begitu semangat. Wajah pria itu sukses membuatku tersenyum di pagi hari. Diriku merasa begitu malu dan juga bingung, lantas outfit apa yang akan kugunakan pagi ini untuk beraktivitas dengannya? Apalagi setahu-ku saat ini Dio mengenakan pakaian kemeja berwarna krem kuning, dengan setelan celana jeans biru lengkap dengan pantofel kulit yang terlihat sungguh mengkilap sekali, dan seluruhnya yang ada pada lelaki itu terlihat begitu amat rapi.

Akhirnya aku masuk ke dalam rumah dengan penuh kebingungan. Diriku membuka lemari pakaian ibuku, sebab aku sadar bahwa baju yang kubawa dari rumah nenek semuanya ialah pakaian rumahan yang lusuh dan tidak pantas untuk dibuat berpergian. Akhirnya di sana aku menemukan baju sweater biru yang terlihat cukup sopan bila kukenakan, selain itu keadaan sweater tersebut juga sudah tersetrika rapi dan harum. Kemudian dengan cepat aku langsung masuk ke kamar mandi, dimana aku tak berani jamin kalau Dio akan betah menungguku sampai selesai. Saat diriku selesai berdandan, ibuku masuk ke dalam kamar dan memergokiku. Wajahnya semringah menyorotiku dari atas rambutku sampai ke bawah ujung kakiku.

"Oke, kamu cocok pakai sweater itu," katanya. "Lalu kamu pakai sepatu apa? Ibu sama sekali tak memiliki sepatu untukmu." Imbuhnya.

"Aku memakai sepatu kets milikku sendiri saja." Jawabku yang tergesah-gesah merapikan make-up di wajahku. Kemudian saat semua itu selesai, aku berpamit pada ibuku dan bergegas untuk keluar menemui Dio yang sedang menungguku di depan sana.

Saat aku menemuinya, Dio seketika berdiri dari posisi duduknya. Sorot mata bulat itu langsung menatapku dengan durasi yang cukup lama. Aku selalu menepis apa saja yang terpintas dalam pikiranku soal perasaan Dio terhadapku, dimana senyuman yang selalu dia lepaskan seakan mengandung sebuah arti di dalamnya. Entahlah, hal yang tak bisa tertolong saat ini yaitu kegugupan yang senantiasa hadir beriringan dengan senyumannya.

"Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku?" Kataku yang berniat untuk menegur pria itu supaya berhenti untuk terpaku diam menatapku.

"Ohh, tidak," ulesnya saat ketika sadar. "Kamu cantik sekali pagi ini." Imbuhnya, dan bisa jadi setelah Dio menilai penampilanku seperti itu, kedua pipi ini memerah sebab tak kuasa menahan ucapan itu.

"Ohh Terima kasih." Kataku, dan kami berdua mulai berjalan menuju ke toko tempat tujuan kami pagi ini. Lantas saat kami memulai langkah, aku terheran menatapnya.

"Tunggu, kita beneran jalan kaki?" Tanyaku, kemudian Dio menatapku.

"Yahh, kita jalan kaki, jaraknya dekat kok, sekitar tiga ratus meter dari sini." Jawabnya, dan diriku pun mengangguk.

"Gak pa pa kan Mel?"

"Gak pa pa, lagian aku juga suka jalan kaki." Jawabku.

"Jangan lupa pakai masker-nya juga yahh?" Kata Dio sambil mengambil dua helai masker sensi untuk kami berdua. Di pagi yang cerah ini, kulihat aktivitas penduduk di sepanjang jalan yang kami lalui tak sebegitu ramai seperti biasanya. Semuanya terlihat sepi dan menenangkan, bahkan udara polusi yang kerap berseliweran di sepanjang jalanan tak kami rasakan sama sekali. Moment yang mengingatkan diriku saat berjalan menuju ke taman kebun bibit bersama Tony dulu. Merasakan lembut suara pekuk burung-burung pipit, dan taburan dedaunan kering yang jatuh tertiup oleh angin. Dio sesekali mencuri-curi pendangan untuk menatapiku di setiap langkah, namun diriku hanya pura-pura tidak tahu padahal gerak-geriknya sangat jelas dapat kulihat di sampingku.

"Di masa pembatasan sosial seperti ini, memangnya setiap hari toko kamu banyak dikunjungi pembeli ya?" Tanyaku yang mencoba untuk memecah kesunyian diatara kami.

"Aku hanya melayani bentuk pesanan dari luar, jadi nanti ada kurirnya sendiri yang bertugas untuk mengantarkan pesanannya ke customer." Jawab Dio.

"Berarti untuk sementara ini toko kamu hanya melayani pesanan online?" Tanyaku, dan Dio menatapku.

"Tidak juga, kalaupun ada pelanggan yang berkunjung itu malah bagus, tapi kan masalahnya sekarang tidak semua orang berani keluar rumah untuk sekedar membeli kue." Jawab Dio, lalu diriku pun tersenyum.

"Iya juga sih." Ulesku. "Em, aku jadi malu nih kalau sudah sampai di toko mu." Imbuhku.

"Malu kenapa?" Tanya-nya.

"Aku gak bisa sama sekali buat kue, takutnya nanti malah rasanya beda sama kue buatanmu." Kemudian Dio menghembuskan nafas panjang.

"Yahh nanti kan aku ajarin, lagian tujuanmu ikut denganku untuk belajar kan Mel." Katanya, dan lagi-lagi diriku tersenyum.

"Aku hanya ngerasa gak enak karena bikin kamu merasa kerepotan terus." Kataku. "Kemaren gara-gara ibuku kamu ketumpahan oli, jangan sampai nanti gara-gara aku kamu ketumpahan coklat, tepung, atau apa-lah itu." imbuhku, dan Dio pun tertawa terbahak.

"HAHA, kalaupun ketumpahan juga gak pa pa kok, kan noda coklat mudah hilang dari pada noda oli kemaren." Katanya. Mendengar di setiap nada suara Dio berbicara sungguh membuatku terpikir oleh Tony. Kenapa mereka berdua memiliki suara yang nyaris sama? Baik ketika Dio tertawa serta di setiap gerak geriknya nyaris seperti Tony pacarku. Aku tak berani membayangkan ditengah kami sedang membuat kue bersama nanti, kuharap tak ada moment yang aneh-aneh seperti kemarin.

Bersambung...

Berlanjut ke chapter 56...